Bagaimana Jarak dan Religiusitas Menentukan Akses Terhadap BMT ?

(1)

BAGAIMANA JARAK DAN RELIGIUSITAS

MENENTUKAN AKSES TERHADAP

BAITUL MAAL WAT TAMWIL ?

Davy Hendri

*

Abstract

Fakta menunjukkan bahwa walaupun berpopulasi mayoritas muslim, namun akses warga muslim Indonesia terhadap institusi lembaga keuangan mikro syari’ah masih terbatas. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa akses terhadap institusi ini ditentukan oleh jarak lokasi rumah ke institusi (geographical distance). Sementara itu penelitian lain juga menyebutkan bahwa religiusitas juga berperan menentukan variasi keputusan untuk menggunakan produk institusi ini bagi setiap individu. Penelitian ini didesain untuk mengestimasi probabilita akses individu muslim terhadap lembaga keuangan mikro syari’ah, Baitul Maal wat Tamwil. Penelitian dilakukan dengan menggunakan data dari survey IFLS-4 yang mencakup sekitar 29.000 responden di 13 provinsi se-Indonesia yang diaggregasi pada level 312 komunitas (desa/kelurahan) pada tahun 2007 (cross-section).

Kuisioner IFLS-4 memuat data self-reported kebiasaan warga menggunakan produk BMT jika berlokasi di dalam komunitas (akses di dalam) atau berlokasi di luar komunitas (akses ke luar) dengan jarak bervariasi. Hasil penelitian menemukan bahwa pada level komunitas, lokasi BMT amat berperan dalam menentukan akses. Variasi tipe akses ternyata juga berperan sebagai mekanisme seleksi alami bagi tipe konsumen yang akan mengakses BMT. Sebagai konsekuensinya, pihak BMT harus menentukan mekanisme layanan yang berbeda bagi konsumen dengan tipe berbeda pula. Merujuk kepada temuan kemungkinan 2 pola relasi ; subsitusi atau komplementer, antara akses BMT dengansocial capitalmilik komunitas dan antara akses BMT dengan keberadaan LK lain, maka strategi perluasan financial inclusion dalam konteks pola kemitraan yang sustainable dan saling menguntungkan, juga harus ditentukan secara apesifik menurut lokasi komunitas.

Key Words:Lembaga Keuangan Mikro Syari’ah, Akses, Jarak, Religiusitas

* Dosen IAIN Imam Bonjol Padang, Peneliti pada Indonesia POCIN Institute of Economics dan Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Ekonomi FEUI. Penulis sangat berterima kasih kepada sdr. Windhiarso Putranto dari BPS Pusat atas komentar dan support data yang sangat berharga, Indra atas diskusi yang mendalam dan Fajri Muharja atas saran membangun selama proses diskusi. Paper ini tidak akan dapat kami selesaikan tanpa bantuan mereka. Namun demikian, pendapat dan kesimpulan yang diungkapkan di sini adalah murni menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan dari mereka dan lembaga tempat mereka berafiliasi. Korespondensi dengan penulis: Davy Hendri, Department of Economics, Indonesia University, Depok, Indonesia. Email : davyhendri74@gmail.com dan www.davyhendri.blogspot.com, Hp : 081363494988


(2)

1. Pendahuluan

Literatur keuangan pada beberapa waktu terakhir memperlihatkan kecendrungan meningkatnya kajian peranan faktor jarak (geographical distance), sebagai proksi biaya transportasi dan asimetri informasi antara pemberi pinjaman dan peminjam (Alessandrini, Fratianni dan Zazzaro, 2009). Keuntungan dari kedekatan fisik dicerminkan oleh difusi spasial cabang bank, yang mengurangi jarak antara lembaga dan pelanggan lokal. Pada saat yang sama, di beberapa pasar kredit, baik di negara berkembang maupun industri, proses konsolidasi yang intens dan internasionalisasi industri perbankan telah meningkatkan jarak fungsional antara pusat putusan bank dan entitas ekonomi lokal, yang pada gilirannya meningkatkan biaya agensi, dengan konsekuensi merugikan akses perusahaan terhadap kredit, terutama untuk UKM yang relatif lebih minim informasinya (Mian, 2006; Alessandrini, Presbitero dan Zazzaro, 2009, 2010).

Beberapa hasil penelitian menyatakan bahwa jarak menjadi faktor penting yang melemahkan akses keuangan di beberapa negara (Seep Network, 2006), termasuk di Amerika Serikat (Petersen dan Rajan, 2002). Ketika mempertimbangkan transaksi antara dua agen -dalam kasus antara rumah tangga, dan individu atau kelompok individu dan lembaga keuangan mikro, pengaruh jarak diterjemahkan ke dalam biaya fisik yang harus dibayar agen untuk dapat mewujudkan transaksi. Beberapa literatur menjelaskan mekanisme transmisi jarak terhadap akses pada pasar kredit baik dari sisi produsen maupun konsumen dalam beberapa cara.

Dari sisi lembaga keuangan mikro sebagai produsen, pertama, ada biaya transaksi langsung, yaitu biaya transportasi untuk memberikan layanan keuangan kepada peminjam. Dalam pasar keuangan yang kompetitif, biaya ditanggung oleh peminjam dalam bentuk skrining yang lebih intens dan tingkat bunga yang lebih tinggi. Implikasi kedua adalah peningkatan biaya monitoring: apakah pemberi pinjaman perlu mengumpulkan informasi sebelum persetujuan peminjam (adverse selection), atau memantau peminjam setelah pinjaman disetujui (moral hazard), ketika berkunjung untuk memonitoring. Hal ini pada gilirannya berarti pembatasan pinjaman lebih ketat dan pengenaan suku bunga yang lebih tinggi.

Sementara itu dari sisi peminjam sebagai konsumen, perilaku oportunistik - yaitu memilih konsumsi daripada investasi - cendrung lebih mudah timbul seiring semakin besar jarak dari lembaga keuangan mikro, karena kemungkinan terdeteksi lebih rendah (Presbitero, 2011). Mengalihkan penggunaan kredit uang dari tujuan yang telah disepakati akan meningkatkan kemungkinan pemutusan hubungan kredit. Hasil ini sangat mahal bagi individu yang umumnya tak memiliki rekening bank sebelum bergabung dengan program dan memiliki informasi yang minim yang membuat evaluasi kelayakan kredit mereka sangat sulit.

Dalam konteks Indonesia, meskipun relatif lebih berkembang dari entitas bisnis keuangan mikro lainnya (misal asuransi mikro) namun level cakupan layanan lembaga kredit ini belum optimal. Masih ada potensi besar untuk mengakses lebih banyak klien. Di negara-negara Arab saja, kesenjangan cakupan diperkirakan sekitar 53 juta (Malkawi et al., 2011). Hal ini disebabkan antara lain oleh perbedaan mendasar dalam tipe klien yang mengambil pinjaman di Timur Tengah. Pada dasarnya, banyak potensi klien Timur Tengah menerapkan hukum Syariah, yang secara khusus


(3)

mengklasifikasikan riba, atau bunga, sebagaimana dilarang dalam transaksi ekonomi (Obaidullah, 2008). Karena bunga merupakan komponen utama keuangan mikro, beberapa penulis berpendapat bahwa banyak orang Timur Tengah yang hidup dalam kemiskinan tidak berpartisipasi dalam program kredit (Abdul-Rahman, 2007, Dusuki, 2008). Agaknya cakupan dan jangkauan layanan keuangan mikro yang belum mencapai potensi penuh dapat secara signifikan lebih meluas di wilayah tersebut dengan hadirnya alternatif lembaga keuangan berbasis syari’ah (Dhumale dan Sapcanin 1999, dan Obaidullah, 2008).

Dengan karakteristik khusus kontrak keuangan mikro syariah yang tidak mengenakan biaya bunga pinjaman maka bisa dikatakan bahwa keuangan mikro syariah diharapkan akan menarik bagi individu yang lebih religius. Konsumen yang religius pada dasarnya menguntungkan kedua belah pihak, baik lembaga keuangan mikro (syari’ah) sebagai produsen maupun (calon) peminjam sebagai konsumen. Dari sisi lembaga keuangan mikro, dalam konteks model pinjaman berbasis individual maupun grup, religiusitas (yang ditransformasikan dalam wujud perilaku sesuai panduan agama) calon peminjam merupakan indikator penting yang dianggap bisa menjadi proksi social collateral

(menggantikan physical collateral) maupun mereduksi potensi moral hazard calon peminjam (Berggren, 2014).

Faktanya, walaupun dengan populasi mayoritas muslim, namun akses warga terhadap lembaga keuangan mikro syari’ah ini masih terbatas. Hal ini dapat dirujuk kepada rasio jumlah lembaga keuangan mikro per populasi yang masih rendah. Pertanyaannya adalah diantara berbagai determinan, maka faktor manakah yang lebih dominan menjadi kendala akses terhadap institusi ini ?. Jika kendala jarak yang menjadi faktor utama maka tentu faktor religiusitas tidak akan bisa memberikan informasi variasi terhadap akses. Sementara itu, jika faktor religiusitas yang menjadi kendala utama maka tentu dimanapun BMT berlokasi, semua muslim akan memilki akses yang sama terhadapnya. Paper ini mencoba mengkomparasikan faktor yang lebih dominan menentukan akses terhadap lembaga keuangan mikro syari’ah Baitul Maal wat Tamwil (BMT) .

Penelitian ini menemukan bahwa ternyata religisiutas berperan menentukan akses ke luar. Bagian selanjutnya dari paper ini akan memperkenalkan metodologi yang digunakan. Bagian ini akan membahas sumber data dan pengukuran status religiusitas sebagai variabel dependent utama dan beberapa variabel kontrol lain baik dalam level individu, rumah tangga maupun komunitas seperti preferensi resiko, status kepemilikan usaha (non-tani), rerata pengeluaran per kapita dan social capital. Bagian 3 merupakan analisis empiris, yang bertujuan untuk menilai apakah jarak BMT-komunitas dan status religiusitas secara signifikan mempengaruhi akses terhadap BMT. Akhirnya, Bagian 4 membahas beberapa implikasi kebijakan untuk memperluas dan menjaga keberlansungan jangkauan BMT.

2. Metodologi

Untuk menyelidiki hipotesis ini, penelitian ini didesain sebagai mengambil keuntungan dari ketersediaan data tipe akses terhadap BMT pada kuisioner Indonesian Familiy Live Survey(IFLS) wave IV tahun 2007.


(4)

2.1. Data

Dataset utama untuk analisis adalah Indonesian Family Life Survey (IFLS), survei rumah tangga sosial ekonomi berdasarkan sampel yang mewakili 83% dari penduduk Indonesia mencakup 29.060 orang dewasa di 12.688 rumah tangga yang tinggal pada 312 komunitas di 13 provinsi se-Indonesia. Dalam buku karakteristik komunitas dan fasilitas (buku 03 seksi G) tersedia pertanyaan tentang kebiasaan masyarakat komunitas (desa/kelurahan) dalam menabung/meminjam di BMT yang lokasinya terbagi dua, yaitu di dalam komunitas (akses ke dalam) dan di luar komunitas (akses ke luar).

Sementara itu dalam buku karakteristik individu dan rumah tangga, juga tersedia pertanyaan tentang agama dan status religiusitas individu dalam setiap komunitas (buku 3A seksi TR). Oleh karena status akses hanya tersedia pada level komunitas, maka determinan karakteristik pada level individu seperti religiusititas, preferensi resiko, social capital dan karakteristik pada level rumah tangga seperti kepemilikan usaha, terkecuali pengeluaran per kapita, diaggregasi ke dalam level komunitas.

Proses aggregasi dilakukan dalam 2 (dua) tahap. Pertama, menjumlahkan data pada level individu dan rumah tangga, baik dalam numerik maupun binary ke dalam level komunitas. Kedua, dilanjutkan dengan membuat proporsi (rasio) dengan jalan membagi angka tadi dengan jumlah populasi dalam komunitas. Sehingga semua data terkait agen konsumen BMT merupakan data rasio seperti proporsi jumlah warga muslim dalam suatu komunitas (desa/kelurahan), proporsi jumlah warga muslim yang religius dalam suatu komuntas dan seterusnya.

Tabel 1: Aggregasi Karakteristik Individu dan Rumah Tangga Pada Level Komunitas

Individual Aggregasi levelKomunitas Obs Mean Std.Dev. Min Max Agama Islam (1 = Ya; 0 = Tidak) muslim 296 0.91 0.18 0.02 1 Islam*Religius (1 = Ya; 0 = Tidak) musrel 296 0.88 0.18 0.02 1 Preferensi resiko (1 = Risk Averter; 0 = lainnya) risk 310 0.92 0.06 0.43 1 Menolong tetangga (1 = Ya; 0 = Tidak) soccap 310 0.98 0.04 0.50 1

Rumah Tangga

Memiliki usaha (1 = Ya; 0 = Tidak) usaha 310 0.47 0.19 0.00 1 Pengeluaran perkapita (mean_ln) exp 310 12.98 0.38 12.13 14.16

Komunitas

Kebiasaan warga meminjam/menabung (Akses) pada BMT atau LK lain jika

BMT berlokasi di dalam desa (0 = No; 1 = Yes) 312 0.06 0.24 0 1 BMT berlokasi di luar desa (0 = No; 1 = Yes) 312 0.19 0.39 0 1 LK lain berlokasi di dalam desa (0 = No; 1 = Yes) 310 0.17 0.38 0 1 LK lain berlokasi di luar desa (0 = No; 1 = Yes) 310 0.33 0.47 0 1 Lokasi desa komunitas (1= pedesaan; 0 = perkotaan) 310 0.38 0.49 0 1

Sumber : Data diolah

2.2. Variabel dan Pengukuran

Bagian ini akan mencoba mendeskripsikan proses untuk menghasilkan beberapa variabel dependen dan kontrol yang digunakan dalam analisis.


(5)

2.2.1. Preferensi Risiko

Untuk mengukur tingkat penghindaran risiko, digunakan pertanyaan terkait resiko finansial individu dalam data karakteristik individu/rumah tangga buku 3A seksi SI. Dua pertanyaan preferensi risiko yng dianalisis adalah pertanyaan SI21 dan SI22. Jika pilihan responden dalm pertanyaan SI21 adalah C dan dilakukan uji konsistensi melalui cross-check jawaban dari pertanyaan SI22. Jika responden tadi kemudian juga menjawab C pada pertanyaan SI22 maka dia dianggap memiliko prefrensi menghindari resiko (risk-averse). Nilai 1 adalah kode untuk respon menghindari risiko, dan nilai-nilai dari 1 dikodekan untuk lainnya (biakrisk-lovermaupunrisk-neutral).

2.1.2. Religiusitas Muslim

Dalam kuisioner karakteristik individu/rumah tangga pada IFLS4, pada buku 3A seksi TR pada pertanyaan TR11, responden juga diminta untuk mengevaluasi religiusitas sendiri dari ukuran 4 skala negatif mulai dari ; "1. sangat taat", "2. taat", "3. agak taat" dan "4. tidak taat". Selanjutnya pada pertanyaan TR12, juga ada pertanyaan tentang agama responden sehingga mereka dapat memilih antara Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, dan Konghucu serta Tidak Menjawab. Item konghucu dan tidak menjawab, akan didrop dari analisis. Selanjutnya kedua variabel; religius dan agama ini diinteraksikan. Sesuai dengan tujuan penelitian ini maka hanya variasi religiusitas responden muslim yang akan menjadi regressors utama.

Pertanyaan religiusitas di IFLS-4 adalah pertanyaan penilaian diri sendiri (self-assessment) Oleh karena itu perlu untuk mengkaji bagaimana jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini berhubungan dengan perilaku yang diamati. Untuk penganut masing-masing agama, IFLS-4 meminta sepasang pertanyaan tentang praktik keagamaan seseorang. Muslim diminta menjawab pertanyaan TR13 tentang berapa kali mereka berdoa (shalat) setiap hari dan apakah mereka mengamati kebutuhan makanan halal. Sebuah penelitian dalam tema yang berbeda namun dalam konteks dan variabel yang sama (Gaduh, 2012) menggunakan data ini untuk memvalidasi penilaian diri religiusitas responden. Berikut tabel analisis yang digunakan dalam penelitian1 beliau.

Tabel 2 : Distribusi Praktek Ibadah Responden Muslim Menurut Tingkat Religiusitas

Not Somewhat Religious Very Refused religious religious religious to answer Muslim

How many times do you pray each day? [X2(9, 25856) = 8.9e + 03, p = 0.00]*

Do not practice 0.66 0.25 0.04 0.01 0.19

Between 0 and 5 0.25 0.43 0.11 0.09 0.07

5 times 0.08 0.29 0.73 0.65 0.47

More than 5 0.01 0.02 0.11 0.25 0.07

Refused to answer 0.00 0.00 0.00 0.00 0.21

Sumber: Gaduh(2012)

Tabel 2 di atas memperlihatkan pola korelasi yang kuat antara self-assesment

religiusitas seseorang dan kepatuhan dia akan praktik keagamaan. Untuk responden 1 Informasi lebih detail tentang test yang digunakan untuk menguji konsistensi status religiusitas inidividu muslim

dengan praktek ibadah keseharian, dapat dilihat pada paper Arya Gaduh (2012),Religion, Social Interaction and Cooperative Attitude : Evidence from Indonesia.


(6)

muslim, semakin religius dia menikai dirinya, semakin besar kemungkinan bahwa ia mengikuti (dan melampaui) jumlah wajib shalat lima kali sehari. Sedikit berbeda dan untuk tujuan penyederhanaan analisis, maka dalam konteks ini, kemudian pilihan jawaban 1, 2 dan 3 dikategorikan sebagai religius dan dikodekan dengan 1, sementara 0 untuk jawaban lainnya. Dari skala ini kemudian diperoleh informasi tambahan bahwa setiap tambahan 1 (satu) unit ibadah akan memperbesar probabilitas responden untuk menjadi religius2.

.9

.9

5

1

Pr

(R

el

ig

iu

s)

0 1 2 3 4 5

ibadah

Adjusted Predictions with 95% CIs

Gambar 1. Margin Map--Ibadah dan Probabilita Religiusitas Sumber : Data diolah dari modul individu IFLS

2.2. Strategi Estimasi

Untuk mengestimasi kemungkinan akses komunitas pada BMT, model probabilitas linear (probit regression) digunakan. Dalam fungsi probabilitas linear, variabel dependen adalah variabel biner yang mengambil nilai nol atau satu. Sebagai catatan, ada dua model yang akan diuji di sini. Kedua model memiliki dependent variabel yang sama yaitu variabel interest (utama); religiusitas dan berbagai variabel kontrol lain pada level individu dan rumah tangga yang sudah diaggregasi pada level komunitas. Namun perbedaan terletak dalam variabel independent yang berbeda. Model adalah sebagai berikut:

Variabel xiv adalah vector dari aggregate karakteristik individu i di komunitas v.

Sementara itu Hhv adalah vector dari aggregate karakteristik rumah tangga di

komunitas v. Sementara itu Gv adalah vektor dari variabel pada level komunitas v

itu sendiri. Semua variabel pada sisi sebelah kanan (RHS) model di atas adalah sama untuk kedua model. Perbedaan terletak pada variabel pada sisi sebelah kiri (LHS), variabel dependent.

Pada model pertama, Av merupakan akses terhadap BMT jika berlokasi di dalam

2 Margin map religiusitas ini diperoleh dengan tidak lagi memasukkan, perilaku TIDAK MELAKUKAN ke dalam

analisis. Namun memperbandingkan antara jumlah melakukan shalat dan capaian religiusitas di antara muslim

v iv h v v v


(7)

komunitas yang bernilai 1 jika Ya dan 0 jika Tidak. Sementara pada model kedua, Av

merupakan akses terhadap BMT jika berlokasi di luar komunitas yang bernilai 1 jika Ya dan 0 jika Tidak.

3. Hasil dan Pembahasan

Bagian ini akan memaparkan hasil deskripsi data dan analisis estimasi yang dilakukan dengan model ekonometrik pada bagian sebelumnya.

3.1. Akses-Jarak dan Religiusitas

Tabel 1 mendeskripsikan ringkasan statistik untuk penelitian ini. Dalam sampel 312 komunitas, walaupun rata-rata proporsi muslim dalam komunitas adalah mayoritas yaitu sekitar 91 %, namun total hanya 27 % komunitas yang memiliki akses terhadap BMT. Terdiri dari 19 % komunitas yangmemiliki akses terhadap BMT yang berlokasi di luar komunitas (out-akses), sementara itu hanya 6 % komunitas yang memiliki akses terhadap BMT yang berlokasi di dalam komunitas tersebut (in-akses). Fakta ini memberikan beberapa indikasi penting.

Pertama, jangkauan penyebaran BMT pada lokasi komunitas (akses di dalam) sampel masih sangat rendah. Masih ada 13 % (19 % - 6 %) komunitas yang harus menggunakan layanan BMT yang berlokasi di luar komunitas mereka (akses ke luar). Kedua, rata-rata jarak antara lokasi komunitas muslim dengan kantor BMT (geographical distance) di luar komunitas mereka pada tipe akses ke luar, cukup memprihatinkan, yaitu sekitar 7 km. Bagaimana dengan relasi antara religiusitas dan jarak dengan status akses tersebut ?.

Tabel 3. Regressi Probit Tipe Akses dengan Religiusitas

---Independent Dependent Var : Dummy Tipe Akses thd BMT

Var (1) (2) (3) (4)

inakses inakses outakses outakses

---muslim 0.135 1.750*

(0.19) (2.19)

musrel 0.449 1.836*

(0.58) (2.35)

cons -1.671* -1.949** -2.465** -2.494***

(-2.57) (-2.77) (-3.24) (-3.45)

---N 296 296 296 296

---t s---ta---tis---tics in paren---theses

* p<0.05, ** p<0.01, *** p<0.001

Sumber : Data diolah

Hasil olahan regressi probit yang ditampilkan pada tabel 3 di atas mencoba memberikan jawaban awal atas pertanyaan di atas. Di sini ada 4 model regressi yang diuji. Model 1 dan 2 menguji probabilitas proporsi muslim dan proporsi muslim religius dalam suatu komunitas terhadap akses di dalam terhadap BMT. Hasil olahan regressi memperlihatkan bahwa walaupun relasi masing-masing status religiusitas


(8)

dengan tipe akses memiliki tanda (arah) +, sesuai hipotesis, namun relasinya tidak signifikan. Hal ini menjadi fakta menarik pertama untuk dipertanyakan. Kenapa variabel proporsi muslim yang besar, tidak cukup untuk menjadi faktor dominan penentu keputusan mereka untuk menggunakan produk BMT, walaupun BMT itu berlokasi di dalam (akses di dalam) komunitas mereka ?.

Selanjutnya, model 3 dan 4, menguji probabilitas proporsi muslim dan proporsi muslim religius terhadap akses ke luar terhadap BMT. Pada kedua model ini, relasi masing-masing status religiusitas dengan tipe akses memiliki tanda (arah) + dan signifikan sesuai hipotesis. Hal ini tentu menjadi tambahan pertanyaan menarik selanjutnya. Idealnya muslim yang religius relatif lebih “terhimbau” dalam mengakses BMT yang berada di luar lokasi tempat tinggalnya. Namun temuan dari olahan data ini menunjukkan bahwa komunitas dengan proporsi muslim yang religius juga tidak cukup dominan untuk menentukan akses kepada BMT yang berlokasi di luar komunitas itu (akses ke luar). Kenapa ?.

3.2. Akses di Dalam dan Religiusitas

Pertanyaan lanjutan adalah; apakah pola relasi ini berlaku untuk semua kondisi ?. Adakah penjelasan lain terhadap kondisi ini ?. Oleh karenanya, kenyataan ini perlu diuji dengan analisis pengaruh variabel kontrol. Tabel 4 berikut memperlihatkan regressi probit dengan tambahan beberapa variabel kontrol.

Tabel 4. Regressi Akses BMT di Dalam dengan variabel kontrol

---Independent Dependent Var : Dummy Akses di Dalam thd BMT

Var (5) (6) (7) (8)

inakses inakses inakses inakses

---muslim 0.378 0.519

(0.47) (0.59)

risk 4.965** 5.713** 4.972** 5.609**

(1.96) (2.05) (1.97) (2.03)

desa -0.341 -0.302 -0.329 -0.294

(-1.23) (-1.05) (-1.20) (-1.02)

usaha 1.176* 1.146* 1.115* 1.079*

(1.81) (1.74) (1.74) (1.65)

soccap -3.097 -2.865

(-0.62) (-0.59)

exp 0.118 0.0833

(0.32) (0.23)

musrel 0.738 0.946

(0.82) (0.94)

cons -6.990*** -6.310 -6.651*** -5.517

(-2.73) (-0.82) (-2.74) (-0.73)

---N 296 296 296 296

---t s---ta---tis---tics in paren---theses

* p<0.1, ** p<0.05, *** p<0.01


(9)

Hasil olahan regressi probit dengan beberapa variabel kontrol menjelaskan paling tidak dua hal. Pertama, menjawab pertanyaan pada bagian pembahasan 3.1 sebelumnya. Ternyata dari sisi status akses BMT di dalam komunitas pada kesemua model; yaitu model 5,6, 7 dan 8, ternyata status agama (muslim) dan religiusitas (muslim religius) belum cukup untuk menjelaskan pola relasinya. Sebenarnya hal ini tidaklah mengherankan jika merujuk kepada ketersediaan lembaga keuangan pada komunitas pada saat ini yang bisa menjadi opsi alternatif bagi konsumen. Beberapa lembaga keuangan (formal) bank semisal BRI telah menjangkau pelosok desa, terutama dengan layanan BRI unit Desa. Belum lagi berbicara tentang keberadan lembaga keuangan informal.

Kedua, karakteristik rumah tangga komunitas berkontribusi lebih menentukan status akses komunitas itu terhadap BMT yang berlokasi di dalam komunitas mereka. Dalam hal ini, status kepemilikan usaha (non-tani) dalam skala UKM menjadi determinan akses kepada BMT. Di satu sisi, hal ini bisa mengindikasikan bahwa warga muslim dari berbagai strata dan status telah memiliki akses terhadap BMT. Sementara itu, ternyata sebuah variabel kontrol lain yaitu preferensi terhadap resiko, ternyata turut menjadi aspek yang menentukan determinan akses. Dalam konteks ini, preferensi resiko merupakan karakteristik individu dalam menilai resiko finansial yang dibentuk dari olahan data IFLS-4 buku 3A seksi TI3. Pada level individu, preferensirisk-averter diberi skor 1 dan 0 untuk lainnya.

Hasil olahan regressi probit yang ditampilkan pada tabel 4 di atas menunjukkan bahwa ternyata individu muslim secara keseluruhan, baik religius maupun tidak, memang lebih menghindari risiko (risk-averter). Hal ini sesuai dengan konsep yang mendasari praktek lembaga keuangan syari’ah pada umumnya, yaitu bertransaksi untuk tujuan pasti, bukan spekulasi4.

Lebih jauh, variabel social capital, ternyata berelasi negatif walaupun tidak signifikan dengan variabel akses. Variabel social capital di sini dibentuk dari pertanyaan aktivitas individu dalam komunitas untuk membantu sesama. Walaupun aktivitas itu tidak spesifik menyebutkan jenis kegiatan pinjam meminjam uang, namun temuan ini setidaknya sejalan dengan pernyataan beberapa hasil penelitian lain. Penelitian yang dilakukan seperti ..bahwa kehadiran BMT sebagai sumber pendanaan telah mengurangi intensitas pinjaman keuangan informal lain dalam suatu komunitas.

3.3. Akses ke Luar dan Religiusitas

Sementara itu, dari sisi akses BMT ke luar komunitas, tabel 5 di bawah menampilkan beberapa temuan menarik lainnya. Hasil regresi menemukan fakta bahwa ternyata muslim yang religius memang relatif lebih memiliki akses kepada BMT yang berada di luar komunitas mereka dibanding muslim lain. Hal ini bisa dijelaskan sebagai berikut. 3 Preferensi individu terhadap resiko finansial dikonstruk dari penilaian responden atas beberapa pertanyaan tentang

sikap mereka dalam memilih ketika menerima hadiah undian (lotere). Apakah mereka akan memilih menerima sejumlah X uang saat ini juga atau menunda menerimanya sejumlah Y (di mana Y bisa jadi lebih besar, kecil atau sama saja dengan X) nanti di masa depan, dalam masa 1, 2, 3 dan sekian tahun ke depan.

4 Dalam literatur keuangan syari’ah ditekankan bahwa dasar dari semua transaksi keuangan adalahe menghindari


(10)

Pada awalnya, status agama (muslim) dalam model 9 turut berkontribusi signifikan dalam menetukan akses BMT ke luar. Namun ketika dikontrol dengan beragam karakteristik individu dan rumah tangga, signifikansinya menjadi hilang. Setidaknya dua variabel karakteristik pada level individu/rumah tangga bisa menjelaskan realita ini, yaitusocial capitaldan preferensi resiko yag dimunculkan pada model 10.

Terlihat ketika proporsi responden (warga) yang memiliki social capital di dalam komunitas meningkat maka warga komunitas calon peminjam akan berpikir dua kali sebelum datang kepada BMT yang berlokasi di luar komunitas mereka. Sementara itu, variabel kontrol lain yaitu preferensi terhadap resiko, mengalami perubahan tanda. Dalam konteks ini, hasil olahan regressi probit yang ditampilkan pada tabel 4 di atas menunjukkan bahwa ternyata individu muslim secara keseluruhan, baik religius maupun tidak, dalam kasus akses BMT ke luar cenderung merupakan muslim yang

risk-lover. Agaknya ketiadaan alternatif opsi sumber pendanaan telah menjadi alat seleksi alami, menunjukkan karakteristik responden yang bersedia mengakses BMT yang berlokasi di luar komunitas mereka.

Sementara itu pada stabilitas signifikansi religiusitas terlihat dari komprasi dua model, yaitu model 11 dan 12. Pada model 11, religiusitas berelasi positif signifikan dengan probabilitas akses, demikian juga halnya pada model 12.

Tabel 5. Regressi Akses BMT ke Luar dengan variabel kontrol

---Independent Dependent Var : Dummy Akses ke Luar terhadap BMT

Var (9) (10) (11) (12)

outakses outakses outakses outakses

---muslim 1.769* 1.543

(2.12) (1.89)

risk -0.160 -0.951 -0.414 -1.246

(-0.10) (-0.56) (-0.25) (-0.72)

desa 0.040 0.008 0.0305 -0.00287

(0.23) (0.04) (0.17) (-0.02)

usaha 0.166 0.155 0.181 0.163

(0.36) (0.32) (0.39) (0.34)

soccap 5.465 5.644

(1.47) (1.52)

exp -0.133 -0.129

(-0.51) (-0.50)

musrel 1.902* 1.724*

(2.28) (2.08)

cons -2.428 -5.115 -2.270 -5.183

(-1.50) (-0.97) (-1.42) (-0.99)

---N 296 296 296 296

---t s---ta---tis---tics in paren---theses

* p<0.05, ** p<0.01, *** p<0.001 Sumber : data diolah


(11)

Selanjutnya, gambar 2 di bawah berupaya menjelaskan margin (tambahan) probabilitas akses BMT ke luar yang dapat diperoleh dengan peningkatan religiusitas muslim.

0

.5

1

1.

5

Pr

(O

ut

akse

s)

0 .1 .2 .3 .4 .5 .6 .7 .8 .9 1 musrelpop

Predictive Margins with 95% CIs

Gambar 2. Margin Map-- Religiusitas dan Probabilita Akses ke Luar

Sumber : Data diolah dari modul individu IFLS. Populasi adalah total responden+keluarga

Peta margin di atas memperlihatkan bahwa pertambahan probabiltas akses menuju 1, berjalan melandai dengan pertambahan religiusitas. Hal ini menjadi salah satu fakto penjelas mengapa error term dan signifikansi dampak religiusitas terhadap akses ke luar BMT yang pada derajat 5 %.

3.4. Robustness Check- Keberadaan Lembaga Keuangan lain

Namun apakah pola relasi ini berlaku untuk semua kondisi ?. Adakah ketika variabel karakteristik lain pada level individu/rumah tangga maupun komunitas, yang relevan dengan konteks penelitian ini, kemudian diintrodusir ke dalam model, temuannya tidak akan berubah ?. Oleh karenanya, kenyataan ini perlu diuji dengan analisis pengaruh ketersediaan lembaga keuangan (LK) alternatif pada level komunitas.

Secara spesifik tabel 6 di bawah ini memperlihatkan estimasi dari regressi probit dengan variabel kontrol keberadaan lembaga keuangan lain di dalam komunitas.

Tabel 6. Regressi Akses BMT di Dalam dengan Keberadaan LK lain

---Independent Dependent Var : Dummy Akses ke Luar terhadap BMT

Var (13) (14) (15) (16)

inakses inakses inakses inakses

---muslim 0.423 0.601

(0.52) (0.68)

Risk 5.551** 6.440** 5.450** 6.473**


(12)

desa -0.390 -0.340 -0.413 -0.356

(-1.38) (-1.16) (-1.45) (-1.21)

Usaha 1.300* 1.251* 1.357** 1.315*

(1.95) (1.86) (2.00) (1.91)

in_lklain -0.768* -0.782* -0.767* -0.783*

(-1.67) (-1.71) (-1.68) (-1.73)

Soccap -3.331 -3.733

(-0.67) (-0.73)

exp 0.175 0.209

(0.46) (0.55)

musrel 0.764 1.008

(0.86) (1.01)

_cons -7.531*** -7.526 -7.756*** -7.986

(-2.82) (-0.96) (-2.91) (-1.03)

---N 294 294 294 294

---t s---ta---tis---tics in paren---theses

* p<0.1, ** p<0.05, *** p<0.01 Sumber : Data diolah

Hasil estimasi regressi probit yang ditampilkan pada tabel 6 di atas memperlihatkan bahwa keberadaan LK lain memang mempengaruhi probabilitas akses terhadap BMT di dalam komunitas. Dalam hal ini agaknya, keberadaan alternatif LK lain di dalam komunitas, sebagai opsi bagi konsumen baik muslim yang religius maupun tidak, bersifat substitusi sehingga cenderung mereduksi akses (pilihan) mereka terhadap BMT.

Secara spesifik tabel 7 di bawah ini memperlihatkan estimasi dari regressi probit dengan variabel kontrol keberadaan LK lain di luar komunitas.

Tabel 7. Regressi Akses BMT di Dalam dengan Keberadaan LK lain

---Independent Dependent Var : Dummy Akses ke Luar terhadap BMT

Var (17) (18) (19) (20)

outakses outakses outakses outakses

-muslim 1.864* 1.635

(2.14) (1.91)

Risk -0.401 -1.121 -0.657 -1.422

(-0.25) (-0.66) (-0.40) (-0.82)

desa 0.006 -0.024 -0.002 -0.034

(0.04) (-0.12) (-0.01) (-0.18)

Usaha 0.194 0.189 0.210 0.199

(0.41) (0.39) (0.45) (0.41)

out_lklain 0.300 0.289 0.296 0.286


(13)

soccap 5.038 5.232

(1.33) (1.38)

exp -0.131 -0.130

(-0.50) (-0.50)

musrel 1.969* 1.788*

(2.28) (2.09)

_cons -2.413 -4.770 -2.224 -4.791

(-1.47) (-0.89) (-1.38) (-0.90)

---N 294 294 294 294

---t s---ta---tis---tics in paren---theses

* p<0.05, ** p<0.01, *** p<0.001 Sumber : Data diolah

Hasil estimasi regressi probit yang ditampilkan pada tabel 7 di atas memperlihatkan temuan menarik lainnya. Ternyata dampak keberadaan LK lain juga bersifat ambigu terhadap probabilitas akses terhadap BMT. Pada suatu kondisi, keberadaan LK lain bersifat subsitusi. Namun jika LK lain itu berlokasi di luar komunitas maka dia cenderung bersifat komplementer. Hal ini dapat dilihat dari arah relasi variabel dummynya dengan akses terhadap BMT ke luar yang searah (positif) walaupun tidak signifikan 5

Jadi satu hal yang pasti bahwa jika BMT (hanya) berlokasi di luar komunitas, institusi ini akan tetap menjadi pilihan responden muslim yang relatif lebih religius. Hal ini dapat divalidasi dengan variasi jarak lokasi. Data menunjukkan bahwa ternyata jarak lokasi LK lain di luar komunitas dibandingkan dengan BMT, relatif lebih dekat. Dari olahan data dapat diketahui bahwa rata-rata jarak BMT dengan lokasi komunitas sekitar 6,7 Km. Sedangkan LK lain berjarak sekitar 6,5 Km.

4. Simpulan

4.1. Jarak dan Religiusitas

Estimasi probabilitas linier dalam bagian analisis menunjukkan beberapa kesimpulan penting. Pertama, individu muslim yang lebih religius memiliki probabilitas yang lebih besar untuk akses kepada lembaga keuangan mikro syari’ah semisal BMT, terutama jika BMT itu berjarak (geographical distance) dengan lokasi komunitas. Kesimpulan penelitian ini sesuai dengan hipotesis dan temuan yang ada dari berbagai penelitian terdahulu.

Hasil estimasi regressi probit yang ditampilkan pada berbagai model estimasi di atas memperlihatkan temuan menarik lainnya. Ternyata keberadaan LK lain juga bersifat ambigu. Pada suatu kondisi, keberadaan LK lain bersifat subsitusi maka jika LK lain itu berlokasi di luar komunitas maka dia cenderung bersifat komplementer terhadap akses BMT. Wakapun tidak siginfikan (pada derajat sig 5 %) namun arah relasi variabel dummynya dengan akses terhadap BMT ke luar yang searah (positif).

5 Relasi antara dua variabel ini memang tidak siginifikan pada derajat sig 5 % namun siginifikan pada derajat sig 10 %.


(14)

Sementara itu, relasi beberapa karakteristik individu/rumah tangga dengan akses kepada BMT bersifat ambigu dari beberapa uji coba di dalam model. Karena keterbatasn studi, ada beberapa variable penting yang tidak dimasukkan di dalam model namun sebenarnya berperan penting (omitted variable) dalam memediasi arah relasi antara dua variabel ini. Sejalan dengan penelitian Pearlman (2012) yang menyatakan bahwa masalah akses kepada MFI bukan hanya masalah terkait sangat tergantung kepada skill entrepeneur. Akan tetapi juga ketakutan karena belum mampu memanage resiko dalam kehidupan sehari-hari, seperti upaya consumption smoothing jika adaeksternal shock.

Selain itu, pola relasi beberapa variabel yang disebutkan tadi juga bergantung kepada tipe akses BMT . Beda status akses maka beda pula arah relasinya dengan variabel karakteristik konsumen. Hal ini bisa dijelaskan bahwa pada model dengan status akses terhadap BMT di dalam komunitas, dua karakteristik konsumen yaitu social capital

dan preferensi resiko, berelasi positif terhadapnya. Sebaliknya dengan relasi akses terhadap BMT ke luar komunitas dengan variabel yang sama, justru berelasinegatif. Pada akhirnya, benang merah yang bisa ditarik dari sini adalah jarak dan status religiusitas adalah teramat penting menentukan status akses terhadap BMT (religiousity and geographical distance are matters). Dalam konteks penelitian ini, di mana diasumsikan jumlah BMT per komunitas terbatas (hanya ada 1) dan mempertimbangkan ketersediaan LK alternatif maka jarak berlaku sebagai alat seleksi alami responden yang bisa mengakses BMT. Oleh karenanya, sebagai konsekuensinya bagi pihak BMT, hal ini bisa menjadi rujukan untuk menentukan mekanisme layanan yang berbeda bagi konsumen dengan tipe berbeda pula.

Selain itu, strategi perluasan cakupan layanan BMT harus merujuk kepada temuan relasi substitusi antara akses BMT dengan social capital dan adanya 2 pola relasi, subsitusi dan komplementer, antara BMT dengan LK lain. Sebagai bagian dari perluasan financial inclusion, pemerintah dapat mendorong agar semua stakeholder

pihak, yaitu BMT, komunitas dan LK lain, dapat melakukan kemitraan yang saling menguntungkan dengan arga dalam komunitas itu sendiri di mana BMT berlokasi dan dengan LK pada blank-spot area, lokasi di mana lembaga keuangan belum tersedia sama sekali.

4.2. Keterbatasan Penelitian

Beberapa keterbatasan yang jelas untuk penelitian ini, terutama mengenai masalah kualitas dan keterbatasan data. Data yang tersedia untuk variabel dependent merupakan data pada level makro, yaitu komunitas (desa/kelurahan). Sementara itu sebagian besar variabel independent seperti karakteristik individu dan rumah tangga merupakan data pada level mikro. Sehingga agar estimasi dapat dilakukan maka proses aggregasi data dari level mikro ke makro yang memiliki berbagai kelemahan, merupakan resiko pilihan yang harus diambil. Selain itu, data modul IFLS ini hanya tersedia dalam IFLS-4, yang berarti proses estimasi hanya dapat dilakukan secara cross-section mencakup hanya 312 observasi.

Selain itu, variasi dalam distribusi sub-sampel juga menyediakan beberapa kelemahan. Terutama sangat sulit untuk menentukan kausalitas ketika menguji faktor-faktor dalam


(15)

model. Selanjutnya, karena sampel sangat kecil, tidak mungkin untuk membagi sampel sesuai dengan distribusi tersebut. Karena sampel sudah terbatas, melakukan tes ini menghasilkan kekuatan statistik kecil dan makna.

Ketiga, pengukuran beberapa skala pembentuk variabel. Oleh karena variabel yang dipergunakan di sini meruapakan variabel sosial budaya, maka ketepatan konsep dan pilihan indikator pengukuran menjadi kunci penting dalam proses estimasi. Pilihan indikator yang tidak tepat akan bersiko pada bias pengukuran dan estimasi hasil. Selain itu, sebagaimana jamaknya penelitian dengan penggunaan variabel kualitatif seperti sosial-budaya, maka masalah endogeneity menjadi salah satu sumber kerentanan (non-robust) utama hasil estimasi.

Daftar Pustaka

Albelaikhi, Abdulaziz (1998). Development of a Muslim Religiosity Scale,

University of Rhode Island.

Al-Sabwah, Mohammed and Ahmed Abdel-Khalek (2006). "Religiosity and Death Distress in Arabic College Students,"Death Studies,30 (4), pp. 365-375.

Ashta, Arvind and Rosita de Selva (2012). "Religious Practice and Microcredit: Literature Review and Research Direction,"Postmodern Openings,2 (8), 33-44. Cressy, Robert (2000). "Credit Rationing or Entrepreneurial Risk Aversion? An Alternative Explanation for the Evans and Jovanovic Finding,"Economic Letters,

66(2), 235-240.

De Meza, David, and David Webb (1990). "Risk, Adverse Selection and Capital Market Failure,"The Economic Journal,100 (399), 206-214.

Islam, Asadul, Chau Nguyen and Russell Smyth (2014), Does microfinance change informal lending in village economies? Evidence from Bangladesh, Departement of Economics Discussion Paper No. 16/14, Monash University Pedrosa, Jose and Quy-Toan Do (2009), Geographic distance and credit market access in Nigeria,

Presbitero, Andrea F. And Roberta Rabellotti (2011), Geographical Distance and Moral Hazard in Microcredit: Evidence from Colombia, Paper presented at European Microfinance Week 2011 held 2-4 November 2011, Luxembourg

Dhumale, Rahul and Amela Sapcanin (1999). "An Application of Islamic Banking Principles to Microfinance," Regional Bureau for Arab States, pp. 1-14.

Dusuki, Asyraf (2008). "Banking for the poor: the role of Islamic banking in microfinance initiatives,"Humanomics,24 (1), 49-66.


(16)

Dutta, Dilip and Ihab Magableh (2006). "A socio-economic study of the borrowing process: The case of microentrepreneurs in Jordan," The University of Sydney School of Economics and Political Science,1-20.

Ghorbani, Nima, P. J. Watson, Ahad Ghramaleki, R. J. Morris, and Ralph Hood, (2000). "Muslim Attitudes Towards Religion Scale: Factors, validity, and complexity of relationships with mental health in Iran,"Mental Health, Religion, & Culture, 3, 125-132.

Jana-Masri, Asma and Paul Preister (2007). "The development and validation of a Qur'an-based instrument to assess Islamic religiosity: The Religiosity of Islam Scale,"Journal of Muslim Mental Health,2 (2), pp. 177-188.

Leiberman, Eric (2011). "Behavioral Economics and Microfinance: A Study of Risk Preferences in Rural Africa," pp. 1-28.

Pearlman, Sarah (2012). "Too Vulnerable for Microfinance? Risk and Vulnerability as Determinants of Microfinance Selection in Lima," Journal of Development Studies,48 (9), pp. 1342-1359.

Saeed, Asif and Lutfullah Saqib (2011). "Does Microfinance molded according to Islamic Finance? Evidence from Pakistan," Interdisciplinary Journal of Contemporary Research in Business,3 (3), pp. 826-836.

Seibel, Hans and Wahyu Dwi Agung (2006). "Islamic microfinance in Indonesia," Working Paper, University of Cologne Development Research Center.

Stiglitz Joseph and Andrew Weiss (1981). "Credit Rationing in Markets with Imperfect Information,"The American Economic Review,71 (3): pp. 393-410. Stiglitz, Joseph (1990). "Peer Monitoring and Credit Markets," The World Bank Economic Review,4 (3), pp. 351-366.

Vereshchagina, Galina, and Hugo Hopenhayn (2009). "Risk Taking by Entrepreneurs,"The American Economic Review,99 (5), pp. 1808-1830.

World Bank (2013). "The New Microfinance Handbook : A Financial Market System Perspectives”, New York.


(1)

Selanjutnya, gambar 2 di bawah berupaya menjelaskan margin (tambahan) probabilitas akses BMT ke luar yang dapat diperoleh dengan peningkatan religiusitas muslim.

0

.5

1

1.

5

Pr

(O

ut

akse

s)

0 .1 .2 .3 .4 .5 .6 .7 .8 .9 1

musrelpop

Predictive Margins with 95% CIs

Gambar 2. Margin Map-- Religiusitas dan Probabilita Akses ke Luar

Sumber : Data diolah dari modul individu IFLS. Populasi adalah total responden+keluarga Peta margin di atas memperlihatkan bahwa pertambahan probabiltas akses menuju 1, berjalan melandai dengan pertambahan religiusitas. Hal ini menjadi salah satu fakto penjelas mengapa error term dan signifikansi dampak religiusitas terhadap akses ke luar BMT yang pada derajat 5 %.

3.4. Robustness Check- Keberadaan Lembaga Keuangan lain

Namun apakah pola relasi ini berlaku untuk semua kondisi ?. Adakah ketika variabel karakteristik lain pada level individu/rumah tangga maupun komunitas, yang relevan dengan konteks penelitian ini, kemudian diintrodusir ke dalam model, temuannya tidak akan berubah ?. Oleh karenanya, kenyataan ini perlu diuji dengan analisis pengaruh ketersediaan lembaga keuangan (LK) alternatif pada level komunitas.

Secara spesifik tabel 6 di bawah ini memperlihatkan estimasi dari regressi probit dengan variabel kontrol keberadaan lembaga keuangan lain di dalam komunitas.

Tabel 6. Regressi Akses BMT di Dalam dengan Keberadaan LK lain

---Independent Dependent Var : Dummy Akses ke Luar terhadap BMT

Var (13) (14) (15) (16)

inakses inakses inakses inakses

---muslim 0.423 0.601

(0.52) (0.68)

Risk 5.551** 6.440** 5.450** 6.473**


(2)

desa -0.390 -0.340 -0.413 -0.356

(-1.38) (-1.16) (-1.45) (-1.21)

Usaha 1.300* 1.251* 1.357** 1.315*

(1.95) (1.86) (2.00) (1.91)

in_lklain -0.768* -0.782* -0.767* -0.783*

(-1.67) (-1.71) (-1.68) (-1.73)

Soccap -3.331 -3.733

(-0.67) (-0.73)

exp 0.175 0.209

(0.46) (0.55)

musrel 0.764 1.008

(0.86) (1.01)

_cons -7.531*** -7.526 -7.756*** -7.986

(-2.82) (-0.96) (-2.91) (-1.03)

---N 294 294 294 294

---t s---ta---tis---tics in paren---theses

* p<0.1, ** p<0.05, *** p<0.01 Sumber : Data diolah

Hasil estimasi regressi probit yang ditampilkan pada tabel 6 di atas memperlihatkan bahwa keberadaan LK lain memang mempengaruhi probabilitas akses terhadap BMT di dalam komunitas. Dalam hal ini agaknya, keberadaan alternatif LK lain di dalam komunitas, sebagai opsi bagi konsumen baik muslim yang religius maupun tidak, bersifat substitusi sehingga cenderung mereduksi akses (pilihan) mereka terhadap BMT.

Secara spesifik tabel 7 di bawah ini memperlihatkan estimasi dari regressi probit dengan variabel kontrol keberadaan LK lain di luar komunitas.

Tabel 7. Regressi Akses BMT di Dalam dengan Keberadaan LK lain

---Independent Dependent Var : Dummy Akses ke Luar terhadap BMT

Var (17) (18) (19) (20)

outakses outakses outakses outakses

-muslim 1.864* 1.635

(2.14) (1.91)

Risk -0.401 -1.121 -0.657 -1.422

(-0.25) (-0.66) (-0.40) (-0.82)

desa 0.006 -0.024 -0.002 -0.034

(0.04) (-0.12) (-0.01) (-0.18)

Usaha 0.194 0.189 0.210 0.199

(0.41) (0.39) (0.45) (0.41)

out_lklain 0.300 0.289 0.296 0.286


(3)

soccap 5.038 5.232

(1.33) (1.38)

exp -0.131 -0.130

(-0.50) (-0.50)

musrel 1.969* 1.788*

(2.28) (2.09)

_cons -2.413 -4.770 -2.224 -4.791

(-1.47) (-0.89) (-1.38) (-0.90)

---N 294 294 294 294

---t s---ta---tis---tics in paren---theses

* p<0.05, ** p<0.01, *** p<0.001 Sumber : Data diolah

Hasil estimasi regressi probit yang ditampilkan pada tabel 7 di atas memperlihatkan temuan menarik lainnya. Ternyata dampak keberadaan LK lain juga bersifat ambigu terhadap probabilitas akses terhadap BMT. Pada suatu kondisi, keberadaan LK lain bersifat subsitusi. Namun jika LK lain itu berlokasi di luar komunitas maka dia cenderung bersifat komplementer. Hal ini dapat dilihat dari arah relasi variabel dummynya dengan akses terhadap BMT ke luar yang searah (positif) walaupun tidak signifikan 5

Jadi satu hal yang pasti bahwa jika BMT (hanya) berlokasi di luar komunitas, institusi ini akan tetap menjadi pilihan responden muslim yang relatif lebih religius. Hal ini dapat divalidasi dengan variasi jarak lokasi. Data menunjukkan bahwa ternyata jarak lokasi LK lain di luar komunitas dibandingkan dengan BMT, relatif lebih dekat. Dari olahan data dapat diketahui bahwa rata-rata jarak BMT dengan lokasi komunitas sekitar 6,7 Km. Sedangkan LK lain berjarak sekitar 6,5 Km.

4. Simpulan

4.1. Jarak dan Religiusitas

Estimasi probabilitas linier dalam bagian analisis menunjukkan beberapa kesimpulan penting. Pertama, individu muslim yang lebih religius memiliki probabilitas yang lebih besar untuk akses kepada lembaga keuangan mikro syari’ah semisal BMT, terutama jika BMT itu berjarak (geographical distance) dengan lokasi komunitas. Kesimpulan penelitian ini sesuai dengan hipotesis dan temuan yang ada dari berbagai penelitian terdahulu.

Hasil estimasi regressi probit yang ditampilkan pada berbagai model estimasi di atas memperlihatkan temuan menarik lainnya. Ternyata keberadaan LK lain juga bersifat ambigu. Pada suatu kondisi, keberadaan LK lain bersifat subsitusi maka jika LK lain itu berlokasi di luar komunitas maka dia cenderung bersifat komplementer terhadap akses BMT. Wakapun tidak siginfikan (pada derajat sig 5 %) namun arah relasi variabel dummynya dengan akses terhadap BMT ke luar yang searah (positif).

5 Relasi antara dua variabel ini memang tidak siginifikan pada derajat sig 5 % namun siginifikan pada


(4)

Sementara itu, relasi beberapa karakteristik individu/rumah tangga dengan akses kepada BMT bersifat ambigu dari beberapa uji coba di dalam model. Karena keterbatasn studi, ada beberapa variable penting yang tidak dimasukkan di dalam model namun sebenarnya berperan penting (omitted variable) dalam memediasi arah relasi antara dua variabel ini. Sejalan dengan penelitian Pearlman (2012) yang menyatakan bahwa masalah akses kepada MFI bukan hanya masalah terkait sangat tergantung kepada skill entrepeneur. Akan tetapi juga ketakutan karena belum mampu memanage resiko dalam kehidupan sehari-hari, seperti upaya consumption smoothing jika adaeksternal shock.

Selain itu, pola relasi beberapa variabel yang disebutkan tadi juga bergantung kepada tipe akses BMT . Beda status akses maka beda pula arah relasinya dengan variabel karakteristik konsumen. Hal ini bisa dijelaskan bahwa pada model dengan status akses terhadap BMT di dalam komunitas, dua karakteristik konsumen yaitu social capital dan preferensi resiko, berelasi positif terhadapnya. Sebaliknya dengan relasi akses terhadap BMT ke luar komunitas dengan variabel yang sama, justru berelasinegatif. Pada akhirnya, benang merah yang bisa ditarik dari sini adalah jarak dan status religiusitas adalah teramat penting menentukan status akses terhadap BMT (religiousity and geographical distance are matters). Dalam konteks penelitian ini, di mana diasumsikan jumlah BMT per komunitas terbatas (hanya ada 1) dan mempertimbangkan ketersediaan LK alternatif maka jarak berlaku sebagai alat seleksi alami responden yang bisa mengakses BMT. Oleh karenanya, sebagai konsekuensinya bagi pihak BMT, hal ini bisa menjadi rujukan untuk menentukan mekanisme layanan yang berbeda bagi konsumen dengan tipe berbeda pula.

Selain itu, strategi perluasan cakupan layanan BMT harus merujuk kepada temuan relasi substitusi antara akses BMT dengan social capital dan adanya 2 pola relasi, subsitusi dan komplementer, antara BMT dengan LK lain. Sebagai bagian dari perluasan financial inclusion, pemerintah dapat mendorong agar semua stakeholder pihak, yaitu BMT, komunitas dan LK lain, dapat melakukan kemitraan yang saling menguntungkan dengan arga dalam komunitas itu sendiri di mana BMT berlokasi dan dengan LK pada blank-spot area, lokasi di mana lembaga keuangan belum tersedia sama sekali.

4.2. Keterbatasan Penelitian

Beberapa keterbatasan yang jelas untuk penelitian ini, terutama mengenai masalah kualitas dan keterbatasan data. Data yang tersedia untuk variabel dependent merupakan data pada level makro, yaitu komunitas (desa/kelurahan). Sementara itu sebagian besar variabel independent seperti karakteristik individu dan rumah tangga merupakan data pada level mikro. Sehingga agar estimasi dapat dilakukan maka proses aggregasi data dari level mikro ke makro yang memiliki berbagai kelemahan, merupakan resiko pilihan yang harus diambil. Selain itu, data modul IFLS ini hanya tersedia dalam IFLS-4, yang berarti proses estimasi hanya dapat dilakukan secara cross-section mencakup hanya 312 observasi.

Selain itu, variasi dalam distribusi sub-sampel juga menyediakan beberapa kelemahan. Terutama sangat sulit untuk menentukan kausalitas ketika menguji faktor-faktor dalam


(5)

model. Selanjutnya, karena sampel sangat kecil, tidak mungkin untuk membagi sampel sesuai dengan distribusi tersebut. Karena sampel sudah terbatas, melakukan tes ini menghasilkan kekuatan statistik kecil dan makna.

Ketiga, pengukuran beberapa skala pembentuk variabel. Oleh karena variabel yang dipergunakan di sini meruapakan variabel sosial budaya, maka ketepatan konsep dan pilihan indikator pengukuran menjadi kunci penting dalam proses estimasi. Pilihan indikator yang tidak tepat akan bersiko pada bias pengukuran dan estimasi hasil. Selain itu, sebagaimana jamaknya penelitian dengan penggunaan variabel kualitatif seperti sosial-budaya, maka masalah endogeneity menjadi salah satu sumber kerentanan (non-robust) utama hasil estimasi.

Daftar Pustaka

Albelaikhi, Abdulaziz (1998). Development of a Muslim Religiosity Scale, University of Rhode Island.

Al-Sabwah, Mohammed and Ahmed Abdel-Khalek (2006). "Religiosity and Death Distress in Arabic College Students,"Death Studies,30 (4), pp. 365-375.

Ashta, Arvind and Rosita de Selva (2012). "Religious Practice and Microcredit: Literature Review and Research Direction,"Postmodern Openings,2 (8), 33-44. Cressy, Robert (2000). "Credit Rationing or Entrepreneurial Risk Aversion? An Alternative Explanation for the Evans and Jovanovic Finding,"Economic Letters, 66(2), 235-240.

De Meza, David, and David Webb (1990). "Risk, Adverse Selection and Capital Market Failure,"The Economic Journal,100 (399), 206-214.

Islam, Asadul, Chau Nguyen and Russell Smyth (2014), Does microfinance change informal lending in village economies? Evidence from Bangladesh, Departement of Economics Discussion Paper No. 16/14, Monash University Pedrosa, Jose and Quy-Toan Do (2009), Geographic distance and credit market access in Nigeria,

Presbitero, Andrea F. And Roberta Rabellotti (2011), Geographical Distance and Moral Hazard in Microcredit: Evidence from Colombia, Paper presented at European Microfinance Week 2011 held 2-4 November 2011, Luxembourg

Dhumale, Rahul and Amela Sapcanin (1999). "An Application of Islamic Banking Principles to Microfinance," Regional Bureau for Arab States, pp. 1-14.

Dusuki, Asyraf (2008). "Banking for the poor: the role of Islamic banking in microfinance initiatives,"Humanomics,24 (1), 49-66.


(6)

Dutta, Dilip and Ihab Magableh (2006). "A socio-economic study of the borrowing process: The case of microentrepreneurs in Jordan," The University of Sydney School of Economics and Political Science,1-20.

Ghorbani, Nima, P. J. Watson, Ahad Ghramaleki, R. J. Morris, and Ralph Hood, (2000). "Muslim Attitudes Towards Religion Scale: Factors, validity, and complexity of relationships with mental health in Iran,"Mental Health, Religion, & Culture, 3, 125-132.

Jana-Masri, Asma and Paul Preister (2007). "The development and validation of a Qur'an-based instrument to assess Islamic religiosity: The Religiosity of Islam Scale,"Journal of Muslim Mental Health,2 (2), pp. 177-188.

Leiberman, Eric (2011). "Behavioral Economics and Microfinance: A Study of Risk Preferences in Rural Africa," pp. 1-28.

Pearlman, Sarah (2012). "Too Vulnerable for Microfinance? Risk and Vulnerability as Determinants of Microfinance Selection in Lima," Journal of Development Studies,48 (9), pp. 1342-1359.

Saeed, Asif and Lutfullah Saqib (2011). "Does Microfinance molded according to Islamic Finance? Evidence from Pakistan," Interdisciplinary Journal of Contemporary Research in Business,3 (3), pp. 826-836.

Seibel, Hans and Wahyu Dwi Agung (2006). "Islamic microfinance in Indonesia," Working Paper, University of Cologne Development Research Center.

Stiglitz Joseph and Andrew Weiss (1981). "Credit Rationing in Markets with Imperfect Information,"The American Economic Review,71 (3): pp. 393-410. Stiglitz, Joseph (1990). "Peer Monitoring and Credit Markets," The World Bank Economic Review,4 (3), pp. 351-366.

Vereshchagina, Galina, and Hugo Hopenhayn (2009). "Risk Taking by Entrepreneurs,"The American Economic Review,99 (5), pp. 1808-1830.

World Bank (2013). "The New Microfinance Handbook : A Financial Market System Perspectives”, New York.