HASIL DAN PEMBAHASAN

B. Pengamatan Gejala Visual FOCe

Gejala awal merupakan indikasi paling memungkinkan untuk deteksi FOCe. Gejala yang teridentifikasi pada benih bawang putih dapat menunjukkan seberapa besar intensitas penyakit karena FOCe dan kaitannya dengan kondisi benih umumnya di tingkat petani. Pengamatan visual yang meliputi warna, struktur, miselium, bercak (spot), dan browning. Identifikasi tipe gejala dilakukan secara sederhana dikelompokkan yang bergejala dan tidak berkenampak gejala.

a. Benih yang tidak bergejala, b. Benih yang bergejala bercak (spot),

c. Benih yang bergejala browning

Gambar 5. Gejala visual FOCe yang tampak pada benih bawang putih

bercak (spot)

browning

commit to user

23 Warna struktur benih yang tampak dari munculnya jamur FOCe pada benih

bawang putih dalam medium PDA menunjukkan gejala visual FOCe seperti yang terlihat kenampakannya pada Gambar 5. Gejala visual yang dideteksi dari bercak (spot) dideskripsikan terdapat spot melingkar kecil kecoklatan yang menyatu. Gejala visual yang dideteksi berdasarkan browning yaitu kenampakan struktur benih bawang putih yang seperti sudah berkenampakan busuk kecoklatan. Kondisi browning juga tampak struktur yang terkesan lebih lunak.

Warna koloni yang tampak pada medium PDA berbeda. Pada awalnya semua koloni memiliki warna sama (putih), kemudian menjadi berbagai warna sesuai bentuk khusus Fusarium sp. (Sastrahidayat 1990). Fusarium oxysporum ditumbuhkan pada medium PDA mula-mula miseliumnya berwarna putih, semakin tua menjadi berwarna krem atau kuning pucat, serta dalam keadaan tertentu akan berwarna merah muda agak ungu dengan miselium bersekat dan membentuk percabangan (Semangun 1999). Perbedaan warna yang tampak pada jamur dikarenakan adanya kandungan zat seperti asam amino yang diproduksi oleh isolat, yang berperan dalam pertumbuhan spora (Susetyo 2010).

Hasil pengamatan gejala visual fenotipe FOCe secara lengkap disajikan dalam Gambar 6 berikut. Keempat varietas menunjukkan perbedaan hasil perolehan persentase gejala yang terdeteksi dari bercak (spot) dan browning.

Gambar 6. Hubungan gejala visual terhadap hasil deteksi FOCe

commit to user

24 Gejala visual berpengaruh terhadap hasil deteksi FOCe pada benih bawang

putih, dengan diperoleh hasil pada varietas Tawangmangu Baru yang terdapat gejala bercak (spot) sebesar 20,83% dari total benih keseluruhan. Dari jumlah tersebut didapatkan sebesar 18,75% benih yang terinfeksi FOCe. Kemunculan gejala browning dideteksi sebesar 9,72%, sedangkan benih yang dapat terinfeksi FOCe sebesar 7,64%.

Perbandingan jumlah benih yang bergejala dan tidak bergejala menunjukkan bahwa terdapat identifikasi gejala visual pada benih bawang putih yang terinfeksi patogen FOCe. Semangun (1999) menyatakan bahwa setiap fase pertumbuhan tanaman memiliki kerentanan berbeda yang menyebabkan jenis penyakit dominan yang menyerang setiap fase pertumbuhan berbeda pula. Pada masa-masa tersebut ada penyakit yang menjadi penyakit utama dan ada pula yang dapat diabaikan. Mengetahui jenis penyebab penyakit (patogen) yang benar adalah penting untuk menentukan pengendalian yang harus dilakukan. Gejala-gejala visual kunci suatu penyakit menjadi petunjuk kepada penentuan patogen penyebabnya.

Pengamatan jamur FOCe secara makroskopis, dapat dikatakan bahwa jamur yang dikulturkan pada medium padat seperti agar dekstrosa kentang (PDA) memiliki penampilan yang berbeda-beda meskipun berasal dari tanaman dengan inang yang sama (Sastrahidayat 1989), dan secara umum miselium udara pertama kali muncul adalah warna putih. Salah satu hal yang mempengaruhi hal tersebut adalah konsentrasi perolehan cahaya (Moyer 2011).

C. Pengamatan Intensitas Penyakit Busuk Benih Bawang Putih

Pengujian benih dan pengujian varietas sangat penting artinya untuk mengetahui seberapa besar potensi gejala FOCe yang terbawa benih pada bawang putih. Berdasarkan pengamatan gejala visual FOCe diperoleh hasil yang dapat dikaitkan dengan hasil pengamatan intensitas penyakit bahwa benih yang tidak bergejala masih menunjukkan persentase benih yang terinfeksi FOCe. Intensitas penyakit yang diamati juga dijadikan sebagai dasar penghitungan laju infeksi. Intensitas penyakit dinyatakan dengan insidens bila penyakit bersifat sistemik serangan patogen menyebabkan tidak berproduksi.

commit to user

25

1. Hasil pengujian benih tanpa dipotong

Pengamatan jamur FOCe pada media PDA dilakukan mulai dari minggu ke-

1 sampai minggu ke-8. Hasil analisis pengujian benih bawang putih tanpa dipotong disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Analisis varians pengaruh pengujian benih tanpa dipotong terhadap

insidens penyakit busuk benih Fusarium Sumber

Jumlah Kuadrat

Kuadrat

Tengah

F hitung

F tabel 5%

Koefisien Keragaman (KK) = 11,44

Tabel 1 menunjukkan bahwa berpengaruh nyata dengan perbandingan varietas yang dapat memberikan gambaran potensi busuk pada benih atau persentase insidens penyakit yang menjelaskan masing-masing kemampuan ketahanan benih terhadap penyakit FOCe.

Tabel 2. Insidens penyakit busuk benih pengujian tanpa dipotong

Varietas

Insidens Penyakit Tawangmangu Baru

100,00 a Lumbu Hijau

97,22 a Lumbu Kuning

89,58 ab Bawang Jawa

85,41 b

Varietas Tawangmangu Baru tertinggi dari hasil analisis lanjutan DMRT (Tabel 2) yang berbeda nyata yaitu sebesar 100%. Hal ini menunjukkan bahwa varietas tersebut pada perlakuan lebih tinggi dibandingkan perlakuan varietas lainnya. Penanaman pada media PDA dilakukan karena media PDA diyakini sebagai media penanaman yang steril dan memiliki kandungan penyakit yang bisa teridentifikasikan secara jelas dari hasil pengamatan.

commit to user

26

Gambar 7. Pengaruh benih tanpa dipotong (%) terhadap insidens penyakit busuk benih Fusarium

Hasil pengamatan pada Gambar 7 menunjukkan jamur FOCe memiliki tingkat rata-rata intensitas penyakit busuk pangkal bawang putih yang berbeda (lihat Tabel 12 Lampiran 2). Pada varietas Tawangmangu Baru, intensitas penyakit busuk pangkal bawang putihnya adalah yang paling tinggi. Varietas tersebut pada minggu ke-6 persentase insidens penyakit sudah mencapai 100%, yang artinya semua benih varietas tersebut mengalami penyakit busuk.

Berbeda dengan hasil varietas Lumbu Hijau yang insidens penyakit 97,22%. Jumlah tersebut cukup tinggi, mengingat varietas tersebut dikatakan sebagai salah satu varietas unggulan yang banyak dikembangkan. Jumlah tertinggi berikutnya varietas Lumbu Kuning dengan insidens penyakit 89,58%. Varietas bawang putih terkenal seperti Lumbu Hijau dan Lumbu Kuning kurang mampu beradaptasi dengan dataran rendah. Lumbu Hijau cocok untuk dataran tinggi, sedangkan Lumbu Kuning masih toleran dengan dataran medium (Amazing 2012).

Pengujian benih tanpa dipotong juga mendapatkan hasil varietas Bawang Jawa memiliki insidens penyakit terendah yang hanya sebesar 85,41%. Apabila dikaitkan dengan sejarah benih varietas tersebut diketahui bahwa jenis ini sudah lama diintroduksikan kepada masyarakat khususnya para petani. Informasi menyatakan petani Tawangmangu menggunakan jenis bawang putih varietas Bawang Jawa sejak puluhan tahun lalu, dan dikenal umumnya lebih tahan karena sudah toleran dengan kondisi tanah atau lahan pertanaman di Tawangmangu.

commit to user

27 Berdasarkan hasil pengamatan dapat disimpulkan varietas Tawangmangu

Baru dengan intensitas penyakit paling besar. Realita di lapang, diketahui memang varietas ini adalah jenis bawang putih yang tergolong baru diintroduksikan kepada masyarakat. Hasil umbinya terbilang besar, namun seringkali tingkat keparahan penyakit di lapangan menyebabkan kehilangan hasil. Hardiyanto et al. (2007) menyatakan untuk diameter umbi, klon Tawangmangu masih lebih unggul dibandingkan klon lainnya. Jumlah siung per umbi, sebagian besar berkisar antara 14-19 siung. Meskipun demikian, ada beberapa klon seperti klon Sanggah dan Ciwidey yang jumlah siungnya berkisar 6-8 siung per umbi.

Bawang yang ditanam kadang-kadang tidak tumbuh karena kesalahan teknis penanaman atau faktor bibit. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika dalam suatu lahan ada tanaman yang tidak tumbuh sama sekali, ada yang tumbuh lalu mati, dan ada yang pertumbuhannya tidak sempurna. Jika keadaan ini dibiarkan, maka produksi yang dikehendaki tidak tercapai.

Nilai Area Under the Disease Progress Curve (AUDPC)

Nilai AUDPC tertinggi pada Tawangmangu Baru sebesar 603,47 (Gambar 8), dan yang terkecil pada varietas Bawang Jawa 421,88. Perhitungan AUDPC ini dilakukan untuk mengetahui jumlah penyakit dalam suatu populasi yang merupakan area di bawah kurva perkembangan penyakit.

Gambar 8. Nilai AUDPC pengujian benih tanpa dipotong

commit to user

28

Hasil yang diperoleh dari perhitungan AUDPC selaras dengan nilai yang diperoleh dari hasil pengamatan insidens penyakit. Besarnya potensi patogen FOCe dari data tersebut menunjukkan FOCe sebagai patogen yang penting pada bawang putih yang terbawa benih. Keempat varietas benih menandakan tingkat kerentanan benih masih sangat perlu diperhatikan agar tidak lagi mengurangi hasil produksi di lapang.

2. Hasil pengujian benih dipotong melintang 2 bagian

Pengamatan jamur FOCe pengujian kedua dilakukan mulai dari minggu ke-

1 sampai minggu ke-7. Hasil pengujian benih bawang putih melalui pemotongan melintang 2 bagian antara bagian ujung dan pangkal disajikan pada Gambar 9.

a. Tawangmangu Baru, b. Lumbu Hijau, c. Lumbu Kuning, d. Bawang Jawa Gambar 9. Pengaruh pemotongan benih secara melintang 2 bagian (%) terhadap

insidens penyakit busuk benih Fusarium

commit to user

29 Hasil pengujian benih dipotong melintang 2 bagian menunjukkan bahwa

terdapat pembusukan benih dengan perlakuan dipotong. Bahkan penyakit busuk pangkal bawang putih ini dapat muncul gejala pada bagian ujung siung. Walaupun berdasarkan hasil pengamatan jumlah kemunculan gejala dari bagian ujung tidak terlalu besar, namun apabila dikaitkan dengan jenis bawang putih bergejala paling tinggi pengujian benih utuh yaitu varietas Tawangmangu Baru pun didapati hasil yang cukup tinggi untuk kemunculan gejala dari bagian ujung benihnya.

Wibowo (2003) mengungkapkan pada pangkal tanaman tampak akar-akar membusuk dan pada dasar umbi terlihat jamur yang berwarna keputih-putihan pada permukaan bagian lapisan yang membusuk. Jika umbi dipotong membujur tampak adanya pembusukan yang berair, yang kemudian meluas ke atas maupun ke samping dan pangkal umbi. Infeksi akhir dari lapangan, di gudang cendawan

F. oxysporum dapat menginfeksi mulai dari dasar umbi, kemudian berkembang ke dalam umbi dan menjadi sumber infeksi pada pertanaman berikutnya. Tawangmangu Baru bagian pangkal memiliki insidens penyakit tertinggi yaitu 91,25%. Kemunculan gejala tampak jelas dan cepat menyebar dari minggu ke minggu ditandai miselium berwarna putih kemudian berkembang menjadi berwarna merah muda dan ungu. Persentase tertinggi berikutnya bagian ujung varietas Tawangmangu Baru yaitu sebesar 60,89%. Kedua bagian varietas ini menghasilkan potensi gejala terbesar di antara bagian dari varietas lainnya. Apabila dijumlahkan, total dari varietas Tawangmangu Baru ini dideteksi patogen benih FOCe menghasilkan persentase insidens penyakit sebesar 152,14%.

Hasil pengujian mendapatkan potongan melintang varietas Bawang Jawa bagian pangkal dengan persentase insidens penyakit yang paling rendah 1,25%. Bukti kualitas benih varietas Bawang Jawa yang sudah lama digunakan untuk penanaman. Seperti dikatakan Budiarti (2010) bahwa sebelum kebijakan swasembada bawang putih dicanangkan, Tawangmangu sudah dikenal sebagai wilayah penanaman bawang putih, yaitu bawang putih lokal yang disebut sebagai Bawang Jawa. Bentuknya kecil-kecil tetapi rasanya lebih pedas daripada bawang putih impor. Hasil pengujian juga menunjukkan bahwa bagian pangkal dan ujung sama-sama dapat memunculkan gejala pembusukan karena jamur FOCe.

commit to user

30 Berdasarkan hasil pengamatan, bagian struktur benih memiliki potensi

untuk pengujian benih dan sebagai teknik deteksi FOCe. Keberhasilan usaha tani bawang putih sangat ditunjang faktor benih karena produksinya tergantung dari mutu benih yang digunakan. Benih harus bermutu tinggi, berasal dari tanaman yang pertumbuhannya normal, sehat, serta bebas dari hama dan patogen.

3. Hasil pengujian benih dipotong melintang 4 bagian

Pengamatan dilakukan dari minggu ke-1 sampai minggu ke-7. Pengujian benih bawang putih melalui pemotongan melintang 4 bagian disajikan pada Gambar 10-13. Varietas Lumbu Hijau pangkal 2 merupakan yang tertinggi yaitu sebesar 75%. Insidens penyakit pada varietas Bawang Jawa menunjukkan potensi gejala terendah. Sampai akhir pengamatan hanya didapatkan hasil paling tinggi yaitu 18,75% pada Bawang Jawa pangkal 1.

Gambar 10. Pengaruh pemotongan benih secara melintang 4 bagian (%) terhadap

insidens penyakit busuk benih Fusarium varietas Tawangmangu Baru

Perbandingan antar bagian benih bawang putih varietas Tawangmangu Baru yang dipotong melintang (Gambar 10) menghasilkan persentase insidens penyakit yang dominan terjadi gejala busuk pada bagian pangkal. Tertinggi yaitu bagian pangkal irisan ke-2 yang bergejala sebesar 57,67% pada akhir pengamatan. Terendah yaitu pada bagian ujung 1 yang hanya sebesar 23,75%.

commit to user

31

Gambar 11. Pengaruh pemotongan benih secara melintang 4 bagian (%) terhadap

insidens penyakit busuk benih Fusarium varietas Lumbu Hijau

Gambar 11 menunjukkan bagian pangkal benih Lumbu Hijau dominan gejala penyakit disebabkan FOCe, dengan persentase insidens penyakit tertinggi yaitu pada bagian pangkal irisan ke-2 yang bergejala sebesar 75% dan merupakan nilai tertinggi dari keseluruhan benih yang diujikan potong melintang 4 bagian.

Gambar 12. Pengaruh pemotongan benih secara melintang 4 bagian (%) terhadap

insidens penyakit busuk benih Fusarium varietas Lumbu Kuning

Pengamatan antar bagian benih bawang putih varietas Lumbu Kuning yang dipotong melintang menjadi 4 bagian (Gambar 12) menghasilkan persentase insidens penyakit yang dominan pada bagian pangkal. Tertinggi yaitu bagian pangkal irisan ke-2 yang bergejala sebesar 71,25% pada akhir pengamatan.

commit to user

32

Gambar 13. Pengaruh pemotongan benih secara melintang 4 bagian (%) terhadap

insidens penyakit busuk benih Fusarium varietas Bawang Jawa

Gambar 13 menunjukkan bagian pangkal 1 benih Bawang Jawa bergejala penyakit FOCe. Nilai persentase insidens penyakit pada akhir pengamatan yaitu sebesar 18,75%. Dapat dikatakan tergolong rendah intensitas penyakitnya.

D. Laju Infeksi

Hasil analisis laju infeksi dari masing-masing varietas benih bawang putih menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (Tabel 17 Lampiran 4). Laju infeksi sangat dipengaruhi besarnya intensitas penyakit. Berdasarkan rumus laju infeksi Van der Plank (1963) diperoleh nilai laju infeksi tertinggi berasal dari varietas Tawangmangu Baru (0,148 unit/hari). Nilai laju infeksi terendah dari varietas Bawang Jawa (0,127 unit/hari). Selengkapnya disajikan pada Tabel 3 berikut.

Tabel 3. Hasil perhitungan laju infeksi tiap varietas benih bawang putih

Varietas

Laju Infeksi (unit/hari) pada minggu ke-

Tawangmangu Baru

0,915 0,187

0,056 0,015 0,006 0,004 0,001 0,001 0,148 Lumbu Hijau

0,865 0,170

0,075 0,044 0,005 0,001 0,002 0,006 0,146 Lumbu Kuning 0,875 0,183

0,055 0,014 0,005 0,005 0,004 0,009 0,143 Bawang Jawa

0,571 0,260

0,083 0,058 0,014 0,017 0,012 0,002 0,127

Keterangan:  = rata-rata laju infeksi

commit to user

33 Tidak berbedanya laju infeksi pada masing-masing varietas benih bawang

putih yang diuji kemungkinan disebabkan oleh adanya faktor genetik dari tanaman tersebut terhadap infeksi penyakit. Heil dan Bostock (2002) menyatakan bahwa sistem pertahanan tanaman sangat bergantung kepada interaksi inang, patogen, dan lingkungan. Interaksi antara tanaman dengan patogen menghasilkan reaksi kesesuaian (infeksi) atau ketidaksesuaian (ketahanan). Pendapat senada dikemukakan oleh Agrios (2005) bahwa ketahanan tanaman terhadap patogen ditunjukkan ketahanannya terhadap infeksi patogen, tanaman dapat terinfeksi patogen, namun dapat membatasi aktivitas patogen, sehingga patogen tidak dapat berkembang dan tidak dapat menyebabkan kerusakan berat.

Tabel 3 menunjukkan terjadinya penurunan laju infeksi dari semua varietas benih bawang putih seiring dengan bertambahnya waktu pengamatan. Hal ini diduga berhubungan dengan kemampuan tanaman untuk mengurangi tingkat infeksi yang terjadi melalui pembentukan jaringan. Selain mekanisme ketahanan terimbas, diduga penurunan pertumbuhan FOCe tersebut disebabkan oleh mekanisme lain pada benih bawang putih, seperti pembentukan struktur pertahanan sebagai tanggapan terhadap infeksi patogen serta pembentukan struktur pertahanan sel dan reaksi pertahanan. Pertahanan biokimia dalam tanaman juga mendukung berlangsungnya penghambatan terhadap patogen. Pembentukan pertahanan biokimia tersebut antara lain melalui hipersensitif dan peningkatan kadar senyawa fenol (Agrios 2005).

Penurunan laju infeksi juga disinyalir dari tingginya tingkat intensitas penyakit yang menyebabkan hampir sebagian besar benih terinfeksi FOCe. Kondisi ini mengakibatkan penggambaran benih yang sehat dan benih yang rentan terinfeksi dapat diketahui dari kenampakan gejala visual di awal waktu pengamatan dilakukan dimana potensi gejala yang muncul kebanyakan adalah yang sudah terdeteksi dapat terinfeksi FOCe. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa terjadi hubungan gejala visual terhadap infeksi patogen FOCe pada benih bawang putih. Perbandingan dengan yang diungkapkan Eziashi et al. (2006) bahwa penghambatan infeksi kadang tidak dapat menyebar ke seluruh jaringan tanaman, sehingga berpengaruh pada intensitas penyakit.

commit to user

34

E. Pengamatan Jamur FOCe Secara Mikroskopis

Pengamatan jamur FOCe juga dilakukan secara mikroskopis (Gambar 14) dengan mengamati ukuran serta bentuk dari bagian-bagian FOCe. Pengamatan bertujuan untuk mengujikan gejala visual pada benih bawang putih adalah benar karena terinfeksi FOCe. Sifat-sifat jamur yang sangat penting yang digunakan untuk identifikasi adalah spora dan fruktifikasi (tubuh buah) atau struktur yang menghasilkan spora dan beberapa sifat tubuh jamur (Fatawi et al. 2003). Hasil pengamatan diperoleh kenampakan konidiospora FOCe yang tampak paling jelas sesuai ciri khas FOCe yaitu gambar makrokonidia yang berbentuk bulan sabit bersekat diikuti kenampakan mikrokonidia yang bersel tunggal.

Gambar 14. Konidiospora Fusarium oxysporum f. sp. cepae

Menurut Lucas et al. (1985) Fusarium sp. menghasilkan 3 jenis spora. Mikrokonidia tidak berwarna, bersel tunggal, berbentuk bulat dengan panjang 6-

15 µm dan berdiameter 3-5 µm. Makrokonidia berbentuk bulan sabit, tidak berwarna, mempunyai 3-5 sekat, panjangnya 30-50 µm dan berdiameter 2-5 µm. Klamidospora halus, berbentuk bola, bersel tunggal yang menghasilkan miselium yang tua dan rata-rata berdiameter 10 µm. Ketiga jenis spora tersebut merupakan patogen tular tanah yang akan menginfeksi tanaman. Setelah mengadakan infeksi, tanaman akan mati kemudian jamur dan spora tersebut akan tetap berada di dalam tanah dimana jamur dapat bertahan pada jangka waktu yang tidak terbatas.

Mikrokonidium

Makrokonidium

Perbesaran 10X10

commit to user

35 Umumnya jamur golongan tinggi melakukan reproduksi aseksualnya

dengan menggunakan konidium yang dibentuk pada ujung hifa tertentu yang disebut konidiofor (Semangun 1999). Domsch et al. (1993) menyatakan bahwa konidiofor jarang bercabang, tidak membentuk rantai, tanpa sekat, elips-silindris, lurus-lonjong, pendek, dan sederhana, fialid lateral, dan berukuran (5-12) x (2,3- 3,5) µm. Konidiofor yang diamati bercabang dan tidak bercabang. Mikrokonidia bersepta 0-2, terbentuk lateral pada fialid yang sederhana, atau terbentuk pada fialid yang terdapat pada konidiofor bercabang pendek, dan pada umumnya terdapat dalam jumlah banyak sekali terdiri dari aneka bentuk dan ukuran, berbentuk ovoid-elips sampai silindris, lurus atau sedikit membengkok.

F. Hasil Survei Petani di Tawangmangu

Survei dilakukan secara random sehingga diperoleh data pendukung mengenai kenampakan visual benih bawang putih yang dikatakan sehat dan layak dijual, serta rekapan data berkaitan dengan anggapan penyakit busuk pangkal karena tular benih, asal benih, perlakuan bibit, penyimpanan bibit, serta legalitas bibit yang digunakan berdasarkan pengalaman dan pengamatan petani.

Tabel 4. Anggapan petani Tawangmangu mengenai kenampakan visual benih

bawang putih yang dikatakan sehat

Visual benih sehat

Bagian akar/pangkal tidak kotor jamur

10 33,33 Benih terlihat keras dan tidak pecah

16 53,34 Benih secara fisik lebih besar

4 13,33 Jumlah

30 100 Sumber : Data Kuesioner

Sebanyak 53,34% (Tabel 4) petani bawang putih di Tawangmangu dalam pemilihan benih yang digunakan menilai kenampakan visual benih yang baik dan sehat adalah benih yang terlihat keras dan tidak pecah. Kemudian sebesar 33,33% mengatakan bahwa bagian akar/pangkal yang tidak kotor atau terdapat jamur merupakan indikasi benih yang sehat. Lainnya (13,33%) mengatakan benih yang secara visual dinilai sehat adalah yang fisiknya lebih besar.

commit to user

36

Tabel 5. Anggapan petani Tawangmangu mengenai penyakit busuk pangkal

bawang putih dapat disebabkan oleh tular benih

Anggapan tular benih

Iya, mengetahui

4 13,33 Tidak, bukan tular benih

26 86,67 Jumlah

30 100 Sumber : Data Kuesioner

Berdasarkan Tabel 5, dapat diketahui bahwa petani Tawangmangu masih sedikit yang mengetahui penyakit busuk pangkal bawang putih juga dapat disebabkan oleh pengaruh tular benih. Sebanyak 86,67% menganggap bahwa penyakit jamur tersebut lebih karena pengaruh cuaca, kondisi lahan yang tidak baik, pemberian pestisida, dan pupuk yang kurang tepat, dan bahkan tidak sedikit yang menyatakan penyakit ini disebabkan oleh serangan ulat.

Tabel 6. Cara petani Tawangmangu memperoleh bibit bawang putih

Asal benih

Membeli

7 23,33 Bibit sendiri

23 76,67 Jumlah

30 100 Sumber : Data Kuesioner

Berdasarkan Tabel 6, dapat diketahui bahwa cara petani Tawangmangu untuk memperoleh bibit bawang putih hampir sebagian besar (76,67%) berasal dari bibit sendiri. Sisanya 23,33% dari hasil membeli. Para petani mengaku memang sengaja dalam pengusahaan satu petak lahan maka hasil produksinya ada yang disisihkan sebagai bibit untuk alokasi waktu penanaman berikutnya.

Tabel 7. Perlakuan bibit yang dilakukan petani Tawangmangu

Perlakuan bibit

Menggunakan pestisida

27 90 Non pestisida

3 10 Jumlah

30 100 Sumber : Data Kuesioner

commit to user

37 Berdasarkan Tabel 7, didapatkan hasil perlakuan bibit yang dilakukan petani

Tawangmangu saat tahap persiapan bibit adalah kebanyakan menggunakan pestisida (90%), sedangkan lainnya hanya dibersihkan kotorannya saja. Para petani biasanya melakukan perendaman benih ke dalam bak yang sudah berisi campuran larutan pestisida.

Tabel 8. Cara penyimpanan bibit yang dilakukan petani Tawangmangu

Penyimpanan bibit

30 100 Sumber : Data Kuesioner

Selanjutnya cara penyimpanan bibit yang dilakukan petani Tawangmangu berdasarkan hasil survei seperti yang dilihat pada Tabel 8, yaitu sebanyak 86,67% meletakkan bibit di para-para dan digantung dengan cara pengasapan. Cara ini dinilai paling praktis tetapi diakui seringkali merusak umbi bibit dan memiliki penampilan yang kurang menarik dan memberikan warna yang kecoklat-coklatan. Cara penyimpanan bibit lainnya yaitu penyimpanan secara alami, hanya dengan didiamkan di gudang.

Tabel 9. Legalitas bibit yang digunakan petani Tawangmangu

Legalitas bibit

Bersertifikasi

6 20 Tidak bersertifikasi

24 80 Jumlah

30 100 Sumber : Data Kuesioner

Hasil survei juga mencakup legalitas bibit yang digunakan petani Tawangmangu (Tabel 9). Diperoleh data sejumlah 80% bibit yang digunakan adalah yang tidak bersertifikasi. Disamping karena penggunaan bibit sendiri, hal ini juga disebabkan asal pembeliannya juga bukan dari produsen benih yang memiliki legalitas bibit yang menjamin sertifikasinya.

commit to user

38

Tabel 10. Cara penanggulangan penyakit busuk pangkal bawang putih yang

dilakukan oleh petani Tawangmangu

Penanggulangan penyakit

Penyemprotan pestisida

21 70 Dibuang

9 30 Jumlah

30 100 Sumber : Data Kuesioner

Hasil survei tindakan teknis penanggulangan penyakit busuk pangkal bawang putih yang dilakukan oleh petani Tawangmangu dapat diketahui dari yang disajikan pada Tabel 10. Didapatkan hasil bahwa penyemprotan pestisida adalah cara terbanyak yang dilakukan oleh para petani. Setidaknya ada sejumlah 70% yang sangat mengandalkan penggunaan pestisida kimia untuk penanggulangan hama penyakit ketika di lahan. Selebihnya sering dilakukan cara manual dengan membuang tanaman yang rusak (busuk).

G. Pembahasan Umum

Gejala visual berhubungan erat dengan persentase benih bawang putih yang terinfeksi FOCe, namun benih yang tidak bergejala masih menunjukkan persentase benih yang terinfeksi jamur tersebut. Korlina (2011) menyatakan untuk tindakan deteksi penyakit, mengenali gejala visual akibat serangan patogen menjadi suatu langkah penting atas tindakan deteksi selanjutnya. Pengelompokan gejala visual dapat berpengaruh terhadap penentuan besarnya intensitas penyakit yang terjadi pada suatu tanaman.

Laju infeksi sangat dipengaruhi besarnya intensitas penyakit. Tingkat intensitas penyakit yang tidak mengalami perubahan jumlah (stagnan) dari pertambahan hari dengan persentase benih yang terinfeksi FOCe dapat berdampak pada penurunan laju infeksi. Kondisi ini menggambaran kondisi benih yang sehat dan benih yang rentan terinfeksi dapat diketahui dari kenampakan gejala visual di awal waktu pengamatan. Oleh karena itu, gejala awal merupakan indikasi paling memungkinkan untuk deteksi FOCe.

commit to user

39 Gejala-gejala akibat penyakit busuk pangkal termasuk kerusakan bibit, saat

penyimpanan, selama musim tanam, dan pembusukan pasca panen. Patogen ini disebarluaskan dalam biji, tanah, dan air irigasi. Pengelolaan air telah mengurangi infeksi siung bawang putih sebesar 50%, tetapi tidak cukup untuk memberikan kontrol yang diterima secara komersial ketika infeksi parah. Ukuran kontrol yang paling penting adalah penanaman kultivar tahan (Massachusetts 1999).

FOCe pada bawang putih yang terbawa benih memiliki potensi gejala yang cukup besar. FOCe diketahui dapat menginfeksi bawang putih dalam semua tahap pertumbuhan. Pada tahap bibit, infeksi dapat dinyatakan sebagai pra atau pasca munculnya rebah batang terinfeksi. Reaksi tanaman dalam menanggapi penyakit dalam umbi sangat minim. Empat siung dari umbi yang sama direplikasi di lokasi secara acak dalam pengujian terdapat dua kelas penyakit berturut-turut untuk setiap umbi yang diuji (Rengwalska dan Simon 1986).

Pengujian benih yang dilakukan pemotongan bagian (ujung dan pangkal) dapat meningkatkan efektivitas deteksi FOCe yang terbawa benih. Deteksi suatu penyakit dapat melalui berbagai metode. Seperti pada proses identifikasi penyakit Fusarium oxysporum

f. sp. lycopersici penyebab layu pada tomat. Indikasi

pertama dari penyakit ini adalah daun menguning dan terkulai. Gejala ini sering terjadi pada satu sisi tanaman atau pada salah satu pucuk. Berturut-turut daun kuning, layu dan mati, sering sebelum tanaman mencapai kedewasaan. Jika batang utama dipotong, bercak coklat tua dapat dilihat berjalan memanjang melalui batang. Kecoklatan dari sistem vaskular adalah karakteristik penyakit dan umumnya dapat digunakan untuk identifikasi (Wong 2003).

Petani bawang putih di Tawangmangu masih sedikit yang mengetahui penyakit busuk pangkal bawang putih disebabkan oleh infeksi FOCe yang terbawa benih. Sulitnya pengendalian menyebabkan petani bawang putih beralih menanam komoditas lain. Asfihany (2004) mengatakan bahwa pemakaian kultivar tahan merupakan salah satu cara terbaik dan termurah. Oleh karena itu pengujian kultivar tahan dirasa penting sebagai dasar pengembangan pengendalian penyakit busuk pangkal, terkait resistensi beberapa kultivar bawang putih terhadap penyakit busuk pangkal yang disebabkan cendawan Fusarium sp. di lapangan.

commit to user

40