Kiprah Karir di Birokrasi

xlvii tertinggi dan mengantarkannya sebagai pakar hukum Adat pertama lulusan RHS Rechts Hooge School di Batavia.

c. Kiprah Karir di Birokrasi

Setelah Hazairin berhasil meraih gelar sarjana hukum, dia kemudian diangkat sebagai asisten dosen hukum adat dan etnologi antropologi pada Sekolah Tinggi Hukum di Batavia kini, Jakarta tahun 1935-1938. Melihat akan kecakapan dan kedisiplinannya kemudian pemerintah Belanda mengangkatnya sebagai pegawai yang diperbantukan pada Ketua Pengadilan Negeri Padang Sidempuan, Sumatera Utara, sekaligus sebagai pegawai penyidik hukum adat Tapanuli Selatan pada Keresidenan Tapanuli tahun 1938 - 1942. 66 Tugasnya di kota ini terus berlanjut, walaupun Belanda kemudian digantikan kedudukannya oleh Jepang. Ketika Jepang berkuasa, Hazairin malah diangkat sebagai Penasehat Hukum pada penguasa Jepang. Tugas ini dipangkunya sampai Indonesia merdeka tahun 1942-1945. Setelah kemerdekaan, Hazairin terus melanjutkan tugasnya di Tapanuli Selatan. Selama selang waktu enam bulan Oktober 1945-April 1946, ia menjabat Ketua Pengadilan Negeri Tapanuli Selatan Ketua Pengadilan Negeri pertama setelah kemerdekaan, merangkap Ketua Komite Nasional Indonesia KNI dan anggota Pusat Pemerintahan Tapanuli, Asisten Residen dan Kepala Luhak dengan tugas tambahan sebagai peneliti hukum adat Tapanuli Selatan. Karena pengetahuannya yang luas tentang hukum adat setempat, masyarakat Tapanuli Selatan memberinya gelar “Pangeran Alamsyah Harahap”. Setelah bertugas di Tapanuli Selatan selama 11 tahun, kemudian dia dipindahkan oleh pemerintah pusat ke daerah asalnya, Bengkulu. Atas prestasinya, lalu dia dipromosikan menjadi Residen Bengkulu tahun 1946 - 1950, merangkap Wakil Gubernur Militer Sumatera Selatan hingga tahun 1953. Selanjutnya ia ditarik ke 66 Armando, Ensiklopedi, h. 13. Lihat Hazairin, Tujuh Serangkai Tentang Hukum Jakarta: Bina Aksara, 1985, h. 114-115. xlviii Jakarta untuk menjabat Kepala Bagian Kabag Hukum SipilPerdata pada Kementerian Kehakiman tahun 1953. 67 Perpindahan dari satu daerah ke daerah lain membuat Hazairin semakin dapat beradaptasi dengan bermacam bentuk kemasyarakatan tempat ia tinggal. Pergulatan ini kemudian membentuk Hazairin sebagai orang yang berada di tengah-tengah kenyataan berbagai sistem kemasyarakatan yang ada. Persentuhan berbagai adat tersebut akan membentuk jiwa yang bisa mengambil jalan tengah di antara pluralitas sistem kemasyarakatan. Dalam berbagai sistem masyarakat yang ada, agama merupakan hal yang selalu menarik untuk dijadikan obyek pengamatan Hazairin. Dalam menjalankan agama, berbagai sistem masyarakat memiliki persamaan, yaitu menyadarkan persoalan kepada ulama masa lalu yang dianggap paling tahu urusan agama, sementara orang Islam zaman sekarang harus tunduk dan patuh terhadap penemuan mereka. Kenyataannya tidak semua budaya dapat diterapkan dalam budaya yang lain, sehingga memaksakan diri untuk menerima suatu budaya dapat menyebabkan rasa tertekan. Persepsi semacam itu dapat saja timbul ketika seseorang tidak mampu menyesuaikan diri terhadap lingkungan beda budaya tempat ia tinggal. Hazairin adalah salah satu contoh orang yang selalu berusaha beradaptasi dengan berbagai budaya tempat ia menjalankan tugas. Hazairin banyak menghadapi berbagai sistem masyarakat yang mempengaruhi sikap Hazairin untuk lebih demokratis, karena lingkungan sosial yang ada mempengaruhi sikap dan cara pandang seseorang. Sikap sosial yang banyak diwarnai oleh masyarakat sekitar menyebabkan terjadinya tingkah laku yang khas dan berulang-ulang terhadap obyek sosial. 67 Dahlan, Ensiklopedi, h. 537-538. Lihat Bismar Siregar, Mungkinkah Hazairin Menjadi Pahlawan Nasional dalam Catatan Bijak Membela Kebenaran Menegakan Keadilan Bandung: Remaja Rosdakarya, t.t., h. 170-173. xlix

2. Faktor Eksternal