Kritik Terhadap ‘A¡abah

lxxxix menunjuk kepada ahli waris secara umum, karena demikianlah penjelasan Rasul saw. dalam hadis-hadis yang lain. Kalau memang merujuk kepada ‘a¡abah seperti yang dipahami ulama Sunni, maka itu juga harus ditolak karena bertentangan dengan maksud Alquran yang bilateral. 160 Toha Yahya Umar dan Mahmud Yunus dalam seminar di atas keberatan mengemukakan keberatannya. Menurut mereka, arti yang diberikan Hazairin belum pernah digunakan oleh ulama-ulama masa lalu. 161 Hazairin menjawab, dalam Alquran kata maw±l³ pernah digunakan dengan arti yang berbeda dari penafsiran ulama tafsir tersebut. 162 Kemudian beliau tambahkan bahwa dia pun mengartikan maw±l³ dengan ahli waris. Tetapi karena dalam ayat ini maw±l³ tersebut merupakan ahli waris dari ahli waris, maka jelas dia merupakan ahli waris pengganti. Tujuan Hazairin mengenai maw±li adalah untuk mendirikan hak kewarisan bagi aqrab-n yang tidak tersebut dalam ayat-ayat kewarisan dalam Alquran seperti paman, bibi, datuk dan nenek, cucu dan piut dan sebagainya. Sekiranya tidak ada lembaga ahli waris pengganti, maka keturunan yang bukan awl±d dari seorang pewaris, berdasarkan ketentuan dalam QS. an-Nisa ayat 11 dan 12, akan tersingkir oleh orang tua dan keluarga garis sisi. Dengan kata lain, cucu tersebut akan ter-¥ij±b oleh ayah dan ibu serta saudara-saudara dari si pewaris. Menurut Hazairin, keadaan yang serupa ini akan bertentangan dengan seluruh fitrah yang ditanamkan Allah dalam sanubari manusia, sehingga tidak ada sistem apapun yang akan dapat membenarkannya. 163

3. Kritik Terhadap ‘A¡abah

‘A¡abah adalah bentuk tunggal dari ‘±¡ib, lafaz ‘u¡bah dan ‘a¡abah merupakan bentuk jamak. Pengertian ‘a¡abah dari segi bahasa adalah keluarga laki-laki dari pihak ayah. Mereka disebut demikian karena sebagian dari mereka memperkuat keterkaitan sebagian yang lain. Sedang 160 Islamiyah, Perdebatan, h. 48 dan 94. 161 Ibid., h. 20 dan 78. 162 Ibid., h. 47. 163 Hazairin, Hukum Kewarisan, h. 29. xc dalam istilah kewarisan, ‘a¡abah adalah orang-orang yang mengambil semua harta apabila sendirian dan mengambil sisa setelah dikeluarkan bagian ©aw³ al-fur-«. 164 Para ulama membedakan kepada tiga jenis yaitu: 165 a. ‘A¡abah bi an-nafs adalah kerabat laki-laki yang dihubungkan melalui garis laki-laki kepada pewaris tanpa diselingi perempuan, yaitu anak laki-laki dan keturunan laki-laki betapapun jauhnya terus kebawah, ayah dan kakek satu garis lurus ke atas, saudara laki-laki sekandung dan seayah dan keturunan laki-lakinya, serta paman sekandung dan seayah dan keturunan laki-lakinya terus kebawah. b. ‘A¡abah bi al-gair adalah anak-anak perempuan dan saudara perempuan sekandung dan seayah apabila didampingi oleh ‘a¡abah bi an- nafs yang sederajat. Dengan kata lain mereka ini adalah ©aw³ al-fur-« yang dialihkan menjadi ‘a¡abah karena ada ahli waris laki-laki yang sederajat dengannya. Mereka akan membagi warisan dengan perimbangan dua banding satu antara laki-laki dan perempuan. c. ‘A¡abah ma‘a al-gair adalah saudara perempuan sekandung atau seayah apabila mewarisi bersama-sama dengan anak-anak perempuan, dengan syarat mereka tidak bersama saudara laki-laki Disebut ma‘a al- gair karena untuk menjadi ‘a¡abah, dia perlu kepada orang lain anak perempuan, tetapi tidak dapat menarik orang tersebut untuk menjadi a¡abah pula. Hazairin membedakan pengertian ‘u¡bah dan ‘a¡abah: ‘U¡bah ialah sekumpulan orang yang dapat membuktikan bahwa mereka seketurunan menurut sistim patrilineal murni. ‘A¡abah berarti seorang laki- laki di dalam ‘u¡bah. 166 164 Lihat Muha mmad ibnu ‘Ali ar-Rahbi, Tais³ru al-Maw±r³£, terj. Bahrun Abubakar, Fiqh Waris Bandung: Nuansa Aulia, 2008, h. 129. Lihat juga Muhammad Ali as-Shabuni, al-Maw±r³£u f³ asy- Syar³‘ah al-Isl±m³ah ‘al± ¬aui al-Kit±b wa as- Sunnah, terj. M. Samhuji Yahya, Hukum Waris dalam Syariat Islam Bandung: Diponegoro, 1988, h. 81-82. 165 Hasan al-Baul±q³, Ahw±lu al-W±ri£³n wa ¥is±b al-Maw±r³£ bi ashala a¯- °uruq Q±hirah: Maktabah al-´m±n, 2007, h. 30-31 dan 36. Baca Muhammad Thaha Abul Ela Khalifah, Ahk±mu al-Maw±r³£: 1. 400 Mas‘alah Mira£³ah, terj. Arya Noor Armansyah dkk, Pembagian Warisan Berdasarkan Syariat Islam Solo: Tiga Serangkai, 2007, h. 398-400. 166 Hazairin, Hukum Kewarisan, h. 76 xci Sedangkan Hazairin memberikan definisi sama dengan ulama mengenai pengertian ‘a¡abah bi an-nafs dan ‘a¡abah bi al-gair: ‘A¡abah bi al-gair ialah anggota yang perempuan di dalam ‘u¡bah yang sama derajat kelahirannya dan setaraf dengan seorang ‘a¡abah laki-laki dengan siapa perempuan itu bersama-sama berhak mewaris atas dasar angka-bagi 2:1, yaitu yang laki-laki mendapat dua kali sebanyak bagian yang perempuan. Untuk pembedaan selanjutnya disebut ‘a¡abah yang laki-laki itu ‘a¡abah bi an-nafs. Hal sederajat karena kelahiran itu ditinjau dari sudut sipewaris. ‘A¡abah bi an-nafs berhak mewaris dengan sendirinya, tetapi a¡abah bi al-gair hanya dapat mewaris jika digandengi oleh ‘a¡abah bi an- nafs. 167 Sedang terhadap ‘a¡abah ma‘a al-gair, dia berikan definisi yang berbeda, yaitu: Jika dalam ‘u¡bah sipewaris telah mati semua ‘ashabah binafshi, tetapi pewaris ada meninggalkan keturunan yang perempuan yang berhak fara’idh di samping saudara perempuannya yang se’usbah dengan sipewaris dan se’usbah pula dengan keturunan sipewaris itu, maka saudara perempuan sipewaris itu dinaikkan martabatnya dari ©aw- al- arham menjadi ‘ashbah dengan nama ‘ashabah ma’a al-ghary. 168 Syarat bahwa saudara perempuan harus se- ‘u¡bah dengan pewaris dan anak perempuannya, baru akan tercapai apabila si pewaris melakukan perkawinan endogami satu klan. Menurut Hazairin ‘U¡bat yang dalam adat Arab adalah sekumpulan orang dapat membuktikan, bahwa mereka seketurunan menurut sistem patrilineal murni, hanya diubah dan disesuaikan sedemikian rupa. Ulama Sunni tidak menyadari bahwa u¡bat yang berurat pada susunan masyarakat yang patrilineal itu, ingin ditinggalkan Alquran, karena garis hukum Alquran ingin merombak seluruh sistem masyarakat tersebut menjadi masyarakat bilateral. 169

4. Kritik Terhadap Teori Receptie