Gula dan Kemelut Struktural

d. Gula dan Kemelut Struktural

Kinerja ekonomi gula selama pasca-Reformasi nyaris stagnan karena karakter kemelut yang lebih banyak bersifat struktural. Misalnya, langkah peningkatan produksi tebu di tingkat usaha

168 168 168168 168 MEMPERKUAT KETAHANAN PANGAN DEMI MASA DEPAN INDONESIA 2015-2025 168 168 168168 168 MEMPERKUAT KETAHANAN PANGAN DEMI MASA DEPAN INDONESIA 2015-2025

Landasan filosofis atau ideologi kebijakan intervensi agak mentah, boleh jadi karena fondasi teoritis dari pilihan kebijakan itu tidak terlalu kuat, atau bahkan tidak terdapat suatu enforcement structure yang tidak mampu mengantisipasi segenap kemungkinan implementasi dan penyalahgunaannya di lapangan. Daftar masalah dapat saja diperpanjang, misalnya, buruknya kajian pendahuluan, tidak realistisnya skenario analisis sensitivitas, sampai pada begitu dominannya perburuan rente (rent-seeking) serta kepentingan politik pengaruh kekuasaan yang melingkupinya.

Manajemen perdagangan atau sistem tata niaga gula dan bahan pangan lain yang bersifat strategis sebenarnya bu kan lah barang baru di Indonesia karena sejarah ekonomi pertanian di negeri ini juga lahir dan berkembang bersama le ga si sebuah lembaga parastatal yang melibatkan manaje men kebijakan negara. Di tangan seorang pemimpin yang kuat, lembaga negara atau yang berafiliasi dengan “kepentingan negara” akan dengan mudah

Manajemen Kebijakan Pangan: RAWAN PRAKTIK TIDAK SEHAT’ 169 Manajemen Kebijakan Pangan: RAWAN PRAKTIK TIDAK SEHAT’ 169

Di tangan seorang pemimpin yang lemah atau pada kondisi manajemen pemerintahan yang kacau-balau, maka sebaliknya yang terjadi. Pasang-surut kinerja sistem tata niaga gula di Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan tujuan kebijakan, instrumen yang digunakan dan strategi mencapai tujuan tersebut, berikut seluruh rangkaian kondisi internal, lingkungan eksternal serta tekanan ekonomi dan politik dari berbagai penjuru. Telaah teoritis dan empiris sistem tata niaga dalam perspektif keterkaitan seperti di atas telah dibahas secara lengkap dalam Arifin (2004).

Kebijakan yang awalnya dimaksudkan untuk “mengatur” aktivitas impor gula melalui Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan (SK No. 643/MPP/Kep/9/2002) tentang Tata Niaga Impor Gula (TIG) ternyata telah menimbulkan reaksi dan hasil akhir yang sangat beragam. Kebijakan tata niaga itu memberikan privilese (hak istimewa) kepada importir produsen (IP) untuk mengimpor gula mentah (raw sugar) dan kepada importir terdaftar (IT) untuk mengimpor gula putih (white sugar) yang tidak lain adalah perkebunan gula yang memiliki perolehan bahan baku 75 persen berasal dari petani. Perusahaan perkebunan yang memenuhi kualifikasi sebagai IT adalah empat BUMN, yaitu PT Perkebunan Nusantara (PN) IX, PTPN X, PTPN XI, dan PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI).

Kebijakan tersebut juga memberikan peluang bagi pengem- bangan industri gula rafinasi, yang khusus memutihkan gula

170 170 170170 170 MEMPERKUAT KETAHANAN PANGAN DEMI MASA DEPAN INDONESIA 2015-2025 170 170 170170 170 MEMPERKUAT KETAHANAN PANGAN DEMI MASA DEPAN INDONESIA 2015-2025

tidak layak untuk dikonsumsi sistem tata niaga gula secara langsung. Catatan penting

di Indonesia tidak dari SK No. 643/2002 adalah, gula

dapat dipisahkan mentah dan gula rafinasi (refined

dengan tujuan sugar) yang diimpor oleh IP hanya

kebijakan, instrumen dipergunakan sebagai bahan baku

yang digunakan dan untuk proses produksi pengolahan

strategi mencapai tujuan gula dan dilarang diperjualbelikan

tersebut, berikut seluruh rangkaian kondisi

serta dipindahtangankan. internal, lingkungan

Walaupun debat publik yang eksternal serta tekanan berkembang seakan serempak ekonomi dan politik dari memberi peringatan atas rekam

berbagai penjuru. jejak (track record) perusahaan

perkebunan gula yang tidak memiliki pengalaman dalam aktivitas impor, kebijakan tata niaga itu tetap dilaksanakan. Solusi temporal dengan cara memberikan kesempatan kepada BUMN produsen gula untuk melakukan kerja sama dengan pelaku usaha perdagangan yang telah terbiasa melakukan impor gula, adalah pilihan terbaik dari sekian macam opsi kebijakan yang semua buruk. Harga gula di pasar internasional berada pada level terendah, hanya sekitar US$200 per ton FOB, sehingga terdapat disparitas yang sangat mencolok dibandingkan dengan harga eceran gula domestik yang di atas Rp3.000 per kg.

Kekhawatiran terjadinya penyelundupan gula akhirnya menjadi kenyataan, terutama setelah dijumpai puluhan ribu gula selundupan yang ditemukan di sebuah gudang pelabuhan pada

Manajemen Kebijakan Pangan: RAWAN PRAKTIK TIDAK SEHAT’ 171

2004, berikut permasalahan lapangan lainnya yang tidak kalah pelik. Analisis kritis terhadap sistem tata niaga gula tersebut pasti selalu menarik karena keterburuan kebijakan dan berbagai entry barriers yang justru menimbulkan “jalan pintas” bagi para pemburu rente. Upaya perbaikan kebijakan pengaturan impor gula dilakukan dengan penerbitan Kepmen baru yaitu No. 527MPP/Kep/9/2004 tertanggal 17 September 2004 tentang Ketentuan Impor Gula (KIG). Di antaranya dengan kembali melibatkan Perum Bulog dan PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) dalam perdagangan gula di Indonesia.

Beberapa analis mencoba memberikan penilaian terhadap kebijakan tata niaga gula yang paling banyak memperoleh perhatian, baik pada masa administrasi Presiden Megawati Soekarnoputri maupun pada masa Presiden SBY. Misalnya, Khudori (2005) menganggap bahwa pengaturan impor gula turut berkontribusi pada peningkatan produksi gula, dan seharusnya pula meningkatkan pendapatan petani tebu. Nahdodin dan Rusmanto (2008) bahkan secara eksplisit menyebutkan bahwa kebijakan tata niaga gula cukup efektif melindungi produsen gula berdasarkan indikator harga yang berlaku. Kebijakan impor itu tidak menimbulkan monopoli pemasaran sehingga margin pemasaran tidak membesar dan tidak merugikan konsumen. Kebijakan tata niaga gula di dalam negeri ternyata belum dapat memberikan perlindungan pada produsen gula (tebu) dari distorsi harga pada pasar gula dunia. Produsen gula (tebu) di dalam negeri masih tertekan oleh perilaku negara produsen gula yang lebih protektif.

172 172 172172 172 MEMPERKUAT KETAHANAN PANGAN DEMI MASA DEPAN INDONESIA 2015-2025

Studi lain yang lebih komprehensif dan melibatkan survei lapangan (Chudhorie, 2006) justru menyimpulkan, sebagian besar petani tebu tidak terlalu paham tentang skema kebijakan impor gula walaupun dijadikan landasan utama perumusan sistem tata niaga gula tersebut. Chudhorie membedakan antara “petani daun” yang merujuk kepada petani pedagang tebu yang juga berfungsi sebagai “penghubung” dan pabrik gula, serta “petani akar dan petani batang” yang memiliki pekerjaan utama menanam tebu. “Petani daun” inilah yang sebenarnya merasa sangat berkepentingan dengan/atau memperoleh manfaat dari pengaturan impor gula karena akses perdagangan dan impor yang dipermudah.

Untuk sementara “petani daun” mampu menggeser para pedagang atau pemain lama dalam sektor pergulaan, sebelum akhirnya kelompok importir lama yang telah malang-melintang sebagai pedagang gula, juga memperoleh akses karena kebijakan baru memberi ruang juga pada IT, tidak hanya IP. Idealnya, kebijakan tata niaga impor gula perlu disertai dengan kebijakan tarif (dan non-tarif ) yang lebih tinggi atas pelaksanaan impor gula.

Pelajaran yang dapat dipetik dari perjalanan kinerja kebijakan tata niaga gula dalam lima tahun terakhir adalah, mandat kebijakan tersebut terlalu berat untuk dicapai oleh administrasi pemerintahan yang sedang mengalami persoalan besar transparansi dan akuntabilitas yang amat mengganggu (lihat Arifin, 2007). Prasyarat penting untuk melaksanakan suatu kebijakan tata niaga yang melibatkan banyak lapisan administrasi birokrasi adalah bahwa proses penyusunan, organisasi dan

Manajemen Kebijakan Pangan: RAWAN PRAKTIK TIDAK SEHAT’ 173 Manajemen Kebijakan Pangan: RAWAN PRAKTIK TIDAK SEHAT’ 173

Hakikat dari kebijakan tata niaga gula dan tata niaga serupa untuk komoditas pangan strategis lainnya, tidak didukung oleh landasan teori ekonomi yang kokoh, terutama setelah lingkungan eksternalnya banyak berubah. Misalnya, dimensi penting dalam komoditas gula adalah kedekatannya dengan sistem keputusan politik kolektif, dan bahkan sistem sosialisme kental dengan kekerabatan tinggi yang membangun hubungan antara petani dan industri gula. Masuknya, tata-nilai baru berupa sistem rasional ekonomi yang sedikit kapitalistik tidak dapat dengan mudah mengubah basis kelembagaan yang telah terbangun cukup kuat di hulu apabila tidak diikuti oleh serangkaian pembenahan kelembagaan di setiap lapisan sistem produksi, sistem perdagangan, dan bahkan pola konsumsi masyarakat. Sedangkan di tingkat internasional, dugaan dumping dan praktik perdagangan tidak fair lainnya yang dilakukan oleh negara produsen gula cenderung dapat mengaburkan referensi tingkat efisiensi atau kebersaingan harga gula pada pasar internasional.

Dalam empat tahun terakhir, ekonomi pergulaan Indonesia semakin kompleks setelah langkah restrukturisasi industri gula domestik juga disertai perkembangan industri gula rafinasi (refinary) yang lumayan cepat. Selain untuk mendongkrak nilai tambah ekonomi, industri rafinisasi gula juga memiliki pangsa pasar yang berbeda dengan industri gula putih biasa karena

174 174 174174 174 MEMPERKUAT KETAHANAN PANGAN DEMI MASA DEPAN INDONESIA 2015-2025 174 174 174174 174 MEMPERKUAT KETAHANAN PANGAN DEMI MASA DEPAN INDONESIA 2015-2025

industri makanan dan minuman terakhir, ekonomi di dalam negeri. Tidak dapat

pergulaan Indonesia disangsikan lagi bahwa investasi

semakin kompleks setelah baru dan pengembangan industri

langkah restrukturisasi gula rafinasi akan menjadi industri gula

peluang besar bagi peningkatan domestik juga disertai kapasitas industri domestik dan

perkembangan industri penyerapan lapangan kerja.

gula rafinasi (refinary) yang lumayan cepat.

Dalam bahasa ekonomi, pengembangan industri rafinasi akan membuka pilihan usaha yang lebih fleksibel bagi produsen gula di dalam negeri untuk mengolah bahan baku sesuai dengan potensi industri yang dimilikinya. Secara teknis agronomis, produksi tebu pada tanah-tanah dengan kandungan Fosfor (P) tinggi akan lebih menguntungkan secara ekonomis jika diolah menjadi gula rafinasi. Sedangkan pada tanah-tanah dengan kandungan P rendah, maka pengolahan menjadi gula mentah masih lebih menguntugkan. Pada fase awal, industri ini dapat memanfaatkan potensi bahan baku impor gula mentah sampai terbentuk suatu struktur industri yang lebih sehat untuk memenuhi peningkatan konsumsi gula yang demikian pesat.

Kehadiran industri gula rafinasi di Indonesia nampaknya tidak semulus yang diperkirakan sebelumnya. Pabrik pemutih gula yang semula dimaksudkan untuk membantu mencukupi kebutuhan gula oleh industri makanan dan minuman memperoleh kemudahan dalam impor bahan baku gula mentah. Konsep kemudahan

Manajemen Kebijakan Pangan: RAWAN PRAKTIK TIDAK SEHAT’ 175 Manajemen Kebijakan Pangan: RAWAN PRAKTIK TIDAK SEHAT’ 175

Dalam waktu relatif singkat, industri gula rafinasi berkembang sangat pesat, dengan lima industri besar di Jawa yang berkapasitas sekitar dua juta ton, termasuk yang diresmikan oleh Presiden SBY pada awal Januari 2007 di Cilegon, Banten. Empat dari lima pabrik tersebut telah berproduksi dengan utilisasi kapasaitas hampir 70 persen, yaitu: PT Angels Products (kapasitas 500 ribu ton), PT Jawamanis Rafinasi (500 ribu ton), PT Sentra Usahatama Jaya (540 ribu ton), PT Permata Dunia Sukses Utama (390 ribu ton) dan PT Dharmapala Usaha Sukses (250 ribu ton). Pabrik yang disebut terakhir belum berproduksi sehingga lebih banyak melaksanakan aktivitas impor gula mentah sekitar 28 ribu ton. Akan ada lagi pabrik gula rafinasi dengan total kapasitas 850 ribu ton, atau dengan total nilai investasi sebesar US$100 juta, yaitu di Ujungpandang dengan kapasitas 200 ribu ton, di Cilegon 250 ribu ton, dan di Lampung 300 ribu ton (Republika,

23 November 2007). Kalangan industri atau pabrik gula di dalam negeri tentu sangat

keberatan dengan fenomena di atas, terutama yang berstatus

176 176 176176 176 MEMPERKUAT KETAHANAN PANGAN DEMI MASA DEPAN INDONESIA 2015-2025

BUMN, yang tentunya masih dibebani fungsi strategis negara. Di antaranya, untuk mencapai swasembada gula, menjamin ketahanan pangan, dan meningkatkan kesejahteraan petani tebu. Secara umum, asosiasi petani tebu atau yang berserikat dengan BUMN produsen tebu merasa dirugikan dengan keleluasaan impor gula mentah oleh industri rafinasi. Dengan karakter penegakan hukum yang lemah atau kualitas administrasi kebijakan yang masih banyak bermasalah, maka tak seorang pun dapat menjamin bahwa gula mentah yang diimpor oleh industri gula rafinasi (atau oleh mitra dagang yang bersangkutan) tidak akan merembes ke pasar domestik. Pada musim giling, fenomena aliran gula mentah impor ke pasar bebas sampai ke pelosok di sentra produksi tebu dikhawatirkan dapat menekan harga gula di tingkat petani.

Estimasi total impor gula Indonesia saat ini bervariasi mulai dari 450 ribu ton (gula putih, versi DGI), lalu 1,8 juta ton (gula mentah, versi Asosiasi Gula Rafinasi Indonesia, AGRI) dan 2,4 juta ton (gula total, versi Departemen Pertanian Amerika Serikat, USDA). Walaupun demikian, volume impor gula di atas sebenarnya tidak terlalu besar dibandingkan dengan estimasi produksi gula dunia pada 2007/2008 yaitu 167,1 juta ton. Jika total konsumsi diperkirakan 155 juta ton, volume gula yang diperdagangkan di pasar global 50,8 juta ton, serta volume stok akhir di dunia adalah 46,6 juta ton. Brasil dengan luas perkebunan gula yang terhampar lebar, terutama di Bagian Selatan memproduksi gula sebesar 32,1 juta ton (naik 650 ribu ton), India 31,8 juta ton (naik 1,1 juta ton), China 13,9 juta ton

Manajemen Kebijakan Pangan: RAWAN PRAKTIK TIDAK SEHAT’ 177

(naik 1 juta ton), Thailand 7,2 juta ton Industri gula rafinasi di

(naik 480 ribu ton). Walaupun terjadi Indonesia yang memasok

penurunan ekspor karena konsumsi gula putih ke perusahaan bio-etanol yang cukup besar, Brasil

besar makanan dan minuman dituntut

masih mampu mengekspor sebesar untuk selalu konsisten

20,6 juta ton, jauh meninggalkan menghasilkan produk

Thailand 5,3 juta ton, India 3 juta ton gula dengan spesifikasi

dan lainnya. Permasalahan produksi yang ditentukan oleh

dan kuota ekspor di Eropa Barat cukup perusahaan induknya di

mempengaruhi produksi gula di sana; luar negeri.

sedangkan masalah kekeringan hebat pada 2007 lalu di Australia sangat

meningkatkan kinerja ekspor gula yang tercatat hanya 3,7 juta ton.

Ketentuan impor gula (KIG) yang sebenarnya tidak terlalu berbeda dengan ketentuan sebelumnya (SK Menperindag No.643/2002), hanya dilengkapi dengan ketentuan verifikasi dan kontrak dengan eksportir di negara asal. Ketentuan operasional kebijakan impor gula (SK Menperindag 527/2004) telah berusaha untuk menyangga harga gula petani tebu, melalui konsep dana talangan dan ketentuan harga tebus yang diputuskan oleh Dewan Gula Indonesia (DGI). Presiden secara ex-officio adalah Ketua DGI, sedangkan Menteri Pertanian adalah Ketua Hariannya bersama stafnya menentukan beberapa variabel sebelum mengambil keputusan melakukan impor gula atau tidak.

Harga penyangga gula saat ini ditetapkan Rp4.900 per kilo-

178 178 178178 178 MEMPERKUAT KETAHANAN PANGAN DEMI MASA DEPAN INDONESIA 2015-2025 178 178 178178 178 MEMPERKUAT KETAHANAN PANGAN DEMI MASA DEPAN INDONESIA 2015-2025

Kerumitan baru dengan kehadiran industri rafinasi di Indonesia tidak hanya karena diskriminasi bea masuk atau keleluasaannya melakukan impor gula mentah, tapi juga keterkaitannya dengan kinerja industri bahan makanan dan minuman, yang umumnya milik asing. Industri gula rafinasi di Indonesia yang memasok gula putih ke perusahaan besar makanan dan minuman dituntut untuk selalu konsisten menghasilkan produk gula dengan spesifikasi yang ditentukan oleh perusahaan induknya di luar negeri.

Kecil kemungkinan industri gula rafinasi akan menggunakan bahan baku gula tebu dari petani di dalam negeri, apalagi yang berskala kecil. Dalam istilah ekonomi politik, di sinilah terdapat interlocking system yang tidak memihak petani kecil di dalam negeri akibat dari ketidakmatangan kebijakan pengembangan industri gula rafinasi di Indonesia. Situasi menjadi semakin rumit ketika industri makanan dan minuman skala besar juga memperoleh status sebagai IP gula dan memiliki privilese untuk

Manajemen Kebijakan Pangan: RAWAN PRAKTIK TIDAK SEHAT’ 179 Manajemen Kebijakan Pangan: RAWAN PRAKTIK TIDAK SEHAT’ 179