Latar Belakang Pendidikan Faktor Internal

xlii bukan anak cucu pejabat pemerintahan dan bukan pula berasal dari keluarga yang kaya. Tetapi ia berasal dari lingkungan keluarga yang taat beragama dan menjujung tinggi adat istiadat.

b. Latar Belakang Pendidikan

Dari keluarga yang agamis tersebut lahirlah Hazairin, sehingga dapat dibayangkan bagaimana kedua orang tuanya dalam mengutamakan pendidikan agama sebagai bekal pokok sebelum mengarungi lautan ilmu lainnya. Keluarga Hazairin sangat yakin terhadap hadis Nabi saw. Yaitu: طفلا ىلع دلوي دولوم لك هناسجم وأ هنارص ي وأ هنادوهي اوبلف ةر . 57 Artinya: Tiap-tiap anak yang dilahirkan suci, orang tuanya yang kelak akan menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Keyakinan terhadap hadis di atas dibuktikan dengan memberikan pelajaran agama kepada Hazairin kecil. Di samping mendapat pelajaran dari ayah dan ibunya. Hazairin juga mendapat pelajaran bahasa Arab dari kakeknya. Bahasa Arab adalah bekal dasar dalam mempelajari Islam. Menyadari akan hal itu. Ahmad Bakar kakek Hazairin memberikan ilmu agama praktis. Hadis tersebut di atas juga menjadi pembenar bahwa manusia lahir tidak dengan sikap pandangan ataupun sikap perasaan tertentu, tetapi sikap-sikap tersebut dibentuk sepanjang perkembangannya. Peranan sikap di dalam kehidupan manusia sangat besar, sebab apabila sudah dibentuk pada diri manusia, maka sikap-sikap itu akan turut menentukan cara-cara tingkah lakunya terhadap obyek- obyek sikapnya. Adanya sikap-sikap menyebabkan bahwa manusia akan bertindak secara khas terhadap obyek-obyeknya. Sikap Hazairin dibentuk dalam lingkungan keluarga sebagai orang Islam yang taat kepada ajaran agamanya, sehingga operasional sikap itu tercermin dari ajaran Islam. 58 57 Imam Abu Husein Muslim Hajjaz al-Qusyar³ an-Naisabur³, ¢ah³h Muslim Riya«: D±r ‘Alim al-Kutub, 1996, h. 1155. 58 Anshori, Filsafat, h. 56. xliii Pendidikan keluarga dalam memberikan pelajaran agama kepada Hazairin diserap dengan cepat dan untuk kemudian hari menjadi warna paling dominan dalam membentuk karakter dan kepribadiannya. Watak agamis Hazairin terbentuk bukan sekedar dari teori, tetapi keluarga Hazairin dalam kehidupan sehari-hari mampu merealisasikan ajaran Islam, sehingga menjadikan Hazairin sebagai orang yang tidak dapat dipisahkan dari Islam itu sendiri. Sebagai seorang guru, Zakaria Bahari tidak lupa memperhatikan anaknya. Hazairin adalah tumpuan harapan orang tuanya untuk menjadi orang yang berguna bagi agama, nusa dan bangsa. Sesungguhnya orang tuanya sebagai orang biasa, bukan orang berada atau keturunan ningrat dan bukan pula sebagai pejabat pemerintahan kolonial Belanda, orang tuanya sangat memperhatikan pendidikan Hazairin. Pendidikan agama sudah diperoleh Hazairin sejak kecil di lingkungan keluarga. Pendidikan agama inilah yang membentuk sikap keagamaannya yang demikian kuat dalam perjalanan karir dan hidupnya serta mewarnai pemikirannya meskipun secara formal ia banyak menuntut ilmu di lembaga pendidikan Hindia Belanda. Walaupun Hazairin dilahirkan di Bukit Tinggi, namun pendidikan formalnya tidak diawali di kota ini, melainkan di Bengkulu. Di samping belajar mengaji di rumahnya sendiri, ia menempuh sekolah formalnya pada HIS Hollands Inlandsche School di Bengkulu. 59 Pada tahun 1920 ia menyelesaikan HIS, ketika itu ia berumur lebih kurang 14 tahun dan melanjutkan sekolahnya ke MULO Middelbare Uitgebreiden Lagere Onderwijs di Padang, Sumatera Barat. Disamping giat belajar, ia juga sebagai pemain biola pada orkes di sekolahnya. Biola kesayangannya masih tersimpan di rumahnya sebagai bukti sejarah. Pendidikan MULO ini berhasil diselesaikan dengan baik pada tahun 1924. Berkat kecerdasan 59 Tidak diketahui dengan pasti mengapa Hazairin berhasil masuk HIS karena seperti diketahui bahwa untuk masuk sekolah Belanda ini tidaklah mudah, harus mempunyai persyaratan khusus seperti anak ningrat, Cina, bukan orang Bumi putra. Hazairin tidak mempunyai persyaratan-persyaratan itu. Tetapi diduga karena kakek Hazairin adalah seorang tokoh masyarakat dan ayahnya sendiri sebagai seorang guru, hingga Hazairin dapat masuk sekolah Belanda tersebut. xliv dan kemauan kerasnya serta didukung pula oleh keluarganya, setelah menyelesaikan pendidikannya di MULO dalam usia 18 tahun, Hazairin melanjutkan sekolahnya ke A.M.S Algemene Middelbare School di Bandung dan dapat diselesaikannya pada tahun 1927. Demikianlah pendidikan dari HIS setingkat SD, MULO setingkat SMP dan AMS setingkat dengan SLTA ditempuhnya dengan baik. 60 Pada waktu Hazairin sudah semakin dewasa, dengan bekal ilmu yang dimiliki dan kematangan berfikirnya, ia merasa sudah bisa menentukan arah masa depannya, maka dengan kemauannya sendiri ia melanjutkan pendidikannya ke RHS Rechts Hooge School atau Sekolah Tinggi Hukum jurusan Hukum Adat di Batavia kini, Jakarta. Setelah delapan tahun menggeluti ilmu hukum, dengan spesialisasi hukum adat, akhirnya pada tahun 1935 ia berhasil menyelesaikan dengan memperoleh gelar Meester in de Rechten Mr atau Sarjana Hukum. 61 Bagi Hazairin, gelar Meester in de Rechten Mr tidaklah membuat dirinya puas. Ia melanjutkan pendidikannya pada jenjang yang lebih tinggi yaitu program doktor. Dia mendapat tugas mengadakan penelitian lapangan terhadap masyarakat Adat Redjang, salah satu suku yang terdapat di Kresidenan Bengkulu sekarang Provinsi Bengkulu. Penelitian ini dilakukannya sebagai syarat untuk meraih gelar doktor dalam bidang hukum adat. Penelitian ini dilakukannya di bawah bimbingan promotor Mr. B. Ter Haar seorang pakar hukum adat terkenal pada masa itu. Berkat kegigihannya dan keuletannya hanya dalam waktu yang sangat singkat tiga bulan penelitian itu telah berhasil dirampungkannya. Hasil penelitian itu, yang merupakan disertasinya berjudul De Redjang berhasil dipertahankan pada tanggal 28 Mei 1936. 62 60 Anshori, Filsafat, h. 52. Lihat Nina M Armando, Ensiklopedi Islam Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2005, h. 13 61 Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1996, h. 537. 62 Tim penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia Jakarta: Djambatan, 2002, h. 380. xlv Suatu kebanggaan tersendiri tentunya bagi Hazairin dan keluarganya, di mana dalam usianya yang relatif muda 30 tahun dia telah berhasil meraih gelar doktor dalam bidang hukum adat, suatu gelar yang sangat langka pada masa itu. Bahkan, Hazairinlah satu-satunya penduduk Bumi putra atau rakyat biasa yang telah berhasil meraih gelar doktor dari Sekolah Tinggi Hukum Batavia pada masa itu. Karyanya itulah yang menghantarkannya sebagai seorang ahli dalam bidang hukum adat. Demikianlah pedidikan formal Hazairin, dari Sekolah Dasar, Menengah Pertama, Menengah Atas, sarjana sampai doktor, dilaluinya dengan sangat baik dan lancar. Sebagaimana telah disinggung di atas, Hazairin dibesarkan di lingkungan keluarga yang taat beragama dan menjunjung tinggi adat istiadat. Pendidikan agama tentu mendapat perhatian besar bagi keluarganya di samping sekolah formal milik kolonial Belanda. Ia belajar mengaji Alquran dan pelajaran agama lainnya dari orang tuanya sendiri, terutama ayah dan kakeknya Ahmad Bakar. Di samping belajar pendidikan umum, ia juga belajar pendidikan agama dan bahasa Arab terutama dari kakeknya. Untuk memahami lebih lanjut ajaran Islam ia belajar sendiri. Ia menguasai bahasa Belanda, Inggris dan Perancis secara aktif, dan bahasa Arab, Jerman dan Latin secara Pasif. 63 Pengaruh pendidikan agama dari keluarganya ini nampak berbekas baik pada dirinya sebagai pelajar, mahasiswa, dan sebagai guru besar serta pejabat pemerintahan di kemudian hari. Pendidikan keluarga telah membentuk jiwa Hazairin sebagai orang Islam yang konsisten terhadap ajaran Islam. Kekonsistenannya membekas dalam hati dan membentuk keyakinan akan agungnya ajaran Islam yang selalu menawarkan kebaikan dalam segala segi kehidupan manusia. Kenyataan ini juga menunjukkan betapa penting peran keluarga dalam membentuk jiwa seorang anak. 63 Al Yasa Abubakar, Ahli Waris Sepertalian Darah: Kajian Perbandingan Terhadap Penalaran Hazairin dan Penalaran Fikih Mazhab Jakarta: Inis, 1998, h. 3 xlvi Keluarga adalah “lembaga” awal yang berkompeten dalam memperkenalkan nilai-nilai dan moral kepada anak. Nilai dasar yang masuk ke dalam jiwa Hazairin adalah nilai Islam, nilai tersebut menjadi dasar pijakan Hazairin kelak dalam menjalani hidup dan kehidupan sehingga begitu kuat keteguhannya dalam memegang ajaran Islam. 64 Orang tua Hazarin telah memenuhi tanggung jawabnya berupa pendidikan dasar, agar masing-masing keluarga tetap berada pada jalur ¡ir±¯ al-mustaq³m. Tanggung jawab itu dapat pula diartikan, bahwa orang tua Hazairin, melalui upaya penanaman nilai dasar agama dengan harapan kelak Hazairin menjadi keturunan sekaligus penerus estafet keluarga yang kuat, sebab Allah swt. melarang keluarga meninggalkan keturunan yang lemah, baik mental maupun material. Firman Allah Q.S an-Nisa: 9 yaitu:                 65 Artinya: Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap kesejahteraan mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar. Harapan tersebut terwujud dengan tampilnya Hazairin sebagai orang yang kuat memegang prinsip Islam sebagai bentuk kekuatan mental spiritual. Sedangkan sebagai kekuatan material Hazairin dapat dilihat dari kemampuannya merampungkan studi sampai pada jenjang akademik 64 Bismar Siregar, “Prof.Mr. Dr. Hazairin Seorang Mujahidin Penegak Hukum Berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam Panitia Penerbitan Buku, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia: In Memoriam Prof. Mr. Dr. Hazairin Jakarta: UI Press, 1976, h. 1. 65 Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahnya Surabaya: Jaya Sakti, 1997, h. 116 xlvii tertinggi dan mengantarkannya sebagai pakar hukum Adat pertama lulusan RHS Rechts Hooge School di Batavia.

c. Kiprah Karir di Birokrasi