KAWASAN KONSERVASI LAUT DAN PEMULIHAN KEANEKARAGAMAN LARVA

KAWASAN KONSERVASI LAUT DAN PEMULIHAN KEANEKARAGAMAN LARVA

Muhammad Lukman, Andriani Nasir.

Pendahuluan

Pemanfaatan sumber daya laut memiliki peran yang signifikan bagi kehidupan masyarakat nelayan. Penyediaan lapangan pekerjaan untuk masyarakat, potensi pangan dan pendapatan negara. Banyak permasalahan yang timbul akibat pemanfaatan yang tidak memperhatikan kelestarian sumber daya. Kerusakan lingkungan, pencemaran air laut dan kerusakan terumbu karang. Ekspoitasi yang berlebihan akan memberikan dampak yang buruk bagi perkembangan sumber daya alam laut. Dari sisi ketersediaan sumberdaya yang berkelanjutan, pembangunan yang tidak memperhatikan aspek kelestarian akan mengurangi kemampuan sumberdaya pesisir dalam mendukung fungsi pelayanan bagi keseimbangan ekosistem di wilayah pesisir dalam jangka panjang. Pengabaian terhadap tata ruang wilayah pesisir, pemanfaatan yang bersifat destruktif, kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir yang tidak jelas, serta rendahnya keterlibatan masyarakat akan bermuara pada kurang optimalnya pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir.

Perairan yang mendapat masukan dari bahan organik dan arorganik akan mempengaruhi ekosistem yang ada. Bahan antropogenik ini berasal dari berbagai sumber seperti kegiatan pertambakan dan pertanian selanjutnya memasuki perairan melalui aliran sungai dan run-off dari daratan. Adanya buangan- buangan tersebut di atas sangat berdampak pada lingkungan pesisir dan laut. Tingginya unsur hara akan merusak ekosistem terumbu karang dan biodiversity (Costa Jr et al., 2008; Edinger et al., 1998). Bahan organic dengan konsentrasi yang tinggi akan memicu pemasaman air laut (Rixen et al., 2008), yang berakibat pada penurunan laju kalsifikasi karang (De’ath et al., 2009). Beberapa fenomena memperlihatkan bahwa ada keterkaitan yang sangat jelas antara peningkatan jumlah nutrien yang masuk ke dalam perairan terhadap peningkatan produktivitas primer yang memicu pertumbuhan fitoplankton dan akhirnya berpengaruh secara tidak langsung dengan terumbu karang. Pengaruh tidak langsung tersebut dalam bentuk kompetisi ruang (McCoook et al. 2001). Adanya peningkatan fitoplankton di daerah terumbu karang ini yang merupakan daerah pemijahan bagi ikan akan memicu pula peningkatan zooplankton sebagai produksi sekunder bagi benih ikan.

Kondisi perairan sangat menentukan kelimpahan dan penyebaran organisme di dalamnya, akan tetapi setiap organisme memiliki kebutuhan dan preferensi lingkungan yang berbeda untuk hidup yang terkait dengan karakteristik lingkungannya. Dalam rangka pengelolaan sumberdaya hayati perairan laut, pemahaman terhadap faktor-faktor fisik laut dan pengaruhnya terhadap perkembangan biota laut merupakan suatu kebutuhan yang mutlak. Faktor fisika- kimia laut, seperti cahaya, suhu, salinitas, arus dan pasang surut semenjak semula dipandang sebagai faktor abiotik pada ekosisitem laut yang memiliki banyak kegunaan dalam proses kelangsungan hidup ikan, seperti pertumbuhan dan distribusinya.

Bertolak dari uraian di atas, dipandang perlu untuk menguraikan secara mendetail tentang keterkaitan pola distribusi dengan kelimpahan larva ikan berdasarkan parameter fisika kimia perairan. Mengingat larva sebagai awal kehidupan ikan yang merupakan sumberdaya perikanan di suatu perairan. Pemerintah telah mengambil kebijakan untuk pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan. Melalui penetapan kawasan konservasi, pemerintah berupaya melindungi ketersediaan sumber daya alam untuk kepentingan jangka panjang. Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) secara prinsipnya adalah merupakan suatu kawasan yang ditetapkan sebagai zona lindung yang dilarang dimanfaatkan secara permanen dari berbagai kegiatan usaha perikanan, penambangan karang dan pemanfaatan sumberdaya, sehingga kawasan ini memiliki biodeversity yang tinggi.

Dengan demikian, penelitian penilaian kualitas daya dukung lingkungan perairan khususnya di Kawasan Konservasi Laut Daerah ini yang merupakan kawasan natural sangat penting untuk diteliti, sebagai dasar perbandingan karakter daya dukung lingkungan di luar kawasan KLD yang mendapat pengaruh antropogenik. Hasil penelitian ini akan bermanfaat untuk pembangunan skenario penilaian daya dukung kualitas lingkungan, yang dapat menunjang upaya penyelamatan terumbu karang dan sekaligus mendukung upaya meningkatkan produksi dan distribusi larva ikan.

Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah (1) Menganalisis kelimpahan larva ikan dan kualitas

lingkungan perairan dengan menentukan variabilitas nutrien dan parameter fisik dan kimia perairan pesisir dan laut dalam kawasan KLD. (2) Menganalisis dan mengevaluasi berbagai parameter fisik, kimia dan biologi sehubungan dengan penciri lingkungan kawasan konservasi. (3) Menganalisis skenario penilaian daya dukung kualitas lingkungan perairan dalam kawasan KLD.

Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan informasi tentang distribusi larva ikan dan kualitas lingkungan perairan kawasan konservasi laut daerah dalam Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan informasi tentang distribusi larva ikan dan kualitas lingkungan perairan kawasan konservasi laut daerah dalam

Kawasan Konservasi Laut Daerah

Kawasan KLD sering dianggap sebagai kawasan yang diperuntukkan bagi konservasi keanekaragaman hayati. Namun kawasan konservasi laut ini juga dapat memainkan peran penting di dalam pengelolaan perikanan dan pariwisata. Selama ini manfaat perikanan dan pariwisata dipandang sebagai hasil samping dari pelestarian keanekaragaman hayati, namun para ilmuwan dan manajer akhir-akhir ini mengubah cara pandang tersebut dengan memberikan penekanan pada manfaat kawasan konservasi laut di dalam pengelolaan manfaat. Misalnya, Program Kawasan Habitat Ikan Australia secara khusus menyatakan bahwa kawasan konservasi laut berfungsi untuk meningkatkan perikanan, sementara pelestarian keanekaragaman hayati dipandang hanya sebagai manfaat tambahan (DPI, 2002).

Terdapat dua bukti dampak kawasan konservasi laut. Pertama, terdapat bukti yang kuat bahwa wilayah larangan penangkapan (perlindungan) memiliki persediaan ikan yang lebih besar, ukuran ikan yang lebih besar serta komposisi spesies yang lebih beragam (spesies ikan komersial berukuran lebih besar) bila dibandingkan dengan wilayah penangkapan. Di dalam ulasannya tentang dampak wilayah perlindungan, Roberts dan Hawkins (2000) memberikan contoh dari 30 kajian yang dilaksanakan pada era 90-an yang mencatat satu atau lebih dari dampak tersebut. Dengan demikian, dampak pada populasi ikan terkait dengan perubahan yang terjadi pada bagian lain dari ekosistem. Misalnya, Babcock et al. (1999) (dalam Roberts dan Hawkins, 2000) melaporkan penurunan 3 (tiga) kali lipat populasi bulu babi di dalam kawasan perlindungan, sementara itu populasi tersebut meningkat hampir tiga kali lipat di luar kawasan perlindungan. Selain itu, Roberts dan Hawkins (2000) menyatakan bahwa seringnya kecenderungan nelayan untuk memfokuskan kegiatan penangkapan di dekat kawasan perlindungan (‘fishing the line’) menunjukan bukti manfaat dari wilayah perlindungan bagi perikanan komersial.

Peranan Hidrooseanografi terhadap Distribusi Beban Masukan

Gerakan air laut dan angin berpengaruh terhadap penyebaran dan sekaligus daya tahan hidup organisme perairan. Adanya kekuatan angin yang bertiup melalui permukaan mengakibatkan perpindahan horisontal massa air (Nybakken, 1988). Pickard (1975) dalam Kaswadji (1999) menambahkan bahwa jika angin bertiup di atas perairan, air dibawahnya akan ikut terseret bergerak membentuk arus dan Gerakan air laut dan angin berpengaruh terhadap penyebaran dan sekaligus daya tahan hidup organisme perairan. Adanya kekuatan angin yang bertiup melalui permukaan mengakibatkan perpindahan horisontal massa air (Nybakken, 1988). Pickard (1975) dalam Kaswadji (1999) menambahkan bahwa jika angin bertiup di atas perairan, air dibawahnya akan ikut terseret bergerak membentuk arus dan

Beban Masukan Bahan Organik dan Anorganik

Bahan masukan organik signifikan mempengaruhi dinamika mikroalga melalui peningkatan dan/atau menciptakan variabilitas kekeruhan (May et al., 2003). Menurut Libels (1992), beban dan jenis-jenis bahan organik yang masuk ke perairan laut terdiri atas karbohidrat, lipid, asam-asam nuklead, asam-asam amino, hasil eksresi nitrogenus, asam-asam karbosilik, senyawa yang mengandung fosfor dan sulfur. Bahan organik ini selanjutnya mengalami degradasi dengan waktu yang berbeda.Secara umum sumber nutrien yang ada pada perairan laut berasal dari masukan bahan organik (Valiela, 1984). Melalui aktivitas bakteri dan organisme pengurai lainnya, bahan ini mengalami dekomposisi menjadi bahan-bahan anorganik yang dapat dimanfaatkan oleh organisme autotrof (Chester, 1991), seperti misalnya nitrat dan fosfat.

Menurut Cebrian (2002), nutrien diperoleh dari proses degradasi bahan organik yang berlangsung pada kolom air atau sedimen. Laju penguraian bahan organik sangat ditentukan oleh ketersediaan oksigen pada perairan (Valiela, 1984 dan Libels, 1992). Reaksi yang terjadi sehubungan dengan ketersediaan oksigen yang cukup disebut reaksi oksidasi. Menurut Valiela (1984), kondisi ini disebut dengan kondisi aerobik.Proses penguraian bahan organik dapat pula terjadi pada kondisi sangat miskin oksigen. Reaksi yang terjadi disebut dengan reaksi reduksi (Valiela, 1994; Thurman, 1993;

Millero dan Sohn, 1992). Dalam melaksanakan aktivitas, bakteri dan organisme pengurai lainnya mereduksi molekul-molekul yang mengandung oksigen. Selanjutnya, oksigen yang terbentuk dari reduksi itu digunakan sebagai energi dalam melaksanakan proses penguraian bahan organik.

Jenis bahan organik yang masuk ke perairan ada yang mudah terdegradasi dan ada pula yang sukar terdegradasi (memerlukan waktu yang lama). Salah satu contoh bahan organik yang mudah terdegradasi adalah karbohidrat, lemak, dan protein. Jenis-jenis bahan organik ini merupakan hasil pembusukan tumbuhan dan hewan yang telah mati atau hasil buangan dari limbah domestik dan industri. Kemudian bahan organik yang sukar terdegradasi adalah polychlorinated biphenyl (PCBs) dan polycyclic aromatic hydrocarbons (PAH) (Effendie, 2003).

Prinsip Nutrien Sebagai Faktor Pembatas

Nutrien yang dibutuhkan oleh tumbuhan termasuk fitoplankton dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu; (1) makro nutrien dibutuhkan dalam jumlah banyak yang terdiri dari unsur O, C, N, H, P, S, K, Mg, dan Ca, dan (2) mikro nutrien dibutuhkan dalam jumlah yang sedikit adalah Fe, Mn, Cu, Zn, B, Si, Mo, Cl, V, Co, dan Na (Parson et al., 1984). Menurut Reynolds (1984) makro nutrien menyumbangkan lebih besar dari 0,1% dari bobot kering bebas abu dan mikro nutrien kurang dari 0,1% bobot. Diantara unsur-unsur makro nutrien, N dan P sering menjadi faktor pembatas pertumbuhan dan perkembangan fitoplankton baik pada perairan tawar maupun dalam perairan estuari dan laut (Lagus et al., 2004). Disebut sebagai faktor pembatas karena N dan P sangat dibutuhkan oleh fitoplankton dalam jumlah yang besar namun ketersediaanya sedikit dan tidak mencukupi (Barnes dan Hughes, 1988). Seperti yang dicontohkan oleh Mackentum (1969), bahwa karena kedua unsur tersebut dibutuhkan oleh fitoplankton dalam jumlah yang besar yaitu berkisar 0.203-0.790 µg-at N/L dan 0.029-0.587 µg-at P/L, namun ketersediaannya kecil yaitu 0.01-50 µg-at N/L dan lebih kecil dari 0.01 µg-at P/L di permukaan dan pada laut dalam lebih besar 3 µg-at P/L. Besar kecilnya unsur-unsur tersebut dalam perairan sangat bergantung dari masukan dari luar perairan seperti sungai, resapan tanah, pencucian ataupun erosi, serta sistem pembentukan yang berlangsung di badan air itu sendiri (Parsons et al., 1984).

Implikasi Pada Terumbu Karang dan Produktivitas Perikanan

Kesehatan ekosistem terumbu karang sangat dipengaruhi oleh kualitas perairan. Hampir dijumpai di seluruh dunia, penuruan densitas dan keanekaragaman karang berhubungan dengan meningkatnya laju pengayaan nutrien (eutrofikasi) di perairan laut

(Costa Jr. et al., 2008; Fabricus et al., 2005). Tingginya nutrien di perairan merusak ekosistem terumbu karang dan biodiversity (Edinger et al., 1998; Hatcher, 1997). Walaupun diakui oleh banyak ilmuwan bahwa karang tidak hanya dibatasi pada lingkungan yang oligotrofik, kebutuhan akan nutrien yang berlebihan tidak begitu penting bahkan memiliki efek samping. Hal ini juga diperkuat oleh konsensus bahwa aktifitas biologi dari komunitas planktonik (yang dipengaruhi oleh nutrien) tidak sepenting komunitas bentik pada sebuah ekosistem terumbu karang yang sehat (Costa Jr et al., 2008).

Pengayaan nutrien di perairan (sering disebut sebagai eutrofikasi atau nutrifikasi) sekitar terumbu karang berakibat pada ketidakseimbangan pertukaran nutrien antara zooxanthella (alga simbiosis) dengan rumah karangnya (the host coral). Selain itu, pengayaan nutrient diperairan juga memberikan beberapa dampak pada Pengayaan nutrien di perairan (sering disebut sebagai eutrofikasi atau nutrifikasi) sekitar terumbu karang berakibat pada ketidakseimbangan pertukaran nutrien antara zooxanthella (alga simbiosis) dengan rumah karangnya (the host coral). Selain itu, pengayaan nutrient diperairan juga memberikan beberapa dampak pada

Metode Penelitian

Lokasi penelitian yaitu, kawasan konservasi laut daerah Wakatobi (Gambar 3) dan Kapoposang. Penentuan posisi/titik stasiun penelitian selama pengamatan menggunakan GPS (Global Positioning System) berdasarkan jarak.

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian di KKLD Wakatobi

Gambar 3. Peta Lokasi Penelitian di KKLD Kapoposang

Populasi dan Teknik Sampel

Pengambilan contoh (air dan biota) akan dilakukan pada tiap stasiun. Adapun peralatan yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 1. Pengukuran berbagai parameter dilaksanakan di lapangan (in situ) dan di laboratorium. Pengambilan sampel larva ikan akan menggunakan jaring 500 µ secara horisontal panjang kolom air yang ditempuh antara 3 – 5 meter. Sampel yang tersaring akan dikumpulkan dalam botol sampel dan diawetkan dengan formalin (10%) untuk identifikasi di laboratorium.

Pengambilan sampel air untuk nutrien menggunakan Botol Niskin volume 5 liter pada kedalaman 5 meter di bawah permukaan laut, untuk keperluan pengukuran nutrien jenis N, P, dan Si (1.5 – 2 liter sampel air laut). Sampel air untuk nutrien akan disimpan pada botol sampel nutrien. Pengambilan sampel nutrien dilakukan dengan menyaring air sampel dengan saringan GF/F (0.7 µm) dan dengan menggunakan vacum pump (tekanan 200 mm Hg). Hasil filter untuk nutrien 100 Pengambilan sampel air untuk nutrien menggunakan Botol Niskin volume 5 liter pada kedalaman 5 meter di bawah permukaan laut, untuk keperluan pengukuran nutrien jenis N, P, dan Si (1.5 – 2 liter sampel air laut). Sampel air untuk nutrien akan disimpan pada botol sampel nutrien. Pengambilan sampel nutrien dilakukan dengan menyaring air sampel dengan saringan GF/F (0.7 µm) dan dengan menggunakan vacum pump (tekanan 200 mm Hg). Hasil filter untuk nutrien 100

Tabel 1. Parameter, metode, dan alat yang digunakan

Tmpt.

Parameter Satuan

Aminot dan Ikan

1.Larva 3 Ind/m Jaring 500 µ

mgL Reduksi

Spektrofotometer

Lab.

2.NO3-N

Cadmium

APHA, 1986

UV A1800-

Sulfanilamid Shimadzu

Grasshoff,

mgL Lab.

3.NO2-N

Amonium

Spektrofotometer

et al . 1983;

Molibat

UV A1800-

4.NH3-N

mgL UV A1800-

5.PO4-P

Molybdosilica Shimadzu

UV A1800-

Lab.

Shimadzu Spektrofotometer UV A1800-

Shimadzu

Hasil Dan Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di Perairan Taman Wisata Pulau Kapoposang dan Taman Nasional Wakatobi dengan pendekatan kualitatif ditemukan 3 jenis biota yang dominan yaitu telur larva, larva ikan, dan crustacea. (Tabel 2).

Tabel 2. Jenis dan Indeks Keanekaragaman larva selama pengamatan di Teluk Perairan Taman Wisata Pulau Kapoposang dan Taman Nasional Wakatobi

[Ind/m 3 ]

Taman Wisata Nasional Telur

Larva ikan

1.1 Taman Pulau Kapoposang

Larva ikan

Hasil analisis indeks keanekaragaman menunjukkan bahwa Taman Wisata Pulau Kapoposang dan Taman Nasional Wakatobi memiliki keanekaragaman yang tergolong rendah untuk batasan jenis larva ikan karena nilainya kurang dari satu (<1), sedang untuk jenis telur dan crustacea tergolong sedang dengan nilainya berkisar 1 - 3 atau antara 1.0 hingga 1.1 (Tabel 2.).

Sedangkan untuk kelimpahan dari 3 jenis larva yang ditemukan tertinggi diperoleh pada perairan Taman Nasional Wakatobi (Gambar 4). Jenis telur larva memiliki kelimpahan yang lebih tinggi yaitu 229 ind/m 3 , kemudian terendah dari jenis-jenis crustacea yaitu sebanyak 108 ind/m 3 . Tingginya kelimpahan larva ini

tidak terlepas dari adanya perlindungan kawasan sebagai taman nasional sehingga biodiversity relatif terpelihara baik karena terdapat sinergisitas erat antara pengelolaan kawasan daratan dan pesisir/laut. Selain itu, tingginya kelimpahan Larva sebagai indikator terpeliharanya ekosistem terumbu karang pada Taman Nasional wakatobi, dimana ekosistem terumbu karang ini sebagai area pemijahan berbagai jenis ikan. Hal ini didukung pula bahwa berdasarkan Indeks Keragaman Ikan Karang (RPTNW, 2008) menunjukkan ± 942 spesies di wilayah Wakatobi.

Peringkat ini menempatkan Wakatobi pada kategori keanekaragaman hayati sama dengan Teluk Milne di Papua Nugini dan di Komodo.

Gambar 4. Grafik Kelimpahan Larva di Perairan Taman Nasional Wakatobi dan Taman Wisata Pulau kapoposang

Hal sebaliknya, kelimpahan larva ikan pada perairan Taman Wisata Pulau Kapoposang tergolong rendah yaitu 16 ind/m 3 . Rendahnya kelimpahan larva ini

diakibatkan tingginya angka kerusakan terumbu karang. COREMAP (2005) melaporkan kondisi terumbu karang di Kabupaten Pangkep 74,26% dalam kondisi rusak dan hanya 25,74% dalam kondisi baik dari total luas keseluruhan terumbu karang sebesar 27.027,71 ha. Kondisi ini sangat memprihatinkan, bukan saja kita kehilangan sumber keanekaragaman plasma nutfah, ekosistem pendukung kehidupan dan penyangga sumberdaya pangan, tapi juga hampir sekitar 53.355 jiwa lebih terancam kehilangan mata pencaharian.

Variabilitas Nutrien

Berdasarkan hasil pengamatan kandungan nutrien yang didapatkan dalam penelitian rata-rata dari kedua lokasi yang diamati sangat bervariasi, seperti yang disajikan pada Gambar 5.

TN. Wakatobi TN. Wakatobi

M ] i[µ

ent 10 10 TW. Kapoposang TW. Kapoposang

NH3 NH4+ NH3 NH4+

PO4 PO4

Si Si

Gambar 5. Grafik Variabilitas Nutrien di Perairan Taman Wisata Pulau Kapoposang dan Taman Nasional Wakatobi

Konsentrasi nitrat tertinggi didapat pada lokasi Taman Nasional Wakatobi yaitu dengan rata-rata konsentrasi 1.06±0.105 µM. Sedangkan terendah pada lokasi Taman Wisata Pulau kapoposang dengan rata-rata konsentrasi 0.41±0.039 µM. Tingginya kandungan nitrat di Perairan Taman Nasional Wakatobi disebabkan karena letak stasiun yang lebih berdekatan dengan pulau Hoga dan pulau Kaledupa sehingga banyak menerima limpasan dari kedua pulau tersebut.

Nitrat merupakan faktor pembatas bagi produktivitas di laut, sesuai dengan pernyataan Mackenthum (1969) bahwa bila kandungan nitrat lebih dari 0.1 mg/l masih dapat digunakan untuk pertumbuhan fitoplankton sedangkan kurang dari

0.1 mg/l merupakan faktor pembatas bagi perairan tersebut. Hasil pengamatan fosfat (Gambar 5) terlihat bahwa konsentrasi fosfat nampaknya lebih tinggi di perairan Taman Wisata Pulau Kapoposang yaitu dengan rata-rata konsentrasi 1.33±0.127 µM, sedangkan rata-rata konsentrasi di Taman Nasional wakatobi 0.78±0.066 µM. Hal ini diperkirakan akibat adanya proses resuspensi sedimen yang dapat melarutkan sebagain kandungan fosfat dalam partikel ke kolom air.

Untuk konsentrasi silika tertinggi ditemukan di Perairan Taman Nasional Wakatobi dengan rata-rata konsentrasi 9.70±0.919 µM dan terendah di Taman Wisata Pulau Kapoposang yaitu rata-rata konsentrasi 8.87±0.042 µM. Tingginya konsentrasi silika ini, juga terkait dengan input daratan. Hasil pengukuran konsentrasi silika menunjukkan bahwa nutrien ini memiliki konsentrasi sangat tinggi dibanding nitrat dan fosfat. Karena terpengaruh oleh kondisi seasonal seperti musim hujan dan musim peralihan, dimana waktu pengambilan sampel dilakukan pada bulan Pebruari dan Maret. Parameter silika ini, juga merupakan salah satu unsur yang sangat dibutuhkan oleh fitoplankton untuk pertumbuhannya, terutama dibutuhkan oleh Diatom (Bacillariophyceae) untuk pembentukan dinding sel. Keberadaan fitoplankton di daerah terumbu karang ini akan memicu pula peningkatan zooplankton sebagai produksi sekunder bagi benih ikan.

KESIMPULAN

Perbedaan konsentrasi nutrien di perairan Taman Wisata Pulau Kapoposang dan Taman Nasional Wakatobi berkorelasi erat terhadap kelimpahan larva ikan. Perbedaan karakter lingkungan antar habitat memberikan pengaruh terhadap komposisi larva yang tertangkap selama pengamatan.

Penetapan kawasan konservasi laut perairan pulau Kapoposang sebagai Taman Wisata dan perairan Wakatobi sebagai Taman Nasional memberikan manfaat tidak langsung yakni melindungi habitat ikan sebagai bagian yang penting untuk perkembangbiakan jenis ikan komersial. Kawasan ini juga memberikan tempat berlindung bagi ikan yang tidak dapat diberikan oleh sarana pengelolaan lainnya sehingga dapat mencegah penurunan secara drastis persediaan ikan komersial.

DAFTAR PUSTAKA

Aminot, A., Rey, F., 2006. Standard procedure for the determination of chlorophyll a by spectroscopic methods. International Council for the Exploration of the Sea, Denmark.

[APHA] American Public Health Association. 1986. Standard Methods for the Examination of Water and Waste Water Including Bottom Sediment and Sludges. 12th ed. New York: Amer. Publ. Health Association Inc.

Barnes, R.S.K. and R.N. Hughes. 1988. An Introduction to Marine Ecology. Blackwell Scientific Publication, London.

Cebrian. J. 2002. Variability and Control of Carbon Consumption, Export and Acumulation in Marine Communities. Limnology Oceanography. 47(1):11-

12. Chester, R. 1991. Marine Geochemistry. Unwin Hyman Ltd, Australia. Costa Jr, O. S., M. Nimmo, and E.Cordier. 2008. Coastal nutrification in Brazil: A

review of the role of nutrien excess on coral reef demise. Journal of South American Earth Sciences 25(2): 257-270.

De’ath, G., J.M. Lough, and K.E. Fabricus. 2009. Declining coral calcification on the Great Barrier Reef. Science 323, 116-119.

Drever, J.L. 1997. The geochemistry of natural waters:surface and groundwter environments. Lebanon USA: Prentice Hall.

Edinger, E. N., G. V. Limmon, J. Jompa, Widjatmoko, Wisnu, Heikoop, Jeffrey. M.J, Risk, J. Michael. 2000. Normal Coral Growth Rates on Dying Reefs: Are Coral Growth Rates Good Indicators of Reef Health? Marine Pollution Bulletin 40(5): 404-425.

Edinger, E.N., J. Jompa, G.V. Limmon, W. Widjatmoko, and M.J. Risk. 1998. Reef degradation and coral biodiversity in Indonesia: Effects of land-based pollution, destructive fishing practices and changes over time. Marine Pollution Bulletin 36(8), 617-630.

Effendi, H. 2003. Telaahan Kualitas Air. Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Fabricus, K., G. De’ath, L. McCook, E. Turak, and D.McB. Williams. 2005. Changes in algal, coral and fish assemblages along water gradients on the inshore Great Barrier Reef. Marine Pollution Bulletin 51, 384-398.

Hatcher, B.G. 1997. Coral reef ecosystems: how much greater is the whole than the sum of the parts? Coral Reefs 16, S77-S91.

Heisler, J., P.M.Glibert, J.M.Burkholder, D.M.Anderson, W.Cochlan, W.C. Dennison, Q. Dortch, C.J. Gobler, C.A. Heil, E. Humphries, A. Lewitus, R.Magnien, H.G. Marshall, K. Sellner, D.A. Stockwell, D.K. Stoecker, M.Suddleson. 2008. Eutrophication and harmful algal blooms: A scientific consensus. Journal Harmful Algae. xxx; xxx-xxx

Jassby, A.D. and J.E. Cloern. 2000. Organic Matter Sources and Rehabilitation of the sacramento – San Joaqiun Delta (California, USA). Aquat. Conserv. Mar. Freshw. Ecosyst . 10: 323-352.

Kaswadji, R.F. 1999. Pengaruh angin terhadap penyebaran biomassa fitoplankton di Teluk Pelabuhan Ratu. Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia: VI(2): 61-72.

Lagus, A., Suomela, J., Wethoff, G., Heikkila, K., Helminen, H., and Sipura, J. 2004. Species-Specific Differences in Phytoplankton Responses to N and P Enrichment and The N:P ratio in The Archipelago Sea, Northern Baltic Sea. Journal of Plankton Research., 26 (7), 779-798.

Libels, S.M. 1992. An Introduction to Marine Biogeochemistry. J.Wiley and Sohn, Inc.

Mackenthum, K.M. 1969. The Practice of Water Pollution Biology. United States Department of Interior, Federal Water Pollution Control Administration, Division of Technical Support.

Mann, K.H. dan J.R.N. Lazier. 1991. Dynamics of Marine Ecosystems. Boston: Blackwell Scientific Publication.

May, C.L., J.R. Koseff, L.V. Lucas, J.E. Cloern, and D.H. Schoellhamer. 2003. Effects of Spatial and Temporal Variability of Turbidity on Phytoplankton Blooms. Mar. Ecol. Prog. Ser. 254: 111-128.

McCook L.J. 1999. Macroalgae, nutrients and phase shifts on coral reefs: scientific issues and management consequences for the Great Barrier Reef. Coral Reefs 18, 357-367.

Millero, F.J. and M.L. Sohn. 1992. Chemical Oceanography. CRC Press. Boca Raton Ann Arbort London..

Nikolsky, G,V. 1963. The Ecology of Fishes. London: Academic Press. Nybakken, J.W. 1988. Biologi Laut. Suatu Pendekatan Ekologis. Alih

Bahasa; M. Eidman, Koesoebiono, D.G. Bengen, dan M. Hutomo. Jakarta: Gramedia.

Odum, E.P 1971. Fundamental of E Cology. Third Edition. Philadelphia and London: W.B. Sounders Company.

Parsons, T.R., M. Takahashi, and B. Hargrave. 1984. Biological Oceanographic Processes. Third Edition. Oxford: Pergamon Press.

Balai Taman Nasional Wakatobi, 2008. Rencana Pengelolaan Taman Nasional Wakatobi Periode Tahun 1998 – 2023 (Revisi Tahun 2008).

Rixen T., A. Baum, T. Pohlmann, W. Balzer, J. Samiaji, and C. Jose. 2008. The Siak, a tropical black water river in central Sumatra on the verge of anoxia. Biogeochemistry 90, 129-140.

Statham, P.J. 2012. Review : Nutrien in estuaries-An overview and the potensial impacts of climate change. Science of the Total Environment 434; 213- 227.

Thurman, H.V. 1993. Essential of Oceanography. Macmillan Publishing Company.

Valiela, I. 1984. Marine Ecologycal Processes. Springer-Verlag. New York.

KAWASAN KONSERVASI LAUT DAN PREVALENSI PENYAKIT KARANG DI INDONESIA