masyarakat mampu mengakibatkan ketimpangan gender di dalam masyarakat tersebut Mac Donald, 1999
3
.
2.2 Perempuan Sebagai Kaum Marginal dalam Politik
Saat ini opini publik menganggap bahwa perempuan sebagai makhluk yang lemah, dan tidak akan mampu menjadi seorang pemimpin. Opini tersebut
sudah ada sejak jaman nenek moyang. Opini publik sendiri merupakan suatu akumulasi citra yang tercipta atau diciptakan oleh proses komunikasi. Citra
tentang sesuatu itu, entah dalam tataran yang abstrak ataupun kongkret selalu menjadi bermuka banyak atau berdimensi jamak karena perbedaan penafsiran
persepsi yang terjadi di antara peserta komunikasi. Itulah sebabnya, dalam opini publik terjadi pergeseran-pergeseran citra Panuju, 2002.
Menurut Mino Vianello dalam penelitiannya, ia menemukan bahwa kesenjangan dan ketimpangan tersebut dibentuk oleh berbagai hal, di antaranya
adalah pemahaman perbedaan sex dan nilai-nilai dalam masyarakat.Sebenarnya yang harus diperhatikan adalah gender inequalities ketidakadilan gender
merupakan sistem dan struktur dimana kaum laki-laki dan perempuan menjadi korban dari sistem tersebut. Dengan demikian agar dapat memahami perbedaan
gender yang menyebabkan ketidakadilan maka dapat dilihat dari berbagai manifestasinya, yaitu salah satunya adalah marginalisasi. Marginalisasi
merupakan timbulnya kemiskinan yang terjadi dalam masyarakat dan negara merupakan sebagai akibat dari proses marginalisasi yang menimpa kaum laki-laki
dan perempuan yang disebabkan oleh berbagai kejadian, antara lain penggusuran, bencana alam, proses eksploitasi atau korban politik praktis.
Ketimpangan gender masih dapat ditemukan dalam berbagai lingkup kehidupan, baik sosial maupun politik. Salah satu bentuk dari ketimpangan gender
tersebut terjadi di dalam struktur lembaga perwakilan kita. Berdasarkaan catatan dari BPS pada tahun 2000, dari jumlah penduduk Indonesia sebesar 209.000.000
3
Mac Donald, Mandy., Sprenger, Ellen dan Dubel. Gender dan Perubahan Organisasi. Yogyakarta: ISIST dan REMDEC, 1999. Hal.1.
14
orang, jumlah wanita lebih besar yakni 105 juta dibandingkan dengan populasi laki-laki yang berjumlah 104 juta
4
. Namun lebih besarnya populasi perempuan tersebut, tidak menunjukan hal yang serupa dalam representasinya sebagai wakil
rakyat. Sebaliknya perempuan memiliki proporsi yang jauh lebih sedikit dibandingkan dengan proporsi laki-laki. Hal ini tercermin pada rendahnya
keterwakilan perempuan di DPR RI, sejak Indonesia berparlemen hingga periode 2004-2009 kemarin.
Tabel 2.2 Perempuan dalam DPR RI 1955-2004
Periode Perempuan Laki-Laki
1955-1956 17 6,3
272 93,7 Konstituante 1956-1959
25 5,1 488 94,9
1971-1977 36 7,8
460 92,2 1977-1982
29 6,3 460 93,7
1982-1987 39 8,5
460 91,5 1987-1992
65 13 500 87
1992-1997 62 12,5
500 87,5 1997-1999
54 10,8 500 89,2
1999-2004 46 9
500 91 2004-2009
61 11,09 489 88,9
Sumber: Sekretariat Jenderal DPR RI, 2001
5
Sedangkan diketahui bahwa setiap individu memiliki modal yang bermacam-macam, mulai dari modal pendidikan, ekonomi, sosial, bahkan budaya.
Perempuan yang tergolong dalam individu itu sendiri juga memiliki modal. Akan tetapi, karena konstruksi sosial bahwa perempuan tidak mempunyai modal itu
dibangun sudah cukup lama, maka perempuan terlihat susah untuk bersaing dengan laki-laki khususnya di bidang politik. Kemudian dari konstruksi tersebut
terbentuk kelas-kelas yang membuat perempuan susah untuk bergerak.Dalam
4
www.bps.go.id. Diakses pada tanggal 26 November 2005 pada pukul 10.45 WIB.
5
Ani Widyani Soetjipto, “Politik Perempuan Bukan Gerhana” Jakarta:Kompas, 2005, hal. 239. 15
wawancara singkat dengan seorang pemandu karaoke di Sarirejo kota Salatiga menyebutkan bahwa:
“Gak ik mbak. Ada sih komunitas paguyuban karaoke, tapi saya gak ikut. Lagian yang ikut itu paguyuban itu kebanyakan pemilik karaoke. Jadi kita
anak buah paling dapat kabar dari pemilik karaoke aja. Walah, boro-boro dikasih tau mbak. Bahas soal pemilu aja gak. Kemarin itu malah bahas
soal kita yang harus libur pas pemilu, jadi kita rugi. Karena gak dapat penghasilan sehari. Ya paling saya tau kabar soal pemilu itu dari TV atau
baca di internet mbak.”
Wawancara tersebut jelas dikatakan bahwa perlakuan berbeda di dapatkan oleh individu yang kelasnya berbeda antara pemandu karaoke dengan pemilik
karaoke. Hasil wawancara tersebut juga berarti bahwa meskipun PK tidak mendapatkan fasilitas pendidikan politik secara langsung, namun mereka juga
bisa mengaksesnya melalui media sosial yang lainnya. Sehingga mereka bisa mengambil tindakan atau keputusan yang sesuai dengan keadaan mereka.
Sedangkan orientasi subjektivitas terhadap kelas sendiri menurut Bourdieu dalam salah satu wawancara:
Memahami kelas sebagai sebuah konstruksi sosial dapat menuntun pada sebuah penyimpangan subjektivitas...akhir bagian pertama dari Le Sens
Pratique berada pada batas ujung penyimpangan subjektivistik tapi....ada
dasar-dasar objektif bagi semua keputusan ini... terdapat perjuangan yang real atas kelas-kelas, sebuah perjuangan simbolik dan perorangan, atau
sebuah perjuangan kolektif. Seseorang dapat memutuskan tindakan dan sikap diatur oleh kebiasaan
atau nilai-nilai yang sudah ada pada individu dalam jangka waktu yang lama. Sehingga kebiasaan tersebut yang disebut habitus. Tindakan seorang PK dalam
masalah politik juga dapat terbentuk melalui kehidupan sehari-hari. Melaui proses lobi dalam mendapatkan pelanggan, waktu bekerja dan beristirahat, serta kegiatan
16
yang lainnya. Menurut Mahar, 2009 Habitus mengacu pada sekumpulan disposisi yang tercipta dan terformulasi melalui kombinasi struktur objektif dan
sejarah personal. Disposisi diperoleh dalam berbagai posisi sosial yang berada di dalam suatu ranah, dan mengimplikasikan suatu penyesuaian subjektif terhadap
posisi itu. Umpamanya, dalam tingkah laku seseorang, ‘penyesuaian diri’ semacam ini seringkali terimplikasikan melalui sense
6
seseorang pada keberjarakan sosial, atau bahkan terimplikasikan dalam sikap-sikap tubuh mereka.
Oleh sebab itu, tempat dan habitus seseorang membentuk basis persahabatan, cinta, dan hubungan pribadi lainnya, dan juga mengubah kelas-kelas teoretis
kelompok-kelompok real.
2.3 Pendidikan Politik bagi Kaum Marginal