2
1. Pendahuluan
Literatur keuangan pada beberapa waktu terakhir memperlihatkan kecendrungan meningkatnya kajian peranan faktor jarak geographical distance, sebagai proksi
biaya transportasi dan asimetri informasi antara pemberi pinjaman dan peminjam Alessandrini, Fratianni dan Zazzaro, 2009. Keuntungan dari kedekatan fisik
dicerminkan oleh difusi spasial cabang bank, yang mengurangi jarak antara lembaga dan pelanggan lokal. Pada saat yang sama, di beberapa pasar kredit, baik di negara
berkembang maupun industri, proses konsolidasi yang intens dan internasionalisasi industri perbankan telah meningkatkan jarak fungsional antara pusat putusan bank dan
entitas ekonomi lokal, yang pada gilirannya meningkatkan biaya agensi, dengan konsekuensi merugikan akses perusahaan terhadap kredit, terutama untuk UKM yang
relatif lebih minim informasinya Mian, 2006; Alessandrini, Presbitero dan Zazzaro, 2009, 2010.
Beberapa hasil penelitian menyatakan bahwa jarak menjadi faktor penting yang melemahkan akses keuangan di beberapa negara Seep Network, 2006, termasuk di
Amerika Serikat Petersen dan Rajan, 2002. Ketika mempertimbangkan transaksi antara dua agen -dalam kasus antara rumah tangga, dan individu atau kelompok
individu dan lembaga keuangan mikro, pengaruh jarak diterjemahkan ke dalam biaya fisik yang harus dibayar agen untuk dapat mewujudkan transaksi. Beberapa literatur
menjelaskan mekanisme transmisi jarak terhadap akses pada pasar kredit baik dari sisi produsen maupun konsumen dalam beberapa cara.
Dari sisi lembaga keuangan mikro sebagai produsen, pertama, ada biaya transaksi langsung, yaitu biaya transportasi untuk memberikan layanan keuangan kepada
peminjam. Dalam pasar keuangan yang kompetitif, biaya ditanggung oleh peminjam dalam bentuk skrining yang lebih intens dan tingkat bunga yang lebih tinggi. Implikasi
kedua adalah peningkatan biaya monitoring: apakah pemberi pinjaman perlu mengumpulkan informasi sebelum persetujuan peminjam adverse selection, atau
memantau peminjam setelah pinjaman disetujui moral hazard, ketika berkunjung untuk memonitoring. Hal ini pada gilirannya berarti pembatasan pinjaman lebih ketat
dan pengenaan suku bunga yang lebih tinggi. Sementara itu dari sisi peminjam sebagai konsumen, perilaku oportunistik - yaitu
memilih konsumsi daripada investasi - cendrung lebih mudah timbul seiring semakin besar jarak dari lembaga keuangan mikro, karena kemungkinan terdeteksi lebih rendah
Presbitero, 2011. Mengalihkan penggunaan kredit uang dari tujuan yang telah disepakati akan meningkatkan kemungkinan pemutusan hubungan kredit. Hasil ini
sangat mahal bagi individu yang umumnya tak memiliki rekening bank sebelum bergabung dengan program dan memiliki informasi yang minim yang membuat
evaluasi kelayakan kredit mereka sangat sulit. Dalam konteks Indonesia, meskipun relatif lebih berkembang dari entitas bisnis
keuangan mikro lainnya misal asuransi mikro namun level cakupan layanan lembaga kredit ini belum optimal. Masih ada potensi besar untuk mengakses lebih banyak klien.
Di negara-negara Arab saja, kesenjangan cakupan diperkirakan sekitar 53 juta Malkawi et al., 2011. Hal ini disebabkan antara lain oleh perbedaan mendasar dalam
tipe klien yang mengambil pinjaman di Timur Tengah. Pada dasarnya, banyak potensi klien Timur Tengah menerapkan hukum Syariah, yang secara khusus
3
mengklasifikasikan riba, atau bunga, sebagaimana dilarang dalam transaksi ekonomi Obaidullah, 2008. Karena bunga merupakan komponen utama keuangan mikro,
beberapa penulis berpendapat bahwa banyak orang Timur Tengah yang hidup dalam kemiskinan tidak berpartisipasi dalam program kredit Abdul-Rahman, 2007, Dusuki,
2008. Agaknya cakupan dan jangkauan layanan keuangan mikro yang belum mencapai potensi penuh dapat secara signifikan lebih meluas di wilayah tersebut
dengan hadirnya alternatif lembaga keuangan berbasis syari’ah Dhumale dan Sapcanin 1999, dan Obaidullah, 2008.
Dengan karakteristik khusus kontrak keuangan mikro syariah yang tidak mengenakan biaya bunga pinjaman maka bisa dikatakan bahwa keuangan mikro syariah diharapkan
akan menarik bagi individu yang lebih religius. Konsumen yang religius pada dasarnya menguntungkan kedua belah pihak, baik lembaga keuangan mikro syari’ah sebagai
produsen maupun calon peminjam sebagai konsumen. Dari sisi lembaga keuangan mikro, dalam konteks model pinjaman berbasis individual maupun grup, religiusitas
yang ditransformasikan dalam wujud perilaku sesuai panduan agama calon peminjam merupakan indikator penting yang dianggap bisa menjadi proksi social collateral
menggantikan physical collateral maupun mereduksi potensi moral hazard calon peminjam Berggren, 2014.
Faktanya, walaupun dengan populasi mayoritas muslim, namun akses warga terhadap lembaga keuangan mikro syari’ah ini masih terbatas. Hal ini dapat dirujuk
kepada rasio jumlah lembaga keuangan mikro per populasi yang masih rendah. Pertanyaannya adalah diantara berbagai determinan, maka faktor manakah yang lebih
dominan menjadi kendala akses terhadap institusi ini ?. Jika kendala jarak yang menjadi faktor utama maka tentu faktor religiusitas tidak akan bisa memberikan
informasi variasi terhadap akses. Sementara itu, jika faktor religiusitas yang menjadi kendala utama maka tentu dimanapun BMT berlokasi, semua muslim akan memilki
akses yang sama terhadapnya. Paper ini mencoba mengkomparasikan faktor yang
lebih dominan menentukan akses terhadap lembaga keuangan mikro syari’ah Baitul Maal wat Tamwil BMT .
Penelitian ini menemukan bahwa ternyata religisiutas berperan menentukan akses ke luar. Bagian selanjutnya dari paper ini akan memperkenalkan metodologi yang
digunakan. Bagian ini akan membahas sumber data dan pengukuran status religiusitas sebagai variabel dependent utama dan beberapa variabel kontrol lain baik dalam level
individu, rumah tangga maupun komunitas seperti preferensi resiko, status kepemilikan usaha non-tani, rerata pengeluaran per kapita dan social capital. Bagian
3 merupakan analisis empiris, yang bertujuan untuk menilai apakah jarak BMT-komunitas dan status religiusitas secara signifikan mempengaruhi akses terhadap
BMT. Akhirnya, Bagian 4 membahas beberapa implikasi kebijakan untuk memperluas dan menjaga keberlansungan jangkauan BMT.
2. Metodologi