Anak yang menyusui Ra ʻah dalam Perspektif Tafsir Ahkam

43 kemudian diminum oleh seorang bayi, maka hal tersebut tidak dikategorikan ra ʻah yang dapat menimbulkan hubungan kemahraman. 42 Abu Hanifah juga memberikan kriteria tentang kemurnian ASI, yaitu ASI masih berupa cairan tidak berubah bentuk. Menurutnya jika ASI tersebut telah berubah bentuk seperti keju atau bubuk maka tidak bisa disebut dengan ra ʻah, Namun hal tersebut disebut i ʻ m memberi makan dan tidak dapat menimbulkan mahram. 43 Menurut Ibnu Hazm, sifat penyusuan yang dapat menimbulkan hubungan kemahraman adalah ketika bayi tersebut menyusu langsung kepada ibunya. 44 Oleh karena itu, bayi yang disusui dengan menggunakan sebuah wadah atau ASI tersebut dicampur dengan roti atau dicampur dengan makanan kemudian dituangkan ke dalam mulut atau hidung atau telinga atau dengan suntikan maka tidak dapat menimbulkan hubungan mahram. Pendapat ini beliau perkuat dengan menggunakan dalil Q.S. An- Nis ’4: 23 yaitu penyusuan yang dilakukan dengan cara penyusuan langsung ke ibu sesuai dengan ahir ayat yang menyandarkan langsung kepada ir aʻ. Cara Sampainya ASI ke tubuh bayi ada dua macam yaitu al- wajūr ﺒ ﻮ ﻮ ﺜ artinya menyusui dengan sendok atau tanpa melalui penyusuan langsung kepada ibu, sedangkan as- saʻū ﺒ ﻮ ط artinya menyusui dengan memasukan ASI melalui hidung. Mengenai al- wajūr dan as-saʻū , Terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ulama tentang hubungan kemahraman. Menurut Imam Malik, proses tersebut dapat menyebabkan hubungan mahram. Sementara menurut Imam ‘A ’ tidak menyebabkan hubungan mahram, 45 sedangkan menurut ahiriyah, tidak menyebabkan kemahraman sebab proses penyusuan adalah langsung kepada 28-29. 42 Ibnu Rusyd, Biday h al-Mujtahid wa Ẓih yah al-Muqta id ẒBeirut: D r al-Fikr, t.th, h. 43 Al- Jaz r , Kitab al-Fiqh…, h. 1995. 44 Saʻid Ibn Hazm, Al-Muhall bi al- r ẒBeirut: D r al-Fikr, t.th, h. 185. 45 Rusyd, Biday h al-Mujtahid…, h. 28. 44 ibu 46 . Jadi, yang dimaksud penyusuan adalah pengisapan ASI langsung kepada ibu. Berdasarkan keterangan di atas menunjukkan bahwa persoalan ra ʻah tidak hanya dapat dipandang dari aspek air susu yang dikonsumsi oleh bayi, tetapi juga memperhatikan bagaimana proses yang digunakan dalam ra ʻah, yaitu langsung atau dengan menggunakan wadah.

3. Pembuktian Ra ʻah

Pembuktian penyusuan ini digunakan untuk menghindari kesimpang siuran dalam menetapkan apakah seorang anak benar-benar disusui oleh seorang wanita yang bukan ibunya. Ulama fikih menetapkan bahwa alat bukti untuk menetapkan hal ini ada dua, yaitu: iqrar pengakuan dan syah dat persaksian

a. Pengakuan Iqrar

Ikrar menurut bahasa berarti “ta bīt” Ẓpenetapanẓ atau “al-i‘tir f” pengakuan, dan merupakan bentuk masdar dari kata “aqarra-yaqirru”. 47 Sedangkan menurut istilah syara’ “ikrar” adalah pengakuan terhadap apa yang didakwahkan. Ikrar merupakan dalil yang terkuat untuk menetapkan dakwaan pendakwa. Oleh sebab itu, mereka berkata krar adaah raja dari pembuktian dan dinamakan pula kesaksian diri. 48 Syarat dan sahnya ikar adalah berakal, balig, ri a, dan ta arruf bertindak. 49 Maksud pengakuan di sini adalah pengakuan seorang lelaki dan wanita secara bersama-sama atau pengakuan salah satu dari keduanya bahwa adanya ra ʻah yang mengharamkan antara keduanya, inilah pendapat ulama 46 Ahsin W. Alhafidz, Fikih Kesehatan Jakarta: Amzah, cet-2, 2010, h. 234. 47 Al-Munawwir, Kamus al- Munawwir…, h. 1184 48 Sayyid as- S biq, Fiqh as-Sunnah Kairo: al-Fathu li al-I‘l m al-‘Arab , t.thẓ, juz 3, h. 226 49 Ibid.