Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tindakan Politik Pemiluyang Dilakukan Perempuan Marginal : Studi Kasus Pemandu Karaoke di Desa Sarirejo Kota Salatiga T1 352010011 BAB II

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bukan Demokrasi, Melainkan Dominasi

Sistem politik demokrasi di Indonesia sebenarnya masih memikirkan toleransi dan intoleransi. Intoleransi sendiri adalah politik arogansi. Ketika intoleransi mendapat legitimasi ranah politik, filosof Levinas mengingatkan, politik demi dirinya sendiri memiliki kodrat tranik, ibu segala kekerasan. Demikianlah kita menyaksikan dari waktu ke waktu politik intoleransi Indonesia terhadap warga minoritas (Riyanto, 2011).Kenyataanya sampai saat ini, perempuan masih merupakan kelompok marjinal yang secara historis selalu disisihkan dalam dunia politik dan pada proses-proses pengambilan keputusan publik1. Bahwa perempuan di anggap sebagai kaum marjinal tersebut, perempuan secara tidak langsung juga merupakan warga minoritas yang akhirnya berkesempatan untuk didengar suaranya.

Pada dasarnya negara yang menggunakan sistem politik demokrasi seharusnya lebih mementingkan toleransi antar sesama. Baik itu toleransi antar etnis, suku, budaya, ras, maupun agama. Dari asal katanya (Latin) tolerare, toleransi berarti menanggung, memanggul, memikul bersama (beban). Dalam ranah politik toleransi memaksudkan pemakluman perbedaan (Riyanto, 2011). Masalah mengukur gejala ada atau tidaknya demokrasi bukanlah hal mudah. Misalnya, banyak orang di Barat yang mengukur adaa atau tidaknya demokrasi dengan ada aatau tidaknya pemilihan umum. Pemilihan umum memang merupakan satu manifestasi adanya demokrasi, tapi belum tentu dengan adanya pemilihan umum, demokrasi pasti ada. Ini menunjukkan bahwa mencari indikator dari gejala demokrasi tidak begitu mudah.

Namun, apa pun bentuk sebuah demokrasi, di Barat maupun di Timur, ada ciri utama yang tidak dapat ditawar, yakni dalam demokrasi dimungkinkan adanya partisipasia dari semua golongan masyarakat. Manifestasi dari partisipasi

1

Ratu Dian Hatifah, Sekjen KPPI.


(2)

ini dapat berupa pemilihan umum, demokrasi dalam masyarakat tersebut selalu dapat dikatakan ada.

Sedangkan pendekatan sistem politik sendiri diharapkan dapat digunakan untuk menjelaskan yang bersifat ilmiah terhadap fenomena politik, atau kehidupan politik dan dapat diterapkan secara universal. Pendekatan sistem politik dimaksudkan juga untuk menggantikan pendekatan klasik ilmu politik yang hanya mengandalkan analisis pada negara dan kekuasaan.

Apabila masyarakat menerima pengertian demokrasi sebagai partisipasi dari anggota atau golongan yang ada dalama masyarakat, apa pun bentuk partisipasinya, maka pada dasarnya masyarakat menerima pendirian yang menyatakan bahwa demokrasi hanya mungkin bila golongan masyarakat yang ada mempunyai kekuatan politik yang relatif seimbang. Bila satu golongan masyarakat menjadi terlalu kuat, maka kehidupan demokrasi di masyarakat itu jadi terancam, atau paling sedikit, demokrasi jadi tergantung pada kemauan, baik dari orang atau aagolongan yang berkuasa.

Kemudian fakta yang ada yaitu warga Salatiga sendiri khususnya yang tinggal di daerah Sarirejo, tidak memahami sistem politik yang ada di Indonesia lebih tepatnya pendidikan politik masih cukup kurang2. Tidak hanya warga Sembir kota Salatiga saja, tapi sebagian besar orang Salatiga tidak memahami tentang politik.

Demokrasi sendiri dapat dikatakan sistem yang liberal, justru lebih mementingkan kebebasan individu untuk berkreasi. Akan tetapi masih dalam norma atau aturan yang berlaku pada wilayah tertentu. Namun, perempuan sendiri masih tergolong pada kaum marjinal. Bahwa, kuota calon wakil rakyat saat ini hanya 30% perempuan. Dengan fakta tersebut, bisa dikatakan bahwa dominasi laki-laki yang merupakan budaya patriarki sangat berkuasa di dunia politik.Budaya patriarki yang tertanam dalam struktur dan budaya dalam suatu

2

Hasil Wawancara dengan pembicara dari Panwaslu Kota Salatiga.


(3)

masyarakat mampu mengakibatkan ketimpangan gender di dalam masyarakat tersebut (Mac Donald, 1999)3.

2.2 Perempuan Sebagai Kaum Marginal dalam Politik

Saat ini opini publik menganggap bahwa perempuan sebagai makhluk yang lemah, dan tidak akan mampu menjadi seorang pemimpin. Opini tersebut sudah ada sejak jaman nenek moyang. Opini publik sendiri merupakan suatu akumulasi citra yang tercipta atau diciptakan oleh proses komunikasi. Citra tentang sesuatu itu, entah dalam tataran yang abstrak ataupun kongkret selalu menjadi bermuka banyak atau berdimensi jamak karena perbedaan penafsiran (persepsi) yang terjadi di antara peserta komunikasi. Itulah sebabnya, dalam opini publik terjadi pergeseran-pergeseran citra (Panuju, 2002).

Menurut Mino Vianello dalam penelitiannya, ia menemukan bahwa kesenjangan dan ketimpangan tersebut dibentuk oleh berbagai hal, di antaranya adalah pemahaman perbedaan sex dan nilai-nilai dalam masyarakat.Sebenarnya yang harus diperhatikan adalah gender inequalities (ketidakadilan gender) merupakan sistem dan struktur dimana kaum laki-laki dan perempuan menjadi korban dari sistem tersebut. Dengan demikian agar dapat memahami perbedaan gender yang menyebabkan ketidakadilan maka dapat dilihat dari berbagai manifestasinya, yaitu salah satunya adalah marginalisasi. Marginalisasi merupakan timbulnya kemiskinan yang terjadi dalam masyarakat dan negara merupakan sebagai akibat dari proses marginalisasi yang menimpa kaum laki-laki dan perempuan yang disebabkan oleh berbagai kejadian, antara lain penggusuran, bencana alam, proses eksploitasi atau korban politik praktis.

Ketimpangan gender masih dapat ditemukan dalam berbagai lingkup kehidupan, baik sosial maupun politik. Salah satu bentuk dari ketimpangan gender tersebut terjadi di dalam struktur lembaga perwakilan kita. Berdasarkaan catatan dari BPS pada tahun 2000, dari jumlah penduduk Indonesia sebesar 209.000.000

3

Mac Donald, Mandy., Sprenger, Ellen dan Dubel. Gender dan Perubahan Organisasi. Yogyakarta: ISIST dan REMDEC, 1999. Hal.1.


(4)

orang, jumlah wanita lebih besar yakni 105 juta dibandingkan dengan populasi laki-laki yang berjumlah 104 juta4. Namun lebih besarnya populasi perempuan tersebut, tidak menunjukan hal yang serupa dalam representasinya sebagai wakil rakyat. Sebaliknya perempuan memiliki proporsi yang jauh lebih sedikit dibandingkan dengan proporsi laki-laki. Hal ini tercermin pada rendahnya keterwakilan perempuan di DPR RI, sejak Indonesia berparlemen hingga periode 2004-2009 kemarin.

Tabel 2.2

Perempuan dalam DPR RI 1955-2004

Periode Perempuan Laki-Laki

1955-1956 17 (6,3%) 272 (93,7%)

Konstituante 1956-1959 25 (5,1%) 488 (94,9%)

1971-1977 36 (7,8%) 460 (92,2%)

1977-1982 29 (6,3%) 460 (93,7%)

1982-1987 39 (8,5%) 460 (91,5%)

1987-1992 65 (13%) 500 (87%)

1992-1997 62 (12,5%) 500 (87,5%)

1997-1999 54 (10,8%) 500 (89,2%)

1999-2004 46 (9%) 500 (91%)

2004-2009 61 (11,09%) 489 (88,9%)

Sumber: Sekretariat Jenderal DPR RI, 20015

Sedangkan diketahui bahwa setiap individu memiliki modal yang bermacam-macam, mulai dari modal pendidikan, ekonomi, sosial, bahkan budaya. Perempuan yang tergolong dalam individu itu sendiri juga memiliki modal. Akan tetapi, karena konstruksi sosial bahwa perempuan tidak mempunyai modal itu dibangun sudah cukup lama, maka perempuan terlihat susah untuk bersaing dengan laki-laki khususnya di bidang politik. Kemudian dari konstruksi tersebut terbentuk kelas-kelas yang membuat perempuan susah untuk bergerak.Dalam

4

www.bps.go.id. Diakses pada tanggal 26 November 2005 pada pukul 10.45 WIB. 5

Ani Widyani Soetjipto, “Politik Perempuan Bukan Gerhana” (Jakarta:Kompas, 2005), hal. 239.


(5)

wawancara singkat dengan seorang pemandu karaoke di Sarirejo kota Salatiga menyebutkan bahwa:

“Gak ik mbak. Ada sih komunitas paguyuban karaoke, tapi saya gak ikut. Lagian yang ikut itu paguyuban itu kebanyakan pemilik karaoke. Jadi kita anak buah paling dapat kabar dari pemilik karaoke aja. Walah, boro-boro dikasih tau mbak. Bahas soal pemilu aja gak. Kemarin itu malah bahas soal kita yang harus libur pas pemilu, jadi kita rugi. Karena gak dapat penghasilan sehari. Ya paling saya tau kabar soal pemilu itu dari TV atau baca di internet mbak.”

Wawancara tersebut jelas dikatakan bahwa perlakuan berbeda di dapatkan oleh individu yang kelasnya berbeda antara pemandu karaoke dengan pemilik karaoke. Hasil wawancara tersebut juga berarti bahwa meskipun PK tidak mendapatkan fasilitas pendidikan politik secara langsung, namun mereka juga bisa mengaksesnya melalui media sosial yang lainnya. Sehingga mereka bisa mengambil tindakan atau keputusan yang sesuai dengan keadaan mereka.

Sedangkan orientasi subjektivitas terhadap kelas sendiri menurut Bourdieu dalam salah satu wawancara:

Memahami kelas sebagai sebuah konstruksi sosial dapat menuntun pada sebuah penyimpangan subjektivitas...akhir bagian pertama dari Le Sens Pratique berada pada batas ujung penyimpangan subjektivistik (tapi)....ada dasar-dasar objektif bagi semua keputusan ini... terdapat perjuangan yang real atas kelas-kelas, sebuah perjuangan simbolik dan perorangan, atau sebuah perjuangan kolektif.

Seseorang dapat memutuskan tindakan dan sikap diatur oleh kebiasaan atau nilai-nilai yang sudah ada pada individu dalam jangka waktu yang lama. Sehingga kebiasaan tersebut yang disebut habitus. Tindakan seorang PK dalam masalah politik juga dapat terbentuk melalui kehidupan sehari-hari. Melaui proses lobi dalam mendapatkan pelanggan, waktu bekerja dan beristirahat, serta kegiatan


(6)

yang lainnya. Menurut (Mahar, 2009) Habitus mengacu pada sekumpulan disposisi yang tercipta dan terformulasi melalui kombinasi struktur objektif dan sejarah personal. Disposisi diperoleh dalam berbagai posisi sosial yang berada di dalam suatu ranah, dan mengimplikasikan suatu penyesuaian subjektif terhadap posisi itu. Umpamanya, dalam tingkah laku seseorang, ‘penyesuaian diri’ semacam ini seringkali terimplikasikan melalui sense6 seseorang pada keberjarakan sosial, atau bahkan terimplikasikan dalam sikap-sikap tubuh mereka. Oleh sebab itu, tempat dan habitus seseorang membentuk basis persahabatan, cinta, dan hubungan pribadi lainnya, dan juga mengubah kelas-kelas teoretis kelompok-kelompok real.

2.3 Pendidikan Politik bagi Kaum Marginal

Indonesia merupakan salah satu negara yang menggunakan sistem politik demokrasi. Salah satu bentuk sistem demokrasi ditandai dengan adanya pesta demokrasi yang diadakan setiap lima tahun sekali, yaitu saat pemilihan wakil rakyat (Legislatif dan Presiden). Akan tetapi, banyak warga Indonesia yang masih belum mendapatkan pendidikan politik yang benar, khususnya bagi perempuan yang masuk dalam kategori kaum marginal. Bahkan kewajiban LSM (maksudnya masyarakat sipil) untuk mempersiapkan perempuan berkualitas bagi partai. Betapa naifnya, karena UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik yang merupakan penyempurnaan dari UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, disana secara tegas dikatakan bahwa partai politik melakukan pendidikan politik bagi anggotanya dan masyarakat7.

Sebenarnya salah satu sebab perempuan digolongkan dalam kaum marginal adalah ketika perempuan belum mampu mengimbangi peran laki-laki di dunia politik praktis maupun dalam dunia kerja. Kemudian hambatan perempuan berpolitik lainnya yakni karena pada dasarnya perempuan telah memiliki beban berlapis, dimana perempuan memiliki tanggung jawab di ruang privat (sebagai

6

Dalam Bahasa Indonesia yaitu pengetahuan 7

Kelompok-Kerja-Keterwakilan-Perempuan.


(7)

isteri dan ibu di rumah), ruang publik dan juga komunitas. Beban berlapis ini tentunya menjadi hambatan perempuan mengikuti kegiatan politik, terutama proses kampanye dan Pemilu yang menguras banyak waktu, uang dan tenaga bagi para pemain di dalamnya. Namun demikian, dari hasil penelitian Women Research Institute (WRI), beban berlapis yang dimiliki oleh perempuan ternyata mampu memberikan dampak positif bagi perempuan untuk meraih suara dalam Pemilu.

Selain itu, perempuan juga memiliki modal yang cukup banyak untuk mampu bersaing dengan laki-laki. Akan tetapi, karena sudah terbentuknya kelas-kelas antara perempuan dan laki-laki bahkan tiap individu, maka dengan menggunakan tiga kategori kualitatif besar (rasa keberbedaan untuk kelas atas, kehendak baik budaya untuk kelas menengah, pilihan kebutuhan untuk kelas pekerja), Bourdieu sanggup membuat keterkaitan antara kelas dan disposisi menjadi jelas dan tidak ambigu. Jadi:

Kelas dominan merupakan sebuah ruang yang relatif otonom, yang strukturnya didefinisikan oleh distribusi modal ekonomi dan budaya di antara anggotanya. Masing-masing fraksi kelas dicirikan oleh konfigurasi distribusi tertentu ini yang berkorespondensi dengan sebuah gaya hidup tertentu, lewat perantara habitus (Bourdieu, 1984: 260).

Sedangkan modal yang sudah dipunyai setiap perempuan sendiri dirasa sudah cukup dan mereka juga berhak mendapatkan hak yang sama dengan laki-laki, maka fakta yang ada di Sarirejo berkata lain, bahwa pemandu karaoke atau perempuan marginal (PK) mayoritas bukan orang asli Salatiga, banyak yang tidak mempunyai fasilitas untuk mereka bersuara dan mendapatkan pendidikan politik secara langsung selama proses pemilu dilaksanakan. Sehingga bulan April 2014, saat semua warga Indonesia merayakan pesta demokrasi, mereka tidak dapat ikut serta dalam pesta tersebut. Itu semua dikarenakan mereka tidak mengerti bagaimana cara memberikan suara saat pemilu berlangsung. Berikut hasil wawancara dengan pemandu karaoke di Sarirejo:


(8)

“Tidak nyoblos mbak aku. Lah ribet ngurusnya mbak. Harus pakai kartu apa itu namanya. Belum lagi saya malas. Mending saya dirumah aja nemenin anak”.

Sebenarnya jika perempuan juga mendapatkan pendidikan politik sejak dini, maka perempuan akan jauh lebih hebat dari pada laki-laki untuk menjadi seorang pemimpin. Karena perempuan sudah memiliki modal awal berupa komunitas di lingkungan tempat mereka tinggal (arisan, PKK, Dasawisma, dll). Negara sendiri yang berperan sebagai administrasi publik, yang mengacu kepada tiga lembaga politik yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif sampai saat ini masih sangat kecil peluang perempuan masuk kedalam tiga lembaga politik tersebut. Sehingga suara-suara perempuan yang lain juga masih belum didengar dan ditindak lanjuti dengan program-program tepat sasaran bagi salah satu kaum marginal ini.

Sehingga konsep gender dan administrasi publik sendiri memaksa setiap orang berpikir bahwa perempuan hanya berperan sebagai ibu rumah tangga, yang bergantung kepada suami untuk penghidupan mereka, terlepas apakah mereka secara de factoibu rumah tangga atau bukan. Definisi sosial wanita sebagai ibu rumah tangga adalah pasangan definisi sosial laki-laki sebagai pencari nafkah, terlepas dari kontribusi nyata yang mereka berikan kepada rumah tangga dan keluarga. Konstruksi tersebut sebenarnya dibentuk melalui kebijakan-kebijakan publik dan implementasi-implementasi kebijakan tersebut. Karena yang membuat kebijakan-kebijakan tersebut bukan dari kaum hawa akan tetapi mayoritas kaum adam. Meskipun yang membuat kebijakan terdapat beberapa kader perempuan, namun suara perempuan ini masih sangat kecil dan belum di dengar, kebanyakan kader perempuan pun juga belum mendapatkan pendidikan politik yang cukup kuat untuk menyampaikan kebutuhan perempuan yang lain sebenarnya itu seperti apa.

Konsep diatas diinspirasi oleh pemikiran Michael Foucault dalam History of Sexuality (1980) yang mengatakan bahwa seks tidak hanya dilihat sebagai


(9)

sekedar sarana reproduksi atau sebagai sumber kesenangan, tapi juga telah menjadi pusat keberadaan diri kita berada8. Artinya, makna akan kebenaran diletakkan diatas basis perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Di sini wacana gender bertemu dengan kebijakan publik, atau dalam konteks yang lebih luas wacana gender bertemu dengan administrasi publik sebagai lembaga pembuat dan pelaksana kebijakan publik9.

8

Dikutip Suryakusumah, 1991a, hlm. 7-8. 9

Dr. Riant Nugroho et,al, 2008, Gender dan Administrasi Publik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


(10)

2.4 Kerangka Pikir Penelitian

Peneliti menggambarkan kerangka pikir penelitian dibawah ini, dengan maksud agar individu yang membaca menjadi mudah untuk memahami konsep teori maupun praktik yang dimaksudkan oleh si peneliti. Sehingga dalam penelitian ini terdapat sebuah kerangka berpikir seperti berikut:

Fakta Pemilu ™ Caleg

™ Capres

Modal

™ Sosial

™ Ekonomi

™ Pendidikan

™ Budaya Modal

™ Sosial

™ Ekonomi

™ Pendidikan

™ Budaya Pemandu Karaoke

(Perempuan)

CALEG (Perempuan)

Arena

Tindakan

Kesadaran - Habitus Kesadaran

-Habitus


(1)

wawancara singkat dengan seorang pemandu karaoke di Sarirejo kota Salatiga menyebutkan bahwa:

“Gak ik mbak. Ada sih komunitas paguyuban karaoke, tapi saya gak ikut. Lagian yang ikut itu paguyuban itu kebanyakan pemilik karaoke. Jadi kita anak buah paling dapat kabar dari pemilik karaoke aja. Walah, boro-boro dikasih tau mbak. Bahas soal pemilu aja gak. Kemarin itu malah bahas soal kita yang harus libur pas pemilu, jadi kita rugi. Karena gak dapat penghasilan sehari. Ya paling saya tau kabar soal pemilu itu dari TV atau baca di internet mbak.”

Wawancara tersebut jelas dikatakan bahwa perlakuan berbeda di dapatkan oleh individu yang kelasnya berbeda antara pemandu karaoke dengan pemilik karaoke. Hasil wawancara tersebut juga berarti bahwa meskipun PK tidak mendapatkan fasilitas pendidikan politik secara langsung, namun mereka juga bisa mengaksesnya melalui media sosial yang lainnya. Sehingga mereka bisa mengambil tindakan atau keputusan yang sesuai dengan keadaan mereka.

Sedangkan orientasi subjektivitas terhadap kelas sendiri menurut Bourdieu dalam salah satu wawancara:

Memahami kelas sebagai sebuah konstruksi sosial dapat menuntun pada sebuah penyimpangan subjektivitas...akhir bagian pertama dari Le Sens Pratique berada pada batas ujung penyimpangan subjektivistik (tapi)....ada dasar-dasar objektif bagi semua keputusan ini... terdapat perjuangan yang real atas kelas-kelas, sebuah perjuangan simbolik dan perorangan, atau sebuah perjuangan kolektif.

Seseorang dapat memutuskan tindakan dan sikap diatur oleh kebiasaan atau nilai-nilai yang sudah ada pada individu dalam jangka waktu yang lama. Sehingga kebiasaan tersebut yang disebut habitus. Tindakan seorang PK dalam masalah politik juga dapat terbentuk melalui kehidupan sehari-hari. Melaui proses lobi dalam mendapatkan pelanggan, waktu bekerja dan beristirahat, serta kegiatan


(2)

yang lainnya. Menurut (Mahar, 2009) Habitus mengacu pada sekumpulan disposisi yang tercipta dan terformulasi melalui kombinasi struktur objektif dan sejarah personal. Disposisi diperoleh dalam berbagai posisi sosial yang berada di dalam suatu ranah, dan mengimplikasikan suatu penyesuaian subjektif terhadap posisi itu. Umpamanya, dalam tingkah laku seseorang, ‘penyesuaian diri’ semacam ini seringkali terimplikasikan melalui sense6 seseorang pada keberjarakan sosial, atau bahkan terimplikasikan dalam sikap-sikap tubuh mereka. Oleh sebab itu, tempat dan habitus seseorang membentuk basis persahabatan, cinta, dan hubungan pribadi lainnya, dan juga mengubah kelas-kelas teoretis kelompok-kelompok real.

2.3 Pendidikan Politik bagi Kaum Marginal

Indonesia merupakan salah satu negara yang menggunakan sistem politik demokrasi. Salah satu bentuk sistem demokrasi ditandai dengan adanya pesta demokrasi yang diadakan setiap lima tahun sekali, yaitu saat pemilihan wakil rakyat (Legislatif dan Presiden). Akan tetapi, banyak warga Indonesia yang masih belum mendapatkan pendidikan politik yang benar, khususnya bagi perempuan yang masuk dalam kategori kaum marginal. Bahkan kewajiban LSM (maksudnya masyarakat sipil) untuk mempersiapkan perempuan berkualitas bagi partai. Betapa naifnya, karena UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik yang merupakan penyempurnaan dari UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, disana secara tegas dikatakan bahwa partai politik melakukan pendidikan politik bagi anggotanya dan masyarakat7.

Sebenarnya salah satu sebab perempuan digolongkan dalam kaum marginal adalah ketika perempuan belum mampu mengimbangi peran laki-laki di dunia politik praktis maupun dalam dunia kerja. Kemudian hambatan perempuan berpolitik lainnya yakni karena pada dasarnya perempuan telah memiliki beban berlapis, dimana perempuan memiliki tanggung jawab di ruang privat (sebagai

6

Dalam Bahasa Indonesia yaitu pengetahuan 7

Kelompok-Kerja-Keterwakilan-Perempuan.


(3)

isteri dan ibu di rumah), ruang publik dan juga komunitas. Beban berlapis ini tentunya menjadi hambatan perempuan mengikuti kegiatan politik, terutama proses kampanye dan Pemilu yang menguras banyak waktu, uang dan tenaga bagi para pemain di dalamnya. Namun demikian, dari hasil penelitian Women Research Institute (WRI), beban berlapis yang dimiliki oleh perempuan ternyata mampu memberikan dampak positif bagi perempuan untuk meraih suara dalam Pemilu.

Selain itu, perempuan juga memiliki modal yang cukup banyak untuk mampu bersaing dengan laki-laki. Akan tetapi, karena sudah terbentuknya kelas-kelas antara perempuan dan laki-laki bahkan tiap individu, maka dengan menggunakan tiga kategori kualitatif besar (rasa keberbedaan untuk kelas atas, kehendak baik budaya untuk kelas menengah, pilihan kebutuhan untuk kelas pekerja), Bourdieu sanggup membuat keterkaitan antara kelas dan disposisi menjadi jelas dan tidak ambigu. Jadi:

Kelas dominan merupakan sebuah ruang yang relatif otonom, yang strukturnya didefinisikan oleh distribusi modal ekonomi dan budaya di antara anggotanya. Masing-masing fraksi kelas dicirikan oleh konfigurasi distribusi tertentu ini yang berkorespondensi dengan sebuah gaya hidup tertentu, lewat perantara habitus (Bourdieu, 1984: 260).

Sedangkan modal yang sudah dipunyai setiap perempuan sendiri dirasa sudah cukup dan mereka juga berhak mendapatkan hak yang sama dengan laki-laki, maka fakta yang ada di Sarirejo berkata lain, bahwa pemandu karaoke atau perempuan marginal (PK) mayoritas bukan orang asli Salatiga, banyak yang tidak mempunyai fasilitas untuk mereka bersuara dan mendapatkan pendidikan politik secara langsung selama proses pemilu dilaksanakan. Sehingga bulan April 2014, saat semua warga Indonesia merayakan pesta demokrasi, mereka tidak dapat ikut serta dalam pesta tersebut. Itu semua dikarenakan mereka tidak mengerti bagaimana cara memberikan suara saat pemilu berlangsung. Berikut hasil wawancara dengan pemandu karaoke di Sarirejo:


(4)

“Tidak nyoblos mbak aku. Lah ribet ngurusnya mbak. Harus pakai kartu apa itu namanya. Belum lagi saya malas. Mending saya dirumah aja nemenin anak”.

Sebenarnya jika perempuan juga mendapatkan pendidikan politik sejak dini, maka perempuan akan jauh lebih hebat dari pada laki-laki untuk menjadi seorang pemimpin. Karena perempuan sudah memiliki modal awal berupa komunitas di lingkungan tempat mereka tinggal (arisan, PKK, Dasawisma, dll). Negara sendiri yang berperan sebagai administrasi publik, yang mengacu kepada tiga lembaga politik yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif sampai saat ini masih sangat kecil peluang perempuan masuk kedalam tiga lembaga politik tersebut. Sehingga suara-suara perempuan yang lain juga masih belum didengar dan ditindak lanjuti dengan program-program tepat sasaran bagi salah satu kaum marginal ini.

Sehingga konsep gender dan administrasi publik sendiri memaksa setiap orang berpikir bahwa perempuan hanya berperan sebagai ibu rumah tangga, yang bergantung kepada suami untuk penghidupan mereka, terlepas apakah mereka secara de factoibu rumah tangga atau bukan. Definisi sosial wanita sebagai ibu rumah tangga adalah pasangan definisi sosial laki-laki sebagai pencari nafkah, terlepas dari kontribusi nyata yang mereka berikan kepada rumah tangga dan keluarga. Konstruksi tersebut sebenarnya dibentuk melalui kebijakan-kebijakan publik dan implementasi-implementasi kebijakan tersebut. Karena yang membuat kebijakan-kebijakan tersebut bukan dari kaum hawa akan tetapi mayoritas kaum adam. Meskipun yang membuat kebijakan terdapat beberapa kader perempuan, namun suara perempuan ini masih sangat kecil dan belum di dengar, kebanyakan kader perempuan pun juga belum mendapatkan pendidikan politik yang cukup kuat untuk menyampaikan kebutuhan perempuan yang lain sebenarnya itu seperti apa.

Konsep diatas diinspirasi oleh pemikiran Michael Foucault dalam History of Sexuality (1980) yang mengatakan bahwa seks tidak hanya dilihat sebagai


(5)

sekedar sarana reproduksi atau sebagai sumber kesenangan, tapi juga telah menjadi pusat keberadaan diri kita berada8. Artinya, makna akan kebenaran diletakkan diatas basis perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Di sini wacana gender bertemu dengan kebijakan publik, atau dalam konteks yang lebih luas wacana gender bertemu dengan administrasi publik sebagai lembaga pembuat dan pelaksana kebijakan publik9.

8

Dikutip Suryakusumah, 1991a, hlm. 7-8. 9

Dr. Riant Nugroho et,al, 2008, Gender dan Administrasi Publik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


(6)

2.4 Kerangka Pikir Penelitian

Peneliti menggambarkan kerangka pikir penelitian dibawah ini, dengan maksud agar individu yang membaca menjadi mudah untuk memahami konsep teori maupun praktik yang dimaksudkan oleh si peneliti. Sehingga dalam penelitian ini terdapat sebuah kerangka berpikir seperti berikut:

Fakta Pemilu

™ Caleg

™ Capres

Modal

™ Sosial

™ Ekonomi

™ Pendidikan

™ Budaya

Modal

™ Sosial

™ Ekonomi

™ Pendidikan

™ Budaya

Pemandu Karaoke (Perempuan)

CALEG (Perempuan)

Arena

Tindakan

Kesadaran - Habitus Kesadaran

-Habitus


Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tindakan Politik Pemiluyang Dilakukan Perempuan Marginal : Studi Kasus Pemandu Karaoke di Desa Sarirejo Kota Salatiga

0 0 12

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tindakan Politik Pemiluyang Dilakukan Perempuan Marginal : Studi Kasus Pemandu Karaoke di Desa Sarirejo Kota Salatiga T1 352010011 BAB I

0 0 11

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tindakan Politik Pemiluyang Dilakukan Perempuan Marginal : Studi Kasus Pemandu Karaoke di Desa Sarirejo Kota Salatiga T1 352010011 BAB IV

1 2 12

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tindakan Politik Pemiluyang Dilakukan Perempuan Marginal : Studi Kasus Pemandu Karaoke di Desa Sarirejo Kota Salatiga T1 352010011 BAB V

0 0 6

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tindakan Politik Pemiluyang Dilakukan Perempuan Marginal : Studi Kasus Pemandu Karaoke di Desa Sarirejo Kota Salatiga T1 352010011 BAB VI

0 1 8

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tindakan Politik Pemiluyang Dilakukan Perempuan Marginal : Studi Kasus Pemandu Karaoke di Desa Sarirejo Kota Salatiga

0 0 90

T1__BAB IV Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perlindungan Hukum terhadap Pekerja Perempuan Malam (Pemandu Karaoke) di Hiburan Malam Sari Rejo T1 BAB IV

0 1 1

T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perlindungan Hukum terhadap Pekerja Perempuan Malam (Pemandu Karaoke) di Hiburan Malam Sari Rejo T1 BAB II

0 1 38

T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perlindungan Hukum terhadap Konsumen Pengguna Jasa Karaoke Keluarga Kota Salatiga T1 BAB II

0 1 54

T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Strategi Komunikasi Interpersonal Lady Companion dalam Melayani Pengunjung di Kawasan Karaoke: Studi pada Karaoke Mini 2 Sarirejo Kecamatan Sidorejo Salatiga T1 BAB II

0 0 13