Hubungan gejala visual terhadap infeksi patogen fusarium oxysporum f. Sp. Cepae pada benih bawang putih

SKRIPSI HUBUNGAN GEJALA VISUAL TERHADAP INFEKSI PATOGEN FUSARIUM OXYSPORUM F. SP. CEPAE PADA BENIH BAWANG PUTIH

Oleh : Yuan Harnawan Pamungkas H0708160 PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2012

commit to user

HUBUNGAN GEJALA VISUAL TERHADAP INFEKSI PATOGEN FUSARIUM OXYSPORUM F. SP. CEPAE PADA BENIH BAWANG PUTIH SKRIPSI

untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh derajat Sarjana Pertanian di Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret

Oleh : Yuan Harnawan Pamungkas H0708160 PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2012

commit to user

SKRIPSI HUBUNGAN GEJALA VISUAL TERHADAP INFEKSI PATOGEN FUSARIUM OXYSPORUM F. SP. CEPAE PADA BENIH BAWANG PUTIH

Yuan Harnawan Pamungkas H0708160

Pembimbing Utama

Dr. Ir. Hadiwiyono, MSi NIP.1962016 199002 1 001

Pembimbing Pendamping

Ir. Zainal Djauhari Fatawi, MS NIP.19490906 197903 1 001

Surakarta, 6 Agustus 2012

Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta

Prof. Dr. Ir. H. Bambang Pujiasmanto, MS NIP.19560225 19860 1 1001

commit to user

SKRIPSI HUBUNGAN GEJALA VISUAL TERHADAP INFEKSI PATOGEN FUSARIUM OXYSPORUM F. SP. CEPAE PADA BENIH BAWANG PUTIH

yang dipersiapkan dan disusun oleh Yuan Harnawan Pamungkas H0708160

telah dipertahankan di depan Tim Penguji pada tanggal : 6 Agustus 2012 dan dinyatakan telah memenuhi syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian Program Studi Agroteknologi

Susunan Tim Penguji :

Ketua

Dr. Ir. Hadiwiyono, MSi NIP.1962016 199002 1 001

Anggota I

Ir. Zainal Djauhari F, MS NIP.19490906 197903 1 001

Anggota II

Dr. Ir. Endang Yuniastuti, MSi NIP.19700609 199402 2 001

commit to user

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul

“Hubungan Gejala Visual Terhadap Infeksi Patogen Fusarium oxysporum f.

sp. cepae pada Benih Bawang Putih ”. Skripsi ini disusun dan diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian di Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret.

Dalam penulisan skripsi ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan dan dukungan berbagai pihak, sehingga penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Ir. Bambang Pujiasmanto, M.S. selaku Dekan Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret.

2. Dr. Ir. Hadiwiyono, M.Si. selaku Ketua Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian UNS sekaligus Pembimbing Utama.

3. Ir. Zainal Djauhari Fatawi, M.S. selaku Pembimbing Pendamping dan Pembimbing Akademik.

4. Dr. Ir. Endang Yuniastuti, M.Si. selaku Dosen Pembahas.

5. Keluarga yang saya sayangi, ibu Sri Yuharti, bapak Hari Gunawan, dan kakak yang telah memberikan dukungan baik materi, semangat, dan doa.

6. Sahabat dan teman-teman Agroteknologi 2008 (Solmated) yang selalu solid.

7. Petani bawang putih Tawangmangu atas keramahan dan ilmu yang dibagikan.

8. Semua pihak yang telah membantu dalam kelancaran penelitian ini, yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik demi perbaikan karya ini. Akhirnya penulis berharap, semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat kepada kita semua.

Surakarta, 6 Agustus 2012

Penulis

commit to user

G. Pembahasan Umum ................................................................................ 38

V. KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................... 40

A. Kesimpulan ............................................................................................. 40

B. Saran ....................................................................................................... 40 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 41 LAMPIRAN

commit to user

DAFTAR TABEL

Nomor

Judul dalam Teks

Halaman

1. Analisis varians pengaruh pengujian benih tanpa dipotong terhadap insidens penyakit busuk benih Fusarium………………………………….

25

2. Insidens penyakit busuk benih pengujian benih tanpa dipotong…………. 25

3. Hasil perhitungan laju infeksi tiap varietas benih bawang putih…………. 32

4. Anggapan petani Tawangmangu mengenai kenampakan visual benih bawang putih yang dikatakan sehat……………………………………….

35

5. Anggapan petani Tawangmangu mengenai penyakit busuk pangkal bawang putih dapat disebabkan oleh tular be nih………………………….

36

6. Cara petani Tawangmangu memperoleh bibit bawang putih…………….. 36

7. Perlakuan bibit yang dilakukan petani Tawangmangu…………………… 36

8. Cara penyimpanan bibit yang dilakukan petani Tawangmangu………….. 37

9. Legalitas bibit yang digun akan petani Tawangmangu…………………… 37

10. Cara penanggulangan penyakit busuk pangkal bawang putih yang dilakukan oleh petani Tawangmangu……………………………………..

38

Judul dalam Lampiran

11. Deskripsi bawang putih …………………………………………………... 44

12. Insidens penyakit pengujian benih tanpa dipotong (%) ………………….. 46

13. Insidens penyakit pengujian benih dipotong melintang 2 bagian (%) …… 47

14. Hasil uji T pengujian benih tanpa dipotong ………………………………. 48

15. Hasil uji T pengujian benih dipotong melintang 2 bagian ………………... 48

16. Hasil uji T pengujian benih dipotong melintang 4 bagian ………………... 48

17. Hasil uji F laju infeksi ……………………………………………………. 48

commit to user

DAFTAR GAMBAR

Nomor

Judul dalam Teks

Halaman

1. Gejala busuk pangkal pada daun dan umbi bawang putih ……………….

2. Fusarium oxysporum................................................................................... 10

3. Benih bawang putih yang digunakan …………………………………….. 20

4. Pertanaman bawang putih di daerah Pancot, Kalisoro, Kecamatan Tawangmangu …………………………………………………………….

21

5. Gejala visual FOCe yang tampak pada benih bawang putih ……………... 22

6. Hubungan gejala visual terhadap hasil deteksi FOCe ……………………. 23

7. Pengaruh benih tanpa dipotong (%) terhadap insidens penyakit busuk benih Fusarium …………………………………………………………....

26

8. Nilai AUDPC pengujian benih tanpa dipotong …………………………... 27

9. Pengaruh pemotongan benih secara melintang 2 bagian (%) terhadap insidens penyakit busuk benih Fusarium ………………………………….

28

10. Pengaruh pemotongan benih secara melintang 4 bagian (%) terhadap insidens penyakit busuk benih Fusarium varietas Tawangmangu Baru …..

30

11. Pengaruh pemotongan benih secara melintang 4 bagian (%) terhadap insidens penyakit busuk benih Fusarium varietas Lumbu Hijau ………….

31

12. Pengaruh pemotongan benih secara melintang 4 bagian (%) terhadap insidens penyakit busuk benih Fusarium varietas Lumbu Kuning ………..

31

13. Pengaruh pemotongan benih secara melintang 4 bagian (%) terhadap insidens penyakit busuk benih Fusarium varietas Bawang Jawa …………

32

14. Konidiospora Fusarium oxysporum f. sp. cepae …………………………. 34

Judul dalam Lampiran

15. Visual benih varietas Bawang Jawa pada pengujian benih tanpa dipotong setelah pengamatan minggu ketiga………………………………………..

49

16. Visual benih varietas Lumbu Hijau pangkal pada pengujian benih dipotong melintang 2 bagian setelah pengamatan minggu keempat……...

49

17. Visual benih varietas Lumbu Kuning pangkal 2 pada pengujian benih dipotong melintang 4 bagian setelah pengamatan minggu keempat……...

49

18. Perbandingan visual benih bawang putih yang terinfeksi FOCe dan benih bawang putih yang tidak terinfeksi FOCe ………………………………...

50

commit to user

DAFTAR GAMBAR (Lanjutan)

Nomor

Judul dalam Lampiran

Halaman

19. Pembuatan media PDA dan Pengamatan harian…………………………. 51

20. Perenda man benih ke dalam larutan Alkohol…………………………….. 51

21. Proses pengambilan isolat untuk preparat pengamatan mikroskopis…….. 51

22. Cawan petri tampak dari bawah menunjukkan pembusukan benih……… 52

23. Wawancara pengambilan data kuesioner dengan petani di Blumbang…... 52

24. Wawancara pengambilan data kuesioner dengan petani di Kalisoro…….. 52

commit to user

LAMPIRAN

commit to user

RINGKASAN HUBUNGAN GEJALA VISUAL TERHADAP INFEKSI PATOGEN FUSARIUM OXYSPORUM F. SP. CEPAE PADA BENIH BAWANG PUTIH.

Skripsi: Yuan Harnawan Pamungkas (H0708160). Pembimbing: Hadiwiyono, Zainal D. Fatawi, Endang Yuniastuti. Program Studi: Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta.

Bawang putih merupakan komoditas pertanian penting, namun produksi bawang putih dalam negeri belum dapat memenuhi permintaan pasar. Masalah yang dihadapi dalam budidaya bawang putih adalah penyakit busuk pangkal yang disebabkan Fusarium oxysporum f. sp. cepae (FOCe) yang merupakan penyebab berkurangnya hasil bawang putih, selama di lahan maupun selama penyimpanan. Infeksi jamur tersebut dapat melalui FOCe yang terbawa benih. Oleh karena itu, perlu penelitian tentang aspek pengelompokan gejala visual bawang putih melalui pengujian benih. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji hubungan antara gejala visual dengan persentase benih bawang putih yang terinfeksi FOCe.

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Hama dan Penyakit Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta dan Tawangmangu, Karanganyar mulai Februari 2012 sampai Juli 2012. Penelitian dilaksanakan dengan tiga tahapan, yaitu pengujian benih tanpa dipotong, pengujian benih dipotong melintang 2 bagian, dan pengujian benih dipotong melintang 4 bagian. Setiap unit perlakuan 20 benih diletakkan secara menyebar dengan jarak sama. Analisis menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL), dilakukan setelah didapatkan intensitas penyakit melalui persentase perbandingan jumlah benih yang diidentifikasi busuk FOCe dengan jumlah benih keseluruhan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa gejala visual sangat menentukan persentase benih bawang putih yang terinfeksi FOCe, namun demikian benih yang tidak bergejala masih menunjukkan persentase benih yang terinfeksi FOCe. Patogen FOCe pada bawang putih yang terbawa benih memiliki potensi gejala yang cukup besar dilihat dari hasil yang ditunjukkan oleh masing-masing varietas yang telah diuji. Nilai Area Under the Disease Progress Curve pengujian benih tanpa dipotong pada varietas Tawangmangu Baru sebesar 603,47, Lumbu Hijau sebesar 551,04, Lumbu Kuning 517,01, dan pada Bawang Jawa sebesar 421,88. Pengujian benih yang dilakukan pemotongan bagian (ujung dan pangkal) dapat meningkatkan efektivitas deteksi FOCe yang terbawa benih. Hasil survei menunjukkan bahwa petani bawang putih di Tawangmangu masih sedikit yang mengetahui penyakit busuk pangkal bawang putih yang disebabkan oleh FOCe terbawa benih.

commit to user

xi

SUMMARY RELATIONSHIP OF VISUAL SYMPTOMS TO PATHOGENS INFECTION FUSARIUM OXYSPORUM F. SP. CEPAE ON GARLIC

SEED. Thesis-S1: Yuan Harnawan Pamungkas (H0708160). Advisers: Hadiwiyono, Zainal D. Fatawi, Endang Yuniastuti. Study Program: Agrotechnology, Faculty of Agriculture, University of Sebelas Maret (UNS) Surakarta.

Garlic is an important agricultural commodity, but the domestic production has not covered the market demand. Problems encountered in the cultivation of garlic is often the disease. Basal rot caused by Fusarium oxysporum f. sp. cepae (FOCe) is one of the factors causing the loss of garlic, while in the field or during storage. The pathogen easily spread by seed. Therefore, the necessary research on clustering aspects of visual symptoms of garlic through testing the seed. This study aims to assess the relationship visual symptoms with the percentage of infection FOCe seed-borne.

This research was held in the Laboratory of Plant Pests and Diseases belong to the Faculty of Agriculture, the University of Sebelas Maret (UNS) in Surakarta and in Tawangmangu, Karanganyar, Central Java. The research was carried out on Pebruary 2012 until July 2012. The research was conducted in three stages of testing with no section, two parts of section, and four parts section. A unit treatment was consist of 20 seeds. The research was analysed by completely randomized design. Analyses were performed after the disease intensity obtained by the percentage of the number of seeds identified as being rotten (diseased) FOCe by overall seeds.

The results showed that visual symptoms was related to the percentage of infected seed garlic by FOCe, however a symptomatic seeds are still infected. The pathogen on seed-borne garlic has significant potential symptoms seen from the results shown by each of the varieties that have been tested. Area Under the Disease Progress Curve value of testing with no section in Tawangmangu Baru varieties of 603,47, Lumbu Hijau 551,04, Lumbu Kuning 517,01, and 421,88 for Bawang Jawa. Then, tests are done cutting the seed (the tip and base) can increase the effectiveness of the FOCe detection. The survey results suggested that the farmers in Tawangmangu still little understand that basal rot disease of garlic is able to be carried by the seed.

commit to user

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bawang putih (Allium sativum L.) merupakan komoditas pertanian yang sudah sangat dikenal oleh masyarakat. Sayuran umbi ini banyak digunakan sebagai salah satu bumbu dapur utama. Permintaan masyarakat pada bawang putih yang tinggi menyebabkan banyak petani menanam sayuran ini, namun produksi bawang putih dalam negeri belum dapat menutupi permintaan tersebut, sehingga impor bawang putih masih menjadi pilihan. Surabaya Post (2012) memberitakan bahwa bawang putih impor dari China menguasi pasar dalam negeri berdasarkan data Badan Pusat Statistik, yakni sepanjang 2011 sebanyak 419,1 ribu ton bawang putih impor masuk ke tanah air.

Secara umum bawang putih hanya cocok ditanam di dataran tinggi, meskipun sekarang ditemukan beberapa varietas toleran dataran rendah. Bawang putih diduga merupakan keturunan bawang liar Allium longicurpis Regel, yang tumbuh di daerah Asia Tengah yang beriklim subtropik (Wibowo 2003). Masalah yang dihadapi dalam budidaya bawang putih seringkali ialah didapatinya penyakit. Busuk pangkal yang disebabkan Fusarium oxysporum f. sp. cepae (FOCe) merupakan salah satu faktor penyebab kehilangan hasil bawang putih, selama di lahan maupun selama penyimpanan (Widodo et al. 2008).

Akhir-akhir ini, busuk pangkal telah menjadi penyakit endemi di daerah sentra produksi bawang putih di Tawangmangu. Lebih dari 92 % lahan penanaman bawang putih di daerah tersebut telah terjangkit Fusarium oxysporum

f. sp. cepae (Hadiwiyono et al. 2009). Fusarium sp. merupakan jamur penyebab penyakit tular tanah (soilborne disease) yang dapat bertahan secara alami di dalam media tumbuh (tanah) dan pada akar-akar tanaman sakit dalam jangka waktu yang relatif lama. Pelaksanaan usaha tani yang dilakukan saat ini, yang hanya berdasar pengalaman mengenai pemilihan benih dapat menimbulkan ledakan serangan patogen. Infeksi dapat melalui FOCe yang terbawa benih. Oleh karena itu, perlu penelitian tentang aspek pengelompokan gejala visual bawang putih melalui pengujian benih yang sehat dan pengujian varietas.

commit to user

Berdasarkan pengujian dan pengamatan fenotipe menunjukkan bahwa terjadinya ledakan serangan Fusarium oxysporum f. sp. cepae di Tawangmangu disebabkan oleh adanya penanaman bawang putih yang terus menerus dan ditanam secara campuran dengan bawang merah dan bawang putih serta penggunaan agrokimia yang intensif (Fatawi et al. 2003). Pengamatan gejala visual bawang putih dikaitkan dengan potensi terjadinya infeksi Fusarium oxysporum

f. sp. cepae yang terbawa benih. Moyer (2011) mengatakan bahwa

jamur ini menyerang jaringan bagian vaskuler dan mengakibatkan busuk pangkal pada tanaman inangnya dengan cara menghambat aliran air pada jaringan xilem. Karakteristik fenotipe inilah yang diuji untuk didapatkan hubungan gejala visual terhadap persentase infeksi patogen pada benih bawang putih.

Pengujian awal yang menunjukkan bahwa patogen terbawa benih belum diketahui seberapa besar potensinya. Untuk kepentingan lapangan perlu teknik identifikasi yang lebih aplikatif di tingkat petani seperti berdasarkan gejala visual. Pengujian yang dilakukan dengan penumbuhan benih pada medium PDA memberikan informasi awal bahwa gejala visual infeksi Fusarium oxysporum f. sp. cepae. Akhirnya perlindungan bawang putih dari serangan patogen tersebut dapat dilakukan secara terpadu dan terarah serta tepat guna sehingga dapat menurunkan tingkat kerusakan dan penurunan hasil produksi.

B. Perumusan Masalah

Busuk pangkal yang disebabkan oleh Fusarium oxysporum f. sp. cepae telah menjadi penyakit endemi pertanaman bawang putih di Tawangmangu. Penyakit ini sangat merugikan karena yang terserang patogen umumnya umbi sebagai hasil tanaman menjadi busuk, sehingga besarnya kerugian sama dengan insidens penyakit. Pengujian awal menunjukkan bahwa patogen tersebut terbawa benih. Namun seberapa besar potensi patogen terbawa benih belum diketahui. Di lapangan pengujian laboratorium tidak mungkin dilakukan secara langsung oleh petani. Oleh karena itu perlu teknik identifikasi yang lebih aplikatif di tingkat petani seperti berdasarkan gejala visual. Berdasarkan permasalahan yang ada, maka rumusan masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini antara lain:

commit to user

1. Bagaimana cara identifikasi gejala visual pada benih bawang putih (Allium sativum L.) yang terinfeksi Fusarium oxysporum f. sp. cepae?

2. Berapa potensi Fusarium oxysporum f. sp. cepae sebagai patogen pada bawang putih (Allium sativum L.) terbawa benih?

3. Bagaimana hubungan gejala visual bawang putih (Allium sativum L.) dikaitkan dengan infeksi Fusarium oxysporum f. sp. cepae yang terbawa benih?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengidentifikasi gejala visual pada benih bawang putih (Allium sativum L.) yang terinfeksi Fusarium oxysporum f. sp. cepae.

2. Mengkaji seberapa besar potensi Fusarium oxysporum f. sp. cepae sebagai patogen pada bawang putih (Allium sativum L.) yang terbawa benih.

3. Menganalisis hubungan antara gejala visual pada benih bawang putih (Allium sativum L.) dengan infeksi Fusarium oxysporum f. sp. cepae yang terbawa benih.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini bermanfaat mengetahui hubungan gejala visual pada benih bawang putih (Allium sativum L.) yang terinfeksi patogen Fusarium oxysporum f. sp. cepae untuk memberikan teknik identifikasi yang lebih aplikatif di tingkat petani berdasarkan gejala visual. Selain itu, dapat dijadikan sebagai informasi pentingnya pencegahan terhadap kemungkinan munculnya penyakit sekaligus dasar pengembangan pengendalian.

commit to user

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Bawang Putih (Allium sativum L.)

Beberapa macam bawang putih dapat ditemukan dalam beberapa catatan sejarah. Genus Allium (familia untuk bawang-bawangan) terdiri dari tidak kurang 600 spesies yang tersebar di seluruh dunia. Bawang putih atau garlic berasal dari bahasa Inggris kuno “gar” yang berarti tombak atau ujung tombak dan “lic” yang berarti umbi atau bakung. Garlic terkadang juga dinamakan dengan Allium sativum yang berasal dari bahasa Celtic “All” yang berarti berbau tidak sedap dan “sativum” yang berarti tumbuh (Atmadja 2002). Di Indonesia bawang putih disebut dengan banyak nama, yaitu lasuna moputi (di Menado), sedang pia moputi (di Gorontalo), lasuna kebo (di Makasar), bawang (di Jawa), dan bawang bodas (di Priangan) (Wibowo 2003).

1. Arti Ekonomi Budidaya Bawang Putih

Bawang putih (Allium sativum L) selain dikenal sebagai sayuran yang penting, juga merupakan salah satu sumber pertumbuhan baru ekonomi dalam pembangunan pertanian. Bawang putih ini dianggap sebagai komoditas potensial terutama untuk subsitusi impor dan dalam hubungannya dengan penghematan devisa. Inflasi Kota Solo yang tercatat pada Juni 2012 dinilai relatif tinggi yang disebabkan karena adanya kenaikan harga pada beberapa komoditas termasuk bahan makanan yang turut andil sebesar 0,6877 persen. Bahan makanan merupakan penyumbang inflasi terbesar dan bawang putih menyumbang sebesar 0,1303 persen, melebihi komoditi pokok lainnya (Hastuti 2012).

Kementerian Pertanian (Kementan) mencatat, bahwa 95% kebutuhan bawang putih nasional dipenuhi oleh impor. Sementara sisanya berasal dari produksi petani dalam negeri. Produksi dalam negeri Indonesia hanya 5% yaitu 12.000 ton per tahun. Bawang putih asal China lebih digemari konsumen karena berukuran lebih besar dan lebih murah. Sampai saat ini impor bawang putih masih diperlukan untuk menyangga harga (IPOTNews 2011).

commit to user

2. Morfologi dan Taksonomi Bawang Putih

Menurut Wibowo (2003), bawang putih tumbuh tegak dengan tinggi 30-60 cm dan membentuk rumpun. Sebagaimana kelompok monokotiledon, bawang putih berakar serabut yang tidak panjang dan tidak terlalu dalam berada dalam tanah. Perakaran yang demikian menyebabkan bawang putih tidak tahan kekeringan. Daun bawang putih berbentuk pipih, rata, dan agak melipat ke dalam. Kelopak daunnya tipis tetapi kuat membungkus kelopak daun di dalamnya yang lebih muda, sehingga membentuk batang semu. Kelopak-kelopak daun inilah yang membalut umbi yang terdapat di bagian buah tanaman.

Jenis bawang putih yang ditanam di suatu tempat sering dijumpai berbeda dengan jenis yang ditanam di daerah lain. Perbedaan jenis bawang putih tersebut dapat dilihat dari besar tanaman, umur panen, produktivitas tanaman, ukuran umbi, jumlah dan ukuran siung, bentuk dan warna umbi, kandungan zat kimia, ketahanan terhadap penyakit, persyaratan tumbuh, dan lainnya. Jenis bawang putih yang banyak ditemui adalah Lumbu hijau (Allium sativum L. var. lumbu hijau ), Lumbu kuning (Allium sativum L. var. lumbu kuning), Cirebon (Allium sativum L. var. cirebon), Tawangmangu (Allium sativum L. var. tawangmangu), dan jenis Ilocos (Allium sativum L. var. ilocos) dari Filipina (Wibowo 2003).

Taksonomi bawang putih dalam USDA Plant Database (2012) adalah: Kingdom

: Allium sativum L. Bawang putih adalah tanaman semusim berbatang semu dan berwarna hijau. Bagian bawahnya bersiung-siung, bergabung menjadi umbi besar berwarna putih. Tiap siung terbungkus kulit tipis, daunnya berbentuk pipih memanjang, tepi rata, ujung runcing, beralur, panjang 60 cm dan lebar 1,5 cm, berakar serabut, bunganya berwarna putih, bertangkai panjang (Syamsiah dan Tajudin 2003).

commit to user

3. Ekologi dan Budidaya Bawang Putih

Bawang putih untuk tumbuh baik dengan hasil optimum, diperlukan kondisi ekologi tertentu. Iklim, tanah, dan air merupakan tiga faktor utama yang perlu mendapat perhatian. Ketinggian tempat yang mempunyai hubungan erat dengan suhu udara merupakan faktor penting dalam budidaya bawang putih (Wibowo 2003). Jenis bawang putih dapat tumbuh dengan baik pada ketinggian antara 700 m sampai lebih 1.100 m di atas permukaan laut, sedangkan jenis bawang putih untuk dataran rendah cocok ditanam pada ketinggian 200-250 m di atas permukaan laut (Santoso 1988).

Habitus bawang putih berupa herba, semusim, dan tinggi tanaman berkisar 50-60 cm. Kondisi lingkungan hidup meliputi keadaan tanah yaitu keadaan fisika dan kimia tanah, keadaan topografi tanah (kemiringan, ketinggian tempat) dan faktor iklim yang meliputi curah hujan, kelembaban udara, suhu udara, dan angin. Intensitas cahaya matahari berpengaruh terhadap produktivitas tanaman bawang putih dalam menghasilkan umbi dan pertumbuhan tanaman (Cahyono 1992).

Bawang putih tumbuh baik di daerah dataran tinggi karena selama pertumbuhan memerlukan udara yang sejuk dan kering. Di daerah dataran rendah tanaman ini sulit membentuk umbi. Bawang putih termasuk tanaman sayuran yang tidak tahan air hujan, sehingga biasanya ditanam pada awal musim kemarau (Warsito dan Soedijanto 1981). Bawang putih ideal ditanam pada musim kemarau di daerah tropis, yaitu bulan Mei - Juli. Penanaman bawang putih pada musim hujan tidak dianjurkan karena cuaca terlalu basah, kelembaban dan suhu udara tidak baik untuk pertumbuhan bawang putih dan hasil (Nazaruddin 1994).

Penanaman bawang putih dapat dilakukan satu atau dua kali setahun dengan mengadakan penyesuaian varietas. Pola tanam bawang putih dalam setahun dapat dirotasikan sebagai berikut: a) Bawang putih - sayuran - bawang putih, b) Bawang putih - sayuran tumpang sari palawija - bawang putih, dan c) Bawang putih - tumpang sari palawija atau sayuran. Penggunaan jarak tanam yang sesuai dapat meningkatkan hasil umbi per hektar. Jarak tanam yang terlalu rapat akan menghasilkan umbi yang relatif kecil walaupun hasil per satuan luas meningkat. Jarak tanam yang biasa digunakan adalah (15 x 10) cm (Polengs 2011).

commit to user

B. Busuk Pangkal Bawang Putih

1. Arti Ekonomi Busuk Pangkal Bawang Putih

Busuk pangkal yang disebabkan oleh F. oxysporum f. sp. cepae telah menjadi penyakit yang merugikan dan mengancam pertanaman bawang putih di Tawangmangu, Karanganyar, Jawa Tengah sehingga menjadi kendala baru sejak musim tanam 2000. Berdasarkan hasil identifikasi penyakit, busuk pangkal Fusarium yang ada di Tawangmangu disebabkan oleh Fusarium oxysporum Schlecht. f. sp. cepae (Hanz.) Snyd. et. Hans (Fatawi et al. 2003). Menurut Havey (1995) inang utama F. oxysporum f. sp. cepae adalah bawang bombay (Allium cepa ), namun dapat sangat merugikan juga pada bawang putih (Allium sativum), bawang merah (Allium ascalonicum), dan bawang daun (Allium fistulosum).

Permintaan umbi bawang putih di California, Amerika Serikat menurun seiring peningkatan jumlah penyakit busuk pangkal yang cukup tinggi (University of Minnesota 2012). Pengembangan bawang putih di suatu daerah secara intensif dan terus-menerus juga memberikan dampak negatif dengan adanya peningkatan serangan patogen penyebab penyakit bawang putih yang cukup signifikan. Busuk pangkal yang disebabkan F. oxysporum f. sp. cepae merupakan salah satu faktor penyebab kehilangan hasil bawang putih sejak 1973, selama di lahan maupun selama penyimpanan (Widodo et al. 2008).

2. Gejala Busuk Pangkal Bawang Putih

Infeksi penyakit busuk bangkal terjadi pada bagian jaringan pembuluh xilem. Akibat gangguan pada jaringan xilem, tanaman menunjukkan gejala layu, daun menguning, dan akhirnya mati. Gejala layu seringkali disertai gejala klorosis dan nekrosis pada daun. Gejala yang terjadi pada tanaman yang layu fusarium adalah menguningnya daun dari tepi daun selanjutnya menjadi coklat dan mati secara perlahan hingga tulang daun. Menguning dan matinya daun-daun dimulai dari daun yang lebih tua. Hal ini disebabkan patogen menginfeksi tanaman melalui luka pada akar dan masuk kedalam jaringan xilem melalui aktivitas air sehingga merusak dan menghambat proses menyebarnya air dan unsur hara ke seluruh bagian tanaman terutama pada bagian daun yang tua (Huda 2010).

commit to user

Gambar 1. Gejala busuk pangkal pada daun (kiri) dan umbi bawang putih (kanan)

(Sumber: University of Minnesota 2012).

Patogen busuk pangkal bawang putih menyebabkan gejala daun mati dari ujung dengan cepat atau layu. Apabila tanaman dicabut terjadi pembusukan pada perakaran dan atau umbi terutama mulai dari pangkal umbi sehingga sesuai gejalanya disebut penyakit busuk pangkal. Pada umbi yang busuk sering dijumpai tanda penyakit berupa miselium jamur yang berwarna putih. Di Tawangmangu, pada musim tanam 2000 serangan patogen paling tinggi 10 %, namun dari tahun ke tahun meningkat dan pada musim tanam 2002 insidens penyakit dapat mencapai 60 %. Penyakit paling sering muncul pada tanaman yang menjelang siap panen, namun pada musim tanam 2003 penyakit telah dapat dijumpai pada tanaman umur 15 hari setelah tanam. Penyakit ini tentu sangat merugikan karena tanaman yang terserang patogen umumnya umbi sebagai hasil tanaman menjadi busuk, sehingga besarnya kerugian sama dengan insidens penyakit, karena umbi bawang tanaman yang terserang tidak lagi laku dijual (Fatawi et al. 2003).

Penyakit busuk pangkal ini berkembang pesat pada suhu tanah 21-33 0 C, dengan suhu optimum 28 0 C, serta kelembaban tanah tinggi. Serangan hebat

terjadi pada tanah yang mengandung banyak kalium, atau tanah yang mengandung bahan organik tinggi tetapi drainase buruk. Suhu yang meningkat selain membantu pertumbuhan Fusarium oxysporum, dapat mengakibatkan pelunakan pada akar tanaman yang menyebabkan akar tanaman menjadi mudah luka dengan pelunakan dan luka pada perakaran tersebut sangat memudahkan patogen dalam proses penetrasi pada tanaman inang (Agrios 2005).

commit to user

C. Fusarium oxysporum f. sp. cepae

Agrios (2005) menyatakan bahwa seluruh populasi jamur patogen di dunia mempunyai ciri morfologi tertentu yang seragam dan membentuk spesies patogen, tetapi beberapa individu dari spesies tersebut hanya menyerang tanaman inang tertentu. Individu tersebut membentuk kelompok yang dinamakan “Formae specialis ”. Setiap forma spesialis menyerang beberapa varietas tumbuhan inang tertentu tidak menyerang beberapa varietas lainnya masing-masing kelompok individu ini dinamakan dengan ras.

Gen yang menjadikan tumbuhan inang rentan terhadap suatu patogen tertentu terdapat hanya pada inang atau mungkin juga pada beberapa tumbuhan inang yang berkerabat. Burgess et al. (2001) menambahkan, bahwa sifat morfologi dan urutan DNA yang dianalisis menandai adanya hubungan genetika antara masing-masing Fusarium. Selain itu, kekhususan gen juga menentukan kemampuan daya hidup dari suatu mikroba patogen yang berpengaruh terhadap virulensi yang dimiliki. Daya hidup berarti lamanya suatu organisme atau mikroba dapat disimpan dan masih mempunyai kemampuan untuk tumbuh dan berkembang yang tinggi.

F. oxysporum

f. sp. cepae menyerang bawang putih yang luka pada waktu

penyiangan, panen, pengangkutan, atau pada waktu pemotongan daun. Gejala pada umbi terserang patogen adalah umbi membusuk dan berwarna kuning coklat, umbi bawang putih menjadi “gembus”. Penyakit Fusarium dapat menyebabkan

layu pada daun bawang putih, gejalanya dimulai dari pucuk daun (Santoso 1988). Jamur penyebab layu Fusarium ini dalam WikiGardener (2010) klasifikasinya adalah: Filum

: Fusarium oxysporum f. sp. cepae

commit to user

10

1. Morfologi Fusarium oxysporum

Morfologi Fusarium oxysporum menurut Semangun (2004) yaitu memiliki struktur yang terdiri dari mikronidium dan makronidium. Jamur ini membentuk miselium bersekat dan pada permukaan koloninya berwarna merah muda atau ungu, tepi bergerigi, permukaan kasar berserabut dan bergelombang. Pada miselium yang lebih tua terbentuk klamidospora. Konidiofor bercabang, rata-rata mempunyai panjang 70µm. Cabang-cabang samping biasanya bersel 1, panjangnya sampai 14µm. Konidium terbentuk pada ujung cabang utama atau cabang samping. Miselium terutama terdapat di dalam sel khususnya di dalam pembuluh, juga membentuk miselium yang terdapat di antara sel-sel, yaitu di dalam kulit dan di jaringan parenkim di dekat terjadinya infeksi.

a. Konidiofor, b. Makrokonidia, c. Klamidospora, d. Mikrokonidia

Gambar 2. Fusarium oxysporum (Sumber: University of Illinois 2010).

Koloni Fusarium biasanya berwarna merah muda sampai biru violet dengan bagian tengah koloni berwarna lebih gelap dibandingkan dengan bagian pinggir. Saat konidium terbentuk, tekstur koloni menjadi seperti wol atau kapas (Fran dan Cook 1998). Agrios (2005) menyatakan F. oxysporum mampu menyebabkan penyakit pada tanaman budidaya disebabkan oleh gen virulensi patogen yang khusus untuk satu atau beberapa jenis tumbuhan inang yang berkerabat. Gen yang menjadikan tumbuhan inang rentan terhadap patogen tertentu atau mungkin juga pada beberapa tumbuhan inang yang berkerabat.

commit to user

11

2. Daur Hidup Penyakit

Temperatur optimum untuk pertumbuhan F.oxysporum f. sp. cepae berkisar antara 24 0 C sampai 27 0 C yang berpengaruh pada diameter koloni dan berat

kering setelah 146 dan 177 jam. Suhu tanah dapat menjadi faktor utama yang memberikan respon untuk perkembangan busuk pangkal Fusarium bawang dalam kondisi lahan di pegunungan, yang umumnya dingin dalam sebagian stadium pertumbuhannya (Abawy dan Lorbeer 1972).

Winarsih (2007) menerangkan bahwa inokulum patogen dapat masuk melalui akar dengan penetrasi langsung atau melalui luka. Di dalam jaringan tanaman, patogen dapat berkembang secara interseluler maupun intraseluler. Klamidospora dapat berkecambah bila ada rangsangan eksudat akar yang mengandung gula dan asam amino, juga dapat dirangsang dengan penambahan residu tanaman ke dalam tanah. Klon tanaman rentan tidak dapat ditanam kembali hingga 30 tahun pada tanah yang sudah terinfeksi Fusarium. Di dalam tanah Fusarium bertahan sebagai parasit pada gulma bukan inangnya. Ujung akar atau bagian permukaan rizoma yang luka merupakan daerah awal utama dari infeksi.

Daur hidup Fusarium oxysporum mengalami fase patogenesis dan saprogenesis. Pada fase patogenesis, jamur hidup sebagai parasit pada tanaman inang. Apabila tidak ada tanaman inang, patogen hidup di dalam tanah sebagai saprofit pada sisa tanaman dan masuk fase saprogenesis, yang dapat menjadi sumber inokulum untuk menimbulkan penyakit pada tanaman lain. Penyebaran propagul dapat terjadi melalui angin, air tanah, serta tanah terinfeksi dan terbawa oleh alat pertanian dan manusia (Winarni 2004).

Fusarium sp. menghasilkan tiga macam toksin yang menyerang pembuluh xilem yaitu asam fusaric, asam dehydrofusaric, dan lycomarasmin. Toksin-toksin tersebut akan mengubah permeabilitas membran plasma dari sel tanaman inang sehingga mengakibatkan tanaman yang terinfeksi lebih cepat kehilangan air daripada tanaman yang sehat. Selain terinfeksi oleh jamur yang berada dalam tanah, tanaman dapat juga menjadi sakit karena jamur yang terbawa oleh bibit yang diambil dari tanaman sakit. Penyakit juga dibantu oleh tanah yang kelembapannya tinggi akibat drainase yang kurang baik (Sastrahidayat 1990).

commit to user

12

3. Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Penyakit

Soesanto (2002) mengatakan penyebaran F. oxysporum dipengaruhi oleh keadaan pH yaitu dari kisaran keasaman tanah yang memungkinkan F. oxysporum tumbuh dan melakukan kegiatannya. Sementara itu, suhu di dalam tanah erat kaitannya dengan suhu udara di atas permukaan tanah. Suhu udara yang rendah akan menyebabkan suhu tanah yang rendah, begitu pula sebaliknya. Suhu selain berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman, juga terhadap perkembangan penyakitnya. F. oxysporum mampu hidup pada suhu tanah antara 10 - 24°C, meskipun hal ini tergantung pula pada isolat jamurnya.

Fusarium sp. merupakan jamur patogen tular tanah atau “soil-borne pathogen ” yang termasuk parasit lemah. Jamur ini menular melalui tanah atau rimpang yang berasal dari tanaman jahe sakit, dan menginfeksi tanaman melalui luka pada rimpang. Luka tersebut dapat terjadi karena pengangkutan benih, penyiangan, pembumbunan, atau karena serangga dan nematoda (Hariyanto 1990). Lebih lanjut dikatakan, apabila kondisi lingkungan tidak menguntungkan, jamur bertahan hidup dalam rimpang, baik di lapangan maupun selama masa penyimpanan. Pada saat kondisi lingkungan menguntungkan, jamur akan menyebabkan pembusukan rimpang dan menular ke rimpang yang lain. Walaupun rimpang sudah tertular, gejala penyakit belum tampak karena memerlukan waktu beberapa bulan dan bila digunakan sebagai bibit sebagian besar tanaman akan terinfeksi jamur patogen tersebut.

Menurut Sastrahidayat (1990), Fusarium oxysporum sangat sesuai pada tanah dengan kisaran pH 4,5-6,0; tumbuh baik pada biakan murni dengan kisaran pH 3,6-8,4; sedangkan untuk pensporaan, pH optimum sekitar 5,0. Pensporaan yang terjadi pada tanah dengan pH di bawah 7,0 adalah 5-20 kali lebih besar dibandingkan dengan tanah yang mempunyai pH di atas 7. Pada pH di bawah 7, pensporaan terjadi secara melimpah pada semua jenis tanah, tetapi tidak akan terjadi pada pH di bawah 3,6 atau di atas 8,8. Suhu optimum untuk pertumbuhan

jamur Fusarium oxysporum adalah 20 0 C dan 30 0 C, maksimum pada 37 0 C atau di bawahnya, minimum sekitar 5 0 C, sedangkan optimum untuk pembentukan spora

adalah 20-25 0 C (Domsch et al. 1993).

commit to user

III. METODE PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian telah dilaksanakan pada Februari 2012 sampai Juli 2012. Pengujian benih bawang putih dilakukan di Laboratorium Hama dan Penyakit Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta. Survei di tingkat petani bawang putih Tawangmangu dilakukan di Kelurahan Gondosuli, Kelurahan Blumbang, dan Kelurahan Kalisoro.

B. Bahan dan Alat Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian benih bawang putih dengan empat varietas yaitu Tawangmangu Baru, Lumbu Hijau, Lumbu Kuning, dan Bawang Jawa, media PDA (Potato Dextrose Agar), aquades, asam laktat 3%, alkohol 90%, spirtus, formalin, dan air.

Alat yang digunakan bak plastik, Laminar Air Flow (LAF), autoklaf, gelas ukur, erlenmeyer, saringan, cawan petri, tabung reaksi, jarum inokulasi, jarum ose, pipet, mikroskop, label, pisau, pinset, kompor listrik, panci, plastik, kapas, tisu, alat tulis, kamera optilab, dan kamera digital.

C. Perancangan Penelitian dan Analisis Data

Perancangan penelitian dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu pengujian benih tanpa dipotong, pengujian benih dipotong melintang 2 bagian, dan pengujian benih dipotong melintang 4 bagian.

1. Pengujian benih tanpa dipotong Penelitian ini dilakukan dengan pengujian benih bawang putih bagian utuh (tanpa dipotong) pada PDA. Rancangan penelitian disusun berdasarkan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 8 ulangan. Perlakuan terdiri dari sejumlah benih bawang putih yang berasal dari daerah yang berbeda yaitu:

A 1 = Varietas Tawangmangu Baru

A 2 = Varietas Lumbu Hijau

A 3 = Varietas Lumbu Kuning

A 4 = Varietas Bawang Jawa

13

13

commit to user

Dengan demikian akan diperoleh 32 unit perlakuan, yaitu:

A 4 U 1 A 4 U 2 A 4 U 3 A 4 U 4 A 4 U 5 A 4 U 6 A 4 U 7 A 4 U 8 Keterangan:

U 1 = Ulangan 1 U 2 = Ulangan 2

U 3 = Ulangan 3 U 4 = Ulangan 4

U 5 = Ulangan 5 U 6 = Ulangan 6

U 7 = Ulangan 7 U 8 = Ulangan 8

Setiap unit perlakuan 18 benih diletakkan secara menyebar dengan jarak sama.

2. Pengujian benih dipotong melintang 2 bagian Penelitian ini dilakukan dengan pengujian benih bawang putih dipotong melintang 2 bagian antara bagian ujung dan pangkal (cross section) pada PDA. Rancangan penelitian disusun berdasarkan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 ulangan. Perlakuan meliputi benih bawang putih yang berbeda yaitu:

A 1 = Varietas Tawangmangu Baru - ujung A 2 = Varietas Lumbu Hijau - ujung A 3 = Varietas Lumbu Kuning - ujung A 4 = Varietas Bawang Jawa - ujung

B 1 = Varietas Tawangmangu Baru - pangkal B 2 = Varietas Lumbu Hijau - pangkal B 3 = Varietas Lumbu Kuning - pangkal B 4 = Varietas Bawang Jawa - pangkal

Dengan demikian akan diperoleh 32 unit perlakuan, yaitu:

Keterangan: U 1 = Ulangan 1 U 2 = Ulangan 2

U 3 = Ulangan 3 U 4 = Ulangan 4

Setiap unit perlakuan 20 benih diletakkan secara menyebar dengan jarak sama.

14

commit to user

3. Pengujian benih dipotong melintang 4 bagian Penelitian dilakukan dengan pengujian benih bawang putih yang dipotong melintang 4 bagian pada PDA. Rancangan penelitian disusun berdasarkan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 ulangan. Perlakuan terdiri dari:

A 1 = Varietas Tawangmangu Baru - ujung 1 A 2 = Varietas Lumbu Hijau - ujung 1 A 3 = Varietas Lumbu Kuning - ujung 1 A 4 = Varietas Bawang Jawa - ujung 1

C 1 = Varietas Tawangmangu Baru - pangkal 1 C 2 = Varietas Lumbu Hijau - pangkal 1 C 3 = Varietas Lumbu Kuning - pangkal 1 C 4 = Varietas Bawang Jawa - pangkal 1

B 1 = Var Tawangmangu Baru - ujung 2 B 2 = Varietas Lumbu Hijau - ujung 2 B 3 = Varietas Lumbu Kuning - ujung 2 B 4 = Varietas Bawang Jawa - ujung 2

D 1 = Var Tawangmangu Baru - pangkal 2 D 2 = Varietas Lumbu Hijau - pangkal 2 D 3 = Varietas Lumbu Kuning - pangkal 2 D 4 = Varietas Bawang Jawa - pangkal 2

Dengan demikian akan diperoleh 64 unit perlakuan, yaitu:

Keterangan: U 1 = Ulangan 1 U 2 = Ulangan 2

U 3 = Ulangan 3 U 4 = Ulangan 4

Setiap unit perlakuan 20 benih diletakkan secara menyebar dengan jarak sama.

15

commit to user

Analisis data penelitian akan menggunakan uji T (T Test). Analisis kualitatif meliputi data visual yang dianalisis dengan menggunakan metode. Sedangkan data kuantitatif akan dianalisis dengan menggunakan analisis ragam berdasarkan uji F (Fisher ’s Test) taraf 5% dan 1%, apabila terdapat beda nyata dilanjutkan dengan Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) taraf 5% dan 1%.

D. Pelaksanaan Penelitian

1. Persiapan benih Memilih benih bawang putih yang didapatkan dari penjual benih di Tawangmangu, masing-masing sekitar 1 kg dengan 4 varietas (Tawangmangu Baru, Lumbu Hijau, Lumbu Kuning, dan Bawang Jawa). Kemudian dilakukan pemilihan benih sesuai jumlah yang akan ditumbuhkan di PDA. Dalam pemilihan benih dilakukan pensortiran kondisi benih yang masih baik yang akan digunakan, serta dilakukan penyeragaman ukuran benih yang sama untuk tiap cawan petri.

2. Sterilisasi alat dan media Alat-alat cawan petri, labu erlenmeyer, dan gelas ukur dicuci dengan detergen, kemudian dikeringkan lalu dimasukkan di autoklaf. Alat tersebut di

setrilisasi dalam autoklaf pada temperatur 121 0 C, 17,5 psi selama 60 menit.

Begitu juga dengan PDA instant yang akan digunakan telah siap, maka media tersebut disterilkan di autoklaf.

3. Penanaman bawang putih Menanam benih bawang putih empat varietas (Tawangmangu Baru, Lumbu Hijau, Lumbu Kuning, dan varietas Bawang Jawa) di dalam cawan petri pada media PDA 25 ml yang sudah ditambahkan asam laktat 3% sebanyak 2-3 tetes. Sebelum ditanam di PDA, benih tersebut direndam terlebih dahulu ke dalam alkohol 90% selama 5 menit. Benih bawang putih dipilih yang berukuran seragam dan tampak sehat diletakkan secara menyebar dengan jarak yang sama. Untuk penananam pengujian benih cross section dilakukan pemotongan bagian sama besar ujung dan pangkal benih.

16

commit to user

4. Pengamatan Fusarium Mengamati setiap hari sampai muncul gejala Fusarium oxysporum f. sp. cepae kurang lebih 14 hari setelah inkubasi. Pengamatan ini merupakan saat hari pertama muncul Fusarium. Pengamatan visual fenotipe meliputi warna, struktur, miselium, bercak (spot), dan browning dengan cara melihat langsung perubahan pada medium PDA.

5. Pengamatan intensitas penyakit Pengamatan dilakukan secara destruktif melalui intensitas penyakit yang tampak dimulai saat terdapat gejala busuk pangkal dengan interval pengamatan 3 hari sekali. Namun untuk pengolahan datanya disederhanakan menjadi 1 minggu sekali.

6. Survei benih sehat versi petani Melakukan survei secara random kepada pemilihan benih bawang putih yang sehat versi petani Tawangmangu yang merupakan daerah pengambilan benih dan sekaligus sentra penanaman bawang putih. Bertujuan untuk memperoleh data pendukung mengenai kenampakan visual benih bawang putih yang dikatakan sehat dan layak dijual. Juga untuk mendapatkan informasi terkait aspek tindak budidaya yang dilakukan oleh petani di Tawangmangu.

E. Pengamatan Peubah

1. Tipe gejala Perkembangan variasi gejala diamati pada kenampakan bagian benih secara visual yang terserang infeksi patogen Fusarium oxysporum f. sp. cepae yaitu berupa warna, struktur, miselium, bercak (spot), dan browning. Pengamatan dilakukan secara destruktif. Kemudian dilanjutkan dengan membuat scooring pada tipe gejala visual tersebut. Identifikasi tipe gejala secara sederhana dikelompokkan bagaimana yang tidak berkenampak gejala dan bagaimana yang bergejala.

17

commit to user

2. Saat muncul gejala Pengamatan saat muncul gejala diamati kapan pertama kali gejala muncul dan pada unit perlakuan yang mana gejala busuk pangkal muncul hingga kerusakan benih.

3. Nilai Area Under the Disease Progress Curve (AUDPC)

Nilai AUDPC diperoleh dari hasil pengamatan insidens penyakit. Perhitungan AUDPC untuk mengetahui jumlah penyakit dalam suatu populasi yang merupakan area di bawah kurva perkembangan penyakit.

Dengan x = insidens penyakit, dan t = waktu pengamatan (minggu ke- 1,2,3,4,5,6,7,8).

4. Insidens penyakit Mengamati persentase perbandingan jumlah benih yang diidentifikasi mengalami busuk (sakit) karena Fusarium oxysporum f. sp. cepae, dengan jumlah benih keseluruhan. Insidens penyakit dihitung berdasarkan nilai scooring dengan rumus:

x100%

InsidensPe nyakit   

Dengan  a = jumlah benih bawang putih yang sakit, dan  b = jumlah benih bawang putih keseluruhan.

5. Laju infeksi Mengamati laju infeksi yang dihitung berdasarkan rumus laju infeksi Van der Plank (1963):

log

xt

Dengan r = laju infeksi, t = limit waktu, xo = jumlah benih sakit pada awal pengamatan, dan xt = jumlah benih sakit pada hari ke-t.

18

commit to user

6. Benih sehat versi petani Pengelompokan hasil survei benih sehat versi petani, yang digolongkan ke dalam karakteristik maupun kenampakan khusus yang diidentifikasi dari rekapan data yang didapat melalui pengalaman dan pengamatan petani. Data pendukung mengenai anggapan penyakit busuk pangkal karena tular benih, asal benih, perlakuan bibit, penyimpanan bibit, serta legalitas bibit yang digunakan.

19

commit to user

20

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kondisi Umum Penelitian

Bawang putih dapat diperoleh dengan membelinya di pasar. Begitu juga ketika kita ingin mendapatkan benih bawang putih tersebut yang tersedia cukup banyak, khususnya di daerah sentra penanaman seperti di Tawangmangu, Jawa Tengah. Benih bawang putih umumnya dapat diperoleh di kios penjual benih atau diperoleh dari hasil panen sebelumnya, tetapi mungkin tidak setiap orang tahu kualitas benih bawang putih.

Penelitian menguji benih bawang putih empat varietas (Gambar 3) yaitu Tawangmangu Baru, Lumbu Hijau, Lumbu Kuning, dan Bawang Jawa. Sebagaimana jenis bawang putih yang banyak ditemui di Indonesia adalah jenis Lumbu hijau (Allium sativum L. var. lumbu hijau), Lumbu kuning (Allium sativum L. var. lumbu kuning), Cirebon (Allium sativum L. var. cirebon), Tawangmangu Allium sativum L. var. tawangmangu), jenis Ilocos (Allium sativum L. var. ilocos) dari Filipina dan jenis Thailand (Wibowo 2003). Umumnya yang digunakan sebagai benih bukan seluruh umbinya, melainkan hanya siungnya saja. Umbi yang dipecah menjadi siung dipilah berdasar keseragaman ukuran siung.

a. Tawangmangu Baru, b. Lumbu Hijau, c. Lumbu Kuning, d. Bawang Jawa Gambar 3. Benih bawang putih yang digunakan

20

commit to user

21 Benih bawang putih yang baik penting untuk mendapatkan pertumbuhan

lapang dan hasil yang tinggi. Sebaiknya benih bawang putih memenuhi kriteria- kriteria berikut. a). Bagian pangkal batang padat (berisi penuh dan keras). b). Siung berpenampilan licin dan tegar, tidak kisut. c). Tunas terlihat segar bila siung dipatahkan. d). Berat siung sekitar 1,5-3 g, bentuk normal. e). Bebas hama- penyakit. Bila benih yang digunakan 3 g/siung maka kebutuhan per hektarnya adalah 1.600 kg. Sedang untuk ukuran siung kecil (sekitar 1 g) menghabiskan 670 kg/ha. Meskipun yang ditanam sebagai benih adalah siung, tetapi kalau membeli benih sebaiknya dalam bentuk umbi. Hal itu disebabkan bawang putih dalam bentuk umbi lebih tahan lama daripada bentuk siung. Umbi boleh dipecah menjadi siung paling tidak 1-2 hari sebelum tanam (Budiarti 2010).

Gambar 4. Pertanaman bawang putih di daerah Pancot, Kalisoro, Kecamatan Tawangmangu