PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI YANG EFEKTIF DAN ADAPTIF

Persepsi Terhadap Aktivitas Penambangan Karang.

Penambangan karang adalah aktivitas yang dilarang apalagi dilakukan di wilayah kawasan konservasi laut. Kebanyakan masyarakat yang berada di daerah kepulauan di Indonesia yang wilayahnya jauh dari daratan dimana sulit untuk mendapatkan material bahan bangunan untuk pembangunan sementara kebutuhan untuk mendapatkan atau membangun rumah semakin tinggi sehingga kadang secara terpaksa melakukan penambangan karang yang biasanya ditujukan untuk membangun fondasi bangunan. Tak terkecuali masyarakat yang berada di wilayah TWP Kapoposang dan KKLD Kab. Pangkep seperti yang tervisualisasikan pada grafik di bawah menggambarkan masih adanya aktivitas penambangan karang meski responden umumnya menyatakan sudah tidak ada lagi atau sudah tidak pernah melihat lagi aktivitas penambangan karang.

Sebanyak 17,1% responden di Pulau Gondongbali menyatakan pernah melihat aktivitas penambangan karang lebih dari 3 kali selama kurun waktu 1 tahun. Di Pulau Kulambing, sebanyak 14,3% responden pernah melihat aktivitas penambangan karang dengan aktivitas kurang dari 3 kali selama kurun waktu 1 tahun dan sebanyak 11,4% responden pernah melihat aktivitas penambangan karang lebih dari 3 kali dalam kurun waktu 1 tahun terakhir. Sebanyak 8,6% respoden di Pulau Samatellu Lompo pernah melihat aktivitas penambangan kurang dari 3 kali dalam setahun terakhir dan 20% menyatakan aktivitas penambangan karang lebih dari 3 kali dalam setahun terakhir. Demikian halnya di Pulau Pala bahwa sebanyak 31,4% responden menyatakan aktivitas penambangan karang terjadi kurang dari 3 kali dalam setahun dan 8,6% responden menyatakan aktivitas penambangan karang terjadi lebih dari 3 kali dalam setahun terakhir. Terlepas dari rendahnya pendapatan nelayan dalam hal memenuhi kebutuhan, terutama dalam hal pembangunan pemukiman.

Persepsi Tentang Dampak Setelah Adanya Zonasi Kawasan Konservasi

Pengelolaan kawasan konservasi laut mengharuskan adanya penataan zonasi yang ditujukan untuk mengantisipasi terjadinya konflik kepentingan dalam hal pemanfaatan sumberdaya laut. Selain itu, pengelolaan kawasan konservasi laut juga ditujukan untuk menselaraskan antara kepentingan pemanfaatan sumberdaya laut dengan kepentingan perlindungan sumberdaya laut sehingga sumberdaya laut dapat memberikan manfaat kepada nelayan dalam jangka waktu yang panjang dan berkelanjutan (sustainable use).

TWP Kapoposang telah dicadangkan oleh pemerintah dalam hal ini Kementerian Kelautan Perikanan melalui Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Nomor KEP.66/MEN/2009 tentang Penetapan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Kepulauan Kapoposang Dan Laut Di Sekitarnya

Di Provinsi Sulawesi Selatan dan KKLD Kabupaten Pangkep juga telah dicadangkan melalui Peraturan Bupati Pangkajene Dan Kepulauan nomor 32 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Pangkajene Dan Kepulauan. Setelah dicadangkannya TWP Kapoposang pada tahun 2009 dan KKLD Kab. Pangkep pada tahun 2010, kedua kawasan konservasi ini tentunya harus dikelola efektif agar dapat memberikan manfaat banyak kepada nelayan setempat.

Secara umum responden baik responden yang berada di kawasan TWP Kapoposang (Pulau Gondongbali) maupun yang berada di wilayah KKLD Kab. Pangkep (Pulau Kulambbing, Pulau Samatellu Lompo, dan Pulau Pala ) menyatakan bahwa sejak ditetapkannya kawasan konservasi TWP Kapoposang dan KKLD Kab.Pangkep hasil tangkapan tidak mengalami perubahan peningkatan atau sama saja. Pendugaan sementara kemungkinan disebabkan oleh faktor daya jangkauan trip armada tangkap nelayan yang hanya sebagian besar hanya menjangkau daerah-daerah yang dekat dengan pulau. Menurut kepala desa

Mattiro Dolangeng 4 bahwa daerah fishing ground nelayan sebagian besar berada di sekitar pulau yang kaya akan karang dikarenakan armada tangkap nelayan hanya mampu menjangkau wilayah perairan dangkal yang dekat dengan pulau sehingga ekosistem karang semakin rusak dikarenakan aktivitas PITRaL.

Di saat ekosistem karang sudah banyak yang rusak, nelayan mulai merasakan bahwa semakin hari ikan hasil tangkapan tidak meningkat bahkan dirasakan semakin berkurang, sementara nelayan secara ekonomi tidak mampu meningkatkan kapasitas armada tangkap yang lebih besar untuk menjangkau wilayah fishing ground yang lebih jauh

Dugaan kedua kemungkinan disebabkan oleh sejak ditetapkannya TWP Kapoposang dan KKLD Kabupaten Pangkep oleh Pemerintah sampai sekarang belum ada penataan tapal batas zona-zona yang ada dalam wilayah kawasan konservasi sehingga kegiatan-kegiatan ekstraktif tetap dilakukan oleh nelayan pada daerah-daerah yang kaya akan karang. Kegiatan ekstraktif tersebut secara teoritis akan memberikan dampak negative yaitu terganggunya rekrutmen ikan karang sehingga kestabilan rantai makanan, aliran energi dan siklus materi dalam ekosistem terumbu karang tidak terjadi secara optimal. Menurut staf unit

pengelola KKLD Kab. Pangkep 5 bahwa isu pengurangan luasan zona inti KKLD Kab.Pangkep sedang bergulir dikarenakan beberapa stakeholder (Pengusaha Bisnis Perikanan) yang mengetahui keberadaan KKLD Kab.Pangkep merasa wilayah fishing groundnya semakin terbatasi.

4 Keterangan lisan Kepala Desa Mattiro Dolangeng 5 Keterangan lisan staf Unit Pengelola KKLD Kab. Pangkep

Stakeholder yang dekat dengan kekuasaan dan memiliki ketergantungan politik secara vertikal menggulirkan isu tersebut secara vertikal. Resistensi beberapa stakeholder tersebut dikarenakan kekhawatiran akan berkurangnya penghasilan akibat berkurangnya hasil tangkapan karena terlalu luasnya zona inti KKLD Kab.Pangkep. Karena adanya resistensi dari stakeholder tersebut sehingga penataan tapal batas KKLD Kab.Pangkep belum bisa dilakukan. Hal inilah yang mendasari sehingga dinamika otonomi daerah dirasakan sangat berpengaruh terhadap proses pengelolaan kawasan konservasi laut. Kepentingan stakeholder yang bertabrakan diupayakan untuk disinkronisasi secara harmonis agar tidak terjadi konflik kepentingan. Disadari atau tidak, sistem demokrasi politik di Indonesia belum dewasa sehingga kebijakan selalu disandarkan pada kepentingan sebagian kecil orang yang memiliki kekuatan ekonomi politik meski harus mengorbankan kepentingan perlindungan sumberdaya laut.

Persepsi Responden Terhadap Kondisi Terumbu Karang di Sekitar Wilayah Kawasan Konservasi

Sebanyak 62,9% responden di Pulau Gondongbali menjawab mulai terdapat kerusakan terumbu karang di sekitar TWP Kapoposang, demikian halnya dengan responden yang berada di sekitar wilayah KKLD Kab. Pangkep dimana responden di Pulau Kulambing, Pulau Samatellu Lompo, dan Pulau Pala yang masing-masing sebanyak 65,7%, 65,7%, dan 68,6% menyatakan mulai terdapat kerusakan terumbu karang di sekitar wilayah KKLD Kab. Pangkep. Hal ini bisa digeneralisasikan bahwa baik di sekitar wilayah

TWP Kapoposang maupun di sekitar wilayah KKLD Kabupaten Pangkep sudah terjadi kerusakan terumbu karang.

Berdasarkan laporan monitoring tren kondisi terumbu karang Kabupaten Pangkep tahun 2012 yang direlease oleh Dinas Kelautan dan Perikanan menunjukkan bahwa persentase terumbu karang dengan kondisi rusak berfluktuasi meningkat. Pada tahun 2008 kondisi karang yang rusak sebesar 18,60 % meningkat menjadi 48,84 % pada tahun 2010 kemudian menurun menjadi 41,86 % pada tahun 2011 sementara kondisi terumbu karang yang sangat baik persentasenya sangat sedikit dimana pada tahun 2008 hanya sebesar 4,65 % dan mengalami sedikit peningkatan pada tahun 2011 sebesar 9,30 %. Pada laporan tersebut juga disebutkan bahwa meningkatnya persentase kerusakan terumbu karang pada tahun 2010 disebabkan oleh fenomena pemutihan karang (Bleaching) dan aktivitas antropogenik yang destruktif seperti penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak.

Persepsi Terhadap Manfaat Terumbu Karang Sebagai Daerah Tempat Tinggal (Nursery Ground), Tempat Mencari Makan (Feeding Ground) dan tempat Beregenerasi Berbagai Macam Ikan Laut (Spawning Ground).

Responden yang ada di kawasan konservasi laut Kab. Pangkep baik di wilayah TWP Kapoposang (Pulau Gondongbali) maupun di wilayah KKLD Kab. Pangkep (Pulau Kulambing, Pulau Samatellu Lompo, Pulau Pala) pada umumnya adalah adalah nelayan dengan armada tangkap yang sederhana sehingga hanya bisa mengakses fishing ground yang dekat dimana sebagian besar daerah fishing groundnya adalah perairan dangkal daerah ekosistem karang tumbuh berkembang. Coremap telah memberikan banyak pelajaran dan pengetahuan kepada nelayan tentang manfaat terumbu karang sebagai Nursery Ground, Feeding Ground , dan Spawning Ground. Sehingga dengan demikian dapat menjustifikasi bahwa responden baik di wilayah TWP Kapoposang maupun KKLD Kab. Pangkep pada umumnya sudah mengetahui manfaat terumbu karang sebagai Nursery Ground , Feeding Ground, dan Spawning Ground.

Hal ini tergambarkan dimana sebanyak 77,1% responden di TWP Kapoposang (Pulau Gondongbali) menjawab bahwa terumbu karang bermanfaat sebagai Nursery Ground , Feeding Ground, dan Spawning Ground. Demikian halnya wilayah KKLD Pangkep dimana sebanyak 68,6% responden di Pulau Kulambing, 60% responden di Pulau Samatellu Lompo dan 54,3% responden di Pulau Pala sudah mengetahui manfaat terumbu karang sebagai Nursery Ground, Feeding Ground, dan Spawning Ground. Hal ini dapat digeneralisasi bahwa masyarakat nelayan di baik di wilayah TWP Kapoposang maupun di KKLD Kab.

Pangkep sudah mengetahui manfaat terumbu karang sebagai Nursery Ground, Feeding Ground , dan Spawning Ground.

Persepsi Terhadap Perlunya Aturan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan (SDI) Wilayah Terumbu Karang

Pada dasarnya pengelolaan kawasan konservasi perairan ditujukan untuk menselaraskan kepentingan pemanfaatan sumberdaya laut dengan kepentingan perlindungan laut sehingga pemanfaatan sumberdaya laut dapat berkelanjutan. Nelayan di kepulauan Kabupaten Pangkep mayoritas adalah nelayan kecil yang memanfaatkan terumbu karang sebagai daerah fishing ground karena jarak aksesnya yang dekat. Modernisasi yang mengejar pertumbuhan telah mengakselerasi pemanfaatan pengggunaan teknologi penangkapan ikan yang tidak memberikan keadilan secara merata kepada nelayan dalam hal pemanfaatan sumberdaya laut sementara tingkat kepentingan pemanfaatan sumberdaya laut semakin meningkat. Semakin meningkatnya pemanfaatan sumberdaya laut tentunya harus diharmonisasikan dengan penegakan aturan. Olehnya itu, Pada dasarnya pengelolaan kawasan konservasi perairan ditujukan untuk menselaraskan kepentingan pemanfaatan sumberdaya laut dengan kepentingan perlindungan laut sehingga pemanfaatan sumberdaya laut dapat berkelanjutan. Nelayan di kepulauan Kabupaten Pangkep mayoritas adalah nelayan kecil yang memanfaatkan terumbu karang sebagai daerah fishing ground karena jarak aksesnya yang dekat. Modernisasi yang mengejar pertumbuhan telah mengakselerasi pemanfaatan pengggunaan teknologi penangkapan ikan yang tidak memberikan keadilan secara merata kepada nelayan dalam hal pemanfaatan sumberdaya laut sementara tingkat kepentingan pemanfaatan sumberdaya laut semakin meningkat. Semakin meningkatnya pemanfaatan sumberdaya laut tentunya harus diharmonisasikan dengan penegakan aturan. Olehnya itu,

Dari hasil penelitian menggambarkan tingginya harapan mayoritas nelayan terhadap perlunya mensegerakan optimalisasi penegakan aturan pemanfaatan sumberdaya laut, baik di wilayah TWP Kapoposang maupun di wilayah KKLD Kab. Pangkep. Sebanyak 68,6% responden di wilayah TWP Kapoposang (Pulau Gondongbali) menganggap perlu ada aturan pemanfaatan sumberdaya di wilayah terumbu karang dan sebanyak 20% menyatakan sangat perlu ada aturan pemanfaatan sumberdaya. Responden yang berada di wilayah KKLD kabupaten pangkep, yaitu Pulau Kulambing, Pulau Samatellu Lompo, dan Pulau Pala masing-masing sebanyak 62.9%, 62.9% dan 57.1% mengharapkan perlu ada aturan pemanfaatan sumberdaya dan masing-masing sebanyak 28.6%, 14.3%, dan 25.7% menyatakan sangat perlu adanya aturan dalam hal pemanfaatan sumberdaya laut. Berdasarkan hal tersebut sehingga dapat menjustifikasi bahwa secara umum responden berharap adanya penegakan aturan secara optimal agar dapat memberikan keadilan dalam hal pemanfaatan sumberdaya laut.

Issue Discussion ; Problematika Silang Singkarut Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut di Wilayah Perairan Kab. Pangkep

Dari hasil E-KKP3K ditemukan bahwa kinerja pengelolaan TWP Kapoposang telah mencapai pengelolaan efektif pada peringkat kuning dengan status kawasan konservasi didirikan sedangkan kinerja pengelolaan KKLD Kab.Pangkep baru mencapai pengelolaan efektif pada peringkat merah dengan status telah dicadangkan. Status kawasan konservasi TWP Kapoposang ditetapkan melalui Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia nomor KEP.66/MEN/2009 tentang Penetapan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Kepulauan Kapoposang Dan Laut Di Sekitarnya Di Provinsi Sulawesi Selatan. Demikian halnya dengan KKLD Kab. Pangkep dimana status pencadangannya diterbitkan melalui Peraturan Bupati Pangkajene Dan Kepulauan nomor 32 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Pangkajene Dan Kepulauan.

Hasil wawancara dengan staf unit pengelola TWP Kapoposang menyatakan bahwa management plan TWP Kapoposang masih sementara dalam proses pengusulan untuk ditetapkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan. Namun, dalam proses upaya penetapan managemen plan tersebut ditemukan kekeliruan dalam penentuan titik koordinat kawasan dimana konsekuensi dari kekeliruan Hasil wawancara dengan staf unit pengelola TWP Kapoposang menyatakan bahwa management plan TWP Kapoposang masih sementara dalam proses pengusulan untuk ditetapkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan. Namun, dalam proses upaya penetapan managemen plan tersebut ditemukan kekeliruan dalam penentuan titik koordinat kawasan dimana konsekuensi dari kekeliruan

peninjauan kembali Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan tersebut. 6 Demikian halnya dengan management plan KKLD Kab. Pangkep masih belum

ditetapkan karena masih dalam proses sinkronisasi dengan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) Propinsi Sulawesi Selatan. Selain itu, pertimbangan lain sehingga management plan KKLD Kab. Pangkep masih belum ditetapkan adalah karena luas zona inti (no take zone) KKLD Kab.Pangkep masih ingin dikurangi. Hipotesis sementara terkait rencana pengurangan luas zona inti KKLD Kab.Pangkep adalah diduga sedikit banyaknya terkait dengan dinamika otonomi daerah.

Lambatnya progresifitas pengelolaan kawasan konservasi TWP Kapoposang dan KKLD Kab. Pangkep yang dikarenakan oleh belum ditetapkannya Management Plan TWP Kapoposang dan KKLD Kab.Pangkep menyebabkan lemahnya pengawasan terhadap pemanfaatan sumberdaya laut di wilayah perairan Kab.Pangkep sehingga memberi ruang kepada para pemanfaat sumberdaya laut untuk tetap melakukan aktivitas PITRaL, penambangan karang dan eksploitasi biota dilindungi (Kima). Sejak tahun 2006-2011 melalui pengelolaan Daerah Perlindungan Laut (DPL), Coremap telah banyak memberikan pengetahuan dan pembelajaran kepada masyarakat nelayan di wilayah Kepulauan Kab.Pangkep sehingga masyarakat nelayan umumnya mengetahui manfaat terumbu karang namun realitas menunjukkan kondisi yang un-linear dimana masih ada indikasi terjadinya pelanggaran pemanfaatan sumberdaya laut yang terindikasi dengan masih adanya aktivitas PITRaL, penambangan karang, eksploitasi biota dilindungi (Kima). Hipotesis sementara kemungkinan disebabkan oleh : (1) rendahnya pengawasan terhadap pemanfaatan sumberdaya laut yang dikarenakan belum ditetapkannya Management Plan kawasan konservasi laut TWP Kapoposang dan KKLD Kab.Pangkep; (2) Rendahnya dukungan Pemerintah dalam hal meningkatkan kapasitas (teknologi dan daya tampung hasil tangkapan) armada tangkap nelayan untuk menjangkau fishing ground yang lebih jauh sehingga sebagian besar nelayan secara determinan melakukan penangkapan ikan di wilayah terumbu karang sekitar pulau; (3) Rendahnya dukungan pemerintah dalam upaya mengembangkan mata pencaharian alternative bagi masyarakat nelayan. Dugaan ini masih perlu dikaji lebih jauh agar dapat menjadi landasan ilmiah dalam proses

6 Keterangan lisan Koordinator Pengelola TWP Kapoposang.

pengambilan keputusan untuk mewujudkan pemanfaatan sumberdaya laut secara berkeadilan dan berkelanjutan.

Rekomendasi

Berdasarkan hasil penelitian, penulis merekomendasikan beberapa hal, yaitu : (1) Segera menetapkan dan mensosialisasikan management plan TWP Kapoposang dan KKLD Kab.Pangkep; (2) Untuk mempercepat pencapaian efektifitas kinerja pengelolaan pada peringkat emas, diperlukan keseriusan dari masing-masing pengelola untuk memenuhi persyaratan-persyaratan dokumen pengelolaan sesuai dengan Pedoman Teknis E-KKP3K; (3) Meningkatkan kapasitas (teknologi dan daya tampung hasil tangkapan) armada tangkap nelayan untuk menjangkau fishing ground yang lebih jauh serta meningkatkan kapasitas teknologi pasca panen untuk menjaga kualitas hasil tangkapan; (4) Mengembangkan mata pencaharian alternative dan memberikan jaminan pasar terhadap hasil produksi mata pencaharian alternative bagi masyarakat nelayan di kepulauan Kab.Pangkep; (5) Diperlukan penelitian lanjutan tentang partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi TWP Kapoposang dan KKLD Kab. Pangkep sebagai landasan teoritis dalam pengelolaan kawasan konservasi perairan berbasis masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Anggoro, S., 2000. Pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Lautan Berwawasan Lingkungan. Seminar Nasional Fakultas Teknik dalam rangka Dies Natalis Universitas Diponegoro ke 43. Universitas Diponegoro. Semarang.

Anggoro, S. 2006. Modul Matrikulasi Pengelolaan Pesisir dan Laut. Universitas Diponegoro, Semarang. Budiharsono, S., Asbar., E Triwibowo., F Sutopo. 2003. Strategi Pengembangan Konservasi Laut. Dalam Lokakarya Nasional Strategi Pengembangan dan Pengelolaan Konservasi Laut. Bogor, Oktober 2003. Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut, Ditjen Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, DKP. Jakarta.

Bengen, D.G.. 2002. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut serta Prinsip Pengelolaannya. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor (IPB).

Bengen, D.G. 2002. Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut Serta Prinsip Pengelolaannya. PKSPL. IPB. Bogor. Bengen D dan A. Retraubun . 2006. Menguak Realitas Dan Urgensi Pengelolaan Berbasis Eko-Sosial Sistem Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil. Bogor : Pusat Pembelajaran dan Pengembangan Pesisir dan Laut (P4L).

Coremap II. 2006. Rencana Pengelolaan Terumbu Karang Kecamatan Liukang Tupabbiring Kabupaten Pangkep Tahun 2006. Coremap II. 2011. Dokumen Percontohan Perikanan Berkelanjutan di TWP Kapoposang Tahun 2011. Clark, J.R.1996. Coastal Zone Management Handbook. Lewis Publisher, Boca Raton , FL. Daerah Dalam Angka. 2012. Kabupaten Pangkep Dalam Angka 2012. BPS Propinsi Sulawesi Selatan. Makassar. Dahuri, R. 1996. An analysis of Enviromental Threath to Marine Fisheries in Indonesia. Paper Submited for Asia Pasific Fisheries Commision APFIC) Symposium on Enviromental Aspects of Responsible Fisheries, Soul Republic of Korea. 15-18 Oct 1996.

Dahuri, R., J. Rais., S.P. Ginting., M. J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Jakarta : Penerbit Pradnya Paramita. Dian Ayunita dan Trisnani Dwi Hapsari. 2012. Analisis Persepsi Dan Partisipasi Masyarakat Pesisir Pada Pengelolaan KKLD Ujungnegoro Kabupaten Batang. Jurnal SEPA : Vol. 9 No.1 September 2012 : 117 – 124. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro.

Ditjen KP3K. 2012. Pedoman Teknis Evaluasi Efektivitas Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil (E-KKP3K). Keputusan

Direktur Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil nomor KEP.44/KP3K/12. Jakarta. Ditjen KP3K. Basis Data Kawasan Konservasi. http://kkji.kp3k.kkp.go.id/ (Diakses pada tanggal 25 Desember 2013) Ditjen KP3K. Eksotisme Kapoposang. Publikasi Kementerian Kelautan dan Perikanan seri Kawasan Konservasi Perairan Nasional. Jakarta Pusat. http://kkji.kp3k.kkp.go.id (Diakses pada tanggal 12 Mei 2014)

Departemen Kelautan dan Perikanan. 2002. Pedoman Tata Ruang Pesisir dan Laut. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 34 tahun 2002, tanggal 4 September 2002. Jakarta.

Departemen Kelautan dan Perikanan. 2003. Pedoman Penetapan Kawasan Konservasi Laut Daerah. Direktorat Konservasi dan Taman laut Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, 2003. Jakarta

Elida, F. 2005. Pola Pengembangan Pariwisata Yang Berbasis Masyarakat Di Kepulauan Karimunjawa. Tesis. Program Pasca Teknik Pembangunan Wilayah dan Kota Universitas Diponegoro Semarang.

Gay,L.R. and Diehl, P.L. 1992. Research Methods for Business and Management. Macmillan Publishing Co., NewYork Gubbay, S. 1995. Marine Protected Areas. Chapman & hall. London-Glssgow- Weinheim-New York-Tokyo-Melbourne-Madras. Ghofar, A., 2004, Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Secara Terpadu dan Berkelanjutan, Cipayung-Bogor. Haslindah. 2012. Valuasi Ekonomi Ekosistem Terumbu Karang Taman Wisata Perairan Kapoposang Kabupaten Pangkep. Tesis. PPs Universitas Hasanuddin.

Hockings, M., S. Stolton, F. Leverington, N. Dudley, J. Courrau. 2006. Evaluating Effectiveness : A Framework For Assessing Management

Effectiveness of Protected Area 2 nd Edition. IUCN, Gland, Switzerland and Cambridge, UK.

IUCN, 1994. Guidelines for Protected Area Management Categories CNPPA with assistance of WC,WM, IUCN,.Gland, Switzerland and Cambridge, UK.

Kartono, Kartini & Gulo, Dali. 1987. Kamus Psikologi. Pionir Jaya. Bandung Keputusan Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil nomor

KEP. 44 /KP3K/2012 Tentang Pedoman Teknis Evaluasi Efektivitas Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan, Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil (E-KKP3K)

Latupapua, Y. 2011. Persepsi Masyarakat terhadap Potensi objek daya tarik wisata Pantai di kecamatan Kei Kecil Kabupaten Maluku Tenggara. Jurnal Agroforestri Volume VI Nomor 2 Juni 2011. Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian, Universitas Pattimura – Ambon Locally-Managed Marine Management Area. www.Lmmanetwork.org

Mackinnon, J. dan Mackinnon, K. 1990. Pengelolaan Kawasan yang dilindungi di Daerah Tropika. Terjemahan. Yogyakarta:Gajahmada University Press.

Mardijono. 2008. Persepsi Dan Partisipasi Nelayan Terhadap Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Kota Batam. Tesis. Program Pasca Sarjana Manajemen Sumberdaya Pantai Universitas Diponegoro Semarang.

McNeely, J.A., 1992. Ekonomi dan Keanekaragaman Hayati. Mengembangkan dan Memanfaatkan Perangsang Ekonomi Untuk Melestarikan Sumberdaya Hayati. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta

Nawawi, H.H. 2005. Metode Penelitian Bidang Sosial. Gadjah Mada University Press. Bulaksumur. Yogyakarta National Research Council., 1999. Sustaining Marine Fisheries. National Academy Press. Washington D.C. Ruchimat, Dkk. 2012. Kawasan Konservasi Perairan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil di Indonesia ; Paradigma, Perkembangan dan Pengelolaannya. Publikasi Ditjen KP3K KKP. Jakarta. http://kkji.kp3k.kkp.go.id (Diakses pada tanggal 12 Mei 2014)

Robbins, Stephen P. (2003). Perilaku organisasi. PT. Indeks Kelompok Gramedia. Jakarta Saleh, A. 2010. Strategi Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Perairan Kecamatan Liukang Tuppabiring Kabupaten Pangkep. Tesis. PPs Universitas Hasanuddin. Makassar.

Supriharyono, 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Wilayah Pesisir Tropis. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. ___________.2007. Konservasi Ekosistem Sumberdaya Hayati Di Wilayah Pesisir Dan Laut Tropis. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Susanto, H. A. 2011. Progres Pengembangan Sistem Kawasan Konservasi Perairan Indonesia: A Consultancy Report. Kerjasama Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan Coral Triangle Support Partnership (CTSP). Jakarta.

UNEP-WCMC. 2008. Nasional and Regional Networks of Marine Protected

Areas : A Review of Pregress. Cambridge: UNEP-WCMC

Walgito, Bimo. 2001. Psikologi Sosial (Suatu Pengantar). Andi Offset. Yogyakarta.

KONEKTIVITAS KAWASAN KONSERVASI

Jamaluddin Jompa et al.

Pendahuluan

Jejaring Konservasi diperkenalkan oleh IUCN yang menyatakan bahwa Jaringan MPA merupakan kumpulan Kawasan Konservasi individu atau daerah Pencadangan sinergis pada berbagai skala spasial, dan dengan kisaran tingkat perlindungan yang dirancang untuk memenuhi tujuan dimana perlindungan kawasan tidak cukup pada tingkatan yang lebih kecil (IUCN-WCPA, 2008). Saat ini Jejaring Konservasi juga dikembangkan di Indonesia guna mengejar target 20 juta Ha Luas Kawasan Konservasi di tahun 2020, sebagaimana hasil Konferensi Biodiversity yang menyarankan akan target Marine Protected Area (MPA) sebesar 10% dari luas Perairan Dunia.

Tahun 2013 luas Kawasan Konservasi perairan di Indonesia telah mencapai 15.764.210.85 Hektar yang berjumlah 131 kawasan. Sulawesi Selatan memiliki empat kawasan Konservasi yang semuanya terletak di Selat Makassar dan memanjang kearah selatan selat dengan luas kawasan Konservasi mencapai 757,020 Ha atau +5% dari total luas Kawasan Konservasi saat ini di Indonesia. Peluang untuk mencapai target kawasan konservasi sebagaimana yang disyaratkan 20 juta Ha ditahun 2020 yang saat ini masih kurang 4,215,870.48 masih dapat dilakukan. Kekurangan tersebut dapat ditambahkan salah satunya dengan membuat jejaring kawasan konservasi di Ecoregion Selat Makassar.

Kebutuhan untuk peningkatan kawasan konservasi, kepentingan dalam menjamin berkembangnya diversitas biologi dan keberlansungan proses ekologi di Perairan, maka dilakukan pengkajian pembentukan Jejaring Konservasi di Kepulauan Spermonde dan Kabupaten Selayar. Selain itu, kesiapan pembentukan Jejaring konservasi juga perlu mendapat perhatian dari sisi Kelembagaan, hal ini menjadi factor dalam berjalannya pengelolaan kawasan serta dinamika kelembagaan sosial yang berpengaruh dalam pengembangan Jejaring Konservasi. Oleh karenanya keterkaitan biofisik dan kelembagaan menjadi kajian dalam Penelitian ini.

Peningkatan Luas Kawasan Konservasi dan berkembangnya diversitas biologi melalui Jejaring Konservasi memerlukan langkah penilaian biofisik dan penilaian kelembagaan dalam inisiasi dan pengelolaan kawasan. Penelitian ini akan melihat (1) Bagaimana Kondisi dan Keterkaitan Biofisik Perairan Kepulauan Spermonde dan Perairan Kabupaten Selayar sebagai daerah pembentukan Jejaring Kawasan Konservasi Perairan (2) Apakah terdapat wilayah penting untuk perlindungan di Perairan Kepulauan Spermonde dan Perairan Kabupaten Selayar (3) Bagaimana Peningkatan Luas Kawasan Konservasi dan berkembangnya diversitas biologi melalui Jejaring Konservasi memerlukan langkah penilaian biofisik dan penilaian kelembagaan dalam inisiasi dan pengelolaan kawasan. Penelitian ini akan melihat (1) Bagaimana Kondisi dan Keterkaitan Biofisik Perairan Kepulauan Spermonde dan Perairan Kabupaten Selayar sebagai daerah pembentukan Jejaring Kawasan Konservasi Perairan (2) Apakah terdapat wilayah penting untuk perlindungan di Perairan Kepulauan Spermonde dan Perairan Kabupaten Selayar (3) Bagaimana

Adapun Tujuan Penelitian adalah (a) Mengetahui Kondisi dan Keterkatian Biofisik Perairan Kepulauan Spermonde dan Kabupaten Selayar sebagai daerah Pembentukan Jejaring Kawasan Konservasi Peraian (b) Menghasilkan Wilayah penting untuk perlindungan di Perairan Kepulauan Spermonde dan Perairan Kabupaten Selayar (c) Mengetahui aspek Ekologi dan Kelembagaan dalam Pembentukan Jejaring Kawasan Konservasi Peraian,

Sementara itu manfaat penelitian ini yakni (a) Mengetahui keadaan Kondisi Biofisik Perairan Kepulauan Spermonde dan Kabupaten Selayar, (b) Dapat menjadi pertimbangan dalam perencanaan dalam mengelola Kawasan Konservasi Perairan, (c) Tersedianya kajian ilmiah dalam perencanaan pembentukan Jejaring Konservasi di Kepulauan Spermonde dan Kabupaten Selayar

Ecoregion Laut Sulawesi

Selat Makassar memiliki kelimpahan organisme dari proses pencampuran air dari Samudra pasifik melewati Laut Sulawesi dan masuk ke Selat Makassar. Dari hasil penelitian G Allen (Huffard, Erdmann, & Gunawan, 2012), Ecoregion Laut Sulawesi Selat Makassar memiliki kelimpahan jenis ikan karang tertinggi diantara ecoregion lainnya yaitu 1785 jenis ikan karang, namun tidak ditemukan ikan karang endemic di perairan tersebut.

Untuk jenis karang keras ditemukan 511 jenis karang keras (khusus ecoregion Karang Selat Makassar), jenis fungi memiliki 46 spesies, Stomatopod yang berasosiasi dengan Karang 37 jenis spesies, 23 jenis vegetasi mangrove dan 2 spesies Penyu. Komposisi yang melimpah di Selat Makassar ini menjadi saluran air dari samudra pasifik. Ecoregion ini juga memfasilitasi penyebaran larva sehingga memiliki nilai konservasi yang sangat tinggi dan berpotensi tinggi sebagai konektivitas koridor masa depan yang mendistribusikan varian genetic yang telah mentolelir berbagai kondisi lingkungan seperti dengan perubahan iklim global(Huffard, Erdmann, & Gunawan, 2012).

Kelimpahan spesies mangrove di Selat Makassar juga memberikan kontribusi bagi berkembangnya larva dengan ketersediaan serasah dalam jumlah banyak. Hal ini juga diikuti dengan jumlah spesies burung laut yang mencari makan dan berkembang di hutan mangrove. Di kepulauan Spermonde baru baru ini juga telah ditemukan lamun dengan spesies baru yaitu Halophila Sulawesii (Huffard, Erdmann, & Gunawan, 2012).

Gambar.2.1Pembagian Ecoregion Laut (MEOW) di Indonesia (Huffard, Erdmann, & Gunawan, 2012).

Pendekatan Biofisik dan Pembentukan Kawasan Konservasi

Jenis Penelitian adalah Kuantitatif dengan pendekatan Penilaian terhadap Keadaan Wilayah Perairan terhadap komponen biotic dan abiotic pada habitat laut dangkal kedalaman kurang dari 200 meter. Diharapkan bahwa dengan data sekunder juga mampu tergambarkan daerah spesifik seperti daerah dengan keanekaragaman tinggi ikan karang, daerah lamun, terumbu karang, mangrove, daerah pemijahan dan migrasi, daerah peneluran penyu, jalur migrasi, daerah upwelling dan lainnya. Untuk data sebaran mangrove, lamun dan karang didapatkan dari hasil data sekunder dan pengolahan Citra Landsat ETM yang telah ada.

Untuk pengambilan data Primer, maka titik yang telah ditentukan dilakukan pengecekan di lapangan untuk kebutuhan data biotic dan abiotic, Kawasan Konservasi Perairan yang telah ada dan pengambilan data kelembagan. Setelah masing masing wilayah tergambarkan dengan kondisi tersebut, maka selanjutnya dilakukan pengelompokan data untuk dianalisis. Dengan tergambarnya keadaan perairan selanjutnya dilakukan pengambilan keputusan terhadap wilayah penting perlindungan sebagai calon daerah Konservasi. Pengambilan data primer untuk Kelembagaan dilakukan di masing masing Wilayah Kawasan Perairan Spermonde dan Perairan Selayar. Penelitian ini dilaksanakan di Kepulauan Spermonde dan Kabupaten Selayar. Kepulauan Spermonde meliputi wilayah perairan dari Kabupaten Takalar hingga Kabupaten Barru. Lokasi pengambilan data ditentukan berdasarkan informasi data sekunder terhadap daerah yang melimpah Untuk pengambilan data Primer, maka titik yang telah ditentukan dilakukan pengecekan di lapangan untuk kebutuhan data biotic dan abiotic, Kawasan Konservasi Perairan yang telah ada dan pengambilan data kelembagan. Setelah masing masing wilayah tergambarkan dengan kondisi tersebut, maka selanjutnya dilakukan pengelompokan data untuk dianalisis. Dengan tergambarnya keadaan perairan selanjutnya dilakukan pengambilan keputusan terhadap wilayah penting perlindungan sebagai calon daerah Konservasi. Pengambilan data primer untuk Kelembagaan dilakukan di masing masing Wilayah Kawasan Perairan Spermonde dan Perairan Selayar. Penelitian ini dilaksanakan di Kepulauan Spermonde dan Kabupaten Selayar. Kepulauan Spermonde meliputi wilayah perairan dari Kabupaten Takalar hingga Kabupaten Barru. Lokasi pengambilan data ditentukan berdasarkan informasi data sekunder terhadap daerah yang melimpah

Biofisik Kawasan Perlindungan

Kesamaan biofisik menjadi factor penting dalam kegiatan dalam perlindungan. Di perairan Selayar dan Spermonde, salah satu indikasi untuk melihat kesamaan biofisik di kedua perairan ini data jenis terumbu karang. Data jenis terumbu

karang yang digunakan adalah data tahun 1984 7 yang merupakan data hasil identifikasi jenis karang di beberapa daerah bagian Indonesia timur. Data tersebut

digunakan karena menunjukkan adanya tingkat biodiversitas yang tinggi di kedua perairan dibandingkan dengan hasil identifikasi karang saat ini. Dari hasil perbandingangan sebelumnya dimana hasil identifikasi jenis karang saat ini mengalami penurunan jenis karang. Sebagaimana hasil penelitian Edinger,

Jurek Kolasa, & Michael J. Risk, (2000) dimana ditemukan genera 25% lebih sedikit dibandingkan hasil studi tahun 1980 (Moll, 1983). Kesamaan biofisik ini dibagi menjadi tiga yakni kesamaan jenis karang, konektivitas dan keterwalikan wilayah.

Jumlah jenis karang yang ditemukan di kedua peraian berbeda, dimana Spermonde lebih banyak dibanding dengan Selayar dan Takabonerate. Jenis yang ditemukan di ketiga perairan tersebut Faviidae dengan 43 jenis, Fungiidae dengan

25 jenis, Acroporidae dengan 22 jenis dan total jenis yang ditemukan untuk seluruh family 138 jenis. Jenis karang yang tidak ditemukan di Selayar tetapi ditemukan di Spermonde sebanyak 31 jenis karang. Jenis karang ini seperti Acroporidae Jenis Montipora informis Bernard, Fungiidae Halomitra spec. nov. Fungiidae Halomitra spec.nov. Sekitar 25 spesies hanya ditemukan di Selayar. Sementara Semua spesies lain juga ditemukan di perairan Spermonde (MOLL, 1983). Di perairan Takabonerate daerah identifikasi Taka Garlarang, Taka Lamungan dan karang di sekitar Tinanja terumbu ditemukan sekitar 200 jenis karang dan ditemukan spesies Spesies langka atau baru (Montipora spec. 1, Acropora spec. 2 dan Acropora spec.

6 ). Phy-sophyllia patula Hodgson & Ross, sejauh ini hanya dijelaskan dari Filipina, juga ditemukan di daerah ini(Best, et al., 1989).

7 M. Borel Best et all, Recent Scleractinian Coral Species Collected During The Snellius-Ii Expedition In Eastern Indonesia (1984)Netherlands Journal of Sea Research 23 (2): 107-115

Gambar 4.4 Trend tutupan karang hidup di Perairan Spermonde dan SelayarSesuai dengan tabel 5.1, berdasarkan data kehadiran dan ketidakhadiran jenis karang pada ketiga perairan tersebut, didapatkan tingkat kesamaan jenis karang diatas 70% dengan tingkat kesamaan tertinggi yaitu Selayar-Takabonerate. Perbedaan tingkat kesamaan jenis karang dipengaruhi oleh factor jarak dan isolasi perairan. Jarak yang semakin jauh maka tingkat kesamaan akan rendah sebagaimana antara Spermonde dan Takabonerate..

Tabel 5.1 Analisis persentase kesamaan jenis karang di Selayar dan Spermonde

(A)

(A) Sepermonde- (A) Selayar- Perbandingan

Spermonde-

(B)Takabonerate (B)Takabonerate

(B)Selayar

No. of spp. Area A

200 No. of spp. Area B

202 Common sp.

159 No. of spp. Area A only 56 81 29 No. of spp. Area B only 32 50 43

Percentage similarity

79% Sumber Data : Hasil Analisis dan data Sekunder Best, et al., (1989)

Selain jenis karang, factor fisik perairan juga memiliki hubungan dimana adanya aliran arus yang mentransport, nutrient dan element lainnya yang berasal dari utara ke selatan perairan maupun sebaliknya. Hal ini sebagaimana kedua perairan Selain jenis karang, factor fisik perairan juga memiliki hubungan dimana adanya aliran arus yang mentransport, nutrient dan element lainnya yang berasal dari utara ke selatan perairan maupun sebaliknya. Hal ini sebagaimana kedua perairan

Konektivitas di perairan dipengaruhi oleh factor massa air, namun untuk melihat apakah kedua perairan memiliki konektivitas salah satunya dengan mengetahui sebaran larva dan kemiripan secara genetic antara populasi. Sebaran larva Heliofungia actiniformis (Scleractinia:Fungiidae) rata rata tersebar hingga jarak 52 Km di Kepulauan Spermonde (Knittweis, Kraemer, Timm, & Kochzius, 2009), sementara Seriatopora hystrix memiliki diferensiasi genetic hingga 90 km di Great BarrierReef(Ayreand Dufty 1994).

Gambar 4.3 Pola Pergerakan Arus Bulan Juli (diatas ) dan Agustus (bawah) Sumber Data : Hasil Analisis Faktor oceanography di perairan Spermonde dan Selayar yang terjadi pada bulan

Juli memperlihatkan adanya arah arus dominan dari utara keselatan. Hal ini juga didukung dengan tingkat kesamaan jenis karang semakin rendah seiring dengan jarak yang makin jauh dari perairan Spermonde. Diantara daerah Spermonde dan

Selayar seperti pesisir Jeneponto, Bantaeng jarang ditemukan daerah terumbu karang, hal bisa saja mendapat pengaruh local seperti sedimentasi dan arus. Arus yang bergerak dari Spermonde menuju selayar, tidak melalui perairan tersebut, melainkan menjauh kearah bagian luar jauh dari pesisir, kemudian berbelok menuju perairan selayar. Selain pergerakan biota laut jenis karang, pergerakan penyu juga telah diketahui bahwa penyu merupakan hewan dengan kemampuan bergantung tinggi terhadap habitat peneluran, dan migrasi. Spermonde dan selayar merupakan dua tempat habitat peneluran dan habitat migrasi penyu hijau. Pergerakan penyu yang memanfaatkan habitat tersebut menujukkan adanya konektivitas habitat yang memberi ketergantungan tinggi terhadap penyu hijau. Oleh karena karakteristik migrasi yang panjang dengan jarak ribuan kilometer (Raja Ampat- Kalimantan) maka migrasi ini akan menunjukkan jalur maupun tujuan yang relatif konsisten.

KKPD Pangkep dan TWP Kapoposang berada di satu gugusan kepulauan yaitu Spermonde, sebagian besar pulau‐pulaunya terdapat karang tepi (fringing reefs) dengan rataan terumbu karang umumnya memiliki lebar 100‐ 200 meter.

Bilamana mengacu pada rekomendasi perlindungan 20-30% pada berbagai level komunitas di daerah ‘’no take area”(Zona inti), maka spermonde sebagai satu kesatuan sterumbu karang yang saling berhubungan belum mencapai persentase tersebut yang baru 5% perlindungan untuk terumbu karang. Hal ini juga sama di Perairan Selayar dimana perlindungan habitat terumbu karang yang mencapai 7.0% di daerah Zona inti.

Di dalam kawasan yang telah ada, replikasi telah dilakukan seperti di TNBT, dan KKPD Pangkep. TWP Kapoposang, luas zona inti hanya 2% dari luas kawasan dan tersebar dalam dua lokasi zona inti, untuk kawasan tersebut maka terlihat bahwa replikasi perlindungan habitat masih rendah sehingga memiliki ancaman terhadap gangguan pemanfaatan dan pemulihan habitat. Selain factor zona inti, untuk pengembangan jejaring, replikasi menjadi hal yang penting. Replikasi atau melindungi lebih dari satu habitat yang sama. Replikasi perlindungan meminimalkan risiko ketika habitat mengalami gangguan yang sama. Jika beberapa daerah habitat yang dilindungi bertahan terhadap dampak, maka daerah tersebut dapat bertindak sebagai sumber larva untuk pemulihan bagi daerah lain.

Kelembagaan Kawasan Konservasi

Perkembangan kelembagaan pengelola kawasan ditunjukkan dengan meningkatnya tingkatan kelembagaan pengelola seiring dengan perubahan tingkatan kawasan konservasi. KKPD yang ada di Pankep dan Selayar juga demikian berawal dari kawasan konservasi yang dikelola dan dibentuk tingkat Perkembangan kelembagaan pengelola kawasan ditunjukkan dengan meningkatnya tingkatan kelembagaan pengelola seiring dengan perubahan tingkatan kawasan konservasi. KKPD yang ada di Pankep dan Selayar juga demikian berawal dari kawasan konservasi yang dikelola dan dibentuk tingkat

Hasil evaluasi E-KKP3K tahun 2013 menunjukkan bahwa rapor merah untuk KKPD Pangkep dan Selayardan TWP Kapoposang Kuning. Kesimpulan merah berarti berarti kawasan telah memiliki SK pencadangan, dan kuning atau tingkat 2 berarti lembaga pengelola telah terbentuk dan rencana pengelolaan tersedia. TWP Kapoposang dengan pencapaian tingkat dua,memiliki permasalahan anggaran dan kapasitas pengawasan kawasan yang masih minim. Permasalahan untuk KKPD, dengan hasil rapor merah, Kelembagaan pengelola KKPD Selayar belum memiliki SK Bupati, namunmemilikiLembaga pengelola (SK Kepala Organisasi).Saat ini Baik KKPD Selayar maupun Pangkep telah memasuki 4 tahun masa pencadangan.

Penguatan Kapasitas Kelembagaan

Konsekuensi dari besarnya permasalahan kelembagaan yang dimana faktornya adalah internal terutama di KKPD dan TWP, maka pilihannya adalah meningkatkan kapasitas kelembagaan. Pilihan untuk peningkatan kapasitas salah satunya dengan peningkatan tipe kelembagaan karena kelembagaan dengan tipe yang tinggi juga memiliki kewenangan mengelola anggaran yang lebih besar. Oleh karenanya, kelembagaan perlu ditingkatkan. Misalnya kelembagaan dapat berbentuk Unit Pelaksana Teknis yang di ditetapkan oleh Bupati. Sementara untuk TWP Kapoposang maka dapat ditingkatkan menjadi UPT Pengelola untuk memperkuat penyelenggaraan konservasi di Perairan Spermonde.

Tabel 5.2 Hasil Analisis Upgrading Kelembagaan Pengelola Kawasan Perlindungan Perairan di Selayar dan Spermonde

Kawasan KKPD Sel.

KKPD Pangkep

TWP Kap

Bentuk Lembaga

Seksi Pengawasan Satker BKKPN

Lembaga Pengelola

dan Konservas

Upgrading UPT

UPT

UPT

Alasan dan • Mendorong Alokasi Anggaran • Dapat mengelola anggaran Peluang

yang rutin dan menyelenggarakan • Kesempatan untuk kegiatan konservasi secara mendapatkan pendapatan di baik tanpa harus kordinasi dalam kawasan

dengan BKKPN Kupang • Dapat mengembangkan • Memiliki kesempatan untuk

kegiatan meningkatkan anggaran dan • Peluang membuka kerjasama

peningkatan infrastruktur dan lebih mudah

SDM

• Peningkatan SDM dan • Peluang membuka kerjasama Kapasitas

lebih mudah

Sumber Data : Hasil Analisis Tabel 5.3 Hasil Analisis pengembangan Jejaring Konservasi Perairan Kawasan Perlindungan

Perairan di Selayar dan Spermonde

Kawasan KKPD Sel.

KKPD Pangkep

TWP Kap

Bentuk Lembaga Lembaga Pengelola Seksi Pengawasan Satker BKKPN

dan Konservas

Jejaring Jejaring Tata kelola Jejaring Tata Kelola Perairan Spermonde Konservasi

bersama dengan melibatkan TWP, KKPD (Pangkep, TNBTR

Takalar, Makassar, Barru)

Bentuk Lembaga Forum

Forum

Alasan dan • Meningkatkan • Pengembangan program berorientasi pada satu Peluang

kerjasama

ecoregion dan kawasan yang saling

penguatan

berhubungan. Spermonde merupakan satu

penegakan

kesatuan terumbu di lima kabupaten.

• Memiliki kesempatan untuk meningkatkan • Dapat mengelola

hukum perairan

Luas Kawasan perlindungan

perencanaan

• Memberikan Kemudahan terhadap

pariwisata bahari

pembentukan kawasan baru di kabupaten lain,

dimana jejaring biofisik spermonde sebagai • Membuka

secara bersama

rujukan.

peluang untuk • Memperluas daerah cakupan pengawasan peluang untuk • Memperluas daerah cakupan pengawasan

sehingga mengurangi Aktifitas Destructive Kawasan yang fishing dan illegal fishing yang melibatkan lebih luas.

pelaku antar daerah • Meningkatkan pendanaan bagi Pengelola

KKPD • Peluang membuka kerjasama lebih mudah dan efektif dalam berbagai monitoring habitat

• Melindungi lebih banyak daerah migrasi dan

daerah pemijahan • Peluang untuk Restorasi habitat dapat berkembang pada tingkat yang lebih luas

Dasar Biofisik • Kesamaan jenis • Spermonde melingkupi perairan 5 kab, dan karang yang merupakan satu kesatuan hamparan terumbu

tinggi

beserta pulau pulanya

• Sebagai habitat • Diferensiasi Genetik Heliofungia actiniformis

Penyu

hingga jarak 65 Km

• Memiliki biota • Merupakan daerah kritis seiring dengan lindung yang penurunan jumlah jenis karang 25%

sama seperti • Arus Lintas Indonesia yang melewati Kep. Kima, Napoleon

Spermonde memperkaya keragaman genetic Spermonde memperkaya keragaman genetic

berbagai spesies karang dan biota lainnya.

Sasaran Jejaring • Penguatan • Peningkatan Kawasan Perlindungan yang Konservasi

Kapasitas

mewakili habitat di Kep. Spermonde

Kelembagaan

• Restorasi habitat di Perairan Spermonde

Pengelola

• Peningkatan Penyelenggaraan Konservasi di

Kawasan

Kep. Spermonde

• Peningkatan

Penegakan Hukum di Kawasan Konservasi

Tujuan Memperkuat Mendorong peningkatan perlindungan dan positioning

pengelolaan biodiversitas habitat komunitas, penyelenggara

spesies dengan kapasitas pengelola yang juga perlindungan

meningkat untuk mencapai restorasi habitat yang perairan agar dapat seimbang antara pemanfaatan dan pelestarian mendorong penegakan hukum yang sinegis serta mengasimilasi pemahaman konservasi kedalam budaya dan sosial meningkat untuk mencapai restorasi habitat yang perairan agar dapat seimbang antara pemanfaatan dan pelestarian mendorong penegakan hukum yang sinegis serta mengasimilasi pemahaman konservasi kedalam budaya dan sosial

Sumber Data : Hasil Analisis

KKPD Selayar mengalami hambatan dalam penyelenggaran konservasi oleh karena kelembagaan yang belum memadai (lembaga pengelola), akan tetapi kegiatan pengawasan terbantu dengan dukungan dari TNBTR dan Kapolres yang juga aktif dalam pengawasan. Kondisi ini menunjukkan adanya peluang untuk menyelenggarakan jejaring kerjasama dalam pengelolaan kawasan di Perairan Selayar karena memiliki sasaran perlindungan biofisik yang relative sama yaitu terumbu karang dan berada dalam satu wilayah ekoregion. Kegiatan kerjasama saat ini baru sebatas dalam kegiatan pengawasan, akan tetapi dalam bentuk non formal juga terlibat kegiatan kegiatan seperti kegiatan pariwisata bahari (Festival Takabonerate ), kampanye perlindungan biota lindung dan lain lain.

Dari kondisi tersebut, maka Peluang untuk membentuk jejaring tata kelola di perairan selayar dapat lebih mudah dan dapat dikembangkan untuk memperkuat kapasitas kelembagaan dan sumberdaya manusia melalui pertukaran informasi dan penguatan terhadap kinerja kelembagaan. Kondisi ini mungkin didapatkan karena dengan adanya TNBTR yang sudah memiliki kapasitas pengelolaan kawasan yang baik dan proses pembelajaran yang panjang dalam mengelola kawasan. Khusus untuk penegakan hukum, maka jejaring dapat dibentuk lebih luas dengan melibatkan unsur Kejaksaan, TNI Angkatan laut untuk memperkuat penegakan hukum. Pembentukan jejaring telah dijelaskan Laumann, Knoke, & Kim, 1985; Provan & Milward, 1995; Knoke et aL, 1996), dalam Weible& Paul A. Sabatier, 2005),alasan untuk membentuk jaringan adalah untuk bertukar berbagai sumber daya, seperti uang, staf, atau layanan.

Kesatuan biofisik perairan di beberapa kabupaten yang berada dalam kepulauan Spermonde, sepatutnya juga menyediakan daerah untuk perlindungan. KKPD pangkep lahir karena difasilitasi melalui project Coremap II, dimana kegiatan ini hanya dilakukan di satu kabupaten di Spermonde yaitu di pangkep. Hal ini dirasa sebagai kekurangan, dimana sedapat mungkin program didorong untuk mencakup Kepulauan Spermonde agar dapat mendorong perlindungan kawasan dengan kesatuan biofisik yang saling berhubungan. Factor kesatuan biofisik ini dapat menjadi pertimbangan dalam pembentukan jejaring perlindungan. Namun melihat dari belum tersedianya kawasan konservasi di Kab. Makassar, Maros, dan Takalar maka, dasar berfikir jejaring ekologi dapat menjadi rujukan dalam pembentukan kawasan konservasi di daerah tersebut. Sebenarnya di Kota Makassar dengan 12 pulau pulau kecil dan rataan terumbu, telah menginventaris data biofisik dan sosial ekonomi untuk menjadi daerah rencana perlindungan, namun dari hasil kajian tersebut belum menggambarkan kompleksitas data yang kuat untuk menjadi daerah rujukan sebagai daerah rencana pencadangan.

Membangun Jejaring Pengelolaan Kawasan Perlindungan

Keterkaitan dan kesamaan biofisik di perairan selayar dan spermonde, menempatkan Spermonde sebagai daerah supply atau sebagai hulu dikarenakan arus dominan bergerak dari utara ke selatan, dan dengan jenis spesies karang yang lebih melimpah dibandingkan dengan Selayar dan Takabonerate. Kondisi ini menunjukkan bahwa keterkaitan biofisik kedua perairan dipengaruhi oleh Arus local dan Arus lintas Indonesia yang keduanya dominan menuju Selatan, walaupun jarak antara spermonde dan selayar cukup jauh (+ 150 Km Tanakeke- Selayar). Kondisi ini dapat menjadi dasar dalam menetapkan jejaring ekologi. Khususnya untuk pengembangan kerangka Konservasi di Provinsi Sulawesi Selatan dapat dikembangkan dengan menambahkan gugusan terumbu karang di teluk Bone terutama di perairan bone dan sinjai sebagai satu kesatuan pengelolaan jejaring ekologi terumbu karang. Yaitu Kep. Spermonde sebagai satu jejaring dan Kep. Selayar-Perairan Bone-Sinjai juga sebagai jejaring karena perbedaan ecoregion. Sementara untuk kerangka penguatan perairan, jejaring ekologi ditingkat kepulauan yang sama dalam satu ecoregion dapat dibentuk yaitu jejaring kawasan konservasi tingkat lokal di kepulauan Spermonde, dimana daerah ini terdiri atas 5 kabupaten dalam satu hamparan daerah terumbu karang yaitu Barru, Pangkep, Maros, Makassar dan Takalar

Aspek keterkaitan biofisik menjadi dasar pembentukan jejaring, seperti Oseanography, limnology, bioekologi perikanan, daya tahan lingkungan dan daya lenting lingkungan. Kondisi biofisik dan keterkaitan ecologi didalam kawasan Spermonde menjadi pertimbangan untuk penyelenggaraan konservasi dengan model Jejaring Konservasi lokal, namun masalah terbesar adalah kesamaan pandangan pelaku dan pentingnya jejaring bagi para pemangku kepentingan di wilayah tersebut. Di beberapa daerah ada yang mengerti dan memahami secara baik, namun ada yang belum memahami dan bahkan tidak mengetahui manfaat tersebut. Komitmen para pelaku untuk berjejaring juga ditunjukkan, namun bagaimana komitmen tersebut dapat diukur dan terimplementasi akan banyak variabel dan faktor yang mempengaruhinya. Oleh karenanya dalam mendorong konsep penyelenggaran perlindungan perairan dengan model jejaring perairan lokal Spermonde sangat perlu dilakukan dengan kehati hatian melalui kajian kelembagaan, ecologi, sosial dan ekonomi yang saling terkait dan interdisplin agar tiap sistem dan subsistem tersebut dapat mencapai tujuannya .

Dalam mendorong penyelenggaran konservasi berbasis kawasan di perairan spermonde, maka perhatian terhadap manfaat yang didapatkan bagi daerah dapat terukur sehingga tiap pelaku memiliki kemauan untuk berkoalisi atau berjejaring guna mendapatkan yang lebih, terutama pada desan kelembagaan. Permen KKP

13 tahun 2014 tentang Jejaring Kawasan Konservasi Perairan mengisyaratkan 13 tahun 2014 tentang Jejaring Kawasan Konservasi Perairan mengisyaratkan

Di Spermonde, kebutuhan kelembagaan adalah mendorong peningkatan perlindungan dan pengelolaan biodiversitas habitat komunitas, spesies dengan kapasitas pengelola yang juga meningkat untuk mencapai restorasi habitat yang seimbang antara pemanfaatan dan pelestarian. Sementara di Selayar kebutuhan kelembagaan adalah saling memperkuat positioning penyelenggara perlindungan perairan agar dapat mendorong penegakan hukum yang sinegis serta mengasimilasi pemahaman konservasi kedalam budaya dan sosial masyarakat di Selayar. Untuk mengakomodasi tujuan tersebut, baik di selayar maupun di spermonde, kelembagaan untuk jejaring tidak hanya sebatas mengelola program jangka pendek atau pusat informasi, sebagaimana pada kelembagaan sekertariat, hal ini berbeda dengan forum. Forum menjadi pilihan dalam pengelolaan jejaring konservasi, oleh karena keanggotaan dalam forum memiliki tanggung jawab dalam pencapaian tujuan kelembagaan tersebut. Sejumlah ruang lingkup tentang jejaring telah dijabarkan dalam Peraturan Menteri, seperti kegiatan restorasi, pengelolaan perikanan berkelanjutan, perlindungan biota bermigrasi dan terancam, hingga pada pembiayaan.

Kelembagaan forum sangat baik dalam hal perencanaan, namun implementasnya mendapat sejumlah masalah(Saptana, 2004).Kelembagaan forum memiliki kelemahan seperti kesadaran para pengelola yang rendah terhadap tanggung jawab, sebagian besar forum diisi oleh birokrat, belum adanya dana operasional khusus, sistem informasi dan kantor pengelola tidak tersedia. Selain itu hal yang paling mendasar adalah aspek legal kelembagaan, misalnya legalitas dari pemerintah Provinsi atau kementerian atau kerjasama antara Satuan pengelola. Strategi dalam mendorong kerjasama jejaring dapat didorong dengan menjalin Hubungan saling ketergantungan fungsional ( Chisholm , 1989) atau ketergantungan sumber daya ( Pfeffer & Salancik , 1978)dalam(Weible & Paul A. Sabatier, 2005).

Moll, et.al, (1981)menyatakan bahwa daerah ini (Spermonde) bisa diselamatkan dari eksploitasi yang berlebihan. Sebuah rencana manajemen yang baik akan mampu mengendalikan industri dengan pertumbuhan dan tuntutan pariwisata. Langkah untuk mendorong forum jejaring konservasi untuk tujuan restorasi dan pengelolaan biodiversitas habitat, komunitas, dan jenis di Spermonde, merupakan hal yang cukup sulit mengingat kondisi kelembagaan dan pendanaan bagi Moll, et.al, (1981)menyatakan bahwa daerah ini (Spermonde) bisa diselamatkan dari eksploitasi yang berlebihan. Sebuah rencana manajemen yang baik akan mampu mengendalikan industri dengan pertumbuhan dan tuntutan pariwisata. Langkah untuk mendorong forum jejaring konservasi untuk tujuan restorasi dan pengelolaan biodiversitas habitat, komunitas, dan jenis di Spermonde, merupakan hal yang cukup sulit mengingat kondisi kelembagaan dan pendanaan bagi

Kesimpulan

Berdasarkan uraian pada hasil dan pembahasan yang telah dipaparkan, maka dapat ditarik kesimpulan penelitian yakni (1) Perairan Spermonde dan Selayar memiliki keterkaitan biofisik sebagai pengaruh dari arus local dan Arus lintas Indonesia (Arlindo) yang dominan bergerak dari utara ke Selatan, sehingga memberikan pengaruh terhadap aliran larva dan kesamaan jenis karang yang tinggi. Kondisi perairan ditunjukkan dengan keanekaragaman jenis karang menurun 25% di Spermonde dalam 33 tahun. Sementara di Selayar dan Takabonerate berbeda, dimana Takabonerate keanekaragaman jenis karang meningkat seiring dengan kegiatan perlindungan. (2) Pengembangan daerah perlindungan dapat dilakukan di kedua perairan, guna mencapai perlindungan habitat hingga 20%. Pengembangan jejaring dengan dasar ekologi dikembangkan secara terpisah dikedua perairan oleh karena berbeda ecoregion. (3) Di Spermonde dapat dikembangkan Jejaring pengelolaan perairan untuk mendapatkan zona inti hingga 20% perlindungan habitat dan mendorong restorasi habitat. Pendekatan jejaring ini menjadi rujukan terhadap pengembangan kawasan konservasi perairan didaerah lain di Spermonde yang belum memiliki Kawasan perlindungan. Factor kelembagaan sangat berpengaruh terhadap penyelenggaran konservasi, semakin besar kapasitas kelembagaan akan semakin baik, dimana kelembagaan juga bergantung pada Jenis Kawasan Konservasi perairan.

Saran

Untuk pengembangan jejaring Kawasan konservasi, maka pendekatan kompleksitas dan kehati hatian perlu digunakan agar dapat mengetahui manfaat dan berbagai kemungkinan implikasi yang muncul dalam jejaring Konservasi. Dimana bukan hanya pendekatan ekologi, social ekonomi, dan kelembagaan tetapi bagaimana hubungan antara keduanya saling mempengaruhi agar tidak menimbulkan konflik, melainkan disusun untuk menciptakan pencapaiannya.

Factor kelembagaan menjadi masalah dalam penyelenggaran konservasi, bukan pada penegakan hukum atau kesadaran masyarakat, tetapi sejauh mana kinerja dan kapasitas kelembagaan dalam penyelenggaraan konservasi. Oleh karenanya seiring dengan pembelajaran di TNBTR, maka sepatutnya Kementerian Kelautan Perikanan untuk memperbanyak pembelajaran pada kelembagaan tersebut karena telah memiliki pengalaman yang panjang dan juga berhasil menciptakan kapasitas yang besar dan menjadi “rezim” perlindungan. Sebagaimana Kapolres Selayar dalam Visi Misinya yang kurang lebih mengatakan bahwa “ kita harus menyelamatkan Factor kelembagaan menjadi masalah dalam penyelenggaran konservasi, bukan pada penegakan hukum atau kesadaran masyarakat, tetapi sejauh mana kinerja dan kapasitas kelembagaan dalam penyelenggaraan konservasi. Oleh karenanya seiring dengan pembelajaran di TNBTR, maka sepatutnya Kementerian Kelautan Perikanan untuk memperbanyak pembelajaran pada kelembagaan tersebut karena telah memiliki pengalaman yang panjang dan juga berhasil menciptakan kapasitas yang besar dan menjadi “rezim” perlindungan. Sebagaimana Kapolres Selayar dalam Visi Misinya yang kurang lebih mengatakan bahwa “ kita harus menyelamatkan

Daftar Pustaka

Akbar, I. A. (2008). Keragaman Suhu Dan Kecepatan Arus Di Selat Makassar Periode Juli 2005 – Juni 2006 (Mooring INSTANT) [ Skripsi ]. Bogor: Institut

Pertanian Bogor. Alder, J., N. A. Sloan, & Henk Uktolseya. (1994). A Comparison of Management

Planning and Implementation in Three Indonesian Marine Protected Areas. Ocean & Coastal Management 24, 179-198.

Balai Taman Nasional Takabonerate. (2012). Review Rencana Pengelolaan Taman Nasional Takabonerate Tahun 1997-2022 Kabupaten Kepulauan Selayar. Selayar: TN Takabonerate.

Ban, N. C. (2009). Minimum data requirements for designing a set of marine protected areas, using commonly available abiotic and biotic datasets. Biodivers Conserv (2009) 18 Springer , 1829-1845.

Barber, P. H. (2000). Biogeography A Marine Wallace's line ? Nature Vol 406, 692-693.

Best, M., B.W. Hoeksema , W. Moka , H. MOLL , Suharsono , & I Nyoman Sutarna. (1989). Recent Scleractinian Coral Species Collected During The Snellius-II Expedition In Eastern Indonesia. Netherlands Journal of Sea Research 23 (2) , 107-115.

BPSPL. (2010). dan diolah dari Buku Inventarisasi Data Potensi Penyebaran Biota Perairan Laut yang masuk Appendiks Cites dan yang dilindungi di Sulawesi .

Makassar: BPSPL. BPSPL. (2011). Identifikasi Dan Pemetaan Jenis Ikan Yang Dilindungi Dan Tidak

Dilindungi Yang Masuk Appendiks Cites Di Sulawesi Selatan . Makassar: BPSPL.

Burke, L., Reytar, K., Spalding, M., & Perry, A. (2012). Menengok Kembali Terumbu Karang yang Terancam di Segitiga Terumbu Karang (Terjemahan). World Reseources Institute.

Callum M, & Roberts. (2001). Designing Marine Reserve Networks Why Small, Isolated Protected Areas Are Not Enough . Summer Vol 2 no. 3 .

Callum, Roberts, & al, e. (2003). Application Of Ecological Criteria In Selecting Marine Reserves And Developing Reserve Networks. Ecological Applications 13 , 215–228.

Clifton, J. (2003). Prospects for co-management in Indonesia's marine protected areas. MarinePolicy 27, 389–395.

Cowen, R. (2002). Larval dispersal and retention and consequences for population connectivity. Ecology of Coral Reef Fishes: Recent Advances. , 149– 170.

Denny, W. (2010). Karakteristik Habitat Mamalia Laut di Kepulauan Seribu Jakarta Utara [ Skripsi ]. Bogor: Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.

Diamond , J. (1972). Biogeographic kinetics: estimation of relaxation times for avifaunas of southwest Pacific islands. Proc. natn. Acad. Sei. , (pp. 199-203). USA.

Diamond, J. (1975). The Island Dilemma : Lessons of Modern Biogeographic

Studies For The Design of Natural reserves. Biology Conservation, 129-146. Direktorat Konservasi Kawasan Dan Jenis Ikan . (2014, Januari 2). Retrieved from

Direktorat Konservasi Kawasan Dan Jenis Ikan: http://kkji.kp3k.kkp.go.id/index.php/basisdata-kawasan- konservasi/details/1/92

Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan. (2014, Februari 16). Capaian 2013: Pengelolaan Efektif KKP-3K Capai 3,647 juta Hektar, luasan KKP-3K

bertambah 689 ribu hektar . Retrieved from Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan: http://kkji.kp3k.kkp.go.id/index.php/en/beritabaru/186- capaian-2013-pengelolaan-efektif-kkp-3k-capai-3,647-juta-hektar,-luasan- kkp-3k-bertambah-689-ribu-hektar

Direktorat Konservasi Kawasan Dan Jenis Ikan. (2014, Januari 29). Capaian 2013: Pengelolaan Efektif KKP-3K Capai 3,647 juta Hektar, luasan KKP-3K bertambah 689 ribu hektar . Retrieved from Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan: http://kkji.kp3k.kkp.go.id/index.php/beritabaru/186-capaian-2013- pengelolaan-efektif-kkp-3k-capai-3,647-juta-hektar,-luasan-kkp-3k- bertambah-689-ribu-hektar

Dit. KKJI. (2013). Strategi Pengembangan Jejaring Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia. Jakarta: Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil, Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Edinger, E., Jurek Kolasa, & Michael J. Risk. (2000). Biogeographic variation in coral species diversity on coral reefs in three regions of Indonesia. Diversity and Distributions 6 , 113-127.

Erftemeijer PLA, O. R. (1993). Primary production of seagrass beds in South Sulawesi (Indonesia): a comparison of habitats, methods and species. , . Aquat Bot : 46 , 67-90.

Fernandes. L, A. G. (2012). Biophysical principles for designing resilient networks of marine protected areas to integrate fisheries, biodiversity and climate change objectives in the Coral Triangle. The Nature Conservancy for the Coral Triangle Support Partnership.

Fernández,M, & Castilla, J. C. (2005). Marine Conservation in Chile: Historical Perspective, Lessons, and Challenges. Conservation Biology 19(6):, 1752-1762.

Groonbridge, B., & Jenkins, M. (2002). Wordl Atlas of Biodiversity Prepared by the UNEP World Conservation Monitoring Centre. Barkeley USA: University of California.

Gustiar, C. (2005). Analisis Kelembagaan Dan Peranannya Dalam Penataan Ruanc Di

Teluk Pangpang Kabupaten Banyuwangi. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Handoko, E. Y. (2004). Satelit Altimetri dan Aplikasinya dalam Bidang Kelautan.

Pertemuan Ilmiah Tahunan I. Surabaya: Teknik Geodesi ITS Surabaya. Heliani, L. S. (2009, 6 23). Dinamika Fisis Perairan Indonesia Dari Data Altimeter

(I). Huffard, C., Erdmann, M., & Gunawan, T. (2012). Geographic Priorities For Marine

Biodiversity Conservation In Indonesia. Jakarta: Ministry of Marine Affairs and Fisheries and Marine Protected Areas Governance Program.

Huffard, C., Erdmann, M., & Gunawan, T. (2012). Goegraphic Priorities for Marine Biodiversity Conservation In Indonesia. Jakarta: Ministry of Marine Affairds and Fisheries and Marine Protected Areas Governance Program.

Hutomo, M. (1985). Sumber daya ikan terbang. Jakarta: LIPI . Ilahude, A. (1970). On the Occurrence of Upwelling in the Southern Makassar

Strait. Mar. Res. Indonesia, 10, 3-53. Imran, A., Kaharuddin, M., Suriamihardja, D., & Sirajuddin, H. (2013). Geology

Of Spermonde Platform. Proceedings of the 7th International Conference on Asian and Pacific Coasts (APAC 2013) , (p. 1062). Bali.

Inaku, D. F. (2011). Analisis Pola Sebaran Dan Perkembangan Area Upwelling Di Bagian Selatan Perairan Selat Makassar [ Tesis ]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Indar, Y. N., Munsi, L., & Kahar, L. (2002). Sistem Sistem Tradisional Sebagai Pranata Institusi Dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Sumberdaya Di Wilayah Pesisir. Makassar: Universitas Hasanuddin 2002.

IUCN-WCPA, I. W. (2008). Establishing Marine Protected Area Networks—Making It Happen. Washington, D.C: IUCN-WCPA, National Oceanic and Atmospheric Administration and The Nature Conservancy 118 p.

Jalil, A. R. (2013). Distribusi Kecepatan Arus Pasang Surut Pada Muson Peralihan Barat-timur Terkait Hasil Tangkapan Ikan Pelagis Kecil Di Perairan Spermonde . Depik 2 (1), 26-32.

Jamaluddin Jompa, Willem Moka , & Dewi Yanuarita. (2007). Kondisi Ekosistem Perairan Kepulauan Spermonde: Keterkaitannya dengan Pemanfaatan Sumberdaya Laut di Kepulauan Spermonde. 265.

Jentoft , S., Thijs C. van Son, & Maiken Bjurkan. (2007). Marine Protected Areas:

A Governance System Analysis. Hum Ecol 35, 611-622. Jones, G. (1991). Postrecruitment Processes in the Ecology of Coral Reef Fish Population. A

Multivactorial Perspective dalam The Ecology of Fishes on Coral Reef. Durham: Departement of Zoology University of New Hamspire.

kepselayarkab.go.id. (2014, January 11). Redaksi: Jl. Jend. Ahmad Yani No. 1 Benteng, Kepulauan Selayar . Retrieved from kepselayarkab.go.id: http://kepselayarkab.go.id/2013/09/781/

Kikutchi, T. (1980). Faunal Relationship in Temperate Seagrass Bed. In R. C. Phillips, Handbook of Seagrass Biology. An Ecosystem Approach (pp. 153 -172). New York,: Garland Press.

KLH. (2014, January 1). Kementerian Lingkungan Hidup. Retrieved from Kementerian Lingkungan Hidup: http://www.menlh.go.id/DATA/Peta%20lampiran%20factsheet.pdf

Knittweis, L., Kraemer, W. E., Timm, J., & Kochzius, M. (2009). Genetic structure of Heliofungia actiniformis (Scleractinia:Fungiidae) populations in the Indo-Malay Archipelago: implications for live coral trade management efforts. Conserv Genet 10, 241–249.

Kuo, J. (2007). New monoecious seagrass of Halophila sulawesii (Hydrocharitaceae) from Indonesia. Aquatic Botany 87 , 171-175.

Kurniawan, E. P. (2003). Bathimetri, Komposisi sedimen Dan Acoustic Bottom Backscattering Strength Dasar Laut Dalam Diselat Makassar [ Skripsi ]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Laevastu, T. d. (1981). Fisheries Oceanography and Ecology. New York: Fishering News Book Ltd.

Lampe, M. (2008). Kajian Masyarakat Maritim [Buku Bahan AJar]. Makassar: Program Studi Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin.

lllahude , G. (1978). On The Effecting The Productivity of The Southern. Makassar Strait. Marine Research in Indonesia. 21: , 81-107.

McConnell, R. (1987). Ecological Studies in Tropical Fish Communities. Cambridge University Press.

Miller, G., & Spoolman, S. (2009). Essentials of Ecology 5 Edition. United States: Cengage Learning.

Moka, A. (2001). Bentuk Kepulauan Spermonde (Sangkarang). Materi Pendidikan dan Latihan Metodologi Penelitian Terumbu Karang. Puslitbang Oseanologi LIPI-UNHAS-BAPPEDA SULAWESI SELATAN-COREMAP-POSSI. .

Moll, H., Maya Wijsman-Best , & L.G. de Klerk. (1981). Present Status Of The Coral Reefs In The Spermonde Archipelago (South Sulawesi, Indonesia). Proceedings of the Fourth International Coral Reef Symposium Manila , (pp. 265- 267). Manila.

Mona - Raja Ampat Sea-Turtle Tracking Project . (2014, Mey 31). Retrieved from http://www.seaturtle.org/: http://www.seaturtle.org/tracking/index.shtml?tag_id=60648

Moran, J. (1990). The Acanthasterplancii (L); Biographical Data. Coral Reefs 9, 95-

96. Mutmainnah. (2012). Kajian Model Kesesuaian Pemanfaatan Sumberdaya Pulau-Pulau

Kecil Berbasis Kerentanan dan Daya Dukung di Kecamatan Liukang Tupabbiring, Kabupaten Pangkajene Kepulauan, Provinsi Sulawesi Selatan [ Disertasi ]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Nontji, A. (1993). Laut Nusantara [ Cetakan Kedua ]. Jakarta: Djambatan. Nuitja , I., & Uchida, I. (1983). Studied in The Sea Turtle II ( The Nesting Site

Characteristics of The Hawksbill and Green Turtle). A Journal of Museum Zoologicium Bogor .

Nurjaya, I., & Surbakti, H. (2009). Sludi Pcndahuluan Kondisi OseanogMfi Fisik pada Musim Baral di Perairan Pantai Timur Kalimantan antara Balikpapan dan Delta Mahakam. Jurnal Kelautan Nasional Vol. 1. Retrieved from http://eprints.unsri.ac.id/584/5/Pages_from_Heron_Surbakti-2.pdf

Ogden, J. C. (1983). Coral Reefs, Seagrass Beds and Mangroves: Their Interaction in Coastal Zones of the Caribbean. . UNESCO Reports in Marine Science No. 23.

Pemerintah Daerah Kepulauan Selayar. (2013). Fasilitasi Penyusunan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir Dan Pulau-pulau Kecil Kabupaten Kepulauan Selayar . Selayar: Pemerintah Daerah Kepulauan Selayar.

PMU Coremap II Kab. Pangkep. (2009). Management Plan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Kab. Pangkep. Pangkep.

Rani, C. (2001). Pemutihan Karang : Pengaruhnya terhadap Komunitas Terumbu Karang. Hayati Vol 8. No. 3, 86-90.

Rauf, A. (2008). Pengembangan Terpadu Pemanfaatan Ruang Kepulalan Tanakeke Berbasis Daya Dukung [Disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Saptana, S. K. (2004). Integrasi Kelembagaan Forum Kass Dan Program Agropolitan Dalam Rangka Pengembangan Agribisnis Sayuran Sumatera. AKP Volume 2 , 257-276.

Satria, F. (2009). Karakteristik Sumberdaya, Peluang dan Pola Pemanfaatan Ikan Demersal Laut Dalam [ Disertasi ]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Sinurat, M. R. (2000). Analisis Kelembagaan Dalam Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Di Wilayah Pesisir Timur Rawa Sragi Kabupaten Lampung Seiatan [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Soekanto, S. (1997). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Soenardjo, N. (1999). Produksi dan Laju Dekomposisi Serasah Mangrove dan

Hubungannya dengan Struktur Komunitas Mangrove di Kaliutu Kabupaten Rembang Jawa Tengah [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Souhoka , J., Hendra F. Sihaloho , & Djuwariah . (2011). Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Kabupaten Pangkep. Jakarta: LIPI.

Spalding, M. D., & all, e. (2007). Marine Ecoregions of the World: A

Bioregionalization of Coastal and Shelf Areas. BioScience, 573-583. Starger, C. (2007). Coral Population Genetics in the Indonesian Seas [Thesis]. Columbia:

Columbia University. Subiyanto, & Niniek Widyorini, I. (2009). Pengaruh Pasang Surut Terhadap

Rekruitmen Larva Ikan di Pelawangan Timur Segara Anakan Cilacap. Saintek Perikanan Vol 5, No.1 , 44-48.

Sukoraharjo, S. S. (2012). Variabilitas Massa Air Permukaan Dari Data Satelit di

Perairan Selat Makassar [ Disertasi ]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Sultan, M. (2004). Pengembangan Perikanan Tangkap Dikawasan Taman Nasional Laut

Taka Bonerate [ Disertasi ]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Susandi, F. (2004). Pendugaan Nilai dan Sebaran Target Strength Ikan Pelagis di Selat

Makassar Pada Bulan Oktober 2003 [ Skripsi ]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Susanto, H. A. (2011). Progres Pengembangan Sistem Kawasan Konservasi Perairan Indonesia Development And Progress Of Marine Protected Area Systems In Indonesia. Jakarta: Coral Triangle Support Partnership.

Ubeng, A. (1999). Variasi Tahunan Upwelling Di Perairan Selatan Sulawesi Selatan [ Skripsi ]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Ulumudin , Y., Frensly D. Hukom , & Susetiono . (2011). Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Kabupaten Pangkep. Jakarta: LIPI.

UNEP-WCMC. (2008). National and Regional Network of Marine Protected Areas; A Review of Progress. Cambridge: UNEP-WCMC.

Verheij, E. (1993). Marine plants on the reefs of the Spermonde Archipelago, SW Sulawesi, Indonesia: aspect of taxonomy, fl on sties and ecology. [Dissertation]. Leiden: Rijksherbarium Hortus Botanicus.

Weible, C., & Paul A. Sabatier. (2005). Comparing Policy Networks: Marine Protected Areas in California. The Policy Studies Journal, Vol. 33, No. 2, , 181-202.

White, A. P. (2006). Creating and managing marine protected areas in the Philippines. Fisheries Improved for Sustainable Harvest Project, Coastal Conservation and

Education . Philippines: Foundation, Inc. and University of the Philippines Marine Science Institute, Cebu City Coastal Conservation and Education .

Wilson, J., Darmawan , A., Subijanto, J., Green, A., & Sheppard, S. (2011). Rancangan Ilmiah Jejaring Kawasan Konservasi Laut yang Tangguh Ecoregion Sunda Kecil, Segitiga Karang [ Laporan ]. Australia: The Nature Conservancy, Program Kelautan Asia Pasifik.

Woodruff, D. (2010). Biogeography and conservation in Southeast Asia: how 2.7 million years of repeated environmental fluctuations affect today's patterns and the future of the remaining refugial-phase biodiversity. Biodivers Conserv 19 , 919-941.

Wyrtki, K. (1961). Physical Oceanography of The Southeast Asian Waters. California: University of California .

Yusuf, S. (2008). Laporan Monitoring Terumbu Karang Berkala 2005-2008 KePulauan Spermonde Sulawesi Selatan. Makassar: Pusat Penelitian Terumbu Karang Universitas Hasanuddin.

Zacharias, M., Howes, D., Harper, J., & al, e. (1998). The British Columbia marine ecosystem classification: rationale, development, and verification. . Coast Manage , 105-124.

Zamani, N., & Hawis H. Madduppa. (2001). A Standard Criteria for Assesing the Health of Coral Reefs: Implication for Management and Conservation. Journal of Indonesia Coral Reefs 1(2) , 137-146.