Sikap Masyarakat terhadap Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) dalam Sekolah Inklusi di Kabupaten Wonogiri

SIKAP MASYARAKAT TERHADAP ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DALAM SEKOLAH INKLUSI DI KABUPATEN WONOGIRI

Disusun Oleh : LUTFI ISNI BADIAH

K5108039

SKRIPSI FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

Juli 2012

SIKAP MASYARAKAT TERHADAP ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DALAM SEKOLAH INKLUSI DI KABUPATEN WONOGIRI SKRIPSI

Disusun Oleh : LUTFI ISNI BADIAH

K5108039

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

Juli 2012

DALAM SEKOLAH INKLUSI DI KABUPATEN WONOGIRI

Oleh : Lutfi Isni Badiah K5108039 SKRIPSI

Ditulis dan Diajukan untuk Memenuhi Syarat Mendapatkan Gelar

Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Luar Biasa

Jurusan Ilmu Pendidikan

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA Juli 2012

MOTTO

“ Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan ”. ( Terjemahan QS. Al-Insyiroh: 5-6)

Karya ini dipersembahkan untuk:  Bapak dan Mama tercinta yang telah memberikan

segalanya, dukungan, motivasi terutama doa semoga Allah SWT memberikan kebaikan dan kemuliaan di dunia dan akhirat

 Kakakku Dhanang dan Sophia yang selalu memberiku

semangat  Nanang Pambudi yang selalu menemani, mendukung dan mendo‟akanku dalam menyelesaikan skripsi ini  Ponakanku Dhia yang selalu menjadi pencerah

pikiranku  Sahabat Romantis, Santi, Dian, Wiwit, Esti, Rima, Nurul, Putri, Gandis, Risti, Tita, dan Siska. Terimakasih atas persahabatan yang indah selama 4 tahun. Semoga persahabatan kita tak kan pernah berakhir.

 Rekan-rekan PPL di SLB B YRTRW Surakarta: Esti, Gandis, Shanti, Siska, Tina, Cristanti, Lia, Yunirawati  Teman-teman PKh angkatan 2008  Almamater

Lutfi Isni Badiah. SIKAP MASYARAKAT TERHADAP ANAK

BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DALAM SEKOLAH INKLUSI DI

KABUPATEN WONOGIRI. Skripsi, Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta. Juli. 2012.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) ada atau tidaknya perbedaan sikap antara kepala sekolah, guru dan orangtua terhadap ABK dalam sekolah inklusi, (2) ada atau tidaknya hubungan antara tingkat pendidikan dengan sikap masyarakat terhadap ABK dalam sekolah inklusi, dan (3) ada atau tidaknya perbedaan sikap antara orangtua siswa normal dan orangtua siswa ABK.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode kuantitatif dengan pendekatan deskriptif. Teknik pengambilan sampel penelitian ini dengan menggunakan stratified sample non random. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh kepala sekolah, guru dan orangtua di Kabupaten Wonogiri. Sedangkan untuk sampelnya terdiri dari 50 orangtua siswa normal, 30 orangtua siswa ABK,

50 guru, dan 25 kepala sekolah, sehingga totalnya 145 responden. Teknik pengumpulan data menggunakan skala likert yang berisi 35 butir pernyataan terdiri dari pernyataan positif dan negatif. Untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan sikap antara kepala sekolah, guru dan orangtua terhadap ABK dalam sekolah inklusi digunakan uji Kruskal Wallis, untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara tingkat pendidikan dengan sikap masyarakat terhadap ABK dalam sekolah inklusi digunakan uji korelasi Pearson, sedangkan untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan sikap antara orangtua siswa normal dan orangtua siswa ABK digunakan uji Mann-Whitney.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) tidak terdapat adanya perbedaan sikap antara kelompok kepala sekolah, guru dan orangtua terhadap ABK dalam sekolah inklusi dilihat dari nilai p-value=0,99>0,05; (2) tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan sikap masyarakat terhadap ABK di sekolah inklusi, dilihat nilai p-value=0,326>0,05; (3) terdapat adanya perbedaan sikap antara orangtua normal dan orangtua ABK terhadap ABK di sekolah inklusi, dilihat dari nilai p-value=0,048<0,05.

Kata kunci: inklusi, anak berkebutuhan khusus (ABK), sikap masyarakat.

ABSTRACK

Lutfi Isni Badiah. K5108039. COMMUNITY‟S ATTITUDE TO DISABLED CHILD IN INCLUSIVE SCHOOL IN WONOGIRI REGENCY. Skripsi, Surakarta: Teacher Training and Education Faculty of Surakarta Sebelas Maret University. July. 2012.

The research aims to find out: (1) whether or not there is a difference of attitudes among headmaster, teacher and parents to disabled child at inclusive, school, (2) whether or not there is a relationship between education level and comunity's attitudes to disabled child in inclusive school , and (3) whether or not there is a difference of attitude between normal student‟s parent and Disabled Child„s parents.

The research method used was quantitative method with descriptive approach. The sampling technique used in this research was stratified sample. The population of research was all headmasters, teachers, and parents in Wonogiri Regency. Meanwhile, the sample consisted of 50 normal student ‟s parents, 20 disabled c hild‟s parents, 50 teachers and 25 headmasters, so that there were totally 145 respondents. Technicque of collecting data used was likert scale containing

35 items, both positive and negative. To find out whether or not there was difference of attitude among headmaters, teachers and parents to disabled child at inclusive school, Kruskal Wallis test was used; to find out whether or not there is

a relationship between education level and community‟s attitude to disabled child in inclusive school, Pearson correlation test was used, meanwhile, to find out whether or not there is a difference of attitude between normal student‟s parent and disabled c hild‟s parents, Mann-Whitney test was used.

The results showed that: (1) there was no difference of attitude among headmaster, teacher and parent groups to disabled child at inclusive school, as could be seen from p-value = 0.99 > 0.05; (2) there was no relationship between education level and community‟s attitude to disabled child in inclusive school, as could be seen from p-value = 0.326 > 0.05, (3) there was difference of attitude between the normal student‟s parents and disabled child‟s parents to disabled child in inclusive school, as could be seen from the p-value = 0.048 < 0 , 05.

Keywords: inclusion, disabled child , community‟s attitude.

Puji syukur peneliti panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan berkah-Nya skripsi ini akhirnya dapat diselesaikan, untuk memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.

Banyak hambatan dalam penyelesaian penulisan skripsi ini, namun berkat bantuan dari berbagai pihak akhirnya kesulitan-kesulitan yang timbul dapat teratasi. Untuk itu atas segala bentuk bantuan, penulis menyampaikan terima kasih antara lain kepada:

1. Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatulah, M.Pd, Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberikan ijin penelitian guna menyusun skripsi ini;

2. Prof. Dr. rer. nat. Sajidan, M.Si, Pembantu Dekan 1 Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberikan ijin penelitian guna menyusun skripsi ini;

3. Drs. Amir Fuady, M.Hum, Pembantu Dekan III Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberikan ijin penelitian guna menyusun skripsi ini;

4. Drs. Rusdiana Indianto, M.Pd, Ketua Jurusan Ilmu Pendidikan FKIP UNS Surakarta, yang telah memberikan ijin penyusunan skripsi;

5. Drs. Hermawan, M. Si, Ketua Program Studi Pendidikan Khusus FKIP UNS yang telah memberikan ijin untuk menyusun skripsi;

6. Sekertaris Program Studi Pendidikan Luar Biasa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, Priyono,S.Pd, M.Si;

7. Prof. Drs. Sunardi, M.Sc, Ph.D, selaku Pembimbing I yang dengan sabar telah memberikan pengarahan, bimbingan dan motivasi sehingga skripsi ini dapat terselesaikan;

8. Drs. Maryadi, M.Ag, selaku Pembimbing II yang dengan sabar telah memberikan bimbingan, pengarahan dan dorongan selama penulis 8. Drs. Maryadi, M.Ag, selaku Pembimbing II yang dengan sabar telah memberikan bimbingan, pengarahan dan dorongan selama penulis

10. Drs. H. Siswanto M.Pd, Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Wonogiri yang telah memberikan ijin penelitian.

11. Dra Sri Mulyati, M.Pd, selaku Kepala Bagian Pendidikan TK/SD beserta jajaran staf Dinas Pendidikan Kabupaten Wonogiri yang selalu meluangkan waktu guna terselesaikannya penelitian ini.

12. Segenap Bapak/Ibu dosen Program Studi Pendidikan Khusus yang telah memberikan bekal ilmu pengetahuan, sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi ini

13. Teman-teman Kost Kiki yang selalu menemani dan memberi dukungan sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini.

14. Berbagai pihak yang telah membantu peneliti demi lancarnya penulisan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Akhir kata, semoga skripsi ini berguna dan bermanfaat bagi pihak yang bersedia membacanya dan bagi penulis khususnya.

Surakarta, Juli 2012

Penulis

Halaman

Tabel 2.1 Daftar Nama Kecamatan di kabupaten Wonogiri ......................

36 Tabel 2.2 Jumlah SLB, TK dan SD, Guru dan Murid Diperinci per Kecamatan di Kabupaten Wonogiri Tahun 2007/2008 ............

37 Tabel 2.3. Jumlah Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama dan Atas Diperinci per Kecamatan di Kabupaten Wonogiri Tahun 2007/2008 ........

Tabel 2.4. Daftar Nama Sekolah Inklusi di Kabupaten Wonogiri Tahun

Anggaran 2004 ..................................................................

40 Tabel 3.1. Jenis Kegiatan dan Waktu Penelitian ...............................

49 Tabel 3.2. Kisi-Kisi Sikap Masyarakat Terhadap ABK di Sekolah Inklusi ................................................................................

54 Tabel 4.1 Sikap Masyarakat Secara Umum ......................................

59 Tabel 4.2 Sikap Kepala Sekolah .......................................................

61 Tabel 4.3 Sikap Guru ........................................................................

62 Tabel 4.4 Sikap Orangtua secara umum ...........................................

64 Tabel 4.5. Sikap orangtua siswa normal terhadap ABK ....................

65 Tabel 4.6. Sikap orangtua siswa ABK ...............................................

67 Tabel 4.7

Sikap Masyarakat Berdasarkan tingkat Pendidikan ...........

68 Tabel 4.8 Distribusi Sikap kepala sekolah, guru dan orangtua .........

69 Tabel 4.9 Distribusi Sikap Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan .........................................................................

71 Tabel 4.10 Distribusi Sikap Responden Terhadap ABK Berdasarkan Golongan Orangtua siswa normal dan orangtua ABK ......

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 2.1. Kerangka Berpikir ...........................................................

47

DAFTAR GRAFIK

Halaman Grafik 4.1. Sikap Masyarakat Secara Umum .......................................

60 Grafik 4.2. Sikap Kepala Sekolah ...........................................................

62 Grafik 4.3. Sikap Guru Terhadap ABK di Sekolah Inklusi ....................

63 Grafik 4.4. Sikap Orangtua secara umum ..............................................

65 Grafik 4.5 Sikap Orangtua Siswa Normal ..............................................

66 Grafik 4.6 Sikap Orangtua Siswa ABK ..................................................

67 Grafik 4.7 Sikap Masyarakat Berdasarkan tingkat Pendidikan ..............

68

Halaman Lampiran 1. Kisi-Kisi Instrumen Ujicoba ...............................................

81 Lampiran 2. Instrumen Ujicoba ............................................................

87 Lampiran 3. Data Uji Coba Instumen .....................................................

94 Lampiran 4. Perhitungan Validitas Item .................................................

97 Lampiran 5. Perhitungan Reliabilitas Item .............................................

103 Lampiran 6. Instrumen Penelitian ...........................................................

104 Lampiran 7. Statistik Responden ...........................................................

110 Lampiran 8. Perhitungan antara kelompok kepala sekolah, guru dan orangtua .............................................................................

116 Lampiran 8. Perhitungan hubungan antara sikap dan tingkat pendidikan .........................................................................

117

Lampiran 9. Perhitungan perbedaan antara orangtua normal dan orangtua

ABK .................................................................................... 118 Surat Perijinan

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan salah satu hak asasi yang paling mendasar bagi setiap manusia, tidak terkecuali bagi anak luar biasa atau anak berkebutuhan khusus. Seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional bab III ayat 5 yang menyatakan bahwa setiap warga negara mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan. Dengan demikian, anak- anak dengan kebutuhan khusus seperti tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras dan anak berkesulitan belajar juga memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan pendidikan.

Sampai saat ini belum ada angka yang pasti mengenai prevalensi jumlah anak berkebutuhan khusus (ABK) yang ada di Indonesia. Namun, yang pasti jumlah ABK yang belum memperoleh hak pendidikan masih sangat banyak. Data resmi dari Direktorat PSLB tahun 2007 menyebutkan jumlah ABK yang sudah mengikuti pendidikan formal baru mencapai 24,7% atau 78.689 anak dari populasi anak cacat di Indonesia, yaitu 318.600 anak (Direktorat PSLB, 2008). Hal ini berarti bahwa masih terdapat 65,3% ABK yang masih termarjinalisasikan dan belum mendapatkan hak pendidikan. Kondisi di atas tentu sangat memprihatinkan, mengingat bahwa pendidikan merupakan salah satu hak asasi manusia yang dilindungi dan dijamin oleh berbagai hukum internasional maupun nasional.

Selama ini, pendidikan di Indonesia bagi anak berkebutuhan khusus disediakan dalam tiga macam lembaga pendidikan, yaitu Sekolah Luar Biasa (SLB), Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), dan Pendidikan Terpadu. SLB, sebagai lembaga pendidikan khusus tertua, menampung anak dengan jenis kelainan yang sama, sehingga ada SLB Tunanetra, SLB Tunarungu, SLB Tunagrahita, SLB Tunadaksa, SLB Tunalaras, dan SLB Tunaganda. Sedangkan Selama ini, pendidikan di Indonesia bagi anak berkebutuhan khusus disediakan dalam tiga macam lembaga pendidikan, yaitu Sekolah Luar Biasa (SLB), Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), dan Pendidikan Terpadu. SLB, sebagai lembaga pendidikan khusus tertua, menampung anak dengan jenis kelainan yang sama, sehingga ada SLB Tunanetra, SLB Tunarungu, SLB Tunagrahita, SLB Tunadaksa, SLB Tunalaras, dan SLB Tunaganda. Sedangkan

Di Indonesia sendiri, pada umumnya ABK bersekolah di SLB atau SDLB yang terpisah dari anak normal. Padahal lokasi SLB atau SDLB kebanyakan berada di ibukota kabupaten, sedangkan anak-anak berkebutuhan khusus tersebar hampir di seluruh daerah pelosok, tidak hanya berdomisili di ibukota kabupaten saja. Akibatnya, sebagian dari mereka, terutama yang keadaan kemampuan ekonomi orang tuanya lemah, terpaksa tidak bersekolah karena lokasi SLB jauh dari rumah. Sedangkan apabila akan mendirikan SLB di setiap daerah pelosok, tentu akan menghabiskan dana yang tinggi. Anak berkebutuhan khusus juga tidak bisa bersekolah di SD terdekat, karena SD tersebut tidak bersedia menerima dan merasa tidak mampu melayani. Sebagian yang lain, mungkin selama ini dapat diterima di SD terdekat, namun karena ketiadaan pelayanan khusus bagi mereka, akibatnya mereka beresiko tinggal kelas dan akhirnya putus sekolah. Permasalahan di atas akan berakibat pada kegagalan program wajib belajar 9 tahun seperti yang telah dicanangkan oleh pemerintah. Oleh karena itu diperlukan suatu layanan pendidikan yang mampu mengakomodir seluruh kebutuhan ABK tanpa adanya diskriminasi. Maka diterapkanlah pendidikan inklusi di berbagai sekolah umum untuk melayani pendidikan ABK.

Pendidikan inklusi ini sebenarnya bukan merupakan suatu hal yang baru di dunia pendidikan. Sebelumnya, istilah inklusi tersebut lebih dikenal dengan mainstreaming atau pendidikan terpadu. Di Indonesia sendiri, istilah pendidikan inklusi mulai diperkenalkan dan disosialisasikan sejak tahun 2001. Pemerintah Indonesia sendiri mendukung adanya pengembangan pendidikan inklusi dengan dibuatnya Peraturan Mendiknas No. 70 tahun 2009 tentang Tentang Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa. Di mata dunia, pendidikan inklusi juga

Deklarasi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua (1990), Peraturan Standar PBB tentang Persamaan Kesempatan bagi Para Penyandang Cacat (1993), Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi UNESCO (1994), Undang-undang Penyandang Kecacatan (1997), Kerangka Aksi Dakar (2000) dan Deklarasi Kongres Anak Internasional (2004). Semua instrumen hukum tersebut ingin memastikan bahwa semua anak, tanpa kecuali, memperoleh pendidikan.

Pendidikan inklusi adalah suatu layanan pendidikan yang memberikan kesempatan sebesar-besarnya bagi anak berkebutuhan khusus untuk belajar bersama dengan anak normal di sekolah umum dengan fasilitas yang sesuai dengan kebutuhannya. Hal ini senada dengan simpulan Staub dan Peck dalam Budiyanto (2009: 3) bahwa pendidikan inklusi adalah penempatan anak luar biasa tingkat ringan, sedang, dan berat secara penuh di kelas biasa. Definisi ini menganggap bahwa kelas biasa merupakan penempatan yang relevan bagi semua anak luar biasa, bagaimanapun tingkatannya. Pengertian lain mengenai pendidikan inklusi juga diungkapkan oleh Gunarhadi (2001: 65):

Pendidikan inklusi merupakan layanan pendidikan yang disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan khusus anak secara individual dalam pembersamaan klasikal. Dalam pendekatan ini, tidak akan dilihat dari segi ketidakmampuannya, kecacatannya, dan tidak pula dari segi penyebab kecacatannya.

Edi Purwanta (2002: 3-4) mengemukakan beberapa alasan pentingnya pendidikan inklusi dikembangkan dalam layanan pendidikan bagi anak luar biasa. Alasan tersebut antara lain:

1. Semua anak, baik cacat maupun tidak mempunyai hak yang untuk belajar bersama-sama dengan anak yang lain.

2. Seyogyanya anak tidak diberi label atau dibeda-bedakan secara rigid, tetapi perlu dipandang bahwa mereka memiliki kesulitan dalam belajar.

3. Tidak ada alasan yang mendasar untuk memisah-misahkan anak dalam pendidikan. Anak memiliki kebersamaan yang saling diharapkan di antara mereka. Ia tidak pernah ada upaya untuk melindungi dirinya dengan yang 3. Tidak ada alasan yang mendasar untuk memisah-misahkan anak dalam pendidikan. Anak memiliki kebersamaan yang saling diharapkan di antara mereka. Ia tidak pernah ada upaya untuk melindungi dirinya dengan yang

5. Tidak ada layanan pendidikan di SLB yang mampu mengambil bagian dalam menangani anak di sekolah pada umumnya.

6. Semua anak membutuhkan pendidikan yang dapat mengembangkan hubungan antar mereka dan mempersiapkan untuk hidup dalam masyarakatnya.

7. Hanya pendidikan inklusi yang potensial untuk menekan rasa takut dalam membangun kebertemanan, tanggung jawab, dan pemahaman diri.

Layanan pendidikan inklusi ini telah diterapkan di negara-negara maju di dunia, seperti Amerika dan Norwegia. Norwegia merupakan salah satu negara yang telah menerapkan sistem pendidikan inklusi secara keseluruhan. Semua sekolah disana telah diberikan ketentuan untuk menerima semua siswa normal maupun siswa berkebutuhan khusus untuk belajar bersama-sama dalam sekolah tersebut. Di Indonesia sendiri, model pendidikan inklusi mulai dirintis sejak tahun 2001 dan diujicobakan pada tahun 2002 di Kabupaten Gunung Kidul yang pada saat itu masih menggunakan istilah pendidikan terpadu. Hanya bedanya, dalam pendidikan terpadu, anak berkebutuhan khusus masih harus menyesuaikan diri dengan kurikulum yang ada. Sedangkan dalam pendidikan inklusi, kurikulum yang menyesuaikan dengan kebutuhan masing-masing siswa ABK sehingga dalam kegiatan belajar mengajar diperlukan adanya program pembelajaran individual (PPI).

Munculnya pendidikan inklusi ini, menimbulkan sikap yang berbeda-beda pada masyarakat. Persepsi, sikap, tingkah laku, dan kesiapan untuk menerima dan menerapkannya pun berbeda-beda pula. Sikap masyarakat yang banyak ditunjukkan terhadap pendidikan inklusi dibedakan menjadi tiga, yakni sikap mendukung, sikap menolak, serta sikap acuh tak acuh atau tidak peduli. Adanya perbedaan sikap masyarakat tersebut menurut Ari Wahyudi (2003: 85) dipengaruhi oleh beberapa variabel, diantaranya faktor latar belakang keluarga, Munculnya pendidikan inklusi ini, menimbulkan sikap yang berbeda-beda pada masyarakat. Persepsi, sikap, tingkah laku, dan kesiapan untuk menerima dan menerapkannya pun berbeda-beda pula. Sikap masyarakat yang banyak ditunjukkan terhadap pendidikan inklusi dibedakan menjadi tiga, yakni sikap mendukung, sikap menolak, serta sikap acuh tak acuh atau tidak peduli. Adanya perbedaan sikap masyarakat tersebut menurut Ari Wahyudi (2003: 85) dipengaruhi oleh beberapa variabel, diantaranya faktor latar belakang keluarga,

Penyelenggaraan sistem pendidikan inklusi ini tentunya mengalami berbagai hambatan diantaranya yaitu: kurangnya sosialisasi tentang pendidikan inklusi sehingga berdampak pada kurangnya pengetahuan masyarakat serta kurangnya kesadaran dari masyarakat tentang anak luar biasa yang membutuhkan pelayanan dan kebutuhan khusus. Ditambah lagi, Ari Wahyudi (1998: 22) menyebutkan bahwa masyarakat pada umumnya masih memandang penyandang cacat merupakan bagian dari sekelompok orang yang perlu dikasihani, sehingga sikap negatif terhadap penyandang cacat cenderung nampak dalam kehidupan masyarakat. Apabila kondisi tersebut diatas tidak segera diatasi, maka penyelenggaraan pendidikan sekolah reguler tidak dapat ditingkatkan dengan baik. Untuk itu, diperlukan perhatian dan kerjasama masyarakat terhadap kondisi anak normal dengan anak berkebutuhan khusus.

Dari latar belakang masalah tersebut, maka penulis menyimpulkan beberapa permasalahan sehingga perlu diadakan kajian lebih lanjut dengan judul:

“Sikap Masyarakat Terhadap Anak Berkebutuhan Khusus Dalam Sekolah Inklusi Di Kabupaten Wonogiri”.

Dari latar belakang diatas dapat penulis simpulkan identifikasi masalah sebagai berikut:

1. Masih banyaknya anak berkebutuhan khusus yang belum mendapatkan layanan pendidikan.

2. Kurangnya sekolah luar biasa (SLB) yang dapat menampung anak berkebutuhan khusus.

3. Masih kurangnya layanan pendidikan inklusi bagi anak berkebutuhan khusus.

4. Masih adanya stigma negatif dari masyarakat tentang ABK yang menganggap bahwa kecacatan merupakan kutukan dari Tuhan atau aib keluarga.

5. Kurangnya sosialisasi tentang pendidikan inklusi sehingga berdampak pada kurangnya pengetahuan masyarakat.

6. Kurangnya kesadaran dari masyarakat tentang anak luar biasa yang membutuhkan pelayanan dan kebutuhan khusus.

7. Persepsi masyarakat yang berbeda mengenai pendidikan inklusi di sekolah dasar sesuai dengan tingkat sosial, pemahaman, dan tingkat pendidikannya.

C. Pembatasan Masalah

Dalam identifikasi masalah, muncul permasalahan-permasalahan yang dapat dijadikan obyek penelitian. Hal ini akan mempermudah dalam memilih permasalahan yang ada untuk diteliti. Berdasarkan uraian identifikasi masalah diatas, penulis membatasi masalah pada :

1. Perbedaan sikap antara kepala sekolah, guru dan orangtua.

2. Hubungan sikap dan tingkat pendidikan serta

3. Perbedaan sikap antara orangtua normal dan orangtua ABK.

Perumusan masalah dibuat dengan tujuan untuk memecahkan masalah yang timbul secara sistematik. Berdasarkan pembatasan masalah yang telah diuraikan di atas, maka perumusan masalah yang dapat dikemukakan adalah:

1. Apakah ada perbedaan sikap antara kepala sekolah, guru dan orangtua terhadap ABK dalam sekolah inklusi?

2. Apakah ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan sikap mastarakat terhadap ABK dalam sekolah inklusi?

3. Apakah ada perbedaan sikap antara orangtua siswa normal dan orangtua siswa ABK?

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian yang dapat dikemukakan adalah:

1. Untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan sikap antara kepala sekolah, guru dan orangtua terhadap ABK dalam sekolah inklusi.

2. Untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara tingkat pendidikan

dengan sikap masyarakat terhadap ABK dalam sekolah inklusi.

3. Untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan sikap antara orangtua siswa normal dan orangtua siswa ABK.

F. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis. Secara teoritis, melalui penelitian ini diharapkan dapat membantu mengetahui sikap masyarakat khususnya masyarakat Kabupaten Wonogiri terhadap anak berkebutuhan khusus (ABK) dalam sekolah inklusi, dilihat dari perbedaan sikap antara kepala sekolah, guru dan orangtua, hubungan sikap dan tingkat pendidikan serta perbedaan sikap antara orangtua normal dan orangtua ABK.

a. Dapat memberikan data mengenai sikap masyarakat Wonogiri terhadap anak berkebutuhan khusus (ABK) dalam sekolah inklusi.

b. Dapat memberikan masukan kepada lembaga/penyelenggara sekolah inklusi mengenai sikap masyarakat dan guru tentang inklusi dan ABK.

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Tinjauan Tentang Anak Berkebutuhan Khusus

a. Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus Anak luar biasa masih merupakan istilah yang dipergunakan sampai saat ini, meskipun secara perundang-undangan dan wacana yang berkembang sekarang ini peristilahan tersebut perlu ditinjau kembali.

Banyak istilah yang telah digunakan untuk menyebut anak berkebutuhan khusus, ada yang menyebut sebagai anak cacat, anak berkelainan, anak luar biasa, dan lain sebagainya. Menurut Lay Kekeh

Mathan (2007: 35), WHO telah mengemukakan tentang tiga istilah yang berbeda mengenai anak berkebutuhan khusus, yaitu impairment, disability, dan handicap . Impairment, yang menunjuk pada kelainan atau kekurangan (deficit) secara organik yaitu hilangnya atau adanya abnormalitas dari struktur atau fungsi psikologis, fisiologis maupun anatomis baik bersifat menetap maupun tidak; 2) disability, merujuk pada keterbatasan-keterbatasan segala sesuatu sebagai akibat dari adanya gangguan, sedangkan handicap, lebih merujuk pada anak-anak yang mengalami impairment atau disability sebagai akibat dari faktor-faktor sosial diluar kontrol individu sehingga individu tersebut kurang mampu untuk menampilkan suatu peranan sosialnya.

Menurut Mohammad Efendi (2006: 6), “Anak berkebutuhan khusus adalah anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukan pada ketidakmampuan mental, emosi atau fisik ”. Yang termasuk ke dalam ABK antara lain: tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, kesulitan belajar, gangguan perilaku, anak berbakat, anak dengan gangguan kesehatan. Karena karakteristik dan hambatan yang dimiliki, ABK memerlukan bentuk pelayanan pendidikan Menurut Mohammad Efendi (2006: 6), “Anak berkebutuhan khusus adalah anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukan pada ketidakmampuan mental, emosi atau fisik ”. Yang termasuk ke dalam ABK antara lain: tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, kesulitan belajar, gangguan perilaku, anak berbakat, anak dengan gangguan kesehatan. Karena karakteristik dan hambatan yang dimiliki, ABK memerlukan bentuk pelayanan pendidikan

Sementara Jamila K.A. Muhammad (2008: 37) mendefinisikan anak luar biasa yaitu “Anak-anak yang berbeda dari anak-anak biasa dalam hal ciri-ciri mental, kemampuan komunikasi, sensorik, tingkah laku sosial, ataupun ciri- ciri fisik”. Sehingga perbedaan ini menyebabkan mereka memerlukan modifikasi dalam aktivitas sekolah ataupun pelayanan pendidikan khusus agar mampu untuk berkembang dengan kapasitas maksimal. Sedangkan I.G.A.K Wardhani dkk (2009: 13), mendefinisikan anak luar biasa sebagai anak yang mempunyai sesuatu yang luar biasa yang secara signifikan membedakannya dengan anak-anak seusia pada umumnya.

Berdasarkan definisi diatas dapat penulis simpulkan bahwa anak berkebutuhan khusus atau yang juga disebut anak luar biasa diartikan sebagai anak yang memiliki kelainan atau penyimpangan baik dalam hal fisik, mental, emosi, komunikasi, sensorik atau gabungan dari kelainan tersebut yang sifatnya sedemikian rupa sehingga memerlukan bentuk pelayanan pendidikan khusus yang sudah dimodifikasi sesuai dengan kemampuan, kebutuhan dan potensi mereka masing-masing agar mampu untuk berkembang secara maksimal.

b. Faktor Penyebab Anak Berkebutuhan Khusus Usaha untuk menemukan faktor penyebab terjadinya anak berkebutuhan khusus sudah lama dilakukan. Meskipun sampai kini sudah banyak faktor penyebab yang telah diungkap, belum semua penyebab anak berkebutuhan khusus dapat diketahui. Menurut beberapa referensi ada b. Faktor Penyebab Anak Berkebutuhan Khusus Usaha untuk menemukan faktor penyebab terjadinya anak berkebutuhan khusus sudah lama dilakukan. Meskipun sampai kini sudah banyak faktor penyebab yang telah diungkap, belum semua penyebab anak berkebutuhan khusus dapat diketahui. Menurut beberapa referensi ada

1) Kelainan terjadi sebelum anak lahir (prenatal), yaitu masa di mana anak masih berada dalam kandungan diketahui setelah mengalami kelainan atau ketunaan. Hal ini bisa disebabkan adanya pengaruh bahan kimia atau trauma akibat gesekan atau guncangan, dan obat-obatan. Faktor lain yang mempengaruhi terhadap kelainan anak pada masa prenatal ini antara lain penyakit kronis, diabetes, anemia, kanker, kurang gizi, toxemia, rh faktor, infeksi (rubella, syiphilis, toxoplasmosis, dan cytomegalic inclusion disease /CID), radiasi, kelainan genetik, kelainan kromosom, obat-obatan dan bahan kimia lainnya yang berinteraksi dengan ibu anak semasa hamil.

2) Kelainan saat pada anak lahir (neonatal), yakni masa dimana kelainan itu terjadi pada saat anak dilahirkan. Ada beberapa sebab kelainan saat anak dilahirkan, antara lain anak lahir sebelum waktunya (prematurity), lahir dengan bantuan alat (tang verlossing), posisi bayi tidak normal, analgesia , dan anasthesia, kelahiran ganda, aphyxia, atau karena kesehatan bayi yang bersangkutan.

3) Kelainan yang terjadi setelah anak lahir (postnatal), yakni masa dimana kelainan itu terjadi setelah bayi itu dilahirkan, atau saat anak dalam masa

perkembangan. Ada beberapa sebab kelainan setelah anak dilahirkan, antara lain infeksi, luka, bahan kimia, malnutrisi, deprivation factor dan meningitis, stuip , dan lain-lain.

Menurut I.G.A.K Wardhani dkk dalam Buku Pengantar Pendidikan Luar Biasa, faktor penyebab kelainan pada seseorang dapat dilihat atau bertolak dari jenis keluarbiasaan seseorang. Adapun penjelasannya adalah

Faktor penyebab tunanetra dapat dibedakan menjadi faktor internal dan faktor eksternal.

1) Faktor internal Faktor internal merupakan penyebab ketunanetraan yang timbul dari dalam individu, atau sering disebut juga faktor keturunan. Faktor ini kemungkinan besar terjadi pada perkawinan antarkeluarga dekat dan perkawinan antartunanetra.

2) Faktor eksternal Faktor eksternal merupakan penyebab yang datang dari luar diri individu. Penyebab eksternal ketunanetraan diantaranya karena penyakit rubella dan syphilis, glaukoma (glaucoma), retinopati diabetes (diabetic retinopathy), retinoblastoma, kekurangan vitamin A, terkena zat kimia, dan kecelakaan.

b) Faktor Penyebab Ketunarunguan

Penyebab tunarungu dilihat dari letak gangguan secara anatomis dapat didasarkan pada tipe konduktif dan sensorineural.

1) Tipe konduktif Pada tipe konduktif, terdapat dua bagian kerusakan/gangguan yaitu pada telinga luar dan telinga tengah. Penyebab kerusakan/gangguan yang terjadi pada telinga luar antara lain karena tidak terbentuknya lubang telinga bagian luar dan terjadinya peradangan pada lubang telinga luar. Sedangkan penyebab kerusakan/gangguan yang terjadi pada telinga tengah antara lain: ruda paksa (adanya benturan keras), terjadinya peradangan pada telinga tengah, otosclerosis, tympanisclerosis, anomaly congenital, disfungsi tuba eustachius .

Penyebab tunarungu tipe sensorineural dapat disebabkan oleh faktor genetik dan non genetik. Ketunarunguan karena faktor genetik (keturunan) disebabkan oleh adanya gen ketunarunguan yang menurun dari orang tua kepada anaknya. Sedangkan penyebab ketunarunguan faktor non genetik antara lain: adanya ketidaksesuaian antara darah ibu dan anak, terkena penyakit meningitis dan rubella campak Jerman, trauma akustik.

c) Faktor Penyebab Tunagrahita Seseorang menjadi tunagrahita disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya sebagai berikut:

1) Faktor keturunan Penyebab kelainan yang berkaitan dengan faktor keturunan ini meliputi kelainan kromosom dan kelainan gen karena mutasi.

2) Faktor gangguan metabolisme dan gizi Kegagalan metabolisme dan kegagalan pemenuhan kebutuhan gizi dapat mengakibatkan terjadinya gangguan fisik dan mental pada individu.

3) Faktor infeksi dan keracunan Keadaan ini disebabkan karena terjangkitnya penyakit-penyakit seperti rubella atau syphilis selama janin masih berada di dalam kandungan.

4) Trauma dan zat radioaktif Terjadinya trauma terutama pada otak saat bayi dilahirkan dengan alat bantu atau terkena radiasi zat radioaktif (radiasi sinar-X) saat hamil dapat menyebabkan ketunagrahitaan.

5) Masalah pada kelahiran Masalah yang terjadi pada saat kelahiran, seperti kelahiran yang disertai hypoxia dipastikan bayi akan menderita kerusakan otak, kejang dan napas pendek.

Lingkungan yang menjadi faktor penyebab tunagrahita misalnya status sosial ekonomi yang rendah, serta latar belakang pendidikan keluarga.

d) Faktor Penyebab Tunadaksa

Faktor penyebab tunadaksa dilihat dari penggolongan kelainan sistem otot dan rangka dapat dijelaskan sebagai berikut:

1) Poliomyelitis, disebabkan karena terkena virus polio yang mengakibatkan kelumpuhan dan sifatnya tetap.

2) Muscle dystrophy, penyakit ini ada hubungannya dengan keturunan atau gen.

3) Spina bifida, terbukanya satu atau tiga ruas tulang belakang dan

tidak tertutup lagi semasa masa perkembangan.

e) Faktor Penyebab Tunalaras Faktor penyebab tunalaras dilihat dari penggolongan jenis tunalaras dapat dijelaskan sebagai berikut:

1) Hiperaktivitas, disebabkan karena adanya disfungsi otak, kekurangan oksigen, kecelakaan fisik, keracunan serbuk timah, kekurangan gizi, minuman keras, dan mengkonsumsi obat terlarang selama kehamilan.

2) Distrakbilitas, disebabkan karena disfungsi minimal otak, gangguan metabolisme, kelainan fisik minimal, faktor lingkungan dan faktor keterlambatan perkembangan.

3) Impulsif , disebabkan adanya faktor keturunan, cemas, budaya, disfungsi saraf, perilaku yang dipelajari dari lingkungan, salah asuh dan trauma dalam kehidupannya.

Banyak referensi yang mempunyai pandangan berbeda mengenai faktor yang menjadi penyebab kesulitan belajar. Ada yang menyebutkan kesulitan belajar khusus karena disfungsi sistem saraf yang disebabkan oleh cedera otak pada masa perkembangan otak, ketidakseimbangan zat kimiawi dalam otak, gangguan perkembangan saraf, dan kelambatan proses berkembangan.

Dari penjelasan diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa ada berbagai faktor penyebab keluarbiasaan atau seseorang bisa menjadi berkebutuhan khusus. Faktor penyebab kelainan pada seseorang bisa dilihat dari masa terjadinya kelainan itu sendiri atau bertolak dari jenis keluarbiasaan seseorang. Dengan mengetahui berbagai faktor penyebab tersebut, maka diharapkan dapat menghindari atau mencegah terjadinya keluarbiasaan yang berada di bawah normal dan dapat meminimalkan dampak yang ditimbulkannya.

c. Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus Untuk keperluan pembelajaran, Kirk dan Gallagher dalam Mulyono Abdurrahman (1995: 11) mengklasifikasikan anak luar biasa ke dalam lima kelompok, yaitu kelainan mental, kelainan sensoris, gangguan komunikasi, gangguan perilaku dan tunaganda atau cacat berat.:

1) Kelainan mental, meliputi anak – anak

a) Yang memiliki kapasitas intelektual luar biasa tinggi (intellectually superior) dan

b) Yang lamban dalam belajar (mentally retarded);

2) Kelainan sensoris, meliputi anak –anak dengan

a) kerusakan pendengaran (auditory impairments) dan

b) kerusakan penglihatan (visual impairments);

3) Gangguan komunikasi, meliputi anak – anak dengan 3) Gangguan komunikasi, meliputi anak – anak dengan

4) Gangguan perilaku, meliputi

a) Gangguan emosional (emotional disturbance) dan

b) Ketidaksesuaian perilaku sosial atau tunalaras (social maladjusment); dan

5) Tunaganda atau cacat berat, meliputi macam –macam kombinasi kecacatan, seperti: cerebral palsy dengan tunagrahita, tunanetra dengan tunagrahita, dan sebagainya.

Menurut Lynch dalam Joppy Liando & Aldjon Dapa (2007: 21) mengungkapkan ada tiga kategori anak berkebutuhan khusus, yaitu: anak yang telah berada disekolah namun karena berbagai faktor dan alasan, mereka tidak mencapai kemajuan sebagaimana layaknya; anak-anak yang belum masuk sekolah karena alasan tertentu meskipun umurnya sudah cukup, bahkan akibat sekolah kurang tanggap terhadap keadaan mereka, hal ini semata-mata bukan karena mereka tidak tanggap dalam segi intelektual; kelompok kecil anak yang memiliki kecacatan fisik atau mental yang memerlukan penanganan khusus dalam pendidikannya. Sedangkan pengelompokan anak berkebutuhan khusus dan jenis pelayanannya sesuai dengan Program Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa Tahun 2006 dan Pembinaan Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar Dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional Pendidikan (sic) adalah sebagai berikut:

A. Tunanetra

B. Tunarungu

C. Tunagrahita : (antara lain: Down Syndrome)

1. C : Tunagrahita Ringan (IQ=50-70)

2. C1 : Tunagrahita Sedang (IQ=25-50)

3. C2 : Tunagrahita Berat (IQ<25 )

D. Tunadaksa :

3. Tunalaras (Dysruptive)

4. Tunawicara

5. Tunaganda

6. HIV AIDS

7. Gifted : Potensi Kecerdasan Istimewa (IQ>125)

8. Talented : Potensi Bakat Istimewa (Multiple Intelligences: Language, Logico-mathematic,

Visuo-spatial,

Bodily-kinesthetic, Musical, Interpersonal, Intrapersonal, Natural, Spiritual )

9. Kesulitan Belajar (antara lain: Hyperaktif, ADD/ADHD, Dyslexia/Baca, Dysgraphia /Tulis,

Dyscalculia /Hitung,

Dysphasia /Bicara, Dyspraxia /Motorik)

10. Lambat Belajar (IQ=70 –90)

11. Autis

12. Korban Penyalahgunaan Narkoba

13. Indigo

Dari beberapa penjelasan diatas, dapat penulis simpulkan bahwa klasifikasi anak berkebutuhan khusus pada dasarnya dibedakan menjadi beberapa kelompok seseuai dengan keperluan dan tujuan pengklasifikasian. Secara garis besar, klasifikasi ABK meliputi kelainan secara fisik (tunanetra, tunarungu, tunadaksa); kelainan secara mental (tunagrahita dan anak berbakat); kelainan perilaku (tunalaras); dan kelainan ganda, termasuk juga anak dengan HIV AIDS, anak gifted, kesulitan belajar lambat belajar, autis, korban penyalahgunaan narkoba, serta indigo.

d. Karakteristik Anak Berkebutuhan Khusus Setiap anak berkebutuhan khusus memiliki karakteristik tertentu yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Untuk keperluan identifikasi, di bawah ini akan disebutkan ciri-ciri yang menonjol dari masing-masing jenis anak berkebutuhan khusus menurut Direktorat Pendidikan Luar Biasa:

Anak yang mengalami gangguan penglihatan (tunanetra) secara umum memiliki karakteristik seperti tidak mampu melihat; tidak mampu mengenali orang pada jarak 6 meter; kerusakan nyata pada kedua bola mata; sering meraba-raba/tersandung waktu berjalan; mengalami kesulitan mengambil benda kecil di dekatnya; bagian bola mata yang hitam berwarna keruh/besisik/kering; peradangan hebat pada kedua bola mata; mata bergoyang terus. Nilai standarnya 6, artinya bila anak mengalami 6 gejala di atas, atau lebih, maka anak tergolong tunanetra.

Anak yang mengalami gangguan penglihatan atau tunanetra, biasanya mempunyai penglihatan yang sangat terbatas sehingga untuk belajar mereka memerlukan alat bantu. Pada umumnya anak tunanetra membaca dan menulis dengan huruf braille. Sedangkan pada anak yang ketajaman penglihatannya rendah atau lemah (low vision) masih dapat belajar melalui saluran penglihatan dan biasanya masih dapat membaca tulisan cetak.

Pada umumnya anak tunanetra maupun low vision mempunyai IQ yang normal sama seperti anak normal lainnya, sehingga mereka bisa dididik dan bisa ditempatkan di kelas reguler atau inklusi. Hanya saja, diperlukan alat bantu yang bisa membantu anak dalam belajarnya, misalnya alat tulis braille, buku –buku dengan huruf braille, serta alat bantu pembelajaran yang lain seperti peta timbul dan kamus bicara, dll. Sedangkan untuk anak low vision diperlukan buku cetak dengan huruf yang tebal dan berwarna cerah.

2) Tunarungu/anak yang mengalami gangguan pendengaran

Secara umum, karakteristik anak tunarungu adalah tidak mampu mendengar; terlambat perkembangan bahasa; sering menggunakan isyarat dalam berkomunikasi; kurang/tidak tanggap bila diajak bicara; ucapan kata tidak jelas; kualitas suara aneh/monoton; sering memiringkan kepala dalam usaha mendengar; banyak perhatian terhadap getaran; keluar nanah dari kedua telinga; terdapat kelainan organis telinga. Nilai standarnya 7, Secara umum, karakteristik anak tunarungu adalah tidak mampu mendengar; terlambat perkembangan bahasa; sering menggunakan isyarat dalam berkomunikasi; kurang/tidak tanggap bila diajak bicara; ucapan kata tidak jelas; kualitas suara aneh/monoton; sering memiringkan kepala dalam usaha mendengar; banyak perhatian terhadap getaran; keluar nanah dari kedua telinga; terdapat kelainan organis telinga. Nilai standarnya 7,

Anak tunarungu perlu mendapatkan alat bantu untuk menunjang mereka belajar. Alat bantu di bidang pengembangan akademik bagi anak tunarungu pada hakekatnya tidak jauh berbeda dengan anak normal, tetapi karena mereka memiliki kelebihan di bidang visual, alat bantu tersebut sebaiknya diberikan aksen warna yang kuat. Untuk membantu pendengarannya dapat dilakukan dengan menggunakan alat bantu dengar (hearing aid) dan untuk membantu pendengaran dalam proses pembelajaran dapat digunakan alat –alat seperti hearing group dan loop induction system . Sedangkan untuk membantu pengembangan kemampuan berkomunikasi dan bahasa perlu diberikan latihan bina persepsi bunyi dan irama pada anak.

3) Tunadaksa/anak yang mengalami kelainan angota tubuh gerakan

Secara fisik, anak yang mengalami kelainan angota tubuh/gerakan memiliki karakteristik seperti anggota gerak tubuh kaku/lemah/lumpuh; kesulitan dalam gerakan (tidak sempurna, tidak lentur/tidak terkendali); terdapat bagian anggota gerak yang tidak lengkap/tidak sempurna/lebih kecil dari biasa; terdapat cacat pada alat gerak; jari tangan kaku dan tidak dapat menggenggam; kesulitan pada saat berdiri/berjalan/duduk; dan menunjukkan sikap tubuh tidak normal; hiperaktif/tidak dapat tenang. Nilai standarnya 5, artinya bila anak mengalami 5 gejala di atas, atau lebih, maka anak tergolong tunadaksa.

(tunadaksa) memerlukan pengajaran, peralatan, dan penempatan secara khusus. Sangat penting bagi seorang pendidik untuk mengerti bagaimana gangguan fisik dan kesehatan itu berpengaruh terhadap belajar, perkembangan atau tingkah laku anak.

Akibat mengalami gangguan pada motorik dan intelegensinya, maka anak tunadaksa (terutama cerebal palsy) sering mengalami kesulitan dalam menguasai kemampuan membaca, menulis dan berhitung. Karenanya diperlukan layanan dan alat bantu khusus seperti kartu abjad untuk pengenalan huruf, kata dan kalimat; kotak bilangan; dan geometri sharpe untuk pengenalan bentuk dan menyortir bentuk geometri.

4) Tunagrahita/anak yang mengalami kelainan mental Karakteristik secara umum anak yang mengalami kelainan mental (tunagrahita) memiliki penampilan fisik tidak seimbang, misalnya kepala terlalu kecil/besar; tidak dapat mengurus diri sendiri sesuai usia; perkembangan bicara/bahasa terlambat; tidak ada/kurang sekali perhatiannya terhadap lingkungan (pandangan kosong); koordinasi gerakan kurang (gerakan sering tidak terkendali); sering keluar ludah (cairan) dari mulut (ngiler). Nilai standarnya 4, artinya bila anak mengalami 4 gejala di atas, atau lebih, maka anak tergolong tunagrahita.

Untuk keperluan pembelajaran, menurut Budiyanto (2009: 120) anak yang mengalami kelainan mental diklasifikasikan berdasarkan taraf subnormalitas intelektual (sic) adalah sebagai berikut:

a) Taraf perbatasan atau lamban belajar (the borderline or the slow

learner , IQ 70-85)

b) Tunagrahita mampu didik (educable mentally retarded, IQ 50-70

atau 75)

c) Tunagrahita mampu latih (trainable mentally retarded, IQ 30 atau 35

sampai 50 atau 55) dan sampai 50 atau 55) dan

yang tergolong subnormal, akan mengalami kesulitan dalam mengikuti program reguler di sekolah dasar. Meskipun demikian, anak tunagrahita mampu didik dipandang masih memiliki potensi untuk menguasai mata pelajaran akademik di sekolah dasar, dan mampu di didik untuk melakukan penyesuaian sosial yang dalam jangka panjang dapat berdiri sendiri dalam masyarakat. Sarana dan prasarana khusus yang dibutuhkan anak tunagrahita antara lain latihan sensori visual, latihan sensori perabaan, latihan sensori pengecap dan perasa, latihan bina diri, konsep dan simbol bilangan, kreativitas daya pikir dan konsentrasi, alat pengajaran bahasa, serta latihan perseptual motor.

5) Tunalaras/anak yang mengalami gangguan emosi dan perilaku

Karakteristik anak yang mengalami gangguan emosi dan perilaku memiliki karakteristik sebagai berikut: bersikap membangkang; mudah terangsang emosinya; sering melakukan tindakan agresif; sering bertindak melanggar norma sosial/norma susila/hukum. Nilai standar 4, artinya bila anak mengalami 4 gejala di atas, atau lebih, maka anak tergolong tunalaras.

Anak tunalaras memiliki kecerdasan yang tidak berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Prestasi yang rendah di sekolah disebabkan karena mereka kehilangan minat dan konsentrasi belajar karena masalah gangguan emosi yang mereka alami. Kegagalan dalam belajar di sekolah seringkali menimbulkan anggapan bahwa mereka memiliki intelegensi yang rendah. Untuk mendidik anak yang mengalami gangguan emosi dan perilaku diperlukan sarana dan prasarana khusus misalnya asesmen gangguan perilaku dengan adaptive behavior Inventory for Children dan AAMD Adaptive behavior Scale , alat terapi perilaku dan alat terapi fisik.

keseluruhan, ABK masih dapat dididik dan masih bisa dikembangkan potensi yang dimilikinya. Bahkan, ABK pun bisa ditempatkan dalam sekolah inklusi dan bisa mengikuti pelajaran bersama anak normal lainnya di sekolah reguler. Agar ABK bisa mengikuti program di sekolah dengan baik, maka sekolah inklusi pun perlu memodifikasi pembelajaran, mempersiapkan dan menyediakan sarana dan prasarana khusus yang dibutuhkan dan sesuai dengan kebutuhan masing-masing anak berkebutuhan khusus.

2. Tinjauan Tentang Sikap Masyarakat

a. Sikap