Pemanfaatan ekstrak teh hijau dalam pengembangan beras fungsional untuk penderita Diabetes Melitus

(1)

PEMANFAATAN EKSTRAK TEH HIJAU

(Camellia sinensis O.Kuntze) DALAM

PENGEMBANGAN BERAS FUNGSIONAL

UNTUK PENDERITA DIABETES MELITUS

SRI WIDOWATI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul:

PEMANFAATAN EKSTRAK TEH HIJAU (Camellia sinensis O. Kuntze) DALAM PENGEMBANGAN BERAS FUNGSIONAL UNTUK PENDERITA

DIABETES MELITUS

Adalah gagasan atau hasil penelitian disertasi karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing, dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun.

Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Mei 2007 Sri Widowati NIM F261030031


(3)

RINGKASAN

SRI WIDOWATI 2007. Pemanfaatan Ekstrak Teh Hijau (Camellia sinensis O.Kuntze) dalam Pengembangan Beras Fungsional untuk Penderita Diabetes Melitus. Dibawah bimbingan MADE ASTAWAN sebagai Ketua Komisi serta

DEDDY MUCHTADI dan TUTIK WRESDIYATI sebagai Anggota Komisi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan beras dengan daya cerna pati in vitro rendah sebagai pangan fungsional untuk penderita diabetes melitus. Penurunan daya cerna pati dilakukan dengan perlakuan ekstrak teh hijau. Bahan penelitian adalah sepuluh varietas beras Indonesia, yaitu Pandan Wangi, Rojolele, Bengawan Solo, Cenana-Bali (beras merah), Memberamo, Celebes, Ciherang, Batang Piaman, Cisokan, dan Lusi (ketan). Beras diperoleh dari Balai Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi. Sebagai pembanding digunakan beras Taj Mahal, yang di pasaran dikenal sebagai beras untuk penderita diabetes. Teh hijau (Camellia sinensis O. Kuntze) diperoleh dari Kebun Percobaan Pasir Sarongge, Cianjur. Penelitian dibagi menjadi empat tahap, yaitu: 1) Penapisan aktivitas hipoglikemik dan analisis komposisi kimia beras, 2) Proses pembuatan beras pratanak dan beras instan fungsional, 3) Evaluasi daya hipoglikemik beras fungsional dan analisis histologi jaringan pankreas, serta 4) Penentuan indeks glikemik (IG) beras.

Pada penapisan aktivitas hipoglikemik diperoleh lima kategori varietas beras berturut-turut dari aktivitas hipoglikemik tertinggi sampai terendah, yaitu: 1) Cisokan, 2) Batang Piaman, 3) Memberamo, Cenana-Bali, Lusi, Bengawan Solo, 4) Pandan wangi, Taj Mahal, Celebes, Rojolele, dan 5) Ciherang. Varietas Memberamo terpilih untuk diproses menjadi beras fungsional, karena aktivitas hipoglikemiknya relatif tinggi, mengandung serat pangan larut (3.95%) dan pati resisten (2.68%) tertinggi di antara varietas yang diuji, serta memiliki kadar amilosa rendah (19.30%) sehingga tekstur nasi pulen dan rasa enak.

Proses terpilih dalam pembuatan beras Memberamo pratanak fungsional (BMPF), yaitu pembersihan gabah, dilanjutkan dengan perendaman dalam ekstrak teh 7% (T = 60ºC, t = 4 jam, perbandingan gabah dengan ekstrak teh = 1:3), pemasakan dengan ekstrak teh 7% (presto P = 80 kPa ~ 0.79 ATM, t = 20 menit, perbandingan gabah dengan ekstrak teh = 1:3), pengeringan I (100ºC, k.a. 18-20%), pengeringan II (60ºC, k.a. 12%), dan penggilingan gabah pratanak. Sedangkan proses terpilih dalam pembuatan beras Memberamo instan fungsional (BMIF), yaitu perendaman beras dalam ekstrak teh 4% (T = 50ºC, t = 2 jam, perbandingan beras dengan ekstrak teh = 1:1), pemasakan dengan ekstrak teh 4% (presto P = 80 kPa, t = 10 menit, perbandingan beras dengan ekstrak teh = 1:1), pembekuan (-4ºC, 24 jam), dan pengeringan (60ºC, 4 jam). Perlakuan ekstrak teh hijau dan jenis proses pengolahan berpengaruh terhadap karakteristik produk beras, terutama yang terkait dengan IG. Daya cerna pati in vitro beras Memberamo (BM) adalah 71.18%, BMPF 11.25%, BMIF 41.39%, dan beras Taj Mahal (BTM) 99%. Kadar fenol bebas dari BM, BMPF, BMIF, dan BTM berturut-turut adalah 0.0, 0.73, 1.68, dan 0.0 % (bk). Hal ini menunjukkan perlakuan ekstrak teh hijau dapat menurunkan daya cerna pati in vitro.

Selanjutnya dilakukan pengujian daya hipoglikemik beras fungsional menggunakan tikus percobaan (tikus putih jantan, strain Sprague Dawley). Tikus

Formatted: Font: Not Bold, Not I talic

Formatted: Font: Not Bold, Not I talic

Formatted: Font: Not Bold, Not I talic

Formatted: Font: Not Bold, Not I talic

Deleted: serta Evaluasi Sifat Fisiko

Deleted: k Deleted: dan Gizi


(4)

model DM dibuat melalui injeksi aloksan, dengan dosis 110 mg/kg berat badan. Tikus dikelompokkan menjadi enam kelompok (n = 6), yaitu KN (kontrol negatif, tikus normal) dan KP (kontrol positif, tikus DM) yang diberi ransum dengan sumber pati dari BM, kelompok tikus DM lainnya diberi ransum dengan sumber pati dari BMIF, BMPF, BTM, dan BMF (beras Memberamo fungsional, yaitu BM yang direndam dalam ekstrak teh 4% selama 2 jam lalu dikeringkan).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar glukosa darah tikus selama masa perlakuan (36 hari) sangat fluktuatif. Konsumsi beras fungsional, terutama BMIF menunjukkan kecenderungan penurunan kadar glukosa darah tikus DM. Penderita DM akan mengalami perubahan morfologi sel-β pankreas, baik dalam ukuran maupun jumlahnya. Hasil analisis histologi jaringan pankreas tikus percobaan dengan pewarnaan Hematoksilin-Eosin menunjukkan jumlah pulau Langerhans (PL) per lapang pandang dengan perbesaran 20x pada BMIF (1.87), BMPF (1.80), dan BMF (1.60), lebih banyak dan berbeda nyata (p < 0.05) dibandingkan dengan KP (0.53), meskipun belum dapat menyamai KN yaitu 3.87 buah. Namun, morfologi PL belum menunjukkan jumlah produksi dan sekresi insulin. Oleh karena itu dilanjutkan dengan pewarnaan imunohistokimia terhadap sel-β pankreas. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata jumlah sel-β dari 15 PL untuk BMIF, BMPF, dan BMF berturut-turut adalah 27.13, 20.33, dan 18.20 buah, yang lebih banyak dibandingkan dengan KP (7.47), meskipun belum dapat menyamai KN (89.33). Konsumsi beras fungsional dengan perlakuan ekstrak teh hijau dapat menghambat laju kerusakan sel-β pankreas.

Sejalan dengan penurunan daya cerna pati in vitro dan penghambatan laju kerusakan sel-β pankreas, perlakuan ekstrak teh hijau juga menurunkan IG beras fungsional. IG beras Memberamo adalah 67, ketika dibuat beras fungsional IG-nya menjadi 60, IG beras pratanak fungsional adalah 56, dan beras instan fungsional mempunyai IG = 49, sedangkan IG beras Taj Mahal adalah 66.

Dapat disimpulkan bahwa ekstrak teh hijau dengan konsentrasi 4 % (dalam pengolahan beras instan) dan 7 % (dalam pengolahan beras pratanak) dapat menurunkan daya cerna pati in vitro dari 71.18 % (beras Memberamo) menjadi 41.39 % (beras Memberamo instan fungsional) dan 11.25 % (beras Memberamo pratanak fungsional). Konsumsi beras fungsional dengan ekstrak teh hijau (terutama BMIF) selama 36 hari dapat mengendalikan kadar glukosa darah dan menghambat laju kerusakan sel-β pankreas pada tikus DM. Penurunan daya cerna pati in vitro berpengaruh terhadap meningkatknya aktivitas hipoglikemik, sehingga perlakuan ekstrak teh hijau dalam pengolahan beras fungsional dapat menurunkan IG.


(5)

SUMMARY

SRI WIDOWATI 2007. The Utilization of Green Tea (Camellia sinensis O.Kuntze) Extract in the Development of Functional Rice for Diabetes Mellitus Patients. Under supervision of MADE ASTAWAN as Head of Supervisor,

DEDDY MUCHTADI and TUTIK WRESDIYATI as Members.

This research aimed to investigate rice wich has low starch digestibility and suitable for diabetic patients. Reducing in vitro starch digestibility was conducted by using green tea extract. Materials used were ten Indonesian rice varieties i.e. Pandan Wangi, Rojolele, Bengawan Solo, Cenana-Bali (red rice), Memberamo, Celebes, Ciherang, Batang Piaman, Cisokan, and Lusi (glutinuous rice) which were obtained from Research Institute for Rice, Sukamandi and green tea (Camellia sinensis O. Kuntze) was obtained from Pasir Sarongge Plant Station, Cianjur. Taj Mahal rice, the rice claimed suitable for diabetics patients was used for comparison. The research was divided into four steps, i.e.: 1) Screening of hypoglycemic activity and analysis of rice chemical composition, 2) Processing of functional parboiled and instant rice, 3) Evaluation of hypoglycemic ability of functional rice and histology analysis of pancreas tissue, and 4) Assessment of glycemic index (GI) of rice.

Screening of hypoglycemic activity resulted in five categories of rice varieties, which were ranked from the highest to the lowest hypoglycemic activity i.e.: 1) Cisokan, 2) Batang Piaman, 3) Memberamo, Cenana-Bali, Lusi, Bengawan Solo, 4) Pandan wangi, Taj Mahal, Celebes, Rojolele, and 5) Ciherang. Memberamo was selected as the variety to be processed as functional rice, due to its relatively high hypoglycemic activity, and its highest soluble dietary fiber (3.95%) and resistant starch (2.68%) among examined varieties, and it has low amylose (19.30%) content resulted in soft texture and preferable taste of cooked rice.

Functional parboiled Memberamo rice (BMPF) was produced using this selected method: paddy was cleaned, then soaked in 7% of green tea extract (T = 60ºC, t = 4 h, ratio of paddy : green tea extract = 1:3), followed by cooking in 7% of green tea extract (presto P = 80 kPa ~ 0.79 ATM , t = 20 minutes, ratio paddy : green tea extract = 1:3), drying I (100ºC, m.c. 18-20%), drying II (60ºC, m.c. 12%), and milling of parboiled paddy. The functional instant Memberamo rice (BMIF) was produced using this selected method: Milled rice was soaked in 4% of green tea extract (T = 50ºC, t = 2 h, ratio of rice : green tea extract = 1:1), followed by cooking in 4% of green tea extract (P = 80 kPa, t = 10 minutes, ratio of rice : green tea extract = 1:1), freezing (-4ºC, 24 h), and drying (60ºC, 4 h). Green tea extract treatment and processing methods influenced the characteristics of rice products, mainly related to GI. In vitro starch digestibility of Memberamo rice (BM) was 71.18%, BMIF was 41.39%, BMPF was 11.25%, and Taj Mahal rice (BTM) was 99%. While the free phenol content of BM, BMPF, BMIF and BTM were 0.0, 0.73, 1.68 and 0.0% (db), respectively. It was indicated that green tea extract treatment reduce the in vitro starch digestibility of functional rice.

In vivo assessment of hypoglycemic ability of functional rice was conducted by using rat model (male Sprague Dawley rats). Diabetic rat was obtained by inducing with a single injection of alloxan at a dose of 110 mg/kg body weight.

Deleted: processing followed

Deleted: cess Deleted: by

Deleted: es Deleted: ed


(6)

Rats were separated into six groups (n = 6) based on the starch source of the rations, i.e. : KN (negative control, normal rats) and KP (positive control, DM rats) were feed the ration with starch source from BM (Memberamo rice), while another groups were feed the ration with starch source from BMIF, BMPF, BTM, and BMF (functional Memberamo rice, i.e. BM soaked in 4% of green tea extract for 2h, then dried).

Result showed that blood glucose level of the rats during treatment were fluctuative. Consumption of functional rice (36 days), especially BMIF, showed a decrease of rat blood glucose level. Histology analysis by Hematoxylin-Eosin staining indicated that number of Langerhans islet of rats on BMIF (1.87), BMPF (1.80), and BMF (1.60), were greater and significantly differ (p < 0.05) from that of rats on KP (0.53), but smaller than rats on KN (3.87). Morphology of Langerhans islets were not directly indicated the number of insulin secretion. Therefore, the immunohistochemistry staining was conducted toward pancreatic β-cells. The result showed that the number of β-cells (average of 15 Langerhans islets) of rat pancreas on BMIF, BMPF, and BMF were 27.13, 20.33, and 18.20, respectively. Those number of β-cellswere greater than that of rat pancreas on KP (7.47) but smaller than that of rat pancreas on KN (89.33). Consumption of functional rice by using green tea extract treatment for 36 days could inhibit the rate of pancreatic β-cells damage.

Green tea extract treatment was not only reduce the in vitro starch digestibility and inhibited the rate of pancreatic β-cells damage, but also reduced the GI of rice. Result showed that GI of Memberamo milled rice was 67, functional Memberamo rice has GI = 60, GI of functional parboiled Memberamo rice was 56, and GI of functional instant Memberamo rice was 49, while GI of Taj Mahal was 66.

It was concluded that 4 % of green tea extract used in the instant rice processing and 7 % on parboiled rice processing could reduce the in vitro starch digestibility from 71.18 % (Memberamo milled rice) to 41.39 % (functional instant Memberamo rice) and 11.25 % (functional parboiled Memberamo rice). Thirty six days consumption of functional rice with green tea extract (mainly BMIF) could control blood glucose level and inhibited the rate of pancreatic β -cells damage the diabetic rats. Reducing in vitro starch digestibility tends to increase its hypoglycemic activity and green tea extract treatment during functional rice processing could lower the GI of rice.

Deleted: gave Deleted: gave

Deleted: ence Deleted: than


(7)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya

Deleted: ¶ ¶


(8)

PEMANFAATAN EKSTRAK TEH HIJAU

(Camellia sinensis O. Kuntze) DALAM

PENGEMBANGAN BERAS FUNGSIONAL

UNTUK PENDERITA DIABETES MELITUS

SRI WIDOWATI

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(9)

Penguji pada Ujian Tertutup: Prof. Dr. Soewarno T. Soekarto

Penguji pada Ujian Terbuka: 1. Prof. (Riset) Dr. Ir. Djoko S. Damardjati, M.S. 2. Dr. Ir. Nuri Andarwulan, M.Si.


(10)

Judul Disertasi : Pemanfaatan Ekstrak Teh Hijau (Camellia sinensis O. Kuntze) dalam Pengembangan Beras Fungsional untuk Penderita Diabetes Melitus

Nama : Sri Widowati NIM : F261030031

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Made Astawan, MS. Ketua

Prof. Dr. Ir. Deddy Muchtadi, M.S. drh. Tutik Wresdiyati, Ph.D. Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Pangan Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof.Dr.Ir. Betty Sri Laksmi Jenie, M.S. Prof.Dr.Ir.Khairil A.Notodiputro, M.S.


(11)

PRAKATA

Syukur alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala karunia Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan disertasi ini. Disertasi berjudul Pemanfaatan Ekstrak Teh Hijau (Camellia sinensis O.Kuntze) dalam Pengembangan Beras Fungsional untuk Penderita Diabetes Melitus ini, merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pangan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Made Astawan, M.S. sebagai Ketua Komisi Pembimbing, yang sejak awal penulis menjalani tugas belajar di IPN-IPB selalu memberikan semangat dan motivasi belajar serta arahan, bimbingan dan masukan yang sangat berarti selama proses penelitian dan penyusunan disertasi ini.

2. Bapak Prof. Dr. Ir. Deddy Muchtadi, M.S. sebagai Anggota Komisi Pembimbing, yang telah memberikan strategi menjalani tugas belajar di IPN, serta bimbingan dan masukan yang sangat bermanfaat dalam penelitian dan penyusunan disertasi ini.

3. Ibu drh. Tutik Wresdiyati. Ph.D. sebagai Anggota Komisi Pembimbing, yang dengan penuh kesabaran telah memberikan bimbingan dan masukan sangat bermanfaat selama penelitian, khususnya bidang Histologi yang merupakan hal baru bagi penulis, dan dalam proses penyusunan disertasi ini.

4. Ibu Prof. Dr. Ir. Betty Sri Laksmi Jenie, M.S. selaku Ketua Program Studi Ilmu Pangan dan seluruh staf pengajar IPN yang telah banyak membantu selama penulis menjalani tugas belajar di IPN.

5. Bapak Prof. Dr. Soewarno T. Soekarto yang telah berkenan meluangkan waktu sebagai Penguji Luar saat pelaksanaan Ujian Tertutup maupun pada Ujian Pra-kualifikasi.

6. Bapak Prof. (Riset) Dr. Ir. Djoko Said Damardjati, M.S. yang telah berkenan meluangkan waktu sebagai Penguji Luar saat pelaksanaan Ujian Terbuka dan memberikan masukan yang bermakna dalam penyempurnaan disertasi ini.


(12)

7. Ibu Dr. Ir. Nuri Andarwulan, M.S. yang telah berkenan sebagai Penguji Luar saat pelaksanaan Ujian Terbuka dan memberikan masukan untuk penyempurnaan disertasi ini.

8. Bapak Dr. Ahmad Suryana, Kepala Badan Litbang Pertanian dan Bapak Ir. Wisnu Broto, M.S., Kepala Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian yang telah memberikan kepercayaan penugasan belajar.

9. Pemimpin Proyek PAATP, Badan Litbang Pertanian yang telah memberikan dana selama penugasan belajar dan penelitian ini.

10.Bapak Dr. Ir. Ridwan Thahir, mantan Kepala Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian yang telah mengupayakan dana dan kepercayaan penugasan belajar. 11.Ungkapan terima kasih yang mendalam dan tulus saya sampaikan kepada

suamiku tercinta RM. Susetyanto, S.E., M.Si., yang dengan penuh kasih sayang, pengertian dan kesabaran, selalu memberi dukungan dan semangat selama penulis menjalani tugas belajar. Demikian juga untuk putriku semata wayang Rr. Arumdyah Tyasayu Parameswari, yang penuh kemandirian dan pengertian mendukung ibundanya yang sedang menjalani tugas belajar. 12.Kepada ayundaku, Lis Utari, S.Sos. dan Dra. Eni Priwanti, serta adiku Dra.

Endang Jatmikaningsih dan Ir. Gunawan Wijanarko serta seluruh keluarga besar Daroes Boediharsono atas dukungan, doa dan kasih sayangnya.

13.Ibunda Dra. Sunaryati Sutanto, M.S. dan seluruh keluarga besar RM Sutanto Sewoyo atas doa dan dukungan baik moril maupun materiil.

14.Teman-teman peneliti, analis dan teknisi serta seluruh keluarga besar Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian.

15.Pak Adi yang telah membantu pelaksanaan penelitian di Lab. Hewan Percobaan Fateta-IPB serta teman-teman di Lab. Histologi FKH-IPB.

16.Rekan-rekan FORMASIP yang telah bersama-sama membagi suka dan duka selama berjuang di IPN.

17.Semua pihak yang telah memberi dukungan dan bantuan, yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

Akhirul kalam, penulis berharap semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Mei 2007


(13)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Magelang, Jawa Tengah pada tanggal 16 Nopember 1959, dari ayahanda Daroes Boediharsono (almarhum) dan ibunda Chodiyah (almarhumah). Penulis adalah putri ketiga dari lima bersaudara. Pada tahun 1978 penulis lulus dari SMA Negeri Magelang, kemudian melanjutkan studi di Fakultas Teknologi Pertanian, UGM dan memperoleh beasiswa dari Yayasan Sumantri Brojonegoro, lulus tahun 1983. Pada tahun 1989 penulis menerima beasiswa dari ACIAR-AIDAB untuk melanjutkan studi di The New South Wales University, Australia dan lulus tahun 1990. Bulan September 2003, penulis mendapat kesempatan kembali meneruskan studi pada Program Studi Ilmu Pangan IPB, dengan beasiswa dari PAATP Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Penulis mengawali karier sebagai peneliti pada Balai Penelitian Tanaman Pangan Sukamandi tahun 1984 hingga 1993. Kemudian alih tugas pada Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan, Bogor dari tahun 1993 hingga 2001. Sejak tahun 2002 penulis kembali alih tugas pada Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Bogor dan saat ini penulis bekerja sebagai Peneliti Utama. Penulis aktif di berbagai organisasi saat sekolah, antara lain sebagai Ketua/pengurus OSIS, Pramuka, IAS (Indonesian Association Student)-Australia, FORMASIP (Forum Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Pangan) dan Forum WACANA (Forum Mahasiswa Pascasarjana), IPB. Selain itu, juga tercatat sebagai anggota/pengurus organisasi profesi yaitu PERMI, PAPTI dan PBI serta sebagai anggota Dewan Redaksi antara lain Jurnal AgroBio (1999-2002) dan Jurnal Tekologi & Industri Pangan (2000-sekarang).

Pada bulan Desember 1986 penulis menikah dengan RM. Susetyanto, S.E., M.Si. dan dikaruniai seorang putri, Rr. Arumdyah Tyasayu Parameswari (19 tahun) yang saat ini sedang menjalani studi di UGM, Yogyakarta.


(14)

i

PRAKATA

Syukur alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala karunia Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan disertasi ini. Disertasi berjudul Pemanfaatan Ekstrak Teh Hijau (Camellia sinensis O.Kuntze) dalam Pengembangan Beras Fungsional untuk Penderita Diabetes Melitus ini, merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pangan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Made Astawan, M.S. sebagai Ketua Komisi Pembimbing, yang sejak awal penulis menjalani tugas belajar di IPN-IPB selalu memberikan semangat dan motivasi belajar serta arahan, bimbingan dan masukan yang sangat berarti selama proses penelitian dan penyusunan disertasi ini.

2. Bapak Prof. Dr. Ir. Deddy Muchtadi, M.S. sebagai Anggota Komisi Pembimbing, yang telah memberikan strategi menjalani tugas belajar di IPN, serta bimbingan dan masukan yang sangat bermanfaat dalam penelitian dan penyusunan disertasi ini.

3. Ibu drh. Tutik Wresdiyati. Ph.D. sebagai Anggota Komisi Pembimbing, yang dengan penuh kesabaran telah memberikan bimbingan dan masukan sangat bermanfaat selama penelitian, khususnya bidang Histologi yang merupakan hal baru bagi penulis, dan dalam proses penyusunan disertasi ini.

4. Ibu Prof. Dr. Ir. Betty Sri Laksmi Jenie, M.S. selaku Ketua Program Studi Ilmu Pangan dan seluruh staf pengajar IPN yang telah banyak membantu selama penulis menjalani tugas belajar di IPN.

5. Bapak Prof. Dr. Soewarno T. Soekarto yang telah berkenan meluangkan waktu sebagai Penguji Luar saat pelaksanaan Ujian Tertutup maupun pada Ujian Pra-kualifikasi.

6. Bapak Prof. (Riset) Dr. Ir. Djoko Said Damardjati, M.S. yang telah berkenan meluangkan waktu sebagai Penguji Luar saat pelaksanaan Ujian Terbuka dan memberikan masukan yang bermakna dalam penyempurnaan disertasi ini.


(15)

ii

7. Ibu Dr. Ir. Nuri Andarwulan, M.S. yang telah berkenan sebagai Penguji Luar saat pelaksanaan Ujian Terbuka dan memberikan masukan untuk penyempurnaan disertasi ini.

8. Bapak Dr. Ahmad Suryana, Kepala Badan Litbang Pertanian dan Bapak Ir. Wisnu Broto, M.S., Kepala Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian yang telah memberikan kepercayaan penugasan belajar.

9. Pemimpin Proyek PAATP, Badan Litbang Pertanian yang telah memberikan dana selama penugasan belajar dan penelitian ini.

10.Bapak Dr. Ir. Ridwan Thahir, mantan Kepala Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian yang telah mengupayakan dana dan kepercayaan penugasan belajar. 11.Ungkapan terima kasih yang mendalam dan tulus saya sampaikan kepada

suamiku tercinta RM. Susetyanto, S.E., M.Si., yang dengan penuh kasih sayang, pengertian dan kesabaran, selalu memberi dukungan dan semangat selama penulis menjalani tugas belajar. Demikian juga untuk putriku semata wayang Rr. Arumdyah Tyasayu Parameswari, yang penuh kemandirian dan pengertian mendukung ibundanya yang sedang menjalani tugas belajar. 12.Kepada ayundaku, Lis Utari, S.Sos. dan Dra. Eni Priwanti, serta adiku Dra.

Endang Jatmikaningsih dan Ir. Gunawan Wijanarko serta seluruh keluarga besar Daroes Boediharsono atas dukungan, doa dan kasih sayangnya.

13.Ibunda Dra. Sunaryati Sutanto, M.S. dan seluruh keluarga besar RM Sutanto Sewoyo atas doa dan dukungan baik moril maupun materiil.

14.Teman-teman peneliti, analis dan teknisi serta seluruh keluarga besar Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian.

15.Pak Adi yang telah membantu pelaksanaan penelitian di Lab. Hewan Percobaan Fateta-IPB serta teman-teman di Lab. Histologi FKH-IPB.

16.Rekan-rekan FORMASIP yang telah bersama-sama membagi suka dan duka selama berjuang di IPN.

17.Semua pihak yang telah memberi dukungan dan bantuan, yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

Akhirul kalam, penulis berharap semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Mei 2007


(16)

iii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Magelang, Jawa Tengah pada tanggal 16 Nopember 1959, dari ayahanda Daroes Boediharsono (almarhum) dan ibunda Chodiyah (almarhumah). Penulis adalah putri ketiga dari lima bersaudara. Pada tahun 1978 penulis lulus dari SMA Negeri Magelang, kemudian melanjutkan studi di Fakultas Teknologi Pertanian, UGM dan memperoleh beasiswa dari Yayasan Sumantri Brojonegoro, lulus tahun 1983. Pada tahun 1989 penulis menerima beasiswa dari ACIAR-AIDAB untuk melanjutkan studi di The New South Wales University, Australia dan lulus tahun 1990. Bulan September 2003, penulis mendapat kesempatan kembali meneruskan studi pada Program Studi Ilmu Pangan IPB, dengan beasiswa dari PAATP Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Penulis mengawali karier sebagai peneliti pada Balai Penelitian Tanaman Pangan Sukamandi tahun 1984 hingga 1993. Kemudian alih tugas pada Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan, Bogor dari tahun 1993 hingga 2001. Sejak tahun 2002 penulis kembali alih tugas pada Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Bogor dan saat ini penulis bekerja sebagai Peneliti Utama. Penulis aktif di berbagai organisasi saat sekolah, antara lain sebagai Ketua/pengurus OSIS, Pramuka, IAS (Indonesian Association Student)-Australia, FORMASIP (Forum Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Pangan) dan Forum WACANA (Forum Mahasiswa Pascasarjana), IPB. Selain itu, juga tercatat sebagai anggota/pengurus organisasi profesi yaitu PERMI, PAPTI dan PBI serta sebagai anggota Dewan Redaksi antara lain Jurnal AgroBio (1999-2002) dan Jurnal Tekologi & Industri Pangan (2000-sekarang).

Pada bulan Desember 1986 penulis menikah dengan RM. Susetyanto, S.E., M.Si. dan dikaruniai seorang putri, Rr. Arumdyah Tyasayu Parameswari (19 tahun) yang saat ini sedang menjalani studi di UGM, Yogyakarta.


(17)

iv

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

PENDAHULUAN ... 1

TINJAUAN PUSTAKA Padi dan Beras ... 6

Diabetes Melitus ... 13

Pankreas ... 16

Indeks Glikemik Pangan ... 22

Tanaman Teh ... 29

Pangan Fungsional ... 33

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat ... 36

Bahan dan Alat ... 36

Metode Penelitian 1. Penapisan Aktivitas Hipoglikemik dan Analisis Komposisi Kimia Berbagai Varietas Beras Indonesia ... 37 2. Pengembangan Proses Pembuatan Beras Pratanak dan Beras Instan Fungsional ... 43 3. Evaluasi Daya Hipoglikemik Beras Fungsional dan Analisis Histologi Jaringan Pankreas ... 57 4. Penentuan Indeks Glikemik Beras ... 63 HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Penapisan Aktivitas Hipoglikemik dan Evaluasi Sifat Fisikokimia

Aktivitas Hipoglikemik ... Komposisi Kimia Beras ... Regulasi Glukosa Darah dan Aktivitas Hipoglikemik Beras ...

65 68 79 2. Proses Pembuatan Beras Pratanak dan Beras Instan Fungsional

Penentuan Kondisi Ekstraksi Teh Hijau ... Pemilihan Kondisi Ekstraksi Teh Hijau ... Penentuan Kondisi Proses Pengolahan Beras Pratanak dan Beras Instan ... Pengembangan Beras Pratanak Fungsional dan Beras Instan Fungsional ...

83 87 88 94


(18)

v

Karakteristik Beras Memberamo, Beras Memberamo Pratanak, Beras Memberamo Pratanak Fungsional dan Beras Taj Mahal ... Pengaruh Jenis Pengolahan Pratanak dan Instan terhadap Mutu Beras ... Mekanisme Ekstrak Teh dalam Penurunan Daya Cerna Pati in vitro ...

107 109 110 3. Evaluasi Daya Hipoglikemik Beras Fungsional dan Analisis

Histologi Jaringan Pankreas

Komposisi Kimia Ransum Tikus Percobaan ... Hewan Model Diabetes Melitus ... Daya Hipoglikemik Beras Fungsional ... Perubahan Berat Badan Tikus ... Analisis Histologi Jaringan Pankreas ... Pewarnaan dengan Hematoksilin-Eosin ... Pewarnaan Imunohistokimia ... Mekanisme Penghambatan Perusakan Sel-β pulau

Langerhans ... 4. Indeks Glikemik Beras ... Mekanisme Ekstrak Teh Hijau dalam Menurunkan Kadar Glukosa Darah dan Indeks Glikemik ...

112 113 115 117 119 119 121 125 126 130 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan ... Saran ...

132 133 DAFTAR PUSTAKA ... 134 LAMPIRAN ... 146

Formatted: Font: Not Bold, I ndonesian

Formatted: Font: Not Bold, I ndonesian

Formatted: Font: Not Bold, I ndonesian

Formatted: Font: Not Bold, I ndonesian

Formatted: Font: 12 pt, Not Bold

Formatted: Font: 12 pt, Not Bold


(19)

vi

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Kandungan gizi beras dari berbagai cara pengolahan ... 12

2. Indeks glikemik beberapa pangan sumber karbohidrat ... 23

3. Potensi antioksidan relatif dari vitamin, teh, flavonoid dan karotenoid ... 32

4. Perubahan kadar glukosa darah tikus pasca konsumsi pati beras terhadap kadar gula darah puasa ... 66 5. Kadar pati, amilosa, amilopektin dan gula total pada beras giling 69 6. Kadar protein, abu dan lemak beras giling ... 73

7. Kandungan serat pangan dan daya cerna pati beras giling ... 77

8. Nilai TEAC pada setiap rendemen ekstraksi teh hijau optimum dari masing-masing suhu ekstraksi ... 86 9. Optimasi perendaman gabah di dalam air pada proses pratanak ... 89

10. Hasil penentuan waktu tanak gabah menggunakan presto... 90

11. Kadar air gabah pada berbagai waktu pengeringan I suhu 100ºC ... 91

12. Kadar air gabah pada berbagai waktu pengeringan II suhu 60ºC .... 92

13. Suhu perendaman dan kadar air beras rendam ... 93

14. Hasil penentuan waktu pemasakan dan mutu tanak nasi ... 94

15. Komposisi kimia beras pratanak fungsional... 95

16. Hasil uji organoleptik beras pratanak fungsional... 99

17. Karakteristik beras Memberamo, Memberamo pratanak, Memberamo pratanak fungsional dan Taj Mahal ………... 101

18. Komposisi kimia beras instan fungsional ... 103

19. Hasil uji organoleptik beras instan fungsional ... 106

20. Karakteristik beras Memberamo, Memberamo instan, Memberamo instan fungsional dan Taj Mahal ... 108 21. Komposisi kimia ransum tikus berdasarkan sumber patinya... 112

22. Kadar glukosa darah tikus rata-rata selama 36 hari perlakuan ... 116

23. Berat badan tikus rata-rata (gram) selama perlakuan 36 hari ... 118

24. Jumlah pulau Langerhans dan Sel β pankreas tikus percobaan ... 121

25. Indeks glikemik berbagai produk beras ... 128

Formatted: Font: Not Bold, Swedish (Sweden)

Formatted: Font: Not Bold, Swedish (Sweden)

Formatted: Font: Not Bold, Swedish (Sweden)

Formatted: Font: Not Bold, Swedish (Sweden)

Formatted: Font: Not Bold, Swedish (Sweden)

Formatted: Font: Not Bold, Swedish (Sweden)

Formatted: I ndent: First line: 0 cm, Line spacing: single

Formatted: Font: Not Bold, I ndonesian

Formatted: Font: Not Bold, Swedish (Sweden)

Formatted: Font: Not Bold

Formatted: I ndonesian

Formatted: Font: Not Bold

Formatted: I ndonesian

Formatted: I ndonesian


(20)

vii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Struktur biji padi ... 6

2. Mekanisme klasik kerja insulin ... 20

3. Hubungan organ dalam resistensi insulin ... 22

4. Komponen katekin (flavan-3-ols) utama dalam teh ... 30

5. Komponen flavonol utama dalam teh ... 31

6. Diagram alir proses optimasi ekstraksi teh hijau ... 43

7. Diagram alir proses pembuatan beras pratanak ... 48

8. Diagram alir proses pembuatan beras instan ... 51

9. Diagram alir proses pembuatan beras pratanak fungsional ... 52

10. Diagram alir proses pembuatan beras instan fungsional ... 54

11. Diagram alir proses pembuatan beras Memberamo fungsional .... 55

12. Perubahan kadar glukosa darah tikus setelah mengonsumsi pati berbagai beras Indonesia dan beras Taj Mahal ... 67

13. Profil pati resisten pada berbagai beras giling ... 75

14. Ekstrak teh hijau konsentrasi 14% 100

15. Beras Memberamo pratanak fungsional [1] belum disosoh, [2] telah disosoh ... 100

16. Beras Memberamo instan fungsional ... 107

17. Perubahan kadar glukosa darah tikus selama masa percobaan ... 115

18. Perubahan berat badan tikus selama masa percobaan 36 hari ... 117

19. Foto mikrograf pulau Langerhans pada jaringan pankreas tikus, hasil pewarnaan Hematoksilin-Eosin ... 120

20. Foto mikrograf sel-β pulau Langerhans pada jaringan pankreas tikus, hasil pewarnaan imunohistokimia ... 123

21. Perubahan kadar glukosa darah berbagai produk beras selama proses penentuan indeks glikemik. ... 127

Formatted: Font: Not Bold, I ndonesian

Formatted: Left, I ndent: First line: 0 cm, Line spacing: 1.5 lines

Formatted: Font: Not Bold, I ndonesian

Formatted: I ndonesian


(21)

viii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Rata-rata kadar glukosa darah tikus saat puasa dan selama

120 menit setelah mengonsumsi pati beras ... 146

2. Hasil uji statistik luas area dibawah kurva perubahan glukosa darah darah ... 147

3. Hasil uji statistik puncak perubahan kadar glukosa darah ... 148

4. Hasil uji statistik kadar pati beras giling ... 149

5. Hasil uji statistik kadar amilosa beras giling ... 149

6. Hasil uji statistik kadar amilopektin beras giling ... 150

7. Hasil uji statistik kadar glukosa total beras giling ... 150

8. Hasil uji statistik kadar protein beras giling ... 151

9. Hasil uji statistik kadar lemak beras giling ... 152

10. Hasil uji statistik kadar abu beras giling ... 153

11. Hasil uji korelasi komponen kimia dengan luas kurva perubahan glukosa darah ... 150

12. Hasil uji statistik pati resisten beras giling ... 155

13. Hasil uji statistik kadar serat pangan larut beras giling ... 156

14. Hasil uji statistik kadar serat pangan tidak larut beras giling . .... 157

15. Hasil uji statistik kadar serat pangan total beras giling ... 157

16. Hasil uji statistik daya cerna in vitro beras giling ... 158

17. Hasil uji korelasi komponen kimia dengan luas kurva perubahan glukosa darah ... 159

18. Hasil ekstraksi teh pada suhu 75ºC ... 160

19. Hasil ekstraksi teh pada suhu 85 ºC ... 161

20. Hasil ekstraksi teh pada suhu 95 ºC ... 162

21. Hasil optimasi ekstraksi teh hijau pada beberapa konsentrasi, waktu dan suhu ... 163

22. Rendemen optimum antar suhu ekstraksi ... 164

23. Aktivitas antioksidan dan kurva standar Trolox pada berbagai taraf konsentrasi (metode DPPH) ……….. 165


(22)

ix

Halaman

24. Hasil analisis statistik antioksidan (TEAC) pada setiap

kondisi ekstraksi ………... 165 25. Hasil analisis statistik kadar air pada beras pratanak fungsional ... 166 26. Hasil analisis statistik kadar abu pada beras pratanak

fungsional ... 166 27. Hasil analisis statistik kadar fenol bebas pada beras

pratanak fungsional ... 167 28. Hasil analisis statistik daya cerna in vitro pada beras

pratanak fungsional ... 168 29. Hasil analisis statistik warna nasi pratanak fungsional ... 169 30. Hasil analisis statistik tekstur nasi pratanak fungsional ... 169 31. Hasil analisis statistik rasa nasi pratanak fungsional ... 170 32. Perbandingan daya cerna pati beras pratanak fungsional

dan Taj Mahal ... 171 33. Perbandingan kadar abu beras pratanak fungsional

dan Taj Mahal ... 172 34. Hasil analisis statistik kadar air beras instan fungsional ... 173 35. Hasil analisis statistik kadar abu beras instan fungsional ... 173 36. Hasil analisis statistik daya cerna pati in vitro pada bera

instan fungsional ... 174 37. Hasil analisis statistik fenol bebas pada beras instan fungsional .. 175 38. Hasil analisis statistik rasa nasi instan fungsional ……… 176 39. Hasil analisis statistik tekstur nasi instan fungsional …………... 176 40. Hasil analisis statistik warna nasi instan fungsional …………... 177 41. Perbandingan daya cerna pati beras instant fungsio

dan Taj Mahal ... 177 42. Perbandingan kadar abu beras instan fungsional dan Taj Mahal ... 178 43. Hasil analisis statistik jumlah pulau Langerhans ………. 179 44. Hasil analisis statistik jumlah sel-β pancreas ………. 180 45. Hasil analisis statistik pengukuran Indeks Glikemik ... 181


(23)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Beras merupakan makanan pokok lebih dari 50% penduduk dunia dan sekitar 60-70% kebutuhan energi lebih dari dua milyar penduduk Asia. Bagi bangsa Indonesia, beras adalah kehidupan. Beras bukan hanya sebagai sumber

makanan pokok bagi sebagian besar penduduk (> 90%), tetapi beras juga berkaitan erat dengan segala aspek kehidupan (BALITPA 2004a). Namun beras sering dihindari oleh penderita diabetes melitus (DM) karena anggapan bahwa mengonsumsi nasi dapat meningkatkan kadar glukosa darah dengan cepat.

Prevalensi penyakit degeneratif akhir-akhir ini cenderung meningkat secara nyata. Salah satu penyakit degeneratif yang prevalensinya terus meningkat adalah diabetes melitus (DM). Menurut survei dari WHO yang dikutip oleh Dep. Kes (2005) menunjukkan bahwa Indonesia menempati urutan ke-4 dengan jumlah penderita diabetes terbesar di dunia setelah India, Cina dan Amerika Serikat. Prevalensi diabetes di Indonesia sebesar 8.6% dari total penduduk, sehingga pada tahun 2025 diperkirakan penderita DM mencapai 12.4 juta jiwa. Jumlah tersebut setara dengan tiga kali kejadian pada tahun 1995, yaitu 4.5 juta penderita (Dep. Kes. 2005). Namun, pada hari diabetes tanggal 14 Nopember 2006, PERSADIA (Persatuan Diabetes Indonesia) melaporkan bahwa saat ini penderita DM di Indonesia telah mencapai 14 juta jiwa. Hal ini menunjukkan betapa cepatnya laju peningkatan jumlah diabetesi (sebutan bagi penderita DM). Melihat permasalahan tersebut, Menteri Kesehatan menegaskan, jika tidak diintervensi secara serius, permasalahan DM akan bertambah besar sehingga sulit ditanggulangi. Upaya pencegahan dan penanggulangan tidak dapat dilakukan oleh pemerintah saja, melainkan tanggung jawab seluruh komponen bangsa.

Pencegahan DM dapat dilakukan secara primer maupun sekunder. Pencegahan primer adalah pencegahan terjadinya DM pada individu yang beresiko melalui modifikasi gaya hidup (pola makan sesuai, cukup aktivitas fisik, penurunan berat badan) dengan dukungan program edukasi berkesinambungan. Pencegahan sekunder dilakukan melalui pemeriksaan dan pengobatan (Dep. Kes. 2005).

Formatted: Left: 4 cm, Right: 3 cm, Width: 21 cm, Height: 29,7 cm, Different first page

Deleted: Karena beras

Deleted: Akhir-akhir ini p Deleted: i

Deleted: Namun p


(24)

2

Penderita DM umumnya harus melakukan pengendalian makan secara ketat bila ingin tetap hidup nyaman. Diabetesi sering mengurangi, bahkan pantang makan nasi, dan mengganti dengan umbi-umbian. Ada anggapan bahwa nasi merupakan pangan yang memiliki respon glikemik tinggi, sehingga dapat menaikkan kadar glukosa darah secara cepat dan tinggi. Padahal tidak semua jenis beras bersifat hiperglikemik (Miller et al.1992). Sebaliknya, tidak semua umbi-umbian bersifat hipoglikemik, tergantung jenis dan varietasnya (Marsono 2002). Peluang tersebut dimanfaatkan oleh importir beras, sehingga di pasar saat ini beredar secara luas beras impor yang mengklaim sebagai beras untuk penderita diabetes. Produk tersebut dipasarkan dengan harga sangat tinggi, yaitu 4-5 kali harga beras Indonesia yang bermutu bagus. Hal ini merupakan kendala bagi diabetesi, meskipun pangan tersedia tetapi harga tidak terjangkau. Departemen Pertanian melalui Badan Litbang Pertanian telah merakit, melepas dan/atau memutihkan lebih dari 170 varietas (Fagi et al. 2003). Namun karakterisasi mutu yang berkaitan dengan kesesuaian beras bagi diabetesi, antara lain indeks glikemik dan sifat karbohidrat terkait, belum banyak diteliti.

Seiring dengan kesadaran masyarakat akan kesehatan yang semakin meningkat dan mahalnya harga obat-obatan, maka tindakan pencegahan terhadap penyakit menjadi sangat penting. Salah satu upaya pencegahan penyakit diabetes ialah pengelolaan diet yang benar dan pemilihan makanan yang tepat.

Satu seri penelitian mengenai potensi kacang-kacangan sebagai makanan fungsional bagi penderita diabetes tipe 2, telah dilakukan oleh Noor (2003), dan kedelai mempunyai prospek yang paling baik. Fraksi protein kedelai dan tripsin inhibitor kedelai mempunyai aktivitas hipoglikemik (Noor et al. 2002). Sekresi insulin dipengaruhi oleh asam-asam amino. Hasil penelitian Krisetiana et al.

(2001) menunjukkan bahwa metionin kedelai mempunyai kecenderungan meningkatkan sekresi insulin, meskipun terjadi kerusakan pada sel-β pankreas.

Indeks glikemik (IG) pangan merupakan tingkatan pangan menurut efeknya terhadap kadar glukosa darah. Pangan yang menaikkan kadar glukosa darah dengan cepat memiliki IG tinggi, sebaliknya pangan dengan IG rendah akan menaikkan kadar glukosa darah dengan lambat. Hasil penelitian Heather et al.

(2001) menunjukkan bahwa pangan dengan IG rendah dapat memperbaiki

Deleted: Hal ini karena a Deleted:

Deleted: Deleted: bebas Deleted: Deleted: a Deleted: harganya Deleted: seratus Deleted: antara

Deleted: Selama dekade yang lalu, banyak hasil-hasil penelitian yang menunjukkan hubungan antara menu makan dengan kejadian DM. Studi pada hewan model dan manusia menunjukkan bahwa asupan karbohidrat dengan indeks glikemik (IG) tinggi menghasilkan insulin resisten yang lebih tinggi dibandingkan dengan asupan karbohidrat dengan IG rendah. Studi epidemiologi dalam prospektif yang luas menunjukkan IG dan beban glikemik (glycemic load = IGdikalikan kadar karbohidrat) dari keseluruhan diet menunjukkan resiko yang besar bagi timbulnya DM tipe 2, baik pada laki-laki maupun wanita (Willett et al. 2002) ¶

Deleted: Selain terapi diet, obat-obatan juga tetap diperlukan. Seiring dengan meningkatnya jumlah penderita DM, maka kebutuhan obat-obatan hipoglikemik oral juga semakin meningkat, karena hampir 88% penderita DM dilaporkan menggunakan obat oral hipoglikemik dalam terapinya. Namun saat ini ketersediaan bahan baku obat dalam negeri tidak seimbang dengan kebutuhan obat di masyarakat, sehingga masih perlu mengimpor. Salah satu upaya yang dapat ditempuh untuk mengatasi hal ini antara lain dengan menggali potensi kekayaan alam Indonesia, untuk

dimanfaatkan secara rasional sebagai food supplement guna mencegah meningkatnya prevalensi diabetes melitus.¶ Pemanfaatan obat hipoglikemik oral sampai saat ini masih menjadi pilihan utama bagi pengobatan diabetes melitus dan pengendalian hiperglikemik, namun obat-obatan tersebut ternyata masih mempunyai efek samping yang meningkatkan kejadian komplikasi DM. Sementara itu pemanfaatan bahan pangan lokal Indonesia yang potensial sebagai antidiabetes hingga saat ini belum maksimal. Deleted: gangguan pada


(25)

3

pengendalian metabolik pada penderita DM tipe 2 dewasa. Sedangkan Miller et al. (1991) melaporkan bahwa studi pemberian pangan IG rendah jangka menengah pada penderita DM dapat meningkatkan pengendalian kadar glukosa darah. Berdasarkan IG-nya, pangan dikelompokkan menjadi tiga, yaitu pangan dengan IG rendah (<55), sedang (55-70) dan tinggi (>70). Kadar karbohidrat dalam bahan pangan sangat bervariasi. Oleh karena itu dalam aplikasinya konsep IG perlu dipadukan dengan beban glikemik (BG), yaitu IG dikalikan dengan kadar karbohidrat pangan (Willett et al. 2002).

Membatasi, apalagi menghindari konsumsi nasi bagi orang Indonesia yang menderita DM merupakan penderitaan tersendiri. Hal ini mengingat budaya makan nasi di Indonesia sangat kuat. Anggapan bahwa beras merupakan salah satu bahan pangan yang cepat menaikkan kadar glukosa darah tidak selamanya benar. Beras memiliki kisaran IG yang luas, sehingga beras dapat dikategorikan sebagai pangan IG tinggi maupun rendah, dipengaruhi oleh jenis varietas, cara pengolahan dan komposisi kimia beras (Miller et al. 1992; Foster-Powell et al.

2002). Miller et al. (1992) lebih lanjut menyatakan bahwa beras giling

mempunyai kisaran IG dari 54 sampai dengan 121. Foster-Powell et al. (2002)

menyarankan untuk melakukan pengujian IG beras secara lokal karena adanya

variasi genetik yang cukup luas antar negara. Beras giling dan ketan pada

umumnya tergolong sebagai pangan ber IG tinggi, beras pecah kulit (brown rice) yaitu beras tanpa disosoh, beras pratanak (parboiled rice) dan beras varietas tertentu, seperti Basmati mempunyai IG sedang. Bahkan beberapa varietas beras mempunyai IG rendah (Foster-Powell et al. 2002). Di Indonesia informasi tentang respon glikemik pangan, terutama beras, dan karakteristik beras yang berhubungan dengan IG masih sangat terbatas.

Berdasarkan hasil penelitian bahwa diet IG rendah pada penderita DM dapat meningkatkan pengendalian kadar glukosa darah (Miller et al. 1992) maka perlu dilakukan upaya penurunan IG beras agar diabetesi tetap dapat mengonsumsi nasi dengan aman. Salah satu faktor yang dapat menurunkan IG

adalah zat antigizi, misalnya asam fitat dan tanin (Thompson et al. 1984;

Rimbawan & Siagan 2004). Senyawa polifenolik sering disebut juga disebut

dengan tanin. Zat antigizi tersebut dapat menurunkan daya cerna protein maupun

Deleted:

Deleted: meng

Deleted: da a

Deleted: .

Deleted: Padahal IG beras sangat bervariasi, tergantung varietas dan cara prosesnya.


(26)

4

pati sehingga respon glikemik juga akan menurun (Griffiths & Moseley 1980;

Thompson et al. 1984). Senyawa tanin atau polifenol banyak terdapat pada

berbagai tanaman, antara lain pada daun jambu, cacao dan teh. Dalam penelitian ini dipilih daun teh yang telah diproses menjadi teh hijau, dengan pertimbangan ketersediaan cukup melimpah, mudah diperoleh dan harganya relatif murah. Selain itu, teh hijau telah dikenal mempunyai berbagai khasiat membantu mencegah berbagai penyakit antara lain kanker, diabetes, kardiovaskuler, (Wickremasinghe 1976; Balentine & Paetau-Robinson 2000). Lebih lanjut Matsumoto et al. (1993) menyebutkan bahwa pemberian senyawa tanin termasuk polifenol teh secara oral dapat menurunkan aktivitas enzim amilase dan juga menurunkan kadar glukosa darah unggas. Oleh karena itu, penelitian beras yang

diberi perlakuan ekstrak teh hijau (mengandung polifenol), diharapkan dapat

menurunkan daya cerna pati, sehingga IG-nya juga menurun dan berpotensi

sebagai beras fungsional bagi penderita diabetes melitus.

Tujuan Penelitian Tujuan umum

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan beras lokal dengan daya cerna

pati rendah, sehingga indeks glikemiknya rendah, dan mempunyai sifat yang sesuai (nilai gizi, sifat organoleptik, fungsi fisiologis) sebagai pangan fungsional untuk penderita diabetes melitus.

Tujuan khusus

1. Mengevaluasi aktivitas hipoglikemik dan komposisi beberapa varietas beras Indonesia.

2. Menentukan kondisi proses pembuatan beras pratanak dan beras instan fungsional

3. Menguji daya hipoglikemik beras fungsional yang diberi perlakuan dengan ekstrak teh hijau dan perubahan histologi pankreas tikus DM yang diberi ransum beras fungsional untuk penderita diabetes melitus.

Formatted: German (Germany)

Formatted: German (Germany)

Deleted: Di Indonesia, daftar indeks glikemik masih sangat langka (Marsono 2002). Sampai saat ini, penelitian mengenai IG berbagai varietas beras di Indonesia belum pernah dilakukan. Beras lokal (padi bulu) maupun padi unggul modern yang dihasilkan oleh Lembaga-lembaga penelitian di Indonesia sangat banyak ragamnya. Diharapkan dengan penelitian aktivitas hipoglikemik dari berbagai verietas beras, akan diperoleh beras hasil produksi dalam negeri yang mempunyai IG rendah. Selain faktor genetik, IG bahan pangan juga dipengaruhi oleh cara proses dan sifat fisikokimia, termasuk antigizi (Rimbawan dan Siagian 2004). Polifenol merupakan salah satu antigizi yang dapat menurunkan IG. Oleh sebab itu p

Deleted: engan Deleted: polifenol Deleted: Deleted: pat Deleted: menghasilkan Deleted: ¶ Deleted: ¶ ¶ ¶ Deleted: ¶ Deleted: indeks Deleted: ¶


(27)

5

4. Menentukan indeks glikemik: a. beras Memberamo; b. beras Memberamo fungsional; c. beras Memberamo instan fungsional; dan d. beras Memberamo pratanak fungsional

Hipotesis

1. Konsentrasi ekstrak teh hijau yang digunakan berpengaruh terhadap daya cerna pati in vitro beras.

2. Daya cerna pati in vitro beras berpengaruh terhadap aktivitas hipoglikemik beras.

3. Beras fungsional dengan ekstrak teh hijau dapat menghambat laju kerusakan sel-β pankreas pada tikus penderita DM.

4. Perlakuan beras dengan ekstrak teh hijau berpengaruh terhadap nilai indeks glikemik beras.

Kegunaan Penelitian

1. Bagi pemulia padi: Komposisi kimia beras yang berpengaruh terhadap indeks glikemik dapat menjadi acuan dalam merakit varietas yang lebih bermanfaat bagi kesehatan, khususnya DM.

2. Bagi industri pangan: Informasi indeks glikemik beras dapat sebagai acuan dalam memilih bahan baku sesuai untuk produk akhir yang diinginkan.

3. Bagi konsumen diabetesi: Tersedia beras lokal dengan indeks glikemik rendah. Ketersediaan dan keterjangkauan pangan pokok ini akan membantu diabetesi untuk hidup nyaman dan aman dalam mengonsumsi beras. Artinya, diabetesi tidak perlu menghindar dari konsumsi beras dan beralih pada sumber karbohidrat lain, asalkan dipilih beras dengan indeks glikemik rendah.

Formatted: Bullets and Numbering

Deleted: aktivitas hipoglikemik

Deleted: Kandungan amilosa, serat pangan, pati resisten, dan d

Deleted: <#>Ekstrak teh hijau dapat menurunkan daya cerna pati, sehingga berpengaruh terhadap penurunan indeks glikemik beras.¶

Deleted: Cara p Deleted: ngo Deleted: h Deleted:


(28)

Page 2: [ 1] Deleted SriWidow ati 1/ 30/ 2007 2:49:00 PM

Selain terapi diet, obat-obatan juga tetap diperlukan. Seiring dengan meningkatnya

jumlah penderita DM, maka kebutuhan obat-obatan hipoglikemik oral juga semakin

meningkat, karena hampir 88% penderita DM dilaporkan menggunakan obat oral

hipoglikemik dalam terapinya. Namun saat ini ketersediaan bahan baku obat dalam

negeri tidak seimbang dengan kebutuhan obat di masyarakat, sehingga masih perlu

mengimpor. Salah satu upaya yang dapat ditempuh untuk mengatasi hal ini antara lain

dengan menggali potensi kekayaan alam Indonesia, untuk dimanfaatkan secara rasional

sebagai

food supplement

guna mencegah meningkatnya prevalensi diabetes melitus.

Pemanfaatan obat hipoglikemik oral sampai saat ini masih menjadi pilihan utama

bagi pengobatan diabetes melitus dan pengendalian hiperglikemik, namun obat-obatan

tersebut ternyata masih mempunyai efek samping yang meningkatkan kejadian

komplikasi DM. Sementara itu pemanfaatan bahan pangan lokal Indonesia yang

potensial sebagai antidiabetes hingga saat ini belum maksimal. Padahal kekayaan alam

Indonesia sangat mendukung untuk eksplorasi tersebut.


(29)

TINJAUAN PUSTAKA

Padi dan Beras Morfologi Biji Padi

Padi (Oryza sativa L.) merupakan salah satu tanaman pangan utama di dunia. Sentral produksi padi yaitu China dan India, berturut-turut sebesar 35 dan 20% dari total produksi dunia. Biji padi terdiri dari dua bagian, yaitu bagian yang dapat dimakan (rice caryopsis) dan kulit (hull or husk). Struktur biji padi disajikan pada Gambar 1 (Juliano, 1972). Beras pecah kulit, yaitu gabah yang telah dihilangkan kulit atau sekamnya, terdiri atas perikap (1-2%), aleuron dan testa (4-6%), lembaga (2-3%) dan endosperm (89- 94%).

Tipe padi yang tumbuh di Asia ada tiga, yaitu indica, javanica atau padi bulu serta japonica. Masing-masing tipe mempunyai karakteristik biji yang berbeda. Tipe indica paling banyak tumbuh di daerah tropis dan subtropis, ukuran biji pendek sampai panjang, ramping dan mudah rontok. Tipe javanica, mempunyai ukuran biji panjang, ujung gabah seperti bulu (awn) yang panjang dan tidak mudah rontok. Sedangkan tipe japonica, kebanyakan tumbuh di daerah subtropis yang dingin, ukuran biji pendek, bulat dan tidak mudah rontok (Damardjati 1983). Namun, kemajuan teknologi persilangan saat ini telah mengaburkan ciri-ciri tersebut.

Gambar 1. Struktur biji padi (Juliano 1972) Bkl batang Bakal daun Bakal akar

Bulu

Sekam

Endosperma

Perikarp Testa Aleuron

Lembaga

Tangkai

Formatted: Left: 4 cm, Right: 3 cm, Width: 21 cm, Height: 29,7 cm, Different first page


(30)

7

Komposisi Gizi dan Peran Beras

Beras yang dihasilkan dari tanaman padi, merupakan komoditas pertanian yang sangat penting di Asia, termasuk Indonesia. Beras merupakan bahan pangan pokok yang dikonsumsi lebih dari 90 persen penduduk Indonesia. Sejarah perberasan Indonesia telah mencatat sebuah dinamika produksi dan mutu beras yang cukup menarik. Pada periode awal bangkitnya negeri ini, rakyat telah mengalami situasi pangan yang sulit karena pasokan beras sangat terbatas. Untuk memenuhi kebutuhan pangan saat itu telah dimanfaatkan berbagai sumber karbohidrat yang ada, seperti jagung, sorgum, dan umbi-umbian. Sejak paruh kedua tahun 1960-an pemerintah berusaha meningkatkan produksi beras di dalam negeri. Keberhasilan Revolusi Hijau melalui penerapan teknologi varietas unggul baru, pemupukan dan perawatan tanaman telah dimanfaatkan oleh Indonesia untuk mendorong upaya peningkatan produksi beras tersebut. Pemerintah, melalui program Intensifikasi Khusus (Insus), Supra Insus dan lain-lain, telah berhasil mencapai keadaan swa-sembada beras pada tahun 1984 (Damardjati et al. 2004). Kini usaha peningkatan produksi beras pun tetap dilakukan, karena produksi beras domestik belakangan ini mengalami kemunduran relatif terhadap kebutuhan beras yang tetap tinggi. BPS (2002) mencatat peningkatan kebutuhan beras akibat peningkatan jumlah penduduk di Indonesia ialah 1.49%.

Mutu beras meliputi mutu pasar, mutu fisik dan mutu giling, mutu tanak dan cita rasa, serta mutu gizi. Di Indonesia, sampai dengan tercapainya swa-sembada beras, mutu gizi masih terabaikan. Hal ini antara lain karena pemerintah masih memfokuskan pada usaha peningkatan produksi beras untuk memenuhi kebutuhan penduduk. Pada era pasca swa-sembada beras, dengan didorong oleh perbaikan ekonomi dan kemajuan teknologi, mutu gizi beras mulai mendapat perhatian. Keberhasilan pembangunan ekonomi saat itu telah membawa konsumen pada status yang memungkinkan munculnya tuntutan mutu beras yang lebih tinggi (Damardjati 1995).

Beras giling mengandung protein 6.8%, lemak 0.7%, karbohidrat 78.9% dan menghasilkan energi sebesar 360 kkal/100g (Dep. Kes. 1992). Selain sumber karbohidrat, beras merupakan sumber protein penting dalam menu masyarakat Indonesia. Kadar protein beras relatif rendah, tetapi mempunyai mutu protein


(31)

8

terbaik dibandingkan dengan serealia lain (Damardjati 1983). Protein beras dapat secara langsung meningkatkan penyediaan protein dalam menu makanan, khususnya bagi penduduk berpenghasilan rendah.

Upaya peningkatan kandungan mineral dan vitamin pada bahan makanan pokok, khususnya mineral besi pada tanaman padi telah dilakukan melalui program biofortifikasi. Penelitian tersebut merupakan salah satu strategi pemuliaan tanaman untuk meningkatkan kandungan besi dalam beras, dan sekaligus memperbaiki gizi masyarakat dengan biaya relatif murah. Pembentukkan materi pemuliaan tersebut dapat dilakukan secara konvensional (hibridisasi dan seleksi) atau non konvensional (kultur anter dan transformasi). Beras berkadar besi tinggi tersebut dapat dikonsumsi langsung oleh masyarakat menengah ke bawah sebagai sumber energi dan sumber zat besi (Indrasari et al. 2004).

Jenis Beras

Berdasarkan cara prosesnya dikenal beberapa jenis beras, antara lain beras tumbuk, beras sosoh, beras giling, beras pecah kulit, beras kepala, beras patah, beras instan dan beras pratanak. Dua jenis beras yang disebut terakhir akan diuraikan khusus, karena akan diteliti pada kegiatan ini. Beras tumbuk ialah beras yang dihasilkan dari gabah yang ditumbuk secara manual, misal menggunakan lumpang (Alat penumbuk tradisional, terbuat dari kayu). Dalam proses penggilingan padi, gabah yang telah dihilangkan sekamnya disebut beras pecah kulit, kemudian dilanjutkan proses penyosohan dan hasilnya disebut beras sosoh atau beras giling. Beras giling dipisahkan berdasarkan ukuran biji. Apabila biji beras berukuran ≥ 2/3 utuh disebut beras kepala, ukuran 1/3-2/3 biji utuh disebut beras patah dan bila < 1/3 biji utuh disebut menir.

Beras Instan. Dalam era industrialisasi, manusia dituntut untuk bergerak cepat, termasuk dalam menyiapkan makanan sehari-hari. Oleh sebab itu, bahan pangan yang cepat saji menjadi sangat bermanfaat. Bahan pangan pokok yang telah tersedia dalam bentuk instan dan mulai memasyarakat di Indonesia ialah bentuk mi. Mengingat budaya makan nasi di Indonesia sangat kuat, diharapkan beras instan dapat menjadi salah satu alternatif bahan pangan yang cepat saji, disamping mi instan.

Deleted: yaitu

Deleted: e


(32)

9

Produk instan merupakan jenis produk pangan yang mudah untuk disajikan dalam waktu yang relatif singkat. Pangan instan merupakan produk makanan yang mengalami proses pengeringan air, sehingga mudah mengabsorpsi air dan disajikan hanya dengan menambahkan air panas atau air dingin sehingga tidak terlalu menyita banyak waktu (Hartomo & Widiatmoko 1993). Instanisasi merupakan suatu istilah yang mencakup berbagai perlakuan, baik kimia ataupun fisika yang akan memperbaiki karakteristik hidrasi dari suatu produk.

Karakteristik hidrasi pada produk yang harus dimiliki bahan makanan agar dapat membentuk produk pangan instan, adalah: a) sifat hidrofilik, yaitu sifat yang mudah mengikat air, b) tidak memiliki lapisan gel yang tidak permeabel sebelum digunakan sehingga dapat menghambat laju pemanasan, c) hidrasi produk tidak menghasilkan produk yang menggumpal dan mengendap (Hartomo & Widiatmoko 1993).

Beras instan merupakan produk yang populer di Amerika, Jepang, dan beberapa negara barat. Hingga sekarang beras cepat saji tersedia di pasaran dan dapat dimasak dalam waktu 5 menit untuk mendapatkan tingkat kepuasan penerimaan konsumen. Setelah pemasakan, produk tersebut harus sesuai dengan karakteristik flavor, rasa dan tekstur nasi pada umumnya. Nasi instan ini harus stabil dalam penyimpanan selama 6-12 bulan pada suhu ruang. Produk dikemas sebaik-baiknya dalam kemasan khusus untuk menghindari perubahan kadar air selama penyimpanan, salah satunya adalah dengan cara pengalengan (canned rice) (Luh 1991).

Beras instan yang telah mengalami gelatinisasi dapat dikeringkan, tetapi molekul – molekul tersebut tidak dapat kembali lagi ke sifat-sifat asal sebelum gelatinisasi. Bahan yang telah kering tersebut masih mampu menyerap air kembali dalam jumlah yang besar. Sifat inilah yang digunakan agar instant rice dapat menyerap air kembali dengan mudah, yaitu dengan menggunakan pati yang telah mengalami gelatinisasi (Winarno 1997).

Beras yang telah disiapkan dalam bentuk Quick Cooking Rice (QCR) akan mudah menyerap air karena telah mengalami perubahan struktur, tekstur, dan kecepatan penyerapan air akan lebih tinggi dibandingkan dengan beras yang tanpa diproses lebih dahulu. Produk yang dihasilkan dengan metode QCR mudah


(33)

10

dimasak yaitu cukup dengan menambah air panas sehingga dengan cepat beras akan mengalami rehidrasi menjadi nasi dan siap untuk dikonsumsi. Di Amerika, dengan metode ini mengakibatkan konsumsi beras mengalami peningkatan.

Dalam pengolahan QCR, perendaman beras dapat dilakukan di dalam air dingin, air panas atau dalam larutan bahan kimia tertentu selama 10 sampai 30 menit. Menurut Lipton, perendaman dalam larutan asam sitrat dapat menyebabkan produk menjadi jernih, bahkan dapat menghambat terjadinya proses ketengikan, sedangkan perendaman dalam larutan garam NaCl akan menghambat proses gelatinisasi pada waktu pemanasan (Keneaster 1974).

Perendaman meningkatkan keseragaman masuknya air pemasakan ke dalam butir beras. Jumlah air perendaman yang masuk ke dalam butir beras tergantung pada lamanya waktu perendaman dan suhu air perendaman. Perembesan air ini memperkecil kecenderungan butir beras terpisah atau pecah akibat tekanan osmotik pada butir beras selama pemasakan, dan pati mulai terlepas ke dalam air pemasakan.

Selama pemasakan beras, akan terjadi pengembangan granula pati. Pengembangan ini menyebabkan permukaan butir beras menjadi retak. Pengembangan beras selama dimasak tidak sebesar kemampuan pengembangan pati yang volumenya bisa mencapai 64 kali lebih besar dibandingkan dengan butir pati asal. Tertahannya pengembangan pati beras dapat disebabkan oleh adanya pembatas komponen bukan pati. Kandungan lemak, protein, mineral dan dinding sel berpengaruh terhadap kualitas pemasakan nasi.

Pengeringan merupakan langkah kritis pada pembuatan QCR. Karakteristik dari nasi instan kering tergantung pada karakteristik pengeringannya. Beberapa kerugian seperti penyimpangan bentuk, kerusakan dan hasil yang tidak bagus pada saat rehidrasi merupakan akibat dari prosedur pengeringan yang tidak tepat. Semakin cepat produk dikeringkan, semakin bagus kualitas proses rehidrasi. Proses pengeringan akan menghasilkan struktur porous yang akan memudahkan air untuk meresap ke dalam beras pada waktu rehidrasi.

Beras Pratanak. Pembuatan beras pratanak merupakan proses yang unik, karena tahap pengolahan dimulai pada saat bahan masih berbentuk gabah (Garibaldi 1974). Cara pembuatan beras pratanak sangat beragam, namun pada

Deleted: karena


(34)

11

prinsipnya melalui tiga tahapan proses, yaitu perendaman (steeping), pengukusan (steaming), dan pengeringan (drying). Gabah yang telah mengalami perlakuan diatas akan lebih awet, dapat mencegah perkecambahan. Gabah tersebut kemudian digiling hingga diperoleh beras pratanak. Proses pratanak berpengaruh lebih nyata terhadap sifat fisik butiran beras dibandingkan dengan sifat kimianya. Proses pratanak dipilih karena cenderung menurunkan indeks glikemik beras (Foster-Powell et al. 2002).

Pembuatan beras pratanak merupakan proses pemberian air dan uap panas terhadap gabah sebelum gabah tersebut dikeringkan. Tujuan dari proses pratanak adalah untuk menghindari kehilangan dan kerusakan beras, baik ditinjau dari nilai gizi maupun segi rendeman beras yang dihasilkan. Oleh karena itu proses pratanak harus dilakukan dengan cara yang tepat (De Datta 1981, Hoseney 1994). Beras pratanak banyak diproduksi di Afrika dan India.

Peningkatan nilai gizi pada beras pratanak disebabkan oleh proses difusi dan panas yang melekatkan vitamin-vitamin dan nutrien lainnya dalam endosperm, serta derajat sosoh beras yang rendah akibat mengerasnya lapisan aleuron yang mengakibatkan sedikitnya bekatul dan nutrien yang hilang. Beras pratanak memiliki kandungan vitamin B yang lebih tinggi dibandingkan beras biasa serta kandungan minyak dan lemak yang rendah dibandingkan dengan beras biasa sehingga beras pratanak lebih tahan lama untuk disimpan (Nurhaeni 1980).

Proses pratanak adalah proses gelatinisasi pati di dalam beras. Pada proses gelatinisasi pati terjadi pengembangn granula secara irreversible dan kompaknya granula pati. Kejadian tersebut membutuhkan kandungan air 30-35% dan panas kurang lebih 26 kkal per kg gabah untuk kesempurnaan proses (Garibaldi 1974). Pada proses pratanak, terjadi perubahan zat gizi (Tabel 1).

Perendaman bertujuan untuk memasukkan air ke dalam ruang interseluler dari sel-sel pati endosperm, dan sebagian air diserap oleh sel-sel pati tersebut sampai tingkat tertentu sehingga cukup untuk proses gelatinisasi (Nurhaeni 1980;

De Datta 1981). Pemasakan bertujuan untuk melunakkan struktur sel-sel pati endosperm sehingga tekstur granula pati endosperm menjadi seperti pasta akibat proses gelatinisasi. Pemasakan harus dilakukan dengan hati-hati agar gelatinisasi

Halaman


(35)

12

pati dan sterilisasi yang homogen dari gabah tercapai, yaitu dengan menggunakan uap panas yang bersuhu tinggi dan tekanan uap yang rendah.

Tabel 1. Kandungan zat gizi beras (per 100 g) dari berbagai cara pengolahan Macam beras Air

(g)

Energi (kkal)

Protein (g)

Lemak (g)

Karbohidrat (g) Beras pecah kulit 13 335 7.4 1.9 76.2 Beras setengah

giling

12 353 7.6 1.1 78.3

Beras giling 13 360 6.8 0.7 78.9

Beras parboiled 12 364 6.8 0.6 80.1

Sumber : Darmajati (1981).

Prinsip proses pengeringan bahan adalah pemindahan uap air dari bahan melalui cara evaporasi. Evaporasi terjadi terutama pada permukaan bahan tersebut, yaitu melalui proses difusi dari air di dalam bahan ke permukaan bahan akibat panas yang diberikan baik secara konveksi, konduksi maupun radiasi (Darmadjati 1981).

Pengeringan dilakukan dua kali untuk mencapai kadar air 14%. Pengeringan pertama pada suhu 100oC sampai kadar air 20%, pengeringan kedua pada suhu 60oC sampai kadar air 14%. Pengeringan pada proses pembuatan beras pratanak memerlukan suhu yang lebih tinggi (bisa mencapai 100oC) karena kadar air gabah yang tinggi (dapat mencapai 45%), dan tekstur butir yang berbeda akibat pemanasan yang dilakukan terutama pada saat pemasakan (De Datta 1981). Pengeringan gabah dilakukan hingga kadar air sekitar 14%, karena kadar air 14% merupakan kondisi optimum gabah untuk digiling.

Pengeringan gabah pratanak bertujuan untuk mengurangi kadar air sampai tingkat optimal untuk penggilingan dan penyimpanan, serta memaksimumkan hasil giling. Pengeringan juga mempengaruhi tekstur dan warna produk akhir (Garibaldi 1974, Luh & Mickus 1981). Pengeringan sebaiknya dilakukan segera setelah pemasakan. Penundaan pengeringan menyebabkan proses gelatinisasi terus berlanjut sehingga warna menjadi lebih gelap. Penundaan pengeringan juga menyebabkan pertumbuhan mikroba meskipun gabah pratanak dalam keadaan steril, karena suhu dan kadar air tersebut sangat disukai mikroba, terutama kapang


(36)

13

dan cendawan. Akan tetapi bila pengeringan terlalu cepat akan menyebabkan retak (cracking).

Pada proses penggilingan beras, gabah kering giling yang telah dibersihkan dari kotoran dilakukan proses penghilangan sekam sehingga diperoleh beras pecah kulit (brown rice), dilanjutkan dengan proses penyosohan sehingga diperoleh beras giling. Penyosohan akan menyebabkan kulit ari dan lembaga terpisahkan, yang berarti kehilangan protein, lemak, vitamin dan mineral yang lebih banyak. Proses beras pratanak mampu mengurangi kehilangan zat gizi dalam proses penggilingan. Nilai gizi yang tinggi disebabkan oleh proses difusi dan panas yang melekatkan vitamin-vitamin dan nutrien lainnya dalam endosperm, serta derajat sosoh beras yang rendah akibat mengerasnya aleuron mengakibatkan sedikitnya bekatul dan zat gizi yang hilang (Nurhaeni 1980).

Diabetes Melitus

Diabetes melitus (DM) atau biasa disebut diabet merupakan penyakit kronik yang timbul karena terlalu banyak glukosa di dalam darah. Dengan kata lain, DM merupakan suatu kelompok gangguan metabolik dengan ciri umum, yaitu hiperglikemia (kadar glukosa darah tinggi). Jenis penyakit ini telah dikenal ribuan tahun yang lalu oleh masyarakat Mesir kuno, seperti dalam Ebers Papirus (± 1500 SM), mengungkapkan beberapa pengobatan terhadap suatu penyakit yang ditandai dengan sering kencing (Pusparaj et al. 2001). Disebutkan bahwa DM diambil dari kata diabetes = mengalir terus, dan melitus = madu, yang berarti minum dan urine yang dikeluarkan mengandung glukosa. DM merupakan penyakit metabolik serius dengan tanda kandungan glukosa darah meningkat sebagai akibat berkurangnya insulin secara relatif maupun absolut. Perubahan ini akan diperburuk dengan meningkatnya sekresi glukagon oleh pankreas ke dalam tubuh (Brody 1999).

Klasifikasi

Badan kesehatan dunia (WHO), melalui laporan kedua Expert Committee on Diabetes Melitus mengelompokkan diabetes menjadi dua kelompok utama, yaitu Insulin-dependent diabetes mellitus (IDDM) dan Non-insulin-dependent

Deleted:

Deleted: dilaku Deleted: cara

Deleted: t

Deleted:


(37)

14

diabetes mellitus (NIDDM) (WHO 1980). Pada IDDM, pankreas tidak menghasilkan insulin dalam jumlah yang cukup, sedangkan NIDDM pankreas masih relatif cukup menghasilkan insulin, tetapi insulin yang ada tidak bekerja secara baik karena adanya resistensi insulin akibat kegemukan (Dalimartha 2004). Pada tahun 1997, Expert Committee on the Diagnosis dan Classification of Diabetes Melitus (ECDCDM) menyepakati klasifikasi baru diabetes melitus, menjadi DM tipe 1 (yang sebelumnya disebut IDDM atau juvenil diabetes), tipe 2 (sebelumnya disebut NIDDM atau adult-onset) dan gestational diabetes (Foster-Powel et al. 2002; Rimbawan & Siagian 2004).

Kelompok DM tipe 1 adalah penderita penyakit DM yang sangat tergantung pada suntikan insulin. Kebanyakan penderitanya masih muda dan tidak gemuk. Gejala biasanya timbul pada masa kanak-kanak dan puncaknya pada masa akil balig (Dalimartha 2004). Sekitar 95% penderita DM tipe 1 terjadi sebelum usia 25 tahun, dengan prevalensi kejadian yang sama pada pria dan wanita. Individu yang mengalami DM tipe 1 mempunyai ciri-ciri polyuria (sering kencing), polydipsia (rasa haus yang terus menerus), dan polyphagia (perasaan lapar yang berlebih). Dalam pengujian glukosa darah, pasien yang mengalami diabetes tipe ini apabila diberi 75 g glukosa secara oral dan sebelumnya telah melakukan puasa selama semalam, konsentrasi glukosa darahnya akan meningkat lebih dari 200 mg/dl. Sedangkan pada individu normal perlakuan yang sama akan meningkatkan glukosa darahnya berkisar 140 mg/dl. Tingginya kandungan glukosa darah dalam tubuh, mengakibatkan laju filtrasi glomerulus terhadap glukosa menjadi berlebih dan urine akan mengandung banyak glukosa (Champe & Harvey 1994).

Kelompok DM tipe 2 dicirikan oleh resistensi insulin pada jaringan perifer dan gangguan sekresi insulin dari sel-β pankreas. DM tipe 2 adalah jenis penyakit diabet yang paling lazim dan berkaitan dengan riwayat diabetes keluarga, usia lanjut, obesitas, perubahan pola makan dan aktivitas fisik yang kurang (Wallett et al. 2002). Resistensi insulin dan hiperinsulinemia akan menyebabkan kerusakan toleransi glukosa. Sel-β yang rusak akhirnya menjadi lemah, selanjutnya mendorong intoleransi glukosa dan hiperglikemia (Mayfield 1998). Penyebab terjadinya DM ini belum diketahui dengan pasti, namun individu yang menderita

Deleted: disebabkan oleh insulin yang


(38)

15

diabetes, secara metabolik mengalami penurunan sensitivitas insulin akibat disfungsi sel-β pankreas dan insulin resisten (Lebovitz 1999)

Gestational diabetes merupakan klasifikasi operasional, bukan klasifikasi berdasarkan kondisi fisiologis. Diabetes yang diderita oleh wanita sebelum hamil disebut pregestational diabetes. Wanita yang mengalami DM tipe 1 pada saat hamil dan wanita dengan asimptomatik DM tipe 2 yang tidak terdiagnosis dikelompokkan menjadi gestational diabetes. Kebanyakkan wanita penderita gestational diabetes memiliki homeostatis glukosa yang normal selama paruh pertama (sampai bulan kelima) masa hamil. Pada paruh kedua masa hamil (antara bulan keempat dan kelima) mengalami defisiensi insulin relatif. Pada umumnya kadar glukosa darah kembali normal setelah melahirkan. Gestational diabetes dapat meningkatkan resiko DM tipe 2 pada usia lanjut.

Diagnosis dan Perubahan Metabolisme

Sebagai kriteria diagnosis yang baru, ECDCDM telah menggantikan tes toleransi glukosa oral (oral glucose tolerance test) dengan kadar glukosa plasma puasa (fasting plasma glucose level). Diabetes ditandai dengan kadar glukosa darah ≥ 200 mg/dL atau kandungan glukosa darah puasa (GDP) lebih dari 126 mg/dL. Dalam pengujian glukosa darah 2 jam post prandial (2jPP), penderita diabetes bila diberi 75g glukosa secara oral, dan sebelumnya telah melakukan puasa semalam, maka kadar glukosa darahnya mencapai lebih dari 200 mg/dl. Pada individu normal, GDP < 110 mg/dl dan 2jPP < 140 mg/dl. Individu didiagnosis gangguan homeostatis glukosa bila GDP antara 110-126 mg/dl (gangguan glukosa puasa) atau 2jPP antara 140-200 mg/dl (gangguan toleransi glukosa) (Mayfield 1998).

Komplikasi Diabetes Melitus

Kondisi hiperglikemik kronis dapat menyebabkan terjadinya komplikasi DM. Komplikasi yang mungkin terjadi antara lain: pengerasan kapiler dan vena-vena kecil, perubahan retina (kebutaan), pengerasan ginjal (nephosklerosis), pengapuran pembuluh darah besar pada penderita diabetes yang lama dapat menimbulkan atherosklerosis.


(39)

16

Kondisi hiperglikemik kronis dapat mendorong produksi radikal bebas yang berlebihan dari proses auto-oksidasi glukosa, progresi protein dan terjadi perubahan kesetimbangan oksidan dan antioksidan tubuh. Pembentukan radikal bebas yang berlebih pada penderita DM dapat memicu penurunan kandungan antioksidan enzimatik tubuh dan kerusakan jaringan. Hal ini dapat mengakibatkan timbulnya atherosklerosis dan katarak (Szaleczky et al. 1999; Ferrari & Torres 2003)

Enzim antioksidan dalam tubuh mempunyai fungsi utama sebagai pertahanan sel dengan cara mendekomposisi spesies oksigen reaktif. Perubaham proses metabolisme yang terjadi pada DM akan mempengaruhi fungsi antioksidan tubuh. Tiga enzim antioksidan utama di dalam tubuh, yaitu superoksida dismutase (SOD), glutathion peroksidase (Gpx) dan katalase (Cat). Mekanisme perubahan keseimbangan antioksidan tubuh sebagai akibat DM yaitu adanya induksi terhadap ekspresi antioksidan enzimatis saat fase transkripsi, meningkatnya pengikatan non-enzimatis glukosa terhadap protein serta gangguan ketersediaan mikronutrien (Szaleczky et al. 1999).

Penderita DM mempunyai resiko terkena atherosklerosis 2-6 kali lipat dibandingkan individu sehat (Wagenknecht et al. 1998; Gerrity et al. 2001 ). Faktor penyebab terjadinya atherosklerosis pada penderita DM yaitu akselerasi proliferasi sel otot halus arteri dan disfungsi platelet. Proliferasi sel otot halus mendorong pembentukan lesi atherosklerosis lanjut. Hiperinsulinemia dan hiperglikemia dapat menyebabkan akselerasi progresi atherosklerosis. Platelet merupakan salah satu komponen darah yang mempunyai fungsi untuk pembekuan darah. Pada kondisi DM, platelet mengalami disfungsi dan hiperaktif untuk membeku, dan cenderung untuk menempel dan beragregasi dengan endotel.

Pankreas

Pankreas merupakan organ yang mempunyai dua fungsi, yaitu menghasilkan enzim pencernaan dan hormon. Sebagian besar massa sel pankreas merupakan sel-sel acinar, berfungsi sebagai penghasil enzim pencernaan, sisanya sel-sel penghasil hormon (pulau Langerhans). Enzim-enzim pencernaan yang disekresikan oleh pankreas adalah: α-amilase (menghidrolisis pati Æ dekstrin +

Deleted:


(40)

17

maltosa); lipase (menghidrolisis trigliserida Æ monogliserida + asam lemak + gliserol); fosfolipase (menghidrolisis lesitin Æ lisolesitin + asam lemak); kolesterol ester hidrolase/esterase (menghidrolisis ester kolesterol ÅÆ kolesterol bebas + asam lemak; tripsin (menghidrolisis protein/polipeptida Æ peptida kecil); kimotripsin (menghidrolisis protein/polipeptida Æ peptida kecil); elastase (menghidrolisis protein fibrous); kolagenase (menghidrolisis kolagen); ribonuklease (menghidrolisis RNA Æ nukleotida) dan dioksiribonuklease DNA

Æ nukleotida).

Pulau Langerhans merupakan kumpulan sel ovoid berukuran 76 x 0.2 μm yang tersebar di seluruh pankreas dan berbentuk seperti pulau. Sel pulau Langerhans mensekresikan empat macam peptida yang mempunyai aktivitas hormon, yaitu glukagon, insulin, somatostatin dan peptida pankreas. Insulin dan glukagon merupakan hormon yang berperan dalam metabolisme karbohidrat, protein dan lemak. Kedua hormon tersebut berlawanan dalam keseluruhan fungsinya. Insulin disekresikan oleh sel-α bersifat anabolik, meningkatkan simpanan glukosa, protein dan lemak. Glukagon disekresikan oleh sel-β bersifat katabolik, memobilisasi glukosa, asam lemak dan asam amino dari tempat penyimpanan ke dalam darah. Somatostatin berperan dalam pengaturan sekresi insulin dan glukagon, sedangkan peptida pankreas lainnya belum diketahui benar fungsinya.

Insulin

Insulin merupakan suatu hormon polipeptida yang dihasilkan oleh sel-β dari pulau Langerhans dan merupakan kelompok sel yang terdiri dari 1% massa pankreas. Insulin adalah salah satu hormon terpenting yang mengkoordinasikan penggunaan energi oleh jaringan. Efek metaboliknya ialah anabolik, seperti sintesis glikogen, triasilgliserol, dan protein (Champe & Harvey 1994).

Struktur Insulin. Insulin dibentuk oleh 51 asam amino yang tersusun dalam dua rantai polipeptida (rantai A dan rantai B). Rantai A dihubungkan dengan rantai B melalui jembatan disulfida. Molekul insulin juga mengandung jembatan disulfida intramolekuler antara residu asam amino 6 dan 11 pada rantai A. Struktur insulin manusia berbeda dengan struktur insulun babi atau sapi. Pada


(1)

Kesenja R. 2005. Pemanfaatan tepung buah pare (Momordica charantia L) untuk penurunan kadar glukosa darah pada tikus diabetes melitus. [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Khush GS, Paule CM, de la Cruz NM. 1986. Rice Grain Quality Evaluation and Improvement at IRRI. 17th GEU Training. IRRI, Los Baňos, Philippines. Krisetiana H, Noor Z, Tranggono. 2001. Pengaruh arginin terhadap sekresi

insulin pankreas tikus secara in vitro. Bul Agro Indus 11: 10-15.

Kubo I, Masuoka N, Xiao P, Haraguchi H. 2002. Antioxidant Activity of Dodecyl Gallate. J Agric Food Chem 50 : 3533-3539.

Lasimo M, Noor Z, Marsono Y. 2002. Sifat hipoglikemik protein kedelai pada tikus model toleransi glukosa terganggu (TGT) induksi aloksan. Agrosains 15(1): 61-72.

Lebovittz HE. 1999. Type 2 diabetes. [An overview]. Clin Chem 45:1339-1345.

Lee SH, Widmer BW. 2000. Phenolic Compounds. Di dalam: Nollet LML. (ed.) Handbook of Food Analysis. Vol. 1:821-894.

Lehninger AL. 1982. Principles of Biochemistry (Dasar-dasar Biokimia Jilid 1, diterjemahkan oleh M. Thenawidjaya). Jakarta: Erlangga.

Liljeberg H, Granfeldt Y, Bjork I. 1992. Metabolic responses to starch in bread containing intact kernels versus millet flour. Eur J Clin Nutr 46:561-575.

Luh BS, Mickus RR. 1981. Parboiled Rice. Westport Conn.: The AVI Publ. Co. Inc.

Luh BS. 1991. Quick Cooking Rice Di dalam: Luh BS, editor. Rice : Utilization. Vol. 2:120-146. New York: Van Nostrand Reinhold.

Malinski TZ, Taha, Grunfeld S. 1993. Diffusion of nitrit oxide in the aorta walls monitored in situ by porphyrinic microsensans. Biochem Biophys Res Commun 193: 1076-1082.


(2)

Marsono Y, Wiyono P, Noor Z. 2002. Indeks glikemik kacang-kacangan. J Teknol Ind Pangan 13: 211-216.

Marsono Y. 2002. Indeks glisemik umbi-umbian. Agritech 22(1): 13-16

Marsono Y. 2004. Serat Pengan dalam Perspektif Ilmu Gizi. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fak. Teknol. Pertanian – UGM. Yogyakarta, 2 Juni 2004.

Matsumoto N, Ishigami F, Ishigaki A, Iwashina H, Hara Y. 1993. Reduction of blood glucose levels by tea catechin. Biosci. Biotech. Biochem. 57: 525.

Mayfield J. 1998. Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus: New Criteria. Published by the American Academy of Family Physician.

Meilgaard M, Civille GC, Carr BT. 1999. Sensory Evaluation Techniques. Ed ke-3. Boca Raton: CRC Press.

Miller JB et al. 1991. Low glycemic index foods improve long term glycemic control in NIDDM. Diab Care 14: 95-101.

Miller JB, Pang E, Bramall L. 1992. Rice: a high or low glycemic index food?.

Am J Clin Nutr 56: 1034-1036.

Miller JB, Foster-Powel K, Colagiuri S. 1996. The GI Factor: The GI Solution. Hodder and Stougton. Hodder Headline `Australia Pty Limitted.

Muchtadi D. 1992. Fisiologi Pascapanen Sayuran dan Buah-buahan. Petunjuk Laboratorium. PAU Pangan dan Gizi, IPB.

Muchtadi D. 2001. Sayuran sebagai sumber serat untuk mencegah timbulnya penyakit degeneratif. Jurnal Teknologi & Industri Pertanian. PATPI bekerjasama dengan Fakultas Teknologi Pertanian, IPB.

Muchtadi D. 2004. Khasiat Pangan Fungsional Indigenus Indonesia. Makalah pada Sem. Nas. Pangan Fungsional Indigenous Indonesia: Potensi, Regulasi, Keamanan, Efikasi dan Peluang Pasar. Bandung 6-7 Oktober 2004. Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Litbang Pertanian.


(3)

Mueller-Harvey I, McAllan AB, Theodorou MK, Beever DE. 1986. Phenolics in fibrous crop residues and plants and their effects on the digestion and utilization of carbohydrates and proteins in ruminants. FAO Corporate Document Repository. http://www.fao.org/Wairdocs/ILRI/x459E/x5495e07

Nielsen SS. 1996. Food Analysis. Ed Ke-3. New York: Kluwer Academic Publisher.

Noor Z, Marsono Y, Astuti M. 2002. Hypoglycemic Properties, Mechanical and Mode of Action Soybean Constituents. Proc. Int. Conference on Innovations in Food Processing Technology and Engineering. Bangkok, Thailand, Dec, 11-13, 2002.

Noor Z. 2003. The potential of legume as functional food for insulin independent diabetes mellitus. Paper presented at Internat. Conference on Functional and Health Foods: Market, Technology & Health Benefit. Yogyakarta, Indonesia: Gadjah Mada Univ. August 26-27, 2003

Nurhaeni, S. 1980. Mempelajar kebutuhan panas dan kecepatan pengeringan pengolahan parboiled rice [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, IPB.

Ostman EM, Elmstahl HGML, Bjorck IME. 2001. Inconsystency bertween glycemic and insulinemic responses to regular and fermented milk products. Am J Nutr 74 (1): 96-100.

Pratt DE, Hudson BJF. 1990. Natural Antioxidant From Plant Material. Di dalam : Huang MT, Hap CT, Lee CY. editor. Phenolic Coumpounds in Food and Their Effects on Healty H. Washington DC: American Society.

Pratt DE, Hudson BJF. 1992. Natural Antioxidant not Exploited Commercially. Di dalam: Hudson BJF, editor. Food Antioxidant. London: Elsevier Applied Science.

Purseglove JW, Brown EG, Green CL, Robbins SRL. 1981. Spices, Vol. 2. New York: Longman Mc.

Pushparaj PN, Tan BKH, Tan CH. 2001. The mechanism of hypoglycemic action of the semi-purified fraction of averrhoa bilimbi in streptozotocin-diabetic rats. Life Sci 70:511-517.


(4)

Riccardi G, Rivellese AA. 1991. Effect of dietary fibre and carbohydrate on glucose and lipoprotein metabolism in diabetic patients. Diab Care 14: 1115-1125.

Rimbawan, Siagian A. 2004. Indeks Glikemik Pangan. Jakarta: Penebar Swadaya.

Robert RL. 1984. Quick-Cooking Rice. Di dalam: Houston DF, editor. Rice Chemistry and Technology. St Paul, Minnesota: American Assoc. Cereal Chemists, Inc. hlm. 381-386

Stahl. 1969. The Chemistry of tea and soluble tea and soluble tea manufacturing. Baltimore, Maryland: Mc. Cormick and Co., Inc.

Sardesai VM. 2003. Introduction to Clinical Nutrition. New York.: Marcel Dekker Inc., 339-354.

Singh B, Reddy R. 1977. Phytic acid and mineral composition on triticale. J Fd Sci 42(4): 1077-1083.

Siswono. 2004. Pati Tahan Cerna. Quality Sehat Indonesia. Senin 10 Juni 2004.

www.gizi net.com.

Soekarto ST. 1990. Dasar-dasar Pengawasan dan Standarisasi Mutu Pangan. Bogor: IPB Press.

Soemardji AA. 2004. Penentuan kadar gula darah mencit secara cepat: untuk diterapkan dalam penapisan aktivitas antidiabetes in vivo. Acta Pharmaceutical Indon. 29(3): 115-116.

Szaleczky E, Prechl J, Feher J, Somogyi A. 1999. Alterations in enzymatic antioxidants defence in diabetes mellitus [a Rational Approach]. Postgrad Med J 75:13-17.

Szkudelski T. 2001. The mechanism of alloxan and streptozotocin action in beta cells of the rat pancreas. Physiol Res. 50:536-546.

Takatori A, Nishida E, Inenaga T, Horiuchi K, Kawamura S, Itagaki S, Yoshikawa Y. 2002. Functional and histochemical analysis on pancreatic

Formatted: English (U.S.)

Formatted: English (U.S.)

Formatted: Swedish (Sweden)

Formatted: Font: I talic

Formatted: English (U.S.) Formatted: English (U.S.) Formatted: English (U.S.)


(5)

islets of APA hamsters with SZ-induced hyperglycemia and hyperlipidemia.Exp Anim 51(1):9-17.

Tijburg LBM, Mattern T, Folts JD, Eisgerber UM, Katan MB. 1997. Tea flavonoids and cardiovascular diseases [A Review]. Crit Rev Food Sci Nutr 37:771-785.

Thompson LU, Yoon JH, Jenkins DJA, Wolever TMS, Jenkins A.L. 1984. Relationship between polyphenol intake and blood glucose response of normal and diabetic individuals. Am J Clin Nutr 39:745-751.

Tsukeni H, Ishizuka H, Terasawa M, Jin-Bin W, Sasaoka T, Kimura I. 2004. Effect of green tea on blood glucose levels and serum proteomic patterns in diabetic mice and on glucose metabolism in healthy humans. BMC Pharmacology 4:18.

Vernon CM, Eberstein JA, Atkins RC. 2004. Atkins Diabetes Revolution. US: Harper Collins Publ. Ltd.

Wagenknecht LE. D’Agostino Jr RB, Haefner SM, Savage PJ, Rewers M. 1998. Impaired glucose tolerance, type 2 diabetes and carotid wall thickness. Diab Care 21: 1812-1818.

[WHO] World Health Organization. 1980. Expert Committee on Diabetes Mellitus: Second Report. WHO Technical Report Series 646: 1-80

Wickremasinghe RL. 1976. By-product of tea. Warta BPTK 2(1/2):69-75.

Widowati, S. 2004. Potensi dan Status Minuman Tradisional sebagai Pangan Fungsional. Di dalam: Rusastra IW, Muharam A, Bachrein S, Nurawan A,

editor. Pros. Sem. Nas. Pangan Fungsional Indigenous Indonesia: Potensi, Regulasi, Keamanan, Efikasi dan Peluang Pasar; Bandung, 6-7 Oktober 2004. Bandung: Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Litbang Pertanian. hlm 84-89.

Willett W, Manson J, Liu S. 2002. Glycemic index, glycemic load and risk of type 2 diabetes. Am J Clin Nutr 76(1):274S-280S.

Wills RBH, Balmer N, Greenfield H. 1980. Composition of Australian food and methods of analysis. Fd Technol In Aust. 32:198-204.

Formatted: English (U.S.) Formatted: English (U.S.)

Deleted:

Deleted: . Makalah pada


(6)

Winarno, FG. 1984. Padi dan Beras. Pusat Pengembangan Teknologi Pangan IPB. Bogor.

Winarno FG. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Yoon JH, Thompson LU, Jenkins DJA. 1983. The effect of phytic acid on in vitro rate of starch digestibility and blood glucose response. Am J Clin Nutr 38:385-42.

Yoshikawa M. et al. 1995. Bioactive saponins and glycosides. Senegae radix. (I): E-Senegasaponins a and b and Z-Senegasaponins a and b, their inhibitory effect on alcohol absorbtion and hypoglycemic activity. Chem Parm Bull 43:2115-2132.

Yusof BNM, Talib RA, Karim NA. 2005. Glycemic index of eight types of commercial rice. Mal J Nutr 11(2): 151-163.

Formatted: Justified, Line spacing: single

Formatted: Font: I talic Formatted: Font: I talic