Teori Tentang Anak Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perlindungan Hukum terhadap Pekerja Anak: studi kasus putusan nomor 118/Pid.B/2012/PN.KDR T1 312012037 BAB II

telah ada perlindungan in abstracto secara langsung terhadap kepentingan hukum dan hak asasi korban. 12 Perlindungan secara tidak langsung dalam peraturan hukum positif tersebut belum mampu memberikan perlindungan secara maksimal. Karena realitas di Indonesia menunjukkan bahwa hukum yang berlaku secara pasti belum mampu menjamin kepastian dan rasa keadilan.

2.3. Teori Tentang Anak

Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan negara. Agar kelak mampu bertanggung jawab dalam keberlangsungan bangsa dan negara, setiap anak perlu mendapat perlindungan dan kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal baik fisik, mental, maupun sosial. Untuk itu, perlu dilakukan upaya perlindungan untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya tanpa adanya perlakuan diskriminatif. Dalam hal menjamin seorang anak agar kehidupannya bisa berjalan dengan normal, maka negara telah memberikan payung hukum yakni Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 13 Namun seiring berjalannya waktu, pada kenyataannya undang-undang tersebut dirasa belum dapat berjalan secara efektif karena masih adanya tumpang tindih antar peraturan perundang-undangan sektoral terkait dengan definisi anak, di sisi lain maraknya kejahatan terhadap anak di tengah-tengah masyarakat, salah satunya adalah kejahatan seksual yang saat ini banyak dilakukan oleh orang-orang dekat sang anak, serta belum terakomodirnya perlindungan hukum terhadap anak penyandang disabilitas. Sehingga, berdasarkan paradigma tersebut maka Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang saat ini sudah berlaku ± 12 Barda Nawawi Arief, Perlindungan Korban Kejahatan Dalam Proses Peradilan Pidana, Jurnal Hukum Pidana Dan Kriminologi, Vol. INo.I1998, hlm 16-17. 13 Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, Cet. Ke.3 PT. Buana Ilmu Populer, Jakarta, 1984. kurang lebih 12 dua belas tahun akhirnya diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang mempertegas tentang perlunya pemberatan sanksi pidana dan denda bagi pelaku kejahatan terhadap anak terutama kepada kejahatan seksual yang bertujuan untuk memberikan efek jera, serta mendorong adanya langkah konkrit untuk memulihkan kembali fisik, psikis, dan sosial anak. Hal tersebut perlu dilakukan untuk mengantisipasi anak korban kejahatan di kemudian hari tidak menjadi pelaku kejahatan yang sama. Karena berdasarkan fakta yang terungkap pada saat pelaku kejahatan terhadap anak terutama pelaku kejahatan seksual diperiksa di persidangan, ternyata sang pelaku dulunya juga pernah mengalami pelecehan seksual sewaktu sang pelaku masih berusia anak, sehingga sang pelaku terobsesi untuk melakukan hal yang sama sebagaimana yang pernah dialami. 14 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 yang mulai efektif berlaku pertanggal 18 Oktober 2014 banyak mengalami perubahan paradigma hukum, diantaranya memberikan tanggung jawab dan kewajiban kepada negara, pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, keluarga, dan orang tua atau wali dalam hal penyelenggaran perlindungan anak, serta dinaikkannya ketentuan pidana minimal bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak, serta diperkenalkannya sistem hukum baru yakni adanya hak restitusi. Dalam tulisan ini Penulis akan membahas secara singkat beberapa ketentuan dalam undang-undang tersebut yang dianggap paradigma baru. 15 Anak yang berhadapan dengan hukum adalah seorang anak yang sedang terlibat dengan masalah hukum atau sebagai pelaku tindak pidana, sementara anak tersebut belum dianggap mampu untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, mengingat usianya yang belum dewasa dan sedang bertumbuh berkembang, sehingga berhak untuk dilindungi sesuai dengan undang-undang. Menurut hal ini adalah anak yang telah mencapai umur 8 tahun dan 14 Muliyawan, Paradigma Baru Hukum Perlindungan Anak Pasca Perubahan Undang-Undang Perlindungan Anak , Hakim Pengadilan Negeri Palopo, artikel sama pernah dimuat di surat kabar harian Palopo Pos. 15 Bismar Siregar, Hukum dan Hak-Hak Anak, Cet. 1. Rajawali, Jakarta, 1986. belum mencapai 18 tahun atau belum menikah. Faktor penyebab anak berhadapan dengan hukum dikelompokkan menjadi 2 faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal, yang pertama faktor internal anak berhadapan dengan hukum mencakup: keterbatasan ekonomi keluarga; keluarga tidak harmonis Broken Home; tidak ada perhatian dari orang tua, baik karena orang tua sibuk bekerja ataupun bekerja di luar negeri sebagai TKI; lemahnya iman dan takwa pada anak maupun orang tua. Sedangkan untuk faktor eksternal ialah kemajuan globalisasi dan kemajuan tekhnologi tanpa diimbangi kesiapan mental oleh anak; lingkungan pergaulan anak dengan teman-temanya yang kurang baik; tidak adanya lembaga atau forum curhat untuk konseling tempat anak menuangkan isi hatinya; kurangnya fasilitas bermain anak mengakibatkan anak tidak bisa menyalurkan kreativitasnya dan kemudian mengarahkan kegiatannya untuk melanggar hukum. 16 Mengenai tanggung jawab negara, pemerintah dan pemerintah daerah dalam Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2014 diatur dalam beberapa pasal yang diantaranya mewajibkan dan memberikan tanggung jawab untuk menghormati pemenuhan hak anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum, urutan kelahiran, dan kondisi fisik danatau mental, serta melindungi, dan menghormati hak anak dan bertanggung jawab dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan di bidang penyelenggaraan perlindungan anak. Kemudian dalam undang-undang ini pemerintah daerah berkewajiban dan bertanggungjawab untuk melaksanakan dan mendukung kebijakan nasional dalam penyelenggaraan perlindungan anak di daerah yang dapat diwujudkan melalui upaya daerah membangun kabupatenkota layak anak, serta memberikan dukungan sarana, prasarana, dan ketersediaan sumber daya manusia dalam penyelenggaraan perlindungan anak. 17 16 Ismi Dwi A. Nurhaeni, Siany I. Listyasari, Diana T. Cahyaningsih, Atik C. Budiati, Eva Agustinawati, 2010, Kajian Anak yang Berhadapan dengan Hukum ABH di Provinsi Jawa Tengah. 17 Darwan Prinst, Hukum Anak Indonesia, Cet. Ke . PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997. Selain kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana di atas negara, pemerintah, dan pemerintah daerah juga menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali, atau orang lain yang secara hukum bertanggungjawab terhadap anak, mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak, menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak, serta kewajiban dan tanggung jawab yang paling penting adalah menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9 sembilan tahun untuk semua anak dan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan serta memberikan biaya pendidikan atau bantuan cuma-cuma atau pelayanan khusus bagi anak dari kurang mampu, anak terlantar, dan anak yang tinggal di daerah terpencil. Semoga amanah besar yang diberikan oleh undang-undang ini dapat dilaksanakan oleh negara, pemerintah dan pemerintah daerah demi mewujudkan tanggungjawab dan kewajibannya terhadap anak yang merupakan generasi bangsa. 18 Selain tanggung jawab negara, pemerintah dan pemerintah daerah, undang-undang ini pun memberikan amanah, tanggung jawab dan kewajiban kepada masyarakat, sehingga masyarakat tidak boleh lagi berpangku tangan dan bermasa bodoh dalam hal perlindungan kepada anak, diantara kewajiban dan tanggungjawab masyarakat, di antaranya adalah melakukan kegiatan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan perlindungan anak yang dilaksanakan dengan melibatkan organisasi kemasyarakatan, akademisi, dan pemerhati anak. Sehingga dalam hal ini organisasi masyarakat, akademisi dan pemerhati anak sudah seharusnya turun langsung ke lapangan melakukan pencegahan dengan jalan banyak melakukan edukasi dalam hal perlindungan kepada anak, sehingga kasus-kasus kejahatan 18 Ibid. terhadap anak terutama kejahatan seksual yang akhir-akhir ini banyak menghantui kita bisa diminimalisir. 19 Selain undang-undang ini memberikan kewajiban dan tanggung jawab kepada negara, pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat, undang-undang ini juga memberikan kewajiban dan tanggung jawab kepada orang tua dalam hal perlindungan kepada anak, mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak, menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya, mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak yang masih relatif dini, dan memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti pada anak. Karena pada kenyataannya orang tualah yang paling dekat dengan sang anak dalam kesehariannya yang secara langsung memantau pertumbuhan fisik dan psikis sang anak dan memantau pergaulan keseharian sang anak. 20 Salah satu kejahatan terhadap anak yang menjadi perhatian publik adalah kejahatan seksual yang akhir-akhir ini banyak terjadi di sekeliling kita, bahkan terkadang dilakukan oleh orang-orang yang dekat dengan sang anak yang selama ini kita tidak pernah sangka- sangka, seperti kejahatan seksual yang dilakukan oleh seorang ayah kepada anaknya baik ayah kandung maupun ayah angkat, bahkan pada tahun 2014 ada kasus yang menggemparkan dunia pendidikan yakni adanya kejahatan seksual yang terjadi disalah satu sekolah yang konon kabarnya bertaraf internasional yang diduga dilakukan oleh oknum pendidik, serta masih banyak kasus kejahatan seksual lainnya yang terjadi diberbagai pelosok nusantara. 21 Dahulu, kejahatan seksual terhadap anak dianggap tabu dan menjadi aib yang luar biasa, namun seiring berjalannya waktu dan kemajuan teknologi, kejahatan seksual terhadap anak sudah dianggap sesuatu hal yang tidak tabu lagi. Bahkan pelaku kejahatan seksual terhadap anak, adalah pelaku-pelaku yang mempunyai trauma masa lalu, tentu masih segar 19 Bismar Siregar, Loc. Cit. 20 Darwan Prinst, Loc. Cit. 21 Ibid. dalam ingatan kita pelaku kejahatan seksual pada tahun 1996 yang terjadi di Jakarta yang dilakukan oleh Robot Gedek yang menyodomi 8 delapan orang anak dan selanjutnya membunuh anak-anak tersebut dan dari pengakuannya Robot Gedek mengaku puas dan merasa tak bersalah dan tidak takut masuk penjara apalagi dosa. Semua itu dilakukan demi kepuasaan seksnya dan ia mengaku pusing kepala apabila dalam sebulan tidak melakukan perbuatan tersebut. 22 Dalam kasus lain yang tidak kalah hebohnya terjadi pada tahun 2014 dimana jumlah korban pedofilia dengan pelaku Andri Sobari alias Emon, 24 tahun, telah mencapai 110 anak, 23 ternyata baik Robot Gedek dan Emon mempunyai trauma masa lalu dalam hal pelecehan seksual. Maraknya kasus-kasus kejahatan seksual tersebut menjadi perhatian publik, sehingga publik pun mendesak supaya hukuman bagi pelaku kejahatan seksual lebih diperberat dan ketentuan minimalnya dinaikkan. Dalam undang-undang perlindungan anak yang lama ancaman pelaku kejahatan seksual hanya diancam dengan pidana maksimal 15 lima belas tahun, minimal 3 tiga tahun dan denda maksimal Rp300.000.000,- tiga ratus juta rupiah dan minimal Rp 60.000.000,- enam puluh juta rupiah, sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 diubah dengan ancaman pidana maksimal 15 lima belas tahun, minimal 5 lima tahun dan denda maksimal sebanyak Rp5.000.000.000,- lima milyar rupiah. Yang lebih khusus dalam undang undang ini adalah jika pelaku pemerkosaan atau pencabulan dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh anak, pendidik, atau tenaga pendidik maka pidananya ditambah 13 sepertiga. 24 Dalam undang-undang ini juga sudah mengakomodir perlindungan hukum kepada anak-anak penyandang disabilitas. Istilah disabilitas mungkin masih awam kita dengar apa yang dimaksud dengan disabilitas. Istilah ini mulai dikenal dalam Convention on The Rights of Persons With Disabilities CRPD. Dalam CRPD tersebut, penyandang disabilitas 22 www.museum.polri.go.id. 23 tempo.com. 24 Ibid. diartikan sebagai mereka yang memiliki kerusakan fisik, mental, intelektual, atau sensorik jangka panjang yang dalam interaksinya dengan berbagai hambatan dapat merintangi partisipasi mereka dalam masyarakat secara penuh dan efektif. Sedangkan dalam Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2014 lebih spesifik kepada pengertian anak penyandang disabilitas yaitu anak yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dan sikap masyarakatnya dapat menemui hambatan yang menyulitkan untuk berpartisipasi penuh dan efektif berdasarkan kesamaan hak. 25 Sehingga, dengan berlakuknya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014, diharapkan sudah memberikan perlindungan hukum, persamaan derajat anak penyandang disabilitas dengan anak-anak yang normal, dan tidak ada lagi diskriminasi kepada anak penyandang disabilitas. Dan hal tersebut merupakan tanggung jawab negara, pemerintah dan pemerintah daerah dalam memberikan fasilitas kepada anak-anak penyandang disabilitas, karena hal tersebut merupakan hak asasi anak-anak penyandang disabilitas. Hal yang sangat baru dalam sistem pemidanaan kita di Indonesia adalah adanya hak restitusi dalam undang-undang ini. Mendengar istilah restitusi mungkin kita belum mengerti apa yang dimaksud dengan restitusi walaupun mengenai restitusi ini sudah diatur dalam hukum positif kita di Indonesia. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia restitusi dapat berarti ganti kerugian, pembayaran kembali, pegawai berhak memperoleh pengobatan, penyerahan bagian pembayaran yang masih bersisa, sedangkan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat, restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga, dapat berupa 25 www.museum.polri.go.id. Loc. Cit. pengembalian harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan, atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu. 26 Berdasarkan gambaran tersebut di atas tentu kita sudah paham bahwa yang dimaksud dengan restitusi adalah adanya ganti rugi kepada korban. Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 masalah restitusi hanya diatur dalam satu pasal yakni pada Pasal 71 D yang menyebutkan bahwa: 1 Setiap anak yang menjadi korban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat 2 huruf b, huruf d, huruf f, huruf h, huruf i, dan huruf j berhak mengajukan ke pengadilan berupa hak atas restitusi yang menjadi tanggungjawab pelaku kejahatan; 2 Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diatur dengan peraturan pemerintah. Dalam penjelasan pasal tersebut di atas yang dimaksud dengan restitusi adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materiil danatau imateriil yang diderita korban atau ahli warisnya. Khusus untuk anak yang berhadapan dengan hukum yang berhak mendapatkan restitusi adalah anak korban. Berdasarkan Pasal 66 ayat 3 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang dimaksud dengan eksploitasi adalah: “Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi ekonomi atau seksual terhadap anak.” Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia KBBI, yang dimaksud dengan eksploitasi adalah: “1. pengusahaan; pendayagunaan; 2. pemanfaatan untuk keuntungan sendiri; pengisapan; pemerasan tenaga orang.” 27 26 Ibid. Penjelasan tersebut menjelaskan bahwa eksploitasi anak adalah pemanfaatan untuk keuntungan sendiri melalui anak dibawah umur yang belum berusia 18 tahun. Oleh sebab itu anak jalanan digunakan sebagai media untuk mencari uang. Pengertian eksploitasi terhadap anak jika dilihat secara umum adalah mempekerjakan seorang anak dengan tujuan ingin meraih keuntungan yang sebesar besarnya. Hal ini sangat berbahaya bagi pertumbuhan mental maupun sosial anak, khususnya anak jalanan. Pasal 64 dan 65 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, menyatakan bahwa: Pasal 64: “Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi ekonomi dan setiap pekerjaan yang membahayakan dirinya, sehingga dapat mengganggu pendidikan, kesehatan fisik, moral, kehidupan sosial dan mental spiritualnya.” Pasal 65 “Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan dan pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak, serta dari berbagai bentuk penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya.” Dilihat dari penjelasan di atas, seorang anak mempunyai jaminan perlindungan hukum dari kegiatan eksploitasi ekonomi, hal ini dikarenakan seorang anak belum bisa menjaga dirinya sendiri dan bisa berdampak buruk untuk kesehatan fisik maupun moralnya. Maka dari itu, seorang anak berhak mendapatkan perlindungan dari orang tua atau pihak lain yang bertanggungjawab, seperti yang tercantum dalam Pasal 13 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang menyatakan bahwa: “Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:a. diskriminasi; b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual; c. penelantaran; d. kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan; e. ketidakadilan; dan f. perlakuan salah lainnya.” Berdasarkan pasal tersebut di atas, maka orang tua atau pihak lain yang bertanggung jawab atas anak tersebut wajib memberikan perlindungan dari tindakan-tindakan yang dapat 27 Anne Ahira, Anak Bukan Objek Eksploitasi, http: AnneAhira.com, Diakses pada 4 Januari 2016, Pukul 20. 00 WIB. menghilangkan hak-hak seorang anak dan masa depan seorang anak. Tindak kekerasan dapat diartikan juga sebagai: “Semua bentuk perlakuan menyakitkan secara fisik maupun emosional, pelecehan seksual, penelantaran, eksploitasi komersial atau eksploitasi lain yang mengakibatkan cidera atau kerugian nyata ataupun potensial terhadap kesehatan anak, kelangsungan hidup anak, tumbuh kembang anak atau martabat anak yang dilakukan dalam konteks hubungan tanggung jawab, kepercayaan, atau kekuasaan.” 28 Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat dipahami bahwa tindak kekerasan terhadap seorang anak harus dihindari oleh berbagai pihak karena dapat berakibat buruk bagi kelangsungan hidup anak, tumbuh kembang anak atau martabat anak, oleh sebab itu seorang anak harus mendapatkan perlindungan khusus baik oleh orang tua ataupun oleh hukum, hal ini dikarenakan seorang anak jalanan sangat rentan terhadap eksploitasi dan tindak kekerasan. Teori-teori yang berusaha menerangkan bagaimana kekerasan ini terjadi, salah satu di antaranya teori yang berhubungan dengan stress dalam keluarga family stress. Stres dalam keluarga tersebut bisa berasal dari anak, orang tua, atau situasi tertentu, yang meliputi: 29 1. Stres berasal dari anak, misalnya anak dengan kondisi fisik, mental, dan perilaku yang terlihat berbeda dengan anak pada umumnya. Bayi dan usia balita, serta anak dengan penyakit kronis yang berlangsung bertahun-tahun juga merupakan salah satu penyebab stress; 2. Stres yang berasal dari orang tua, misalnya orang tua dengan gangguan jiwa psikosis atau neurosa, orang tua sebagai korban kekerasan di masa lalu, orang tua ingin anaknya sempurna dengan harapan pada anak terlampau tinggi. Orang tua tersebut adalah orang tua yang terbiasa dengan sikap disiplin; 3. Stres berasal dari situasi tertentu , misalnya terkena PHK pemutusan hubungan kerja yang dialami oleh orang tua, pindah lingkungan, dan keluarga sering bertengkar. Dengan adanya stres dalam keluarga dan faktor sosial budaya yang kental dengan 28 Mellysa Adelia, Pengertian Kekerasan Terhadap Anak, http:Kadnet.com, Diakses pada 4 Januari 2016, Pukul 20. 05 WIB. 29 Ibid. ketidaksetaraan dalam hak dan kesempatan, sikap permisif terhadap hukuman badan sebagai bagian dari mendidik anak, maka para pelaku tindak kekerasan semakin merasa membenarkan atas tindakannya untuk mendera anak. Dengan sedikit faktor pemicu, biasanya berkaitan dengan tangisan tanpa henti dan ketidakpatuhan pada orang tua, maka terjadilah penganiayaan pada anak yang tidak jarang membawa malapetaka bagi anak dan keluarganya. 30 Berdasarkan macam-macam bentuk stres tersebut bisa dipahami bahwa terjadinya tindak kekerasan bisa diakibatkan oleh stres yang berlebihan dari berbagi pihak dalam lingkup keluarga. Berdasarkan tindak kekerasan tersebut, dapat diambil macam-macam tindak kekerasan terhadap anak jalanan, tindak kekerasan dapat digolongkan menjadi 4 bagian, yaitu: 1. Penyiksaan Fisik Physical Abuse Segala bentuk penyiksaan fisik, dapat berupa cubitan, pukulan, tendangan, dan tindakan-tindakan lain yang dapat membahayakan anak. 2. Penyiksaan Emosi PsychologicalEmotional Abuse Penyiksaan emosi adalah semua tindakan merendahkan atau meremehkan anak, selanjutnya konsep diri anak terganggu, anak merasa tidak berharga untuk dicintai dan dikasihi. 3. Pelecehan Seksual Sexual Abuse Pelecehan seksual pada anak adalah kondisi dimana anak terlibat dalam aktivitas seksual, anak sama sekali tidak menyadari, dan tidak mampu mengkomunikasikannya, atau bahkan tidak tahu arti tindakan yang diterimanya. 4. Pengabaian child neglect 30 Irma SetiaWati Sumitro, Aspek Hukum Perlindungan Anak Jalanan, Bumi Aksara, Jakarta, 1990, hlm., 19. Pengabaian terhadap anak termasuk penyiksaan secara psikis, yaitu segala ketiadaan perhatian yang memadai, baik fisik, emosi maupun sosial. 31 Berdasarkan macam-macam tindak kekerasan yang dijelaskan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa seorang anak sangat rentan akan tindak kekerasan yang sangat merugikan bagi pertumbukan anak tersebut dan bisa mengganggu pertumbuhan mental seorang anak. Selain tindak kekerasan yang sangat membahayakan pertumbuhan anak, pengabaian terhadap seorang anak juga sangat membahayakan bagi pertumbuhan anak. Jenis-jenis pengabaian terhadap anak: 1. Pengabaian fisik Misalnya keterlambatan mencari bantuan medis, pengawasan yang kurang memadai, serta tidak tersedianya kebutuhan akan rasa aman dalam keluarga. 2. Pengabaian pendidikan Orang tua sering kali tidak memberikan fasilitas pendidikan yang sesuai dengan bakat dan kemampuan anak. 3. Pengabaian secara emosi Ketidaksadaran orang tua akan kehadiran anaknya ketika sedang bertengkar. Pembedaan perlakuan dan kasih sayang orang tua terhadap anak-anaknya. 4. Pengabaian fasilitas medis Orang tua tidak menyediakan layanan medis untuk anak meskipun secara finansial memadai. 5. Mempekerjakan anak dibawah umur Hal ini melanggar hak asasi anak untuk memperoleh pendidikan, dapat membahayakan kesehatan, serta melanggar hak anak sebagai manusia. 32 31 Abdul Hakim Garuda Nusantara, Prospek Perlindungan Anak, Makalah, Jakarta, Seminar Perlindungan Hak- Hak Anak, 1986, hlm., 22. 32 Rika Saraswati S.H., CN., M.Hum. Hukum Perlindungan Anak di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009, hlm., 16. Eksploitasi dan tindak kekerasan terhadap anak memang sangat membahayakan bagi pertumbuhan dan perkembangan seorang anak, maka dari itu peran serta masyarakat sangatlah penting. Pasal 100 dan 101 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, mengatur pula mengenai peran serta masyarakat dalam rangka penegakan hak asasi manusia dalam masyarakat, yang isinya adalah: Pasal 100 “Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan lainnya, berhak berpartisipasi dalam perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia.” Pasal 101 “Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan lainnya, berhak menyampaikan laporan atas terjadinya pelanggaran hak asasi manusia pada komnas HAM atau lembaga lainnya yang berwenang dalam rangka perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi ma nusia.” Berdasarkan pasal yang diuraikan di atas, maka jelas kiranya bahwa peranan masyarakat sangatlah penting, bahkan masyarakat berhak melaporkan atas terjadinya pelanggaran hak asasi manusia, dalam hal ini pelanggaran hak asasi manusia sebagai seorang anak. Partisipasi dari masyarakat ini bisa sangat membantu untuk memberi perlindungan bagi anak jalanan dari eksploitasi ekonomi dan tindakan-tindakan kekerasan yang bisa dilakukan oleh berbagai pihak termasuk oleh orang tuanya sendiri. Oleh sebab itu peran serta pemerintah, lembaga masyarakat, masyarakat, dan orang tua asuh sangatlah penting untuk menghindari jumlah anak jalanan di Indonesia yang tereksploitasi dan korban tindak kekerasan. Anak jalanan merupakan suatu komunitas anak yang paling rentan terhadap eksploitasi dan tindakan kekerasan yang terjadi pada diri anak jalanan. Semua tindak kekerasan yang terjadi pada anak jalanan tersebut sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor dalam lingkup keluarga maupun dalam lingkup lingkungan sosial anak tersebut. Masalah anak terutama anak jalanan, semakin meningkat dari tahun ke tahun, hal ini akibat krisis ekonomi berkepanjangan yang dialami oleh Indonesia sejak pertengahan tahun 1997. Anak adalah amanah dan juga karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus dijaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. 33 Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Anak. Pengertian dari kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, berpartisipasi, serta berhak atas perlindungan dari eksploitasi dan tindak kekerasan serta hak sipil dan kebebasan. Sebelum berbicara anak jalanan, Penulis akan menjelaskan tentang definisi anak. Konsep anak didefinisikan dan dipahami secara bervariasi dan berbeda, sesuai dengan sudut pandang dan pemahaman yang beragam. Berdasarkan Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang dimaksud anak adalah: “Seorang yang belum berusia 18 delapan belas tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.” Berdasarkan Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, yang dimaksud anak adalah: “Seseorang yang belum mencapai umur 21 dua puluh satu tahun dan belum pernah kawin.” Berdasarkan Pasal 1 ayat 5 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, menyebutkan bahwa: “Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 delapan belas tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.” 33 Sri Widoyati Soekito, Anak dan Wanita dalam Hukum, Diadit Media, Jakarta, 2002, hlm., 76. Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa anak adalah seorang anak yang masih dalam kandungan sampai anak yang berusia 18 tahun dan belum menikah. Pemahaman tentang anak jalanan adalah seorang anak yang belum sampai berusia 18 tahun yang melakukan kegiatan dan kesehariannya di jalanan yang dapat mengganggu ketenteraman dan keselamatan orang lain serta membahayakan dirinya sendiri. 34 Direktorat Bina Sosial DKI menyebutkan bahwa anak jalanan adalah anak yang berkeliaran di jalan raya sambil bekerja mengemis atau menganggur saja. Berdasarkan Pasal 1 ayat 6 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang dimaksud dengan anak terlantar yaitu: “Anak yang tidak terpenuhi kebutuhannya secara wajar, baik fisik, mental, sepiritual, maupun sosial.” Hal tersebut menjelaskan bahwa seorang anak terlantar atau anak jalanan yang masih belum dewasa atau belum berumur 18 tahun harus dilindungi oleh berbagai pihak, baik oleh pihak orang tua, masyarakat maupun oleh negara, seperti yang tercantum dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang isinya adalah: “1. Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat, dan negara; 2. Hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk kepentingannya hak anak itu diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan.” Pasal tersebut menjelaskan bahwa pentingnya perlindungan kepada seorang anak bahkan seorang anak yang masih dalam kandungan. Maka dari itu, turut serta masyarakat sangat penting untuk menjaga kelangsungan hidup seorang anak yang sejahtera, baik secara mental maupun sosial dan terhindar dari eksploitasi dan tindak kekerasan terhadap anak jalanan. Menurut Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, anak jalanan dibedakan menjadi empat kelompok, yaitu: 34 H. Ahmad Kamil, H.M. Fauzan, Hukum Perlindungan Anak Jalanan di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 1999, hlm., 22. 1. Anak-anak yang tidak berhubungan lagi dengan orang tuanya children of the street. Anak-anak yang tinggal 24 jam di jalanan dan menggunakan semua fasilitas jalanan sebagai ruang hidupnya. Hubungan dengan keluarga sudah terputus. Kelompok anak ini disebabkan oleh faktor sosial psikologis keluarga, mereka mengalami kekerasan, penolakan, penyiksaan dan perceraian orang tua. Umumnya anak tersebut tidak mau kembali ke rumah, kehidupan jalanan dan solidaritas sesama temannya telah menjadi ikatan mereka. 2. Anak-anak yang berhubungan tidak teratur dengan orang tua adalah anak yang bekerja di jalanan children on the street. Anak sering kali diidentikkan sebagai pekerja migrant kota, yang pulang tidak teratur kepada orang tuanya di kampung. Pada umumnya mereka bekerja dari pagi sampai sore hari seperti menyemir sepatu, pengasong, pengamen, tukang ojek, penyapu mobil dan kuli panggul. Tempat tinggal anak jalanan di lingkungan kumuh bersama dengan saudara atau teman-teman senasibnya. 3. Anak-anak yang berhubungan teratur dengan orang tuanya. Seorang anak yang masih tinggal dengan orang tuanya, seorang anak yang dalam posisi tersebut berada di jalanan sebelum atau sesudah sekolah. Motivasi anak dalam posisi tersebut turun ke jalan karena terbawa teman, belajar mandiri, membantu orang tua dan disuruh orang tua. Aktivitas usaha anak jalanan yang paling menyolok adalah berjualan koran. 4. Anak-anak jalanan yang berusia di atas 16 tahun. Seorang anak berada di jalanan untuk mencari kerja, atau masih labil suatu pekerjaan. Umumnya anak tersebut telah lulus SD bahkan ada yang SLTP. Anak jalanan biasanya kaum urban yang mengikuti orang dewasa orang tua ataupun saudaranya ke kota. Pekerjaan anak jalanan biasanya mencuci bus menyemir sepatu, membawa barang belanjaan kuli panggul, pengasong, pengamen, pengemis, dan pemulung. Berdasarkan pengelompokan data di atas, maka dapat disimpulkan bahwa peran serta orang tua sangat mempengaruhi bagi seorang anak yang turun ke jalan. Hal ini disebabkan faktor-faktor sosial psikologis keluarga yang tidak harmonis. Akibatnya eksploitasi ekonomi dan tindak kekerasan terhadap seorang anak akan terjadi.

2.4. Tujuan Hukum

Dokumen yang terkait

Analisis Pengaruh Pengangguran, Kemiskinan dan Fasilitas Kesehatan terhadap Kualitas Sumber Daya Manusia di Kabupaten Jember Tahun 2004-2013

21 388 5

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

Analisis tentang saksi sebagai pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan dan tindak pidana pembunuhan berencana (Studi kasus Perkara No. 40/Pid/B/1988/PN.SAMPANG)

8 102 57

Analisis terhadap hapusnya hak usaha akibat terlantarnya lahan untuk ditetapkan menjadi obyek landreform (studi kasus di desa Mojomulyo kecamatan Puger Kabupaten Jember

1 88 63

Kekerasan rumah tangga terhadap anak dalam prespektif islam

7 74 74

Analisa studi komparatif tentang penerapan traditional costing concept dengan activity based costing : studi kasus pada Rumah Sakit Prikasih

56 889 147

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147

Peningkatan keterampilan menyimak melalui penerapan metode bercerita pada siswa kelas II SDN Pamulang Permai Tangerang Selatan Tahun Pelajaran 2013/2014

20 223 100

Pengaruh model learning cycle 5e terhadap hasil belajar siswa pada konsep sistem ekskresi

11 137 269

Pengaruh metode sorogan dan bandongan terhadap keberhasilan pembelajaran (studi kasus Pondok Pesantren Salafiyah Sladi Kejayan Pasuruan Jawa Timur)

45 253 84