Isolasi dan Potensi Jamur Pelarut Fosfat Pada Lahan Bekas Kebakaran Hutan Desa Tongging Kabupaten Karo

(1)

ISOLASI DAN POTENSI JAMUR PELARUT FOSFAT PADA

LAHAN BEKAS KEBAKARAN HUTAN DESA TONGGING

KABUPATEN KARO

SKRIPSI

OLEH :

EVA SERTA P SITORUS /081202060 BUDIDAYA HUTAN

PROGRAM STUDI KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2013


(2)

ISOLASI DAN POTENSI JAMUR PELARUT FOSFAT PADA

LAHAN BEKAS KEBAKARAN HUTAN DESA TONGGING

KABUPATEN KARO

SKRIPSI

OLEH :

EVA SERTA P SITORUS /081202060 BUDIDAYA HUTAN

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara

PROGRAM STUDI KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2013


(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul : Isolasi dan Potensi Jamur Pelarut Fosfat Pada Lahan Bekas Kebakaran Hutan Desa Tongging Kabupaten Karo

Nama : Eva Serta P Sitorus NIM : 081202060 Program Studi : Kehutanan Minat : Budidaya Hutan

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Ketua Anggota

Dr. Delvian SP, MP

Ketua Anggota Dr. Deni Elfiati SP, MP

Mengetahui,

Ketua Program Studi Siti Latifah, S.Hut, M.Si, Ph. D


(4)

ABSTRACT

EVA SERTA P SITORUS: Isolation of Potential Mushroom Phosphates Solvents in the Village Land forest fire Tongging Karo, under the guidance of Dr. DELVIAN SP, MP and Dr. DENI ELFIATI SP, MP.

The research was carried out to isolate, examine and identify potential phosphate solubilizing fungi (PSF) to solubilize insoluble phosphate from of the former forest fire Tongging village, Karo. Samples taken from fifty points in a zig-zag at 0-20 cm depth around rhizosfir. The chemical analyze properties of the former forest fire soils conducted in North Sumatra Assessment Institute for Agricultural Technology while the activities of isolation, and identification of potential trials conducted at the Laboratory of Soil Biology Agroekoteknologi Studies Program Faculty of Agriculture, University of North Sumatra. Isolation using Pikovskaya media with the source fosfat from Ca3(PO4)2, whereas in the potential test media using Ca3(PO4)2, AlPO4, FePO4 dan Rock Phosphate (RP). as source of insoluble phosphate. Evaluate the potential JPF qualitatively by measuring the diameter of holozone extensive use of the dilution index. JPF potential measurements quantitatively by measuring levels of dissolved phosphate with Bray-II method.

The results obtained 7 isolates of isolation of pure PSF. The next test conducted on the potential of isolates obtained. Largest diameter of 2,463cm holozone generated isolates 2 and the smallest diameter of 0,535 cm isolates produced 4. The measurement results are available most of the phosphate levels were 6 isolates of 46,422 ppm (FePO4 ) and the smallest by 1 isolates of 7,875 ppm (FePO4). Based on test results concluded the potential for isolates 1, 2and 6 have the best ability in dissolving phosphate. The results both of macroscopic and microscopically identification showed that isolate number 1, 2 and 6 including of Aspergillus genus.


(5)

ABSTRAK

EVA SERTA P SITORUS: Isolasi Dan Potensi Jamur Pelarut Fosfat Pada Lahan Bekas Kebakaran Hutan Desa Tongging Kabupaten Karo. Dibawah bimbingan Dr. DELVIAN SP, MP dan Dr. DENI ELFIATI SP, MP.

Penelitian ini dilakukan untuk mengisolasi, menguji potensi serta mengindentifikasi jamur pelarut fosfat (JPF) unggul dari lahan bekas kebakaran hutan Desa Tongging, Kabupaten Karo. Sampel diambil dari 50 titik secara zig-zag pada kedalaman 0-20cm di sekitar rhizosfir. Analisis sifat kimia tanah bekas kebakaran dilakukan di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara sedangkan isolasi, uji potensi serta identifikasi dilaksanakan di Laboratorium Biologi Tanah Program Studi Agroekoteknologi Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Isolasi menggunakan media Pikovskaya dengan sumber fosfat Ca3(PO4)2, sedangkan pada media uji potensi sumber fosfat dari Ca3(PO4)2, AlPO4, FePO4 dan Batuan fosfat (RP). Evaluasi potensi JPF secara kualitatif dengan mengukur luas diameter holozone menggunakan nilai indeks pelarutan. Pengukuran potensi JPF secara kuantitatif dengan mengukur kadar fosfat terlarut dengan metode Bray-II.

Hasil isolasi diperoleh 7 isolat JPF murni. Selanjutnya dilakukan uji potensi pada isolat yang diperoleh. Diameter holozone terbesar yaitu 2,463cm dihasilkan isolat 2 dan diameter terkecil sebesar 0,535 cm dihasilkan isolat 4. Hasil pengukuran kadar fosfat tersedia paling besar adalah isolat 6 yaitu 46,422 (sumber fosfat FePO4) ppm dan paling kecil oleh isolat 1 yaitu 7,875 ppm (sumber fosfat FePO4). Berdasarkan hasil uji potensi disimpulkan isolat 1, 2 dan 6 memiliki kemampuan paling baik dalam melarutkan fosfat. Hasil indentifikasi baik secara makroskopis dan mikroskopis menunjukkan bahwa isolat 1, 2 dan 6 termasuk genus Aspergillus


(6)

RIWAYAT HIDUP

Eva Serta P Sitorus dilahirkan di Kabanjahe, Sumatera Utara pada tanggal 27 Februari 1991. Anak kedua dari enam bersaudara dari Ayahanda P. Sitorus dan Ibunda N. br Simanjuntak. Pada tahun 2002 penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SD RK Xaverius No.2 Kabanjahe. Pada tahun 2005 lulus dari SLTP Negeri 1 Kabanjahe. Lulus dari SLTP Negeri 1 Kabanjahe, pada tahun 2008 lulus dari SMA Negeri 1 Kabanjahe, dan pada tahun yang sama penulis diterima sebagai Mahasiswa Universitas Sumatera Utara melalui jalur Seleksi Nasional Perguruan Tinggi Negeri (SNPTN) Program Studi Kehutanan, Jurusan Budidaya Hutan, Fakultas Pertanian.

Selama mengikuti perkuliahan, pada tahun 2010 penulis mengikuti Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) dihutan dataran tinggi Gunung Sinabung dan Taman Wisata Alam Deleng Lancuk Kabupaten Karo Sumatra Utara. Penulis juga melaksanakan Praktik Kerja Lapangan (PKL) di KPH Banyuwangi Utara Perum Perhutani Unit II Jawa Timur pada bulan Februari sampai dengan Maret 2012.

Penulis melakukan penelitian pada bulan Juni sampai dengan November 2012 dengan judul “Isolasi Dan Potensi Jamur Pelarut Fosfat Pada Lahan Bekas

Kebakaran Hutan Desa Tongging Kabupaten Karo” dibawah bimbingan Dr. Delvian, SP, MP dan Dr. Deni Elfiati, SP, MP.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan hasil penelitian yang berjudul “Isolasi Dan Potensi Jamur Pelarut Fosfat Pada Lahan Bekas Kebakaran Hutan Desa Tongging Kabupaten Karo”ini dengan baik.

Dalam kesempatan penulis mengucapkan terimakasih kepada komisi pembimbing saya Dr. Delvian SP, MP sebagai ketua dan Dr. Deni Elfiati SP, MP anggota yang telah membimbing dan memberikan berbagai masukan yang bermanfaat kepada penulis. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada seluruh pihak yang mendukung penyelesaian penulisan hasil penelitian ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan hasil penelitian ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan, baik dalam penyusunan kata maupun dalam penulisannya, oleh sebab itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi penyempurnaan penulisan hasil penelitian ini. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.

Medan, January 2013


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRAK ... ii

RIWAYAT HIDUP ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 4

Hipotesis Penelitian ... 4

Kegunaan Penelitian ... 5

TINJAUAN PUSTAKA Tanah Bekas Kebakaran ... 6

Peranan dan Sumber Fosfat ... 7

Mikroba Pelarut Fosfat ... 8

Jamur Pelarut Fosfat ... 11

BAHAN DAN METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat ... 14

Bahan dan Alat ... 14

Prosedur Penelitian... 15

Pengambilan contoh tanah ... 15

Isolasi jamur pelarut fosfat ... 15

Uji potensi pada media padat ... 16

Uji potensi pada media cair ... 17

Identifikasi JPF yang potensial melarutkan fosfat ... 19

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Sifat kimia Sampel Tanah Bekas Kebakaran ... 20

Isolasi Jamur Pelarut Fosfat dari Bahan Tanah Bekas Kebakaran ... 24

Kemampuan JPF melarutkan P dalam media Pikovskaya padat ... 27

Kemampuan JPF melarutkan P dalam media Pikovskaya cair ... 32

Identifikasi JPF yang potensial dalam melarutkan fosfat ... 38

Aspergillus sp ... 40

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 42

Saran ... 42


(9)

DAFTAR TABEL

No. Halaman 1. Hasil analisis sifat kima sampel tanah bekas kebakaran ... 20 2. Hasil pengukuran indeks kelarutan dalam media Pikovskaya padat ... 28 3. Kemampuan isolat dalam melarutkan

berbagai sumber fosfat dalam media cair ... 33 4. Hasil pengukuran pH media sumber P setelah 7 hari inokulasi ... 35 5. Penampakan isolat JPF potensial secara makrokopis


(10)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman 1. Morfologi Aspergillus ... 39 2. Aspergillus dibawah mikroskop (perbesaran 40 kali) ... 39


(11)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

1. Hasil pengukuran indeks pelarutan dalam media Pikoskaya padat ... 47

2. Tabel rataan pengukuran P-avl dan ANOVA ... 50

3. Tabel rataan pengukuran pH dan ANOVA ... 52

4. Dokumentasi tahap penelitian ... 54

5. Kriteria penilaian sifat kimia tanah Staf Pusat Penelitian Tanah Bogor (1983) dan BPP-Medan (1982) ... 55


(12)

ABSTRACT

EVA SERTA P SITORUS: Isolation of Potential Mushroom Phosphates Solvents in the Village Land forest fire Tongging Karo, under the guidance of Dr. DELVIAN SP, MP and Dr. DENI ELFIATI SP, MP.

The research was carried out to isolate, examine and identify potential phosphate solubilizing fungi (PSF) to solubilize insoluble phosphate from of the former forest fire Tongging village, Karo. Samples taken from fifty points in a zig-zag at 0-20 cm depth around rhizosfir. The chemical analyze properties of the former forest fire soils conducted in North Sumatra Assessment Institute for Agricultural Technology while the activities of isolation, and identification of potential trials conducted at the Laboratory of Soil Biology Agroekoteknologi Studies Program Faculty of Agriculture, University of North Sumatra. Isolation using Pikovskaya media with the source fosfat from Ca3(PO4)2, whereas in the potential test media using Ca3(PO4)2, AlPO4, FePO4 dan Rock Phosphate (RP). as source of insoluble phosphate. Evaluate the potential JPF qualitatively by measuring the diameter of holozone extensive use of the dilution index. JPF potential measurements quantitatively by measuring levels of dissolved phosphate with Bray-II method.

The results obtained 7 isolates of isolation of pure PSF. The next test conducted on the potential of isolates obtained. Largest diameter of 2,463cm holozone generated isolates 2 and the smallest diameter of 0,535 cm isolates produced 4. The measurement results are available most of the phosphate levels were 6 isolates of 46,422 ppm (FePO4 ) and the smallest by 1 isolates of 7,875 ppm (FePO4). Based on test results concluded the potential for isolates 1, 2and 6 have the best ability in dissolving phosphate. The results both of macroscopic and microscopically identification showed that isolate number 1, 2 and 6 including of Aspergillus genus.


(13)

ABSTRAK

EVA SERTA P SITORUS: Isolasi Dan Potensi Jamur Pelarut Fosfat Pada Lahan Bekas Kebakaran Hutan Desa Tongging Kabupaten Karo. Dibawah bimbingan Dr. DELVIAN SP, MP dan Dr. DENI ELFIATI SP, MP.

Penelitian ini dilakukan untuk mengisolasi, menguji potensi serta mengindentifikasi jamur pelarut fosfat (JPF) unggul dari lahan bekas kebakaran hutan Desa Tongging, Kabupaten Karo. Sampel diambil dari 50 titik secara zig-zag pada kedalaman 0-20cm di sekitar rhizosfir. Analisis sifat kimia tanah bekas kebakaran dilakukan di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara sedangkan isolasi, uji potensi serta identifikasi dilaksanakan di Laboratorium Biologi Tanah Program Studi Agroekoteknologi Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Isolasi menggunakan media Pikovskaya dengan sumber fosfat Ca3(PO4)2, sedangkan pada media uji potensi sumber fosfat dari Ca3(PO4)2, AlPO4, FePO4 dan Batuan fosfat (RP). Evaluasi potensi JPF secara kualitatif dengan mengukur luas diameter holozone menggunakan nilai indeks pelarutan. Pengukuran potensi JPF secara kuantitatif dengan mengukur kadar fosfat terlarut dengan metode Bray-II.

Hasil isolasi diperoleh 7 isolat JPF murni. Selanjutnya dilakukan uji potensi pada isolat yang diperoleh. Diameter holozone terbesar yaitu 2,463cm dihasilkan isolat 2 dan diameter terkecil sebesar 0,535 cm dihasilkan isolat 4. Hasil pengukuran kadar fosfat tersedia paling besar adalah isolat 6 yaitu 46,422 (sumber fosfat FePO4) ppm dan paling kecil oleh isolat 1 yaitu 7,875 ppm (sumber fosfat FePO4). Berdasarkan hasil uji potensi disimpulkan isolat 1, 2 dan 6 memiliki kemampuan paling baik dalam melarutkan fosfat. Hasil indentifikasi baik secara makroskopis dan mikroskopis menunjukkan bahwa isolat 1, 2 dan 6 termasuk genus Aspergillus


(14)

Latar Belakang

Kebakaran hutan dan lahan dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan pada sifat tanah. Sebagai suatu sistem dinamis tanah akan selalu mengalami perubahan-perubahan yaitu pada sifat fisik, kimia, ataupun biologinya. Perubahan-perubahan ini terutama karena pengaruh berbagai unsur iklim, tetapi tidak sedikit pula yang dipercepat oleh tindakan atau perlakuan manusia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa struktur tanah juga akan mengalami kerusakan karena kebakaran hutan. Terjadinya kebakaran hutan akan menghilangkan vegetasi di atas tanah, apabila terjadi hujan maka hujan akan langsung mengenai permukaan atas tanah, mendapatkan energi pukulan hujan lebih besar, karena tidak lagi tertahan oleh vegetasi penutup tanah. Kondisi ini akan menyebabkan rusaknya struktur tanah (Purbowaseso, 2004).

Pengaruh yang merugikan pada sifat fisik tanah akan jelas nampak, seperti perubahan pada tektur, warna tanah, kerapatan lindak (Bulk Density), ruang pori, kadar air tanah (kapasitas lapang, titik layu permanen, kadar air tersedia). sedangkan pengaruh pada sifat kimia tanah biasanya tidak merugikan tetapi menguntungkan. Pembakaran cenderung menaikkan pH tanah karena endapan abu yang bersifat basa. Abu terutama terdiri atas elemen-elemen kalsium, magnesium, kalium dan fosfor. Kenaikan pH ini cenderung menambah ketersedian fosfor dan proporsi nitrogen nitrat yang lebih mudah tercuci (Marjenah, 2005).

Kebakaran hutan juga berdampak terhadap biota-biota tanah yang terdapat pada areal hutan yang terbakar tersebut. Makroorganisme tanah seperti cacing tanah yang dapat meningkatkan aerasi dan drainase tanah serta mikroorganisme


(15)

unsur hara P, Zn, Cu, Ca, Mg dan Fe akan terbunuh. Akibat dari kebakaran hutan langsung berpengaruh terhadap kehidupan fauna tanah yang ada di permukaan maupun di dalam tanah (Abidin, 2004).

Kebakaran hutan, secara langsung mempengaruhi seluruh kelompok organisme tanah dan mengalami penurunan. Pengaruh langsung ini akibat panas yang dihasilkan dari pembakaran, sehingga organisme tanah banyak yang mengalami kematian. Perubahan suhu tanah dan hilangnya lapisan serasah, juga bisa menyebabkan perubahan terhadap karakteristik habitat dan iklim mikro Abidin (2004) menyatakan bahwa penurunan organisme tanah setelah kebakaran, baik secara langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan makanan untuk organisme kecil dan tersedianya makanan bagi predator. Kebakaran hutan menyebabkan bahan makanan untuk organisme menjadi sedikit, kebanyakan organisme tanah mudah mati oleh api dan segera menyebabkan perubahan dalam habitat, hal ini kemungkinan menyebabkan penurunan jumlah mikroorganisme yang sangat besar dalam habitat. Efek negatif ini biasanya bersifat sementara dan populasi organisme tanah akhirnya kembali menjadi banyak lagi dalam beberapa tahun (Sutedjo dan Kartasapoetra , 2005).

Keberadaan mikroba pelarut fosfat dipengaruhi pH tanah. Pada kondisi masam jamur pelarut fosfat (JPF) dapat tumbuh optimum dibanding bakteri dan aktinomisetes. Kondisi kering setelah kebakaran pada permukaan hutan yang sesuai untuk pertumbuhan JPF serta potensinya dalam melarutkan fosfat pada kondisi masam, menjadi peluang untuk mengembangkan JPF pada areal tersebut. Jamur pelarut fosfat juga dapat dijadikan starter pupuk hayati untuk rehabilitasi lahan bekas kebakaran. Penggunaan biofertilizer seperti JPF selain murah juga


(16)

tidak menimbulkan dampak negatif terhadap tanah dan lingkungan (Ginting dkk., 2006).

Penggunaan mikroba pelarut P sebagai pupuk hayati mempunyai keunggulan antara lain hemat energi, tidak mencemari lingkungan, mampu membantu meningkatkan kelarutan P yang terjerap, menghalangi terjerapnya P oleh unsur-unsur penjerap dan mengurangi toksisitas Al3+, Fe3+ dan Mn2+ terhadap tanaman pada tanah masam. Pada jenis-jenis tertentu, mikroba ini dapat memacu pertumbuhan tanaman karena menghasilkan zat pengatur tumbuh, serta menahan penetrasi patogen akar karena sifat mikroba yang cepat mengkolonisasi akar dan menghasilkan senyawa antibiotik (Jones, 1982).

Didalam tanah, fosfat dapat berbentuk organik dan anorganik yang merupakan sumber fosfat penting bagi tanaman. Fosfat organik berasal dari bahan organik, sedangkan fosfat anorganik berasal dari mineral-mineral yang mengandung fosfat. Pelarutan senyawa fosfat oleh mikroorganisme pelarut fosfat berlangsung secara kimia dan biologis baik untuk bentuk fosfat organik maupun anorganik. Mikroorganisme pelarut fosfat membutuhkan adanya fosfat dalam bentuk tersedia dalam tanah untuk pertumbuhannya (Premono, 1994).

Pelarutan fosfat secara biologis terjadi karena mikroorganisme tersebut menghasilkan enzim antara lain enzim fosfatase dan enzim fitase. Fosfatase dieksresikan oleh akar tanaman dan mikroorganisme, dan di dalam tanah yang lebih dominan adalah fosfatase yang dihasilkan mikroorganisme. Pada proses mineralisasi bahan organik, senyawa fosfat organik diuraikan menjadi bentuk fosfat anorganik yang tersedia bagi tanaman dengan bantuan enzim fosfatase.


(17)

Enzim fosfatase dapat memutuskan fosfat yang terikat oleh senyawa-senyawa organik menjadi bentuk yang tersedia (Premono, 1994).

Selama ini isolasi jamur pelarut fosfat umum dilakukan pada tanah mineral dan masih sedikit isolasi serupa pada tanah bekas kebakaran hutan. Atas dasar inilah penelitian ini dilakukan, untuk dapat melihat keberadaan jamur pelarut fosfat pada lahan bekas kebakaran dan menguji potensinya dalam melarutkan ikatan fosfat dari berbagai sumber P yang berbeda, menggunakan berbagai sumber P yang berbeda bertujuan untuk menunjukkan kemampuan JPF dalam melarutkan/ melepaskan P yang terdapat pada tanah-tanah masam (Ginting dkk., 2006).

Kemampuan tiap JPF tumbuh dan melarutkan fosfat berbeda-beda yang diidentifikasi dari waktu terbentuk dan luas holozone. JPF yang unggul akan mengasilkan diameter holozone yang paling besar dibandingkan dengan koloni lainnya. Kemampuan JPF dalam melarutkan P berbeda-beda tergantung jenis strain (Ginting dkk., 2006).

Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengisolasi jamur pelarut fosfat, dan mengkaji kemampuannya melarutkan fosfat serta mengidentifikasi jamur pelarut fosfat paling potensial disekitar rhizosfer vegetasi alang-alang pada lahan bekas kebakaran hutan Desa Tongging Kabupaten Karo.

Hipotesis

Setiap isolat jamur pelarut fosfat (JPF) mempunyai kemampuan yang berbeda dalam melarutkan P dari berbagai sumber yang berbeda.


(18)

Kegunaan Penelitian

Memberikan informasi mengenai jamur pelarut fosfat pada lahan bekas kebakaran hutan Desa Tongging Kabupaten Karo dan sebagai rekomendasi untuk dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesuburan tanah bekas kebakaran.


(19)

TINJAUAN PUSTAKA

Tanah Bekas Kebakaran

Perubahan kondisi fisik dan kimia tanah akibat kebakaran akan berakibat terhadap organisme tanah, termasuk mikroba yang perperan sebagi dekomposisi dalam tanah. Mikroba ini mendegradasi senyawa-senyawa kompleks dalam tanah menjadi unsur yang lebih sederhana sehingga dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan dan dekomposer lain sebagai sumber nutrisi. Dengan demikian peranan mikroba penting sebagai penunjang suksesi dalam hutan pasca kebakaran. Salah satu peranan mikroba tanah ini adalah mendegrasasi selulosa dan melarutkan phospat inorganik. Selulosa memegang peranan penting dalam siklus karbon di alam (Schwarz, 2001) dan merupakan senyawa terbesar.

Dalam peristiwa biokimia, kebakaran cenderung dapat meningkatkan konsentrasi dan pergerakkan yang pasti dari elemen-elemen yang mudah larut, khususnya dari kation potassium, kalsium dan magnesium; mengurangi persen dari beberapa anion seperti fosfat dan sulfat; mengurangi jumlah dari nitrogen organik dan meningkatkan daripada nitrogen inorganik; menaikkan kadar pH dan membebaskan residu dari karbon dalam bentuk abu dan arang. Adapun kaitannya dalam intensitas dan pusat terjadi kebakaran, material-material ini akan hilang/lepas dari sistem yang disebabkan oleh angin, erosi oleh air dan proses leaching yang terjadi secara terus menerus pada profil tanah. Kondisi seperti ini mungkin saja terjadi pada profil tanah, sebagian pada beberapa tempat penting untuk cadangan makanan di permukaan tanah dan lainnya seperti pada lapisan Water Repellency dalam tanah (Priandi, 2006).


(20)

Peranan dan Sumber Fosfat

Fosfat merupakan nutrient essensial yang diperlukan oleh tanaman dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya. Fosfat sebenarnya terdapat dalam jumlah yang melimpah dalam tanah, namun sekitar 95-99% terdapat dalam bentuk fosfat tidak terlarut sehingga tidak dapat digunakan oleh tanaman. Peningkatan keterediaan fosfat bagi tanaman diusahakan dengan pengunaan pupuk fosfat anorganik maupun organik. Tetapi setelah aplikasi, ternyata sejumlah besar fosfat bentuk tersedia dari pupuk langsung diubah kedalam bentuk tidak terlarut Sehingga pemanfaatan pupuk tersebut kurang efektif sehingga memerlukan perlakuan yang berkelanjutan dan tentunya biaya yang tinggi (Lal, 2002).

Normasari (2005), menjelaskan bahwa fosfor merupakan bagian integral tanaman di bagian penyimpanan (storage) dan pemindahan (transfer) energi. Fosfor terlibat pada penangkapan cahaya dari sebuah molekul klorofil. Begitu energi tersebut sudah tersimpan dalam ADP (adenosine diphosphate) atau ATP (adenosine triphosphate), maka akan digunakan untuk menjalankan reaksi-reaksi yang memerlukan energi, seperti pembentukan sukrosa, tepung dan protein.

Fosfat selalu diserap oleh tanaman sebagai H2PO4-, HPO42- dan PO4 3-yang terutama berada di dalam larutan tanah. Ada hubungan 3-yang erat antara konsentrasi fosfor di dalam larutan tanah dengan pertumbuhan tanaman yang baik. Defisiensi fosfor selalu timbul akibat dari terlalu rendahnya konsentrasi H2PO4- dan HPO42- di dalam larutan tanah. Senyawa fosfor dalam bentuk larut yang dimasukkan ke dalam tanah untuk mengatasi defisiensi fosfor cepat sekali mengendap dan terikat oleh matriks tanah. Elemen fosfor di dalam tanah keba-nyakan ada dalam keadaan tidak larut, sehingga tidak mungkin masuk ke dalam


(21)

sel-sel akar. Tetapi sebagai anion fosfat ia mudah bertukar dengan OH- (Suprihadi, 2007).

Fosfat di dalam tanah terdapat dalam bentuk fosfat anorganik dan fosfat organik. Menurut Rosmarkam dan Yuwono (2002), berdasarkan kation-kation yang bersenyawa dengan fosfor, fosfor anorganik dapat dikelompokkan ke dalam calcium-bonded phosphates (Ca-P), aluminium-bonded phosphates (Al-P), dan iron-bonded phosphates (Fe-P). Fosfor organik mengandung senyawa-senyawa yang berasal dari tanaman dan mikroba dan tersusun dari asam nukleat, fosfolipid dan fitin. Materi organik yang berasal dari sampah tanaman mati dan membusuk kaya akan sumber-sumber fosfor organik (Suprihadi, 2007). Bentuk fosfor yang dominan di dalam tanah tergantung pada tingkat pelapukan dan pH tanah. Yang jelas, ketiga bentuk P tersebut mengikat P, sehingga konsentrasi fosfor di dalam larutan tanah selalu rendah.

Mikroba Pelarut Fosfat

Salah satu alternatif untuk meningkatkan efisiensi pemupukan fosfat dalam mengatasi rendahnya fosfat tersedia dalam tanah adalah dengan memanfaatkan kelompok organisme pelarut fosfat, yaitu mikroba yang dapat melarutkan fosfat tidak tersedia menjadi tersedia sehingga dapat diserap oleh tanaman. Pemanfaatan mikroba pelarut fosfat diharapkan dapat mengatasi P pada tanah masam ( Saparatka, 2003).

Mikroba pelarut fosfat terdiri atas bakteri, fungi dan sedikit aktinomisetes. Umumnya mikroorganisme pelarut fosfat secara alami berada ditanah berkisar 0,1-0,5 % dari total populasi mikroorganisme. Mikroba ini hidup terutama


(22)

disekitar perakaran tanaman, yaitu di daerah permukaan tanah sampai kedalam 25 cm dari permukaan tanah. Keberadaan mikroba ini berkaitan dengan banyaknya jumlah bahan organik yang secara langsung mempengaruhi kehidupan mikroba dan secara fisiologis mikroba yang berada dekat dengan daerah perakaran akan lebih aktif daripada yang hidup jauh dari daerah perakaran. Keberadaan mikroba pelarut fosfat beragam dari satu tempat ke tempat lainnya karena perbedaan sifat biologis mikroba itu sendiri. Terdapat mikroba yang hidup pada kondisi masam dan ada pula yang hidup pada kondisi netral dan basa, ada yang hipofilik,

mesofilik dan termofilik ada yang hidup aerob maupun anaerob (Ginting dkk., 2006).

Menurut Fitriatin dkk (2008), pelarutan fosfat oleh perakaran tanaman dan mikrob tergantung pada pH tanah. Pada tanah netral atau basa yang memiliki kandungan kalsium yang tinggi, terjadi pengendapan kalsium fosfat. Mikrob dan perakaran tanaman mampu melarutkan fosfat seperti itu dan mengubahnya sehingga dengan mudah menjadi tersedia bagi tanaman. Sebaliknya, tanah yang asam umumnya miskin akan ion kalsium, dan karenanya fosfat diendapkan dalam bentuk senyawa besi atau aluminium yang tidak dengan mudah dapat dilarutkan oleh perakaran tanaman atau oleh mikrob tanah. Apabila kondisi semacam ini terus-menerus berlangsung dalam tanah yang asam, maka akan terjadi pula defisiensi fosfor pada tanaman. Salah satu cara untuk memperbaiki defisiensi fosfor pada tanaman ialah dengan menginokulasi biji atau tanah dengan mikrob pelarut fosfat bersama-sama dengan pupuk berfosfat.

Pelarutan senyawa fosfat oleh mikroba pelarut fosfat berlangsung secara kimia dan biologis baik untuk bentuk fosfat organik maupun anorganik. Mikroba


(23)

pelarut fosfat membutuhkan adanya fosfat dalam bentuk tersedia dalam tanah untuk pertumbuhannya. Mekanisme kimia pelarutan fosfat dimulai saat mikroba pelarut fosfat mengekresikan sejumlah asam organik berbobot molekul rendah hasil metabolisme seperti asetat, propionat, glutamat, formiat, glikolat, fumarat, oksalat, suksinat, tartarat, sitrat, laktat, malat, fumarat dan α-ketoglutarat. Meningkatnya asam-asam organik tersebut diikuti dengan penurunan pH. Penurunan pH ini diduga akibat pembebasan sejumlah asam-asam organik oleh JPF. Hal ini merupakan bentuk adaptasi JPF terhadap media yang mengandung P terikat yang lebih tinggi dari P terlarut (Poeponegoro, 2005)

Berdasarkan penelitian Nasution (2005), perubahan pH berperan penting dalam peningkatan kelarutan fosfat. Asam-asam organik tersebut akan bereaksi dengan bahan pengikat fosfat seperti Al3+, Fe3+, Ca2+ atau Mg2+ membentuk khelat organik yang stabil yang mampu membebaskan ion fosfat terikat sehingga dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan (Mehrvarz dkk, 2008). Asam organik dapat meningkatkan ketersediaan P di dalam tanah melalui beberapa mekanisme diantaranya adalah: (1) anion organik bersaing dengan ortofosfat pada permukaan tapak jerapan koloid tanah yang bermuatan positif, sehingga memperbesar peluang ortofosfat dapat diserap oleh tanaman; (2) pelepasan ortofosfat dari ikatan logam P melalui pembentukan kompleks logam organik dan (3) modifikasi muatan permukaan jerapan oleh ligan organik (Ginting dkk., 2006).

Fosfor juga mengalami mineralisasi dan immobilisasi. Proses tersebut dipengaruhi oleh persentase fosfor dari sisa tanaman yang terurai dan nutrien yang dibutuhkan oleh populasi mikroba. Bila terjadi kelebihan fosfor dibanding kebutuhan nutrisi mikroba akan terjadi akumulasi fosfat anorganik. Sebaliknya


(24)

anorganik. Pertumbuhan mikroba membutuhkan fosfor yang penting untuk pembentukan sel. Pertumbuhan mikroba dipengaruhi oleh ketersediaan senyawa fosfor siap pakai dalam habitatnya (Chapelle, 2001).

Mikroba pelarut fosfat juga memiliki kemampuan dalam mensekresikan enzim fosfatase yang berperan dalam proses hidrolisasi P organik manjadi P anorganik. Beberapa kelompok fungi juga berperan aktif dalam melarutkan fosfat dalam tanah antara lain Aspergillus sp. dan Penicillium sp. mampu melarutkan Al-P dan Fe-Al-P. Penicillium sp. mampu melarutkan 26 % hingga 40 % Ca3(PO4)2, sedangkan Aspergillus sp melarutkan 18 % Ca3(PO4)2. Aktivitas mikroba pelarut fosfat perlu dimanfaatkan untuk penyediaan unsur hara bagi pertumbuhan dan hasil tanaman yang optimal. Aktivitas dan kepadatan populasi mikroba tanah ditentukan oleh perubahan kondisi fisika dan kimia tanah jenis tanaman yang dibudidayakan, nutrisi tanah, pH, kelembaban, bahan organik serta teknik budidaya yang diterapkan. Populasi MPF berbeda pada beberapa jenis tanah serta sesuai dengan keragaman tanaman yang dibudidayakan ( Fitriatin dkk., 2007).

Jamur Pelarut Fosfat

Jamur pelarut fosfat merupakan salah satu anggota mikroba tanah yang dapat meningkatkan ketersediaan dan pengambilan P oleh tumbuhan. Bentuk ikatan P yang umum ditemui pada kondisi masam adalah AlPO4 dan FePO4. Jamur pelarut fosfat mampu melarutkan P dalam bentuk AlPO4 lebih baik dibanding BPF pada kondisi masam. Penelitian Lestari dan Saraswati (1997) melaporkan bahwa jamur pelarut P mampu meningkatkan kadar fosfat terlarut sebesar 27-47% di tanah masam. Penelitian Goenadi dan Saraswati (1994),


(25)

menunjukkan JPF mampu melarutkan fosfat 12-162 ppm di media Pikovskaya dengan sumber P dari AlPO4.

Jamur pelarut fosfat memiliki 3 mekanisme dalam meningkatkan penyerapan P yaitu: (1) secara fisik dimana infeksi jamur pada akar tanaman dapat membantu pengambilan fosfor dengan memperluas permukaan sampai akar; (2) secara kimia jamur diduga mendorong perubahan pH perakaran. Jamur juga menghasilkan asam sitrat dan asam oksalat yang menggantikan posisi ion fosfat yang terfiksasi; (3) secara fisiologi, jamur menghasilkan hormon auksin, sitokinin dan giberelin yang mampu memperlambat proses penuaan akar sehingga memperpanjang masa penyerapan unsur hara (Premono, 1998).

Prinsip dasar isolasi mikroba pelarut fosfat ialah menyeleksi mikroba dalam media pertumbuhan spesifik yang mengandung sumber P terikat. Kemampuan mikroba pelarut fosfat dalam melarutkan fosfat terikat dapat diketahui dengan mengembangkan biakan murni pada media Pikovskaya yang berwarna putih keruh, karena mengandung P tidak larut air seperti kalsium fosfat Ca3(PO4)2. Pertumbuhan mikroba pelarut fosfat dicirikan dengan zona bening (holozone) di sekeliling koloni mikroba. Mikroba pelarut fosfat yang potensial dapat diseleksi dengan melihat luas zona bening paling besar pada media padat. Pengukuran potensi pelarutan fosfat secara kualitatif ini menggunakan nilai indeks pelarutan (dissolving index), yaitu nisbah antara diameter zona jernih terhadap diameter koloni. Kemampuan pelarut fosfat terikat secara kuantitatif dapat diukur dengan membiakkan mikroba pada media Pikovskaya cair. Kandungan P terlarut dalam media cair tersebut diukur setelah masa inkubasi (Setiawati, 1997).


(26)

Penggunaan mikroba pelarut fosfat dapat mensubstitusi sebagian atau seluruhnya kebutuhan tanaman akan pupuk P, tergantung pada kandungan P tanahnya dan memberikan hasil yang positif terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman ( Isgitani dkk., 2005).


(27)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai November 2012 Pengambilan sampel tanah dilakukan dilahan bekas kebakaran hutan Desa Tongging Kabupaten Karo. Analisis tanah dilaksanakan di Laboratorium Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara. Isolasi jamur dan uji potensi jamur pelarut fosfat dilaksanakan di Laboratorium Biologi Tanah Program Studi Agroekoteknologi Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan adalah contoh tanah disekitar rhizosfer vegetasi alang-alang pada lahan bekas kebakaran hutan yang terjadi sekitar 2 tahun yang lalu, kapas, akuades, kantung plastik, label, alkohol 96%, plastik kraf, aluminium foil, kaca preparat, kaca objek dan kertas saring (whatman No 42). Media padat Pikovskaya untuk komposisi per liter akuades: (glukosa 10 g; Ca3(PO4)2 5 g; (NH4)2SO4 0,5 g; KCl 0,2 g; MgSO4.7H2O 0,1 g; MnSO4 0,002 g; FeSO4 0,002 g; ekstrak khamir 0,5 g; agar 20 g; akuades), larutan fisiologis (8,5 g NaCl per liter akuades), AlPO4 5 gr, FePO4 5 gr dan batuan fosfat 5 gr.

Alat yang digunakan adalah cangkul, Erlenmeyer 250 ml, pipet tetes, cawan petri, tabung reaksi, timbangan, inkubator, laminar air flow, gelas ukur volume 100 ml, autoklaf, rotarimixer, sentrifuse 6000 rpm, shaker, jarum ose, sprayer, kamera digital, masker, sarung tangan, bunsen, kotak es (cool box) dan mikroskop.


(28)

Prosedur Penelitian

1. Pengambilan contoh tanah

Pengambilan sampel diambil secara zig-zag dari 50 titik pada kedalaman 0-20 cm di sekitar rhizosfer tanaman menggunakan cangkul. Berat tanah yang diambil pada tiap titik adalah 250 g sehingga total berat sampel tanah adalah 12500 g. Sampel tanah dari tiap titik dimasukkan dalam kantung plastik yang terpisah. Sampel tanah selanjutnya dibawa ke laboratorium biologi tanah untuk kegiatan penelitian selanjutnya. Sampel tanah dianalisis pH, C-organik, N-total, P-tersedia, P-total dan Al-dd di Laboratorium Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara.

2. Isolasi jamur pelarut fosfat

Sepuluh (10) g tanah dimasukkan ke dalam Erlenmeyer 250 ml yang berisi 90 ml larutan fisiologis steril (pengenceran 10-1), kemudian dikocok selama 30 menit pada shaker. Dibuat pengenceran secara serial, dari pengenceran 10-1 diambil 1 ml dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang telah berisi 9 ml larutan fisiologis steril (pengenceran 10-2) selanjutnya dikocok di atas rotarimixer sampai homogen. Dari pengenceran 10-2 dipipet sebanyak 1 ml dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi 9 ml larutan fisiologis (disebut pengenceran 10-3) dilakukan hal serupa berturut-turut sampai pengenceran 10-5. Dari pengenceran 10-3 dipipet sebanyak 1 ml, masukkan ke dalam cawan petri yang telah steril dan dilakukan hal yang sama pada pengenceran 10-4 dan 10-5. Dipakai suspensi tanah dari 3 pengenceran sebagai antisipasi bila pada pengenceran tersebut tidak diperoleh jamur pelarut fosfat. Selanjutnya tuangkan 12 ml media


(29)

Pikovskaya (suhu sekitar 45-50ºC) ke dalam cawan petri yang telah berisi 1 ml suspensi tanah, lalu putar cawan petri kearah kanan 3 kali dan ke arah kiri 3 kali agar media bercampur secara merata, biarkan sampai media mengeras (padat). Setelah media mengeras, cawan petri diinkubasi pada inkubator dalam keadaan terbalik selama 3 hari dengan suhu 28-30ºC. Setelah diinkubasi selama 3 hari dilakukan pengamatan pada jamur yang tumbuh pada media. Keberadaan jamur pelarut fosfat ditunjukkan dengan terbentuknya daerah bening (holozone) yang mengelilingi koloni jamur. Koloni tersebut kemudian dimurnikan pada media baru dan dipindahkan ke tabung reaksi yang berisi media Pikovskaya, disimpan pada suhu 4°C untuk pengujian selanjutnya.

3. Uji potensi pada media padat

Jamur pelarut fosfat yang murni selanjutnya diuji kemampuannya melarutkan fosfat dalam cawan petri berisi media Pikovskaya padat steril. Bahan yang digunakan dalam pembuatan media uji ini sama dengan bahan media Pikovskaya pada tahap isolasi, namun Ca3(PO4)2 g/L pada media isolasi diganti dengan AlPO4, FePO4, dan Batuan fosfat (RP) dengan dosis 5 g/L media. Media uji dimasukkan dalam cawan petri dan dibiarkan mengeras. Selanjutnya biakan murni ditumbuhkan pada media uji. Tiap biakan murni diberi 3 ulangan untuk mendapatkan rataan hasil yang valid. Inkubasi dilaksanakan selama 7 hari. Jamur pelarut fosfat yang membentuk holozone paling cepat dengan diameter paling besar secara kualitatif di sekitar koloni menunjukkan besar kecilnya potensi jamur pelarut fosfat dalam melarutkan unsur P dari bentuk yang tidak terlarut. Dihitung


(30)

potensi jamur dengan menggunakan nilai indeks pelarutan yaitu nisbah antara diameter zona jernih terhadap diameter koloni (Premono, 1998).

4. Uji potensi pada media cair

Jamur pelarut fosfat yang terpilih selanjutnya diuji kemampuannya melarutkan fosfat pada media Pikovskaya cair. Pengujian menggunakan Rancangan Acak Lengkap Faktorial dengan tiga kali ulangan dan dua faktor perlakuan.

a. Faktor yang diuji adalah jamur pelarut fosfat sebagai faktor pertama yang terdiri atas, yaitu:

J1 = isolat 1 J2 = isolat 2

J3 = isolat 3

b. Faktor kedua yaitu sumber P pada media Pikovskaya cair terdiri dari: P1 = Ca3PO4

P2 = AlPO4

P3 = FePO4 dan P4 = Batuan fosfat (RP Sehingga diperoleh kombinasi perlakuan adalah sebagai berikut :

J1P1 J2P1 J3P1 J1P2 J2P2 J3P2 J1P3 J2P3 J3P3 J1P4 J2P4 J3P4

Dengan demikian jumlah perlakuan (4 x 3) x 3 = 36 satuan percobaan. Model linier Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial yang digunakan dalam percobaan ini adalah sebagai berikut :


(31)

Yij = µ + αi + βj + (αβ)ij + ɛ ij Keterangan :

Yij = Nilai pengamatan pada percobaan ke-k yang memperoleh perlakuan taraf ke-i dari faktor A dab taraf ke-j dari faktor ke B

µ = Nilai tengah umum

αi = Perlakuan faktor A pada taraf ke-i βj = Perlakuan faktor B pada taraf ke-j

(αβ)ij = Pengaruh interaksi dari faktor A ke-i dan faktor B ke-j

ɛ ij = Galat percobaan dari satuan percobaan ke-k pada kombinasi taraf ke-i faktor A dan taraf faktor B.

Untuk mengetahui pengaruh dari setiap perlakuan maka akan dilakukan analisis sidik ragam (Anova). Apabila Fhitung nyata atau sangat nyata maka dilanjutkan dengan uji lanjutan berdasarkan uji jarak Duncan (Duncan Multiple Range Test).

Prosedur uji potensi pada media cair

Sebanyak 50 ml media Pikovskaya cair ditempatkan dalam Erlenmeyer 250 ml dan sebanyak satu jarum ose biakan murni jamur pelarut fosfat diinokulasikan pada media cair tersebut, selanjutnya diinkubasi secara diam dilakukan selama 7 hari pada suhu kamar. Setelah proses inokulasi selesai, kultur disentrifugasi dengan kecepatan 6000 rpm selama 10 menit sampai terjadi pemisahan antara filtrat dengan endapan jamur pelarut fosfat. Diambil filtrat dengan menggunakan pipet untuk mengukur kandungan P tersedia. Filtrat ditentukan kadar P-tersedianya dengan metode kolorimetri dan dihitung dengan Bray-2. Setelah itu,


(32)

digunakan pH meter untuk mengetahui pengaruh pelarutan fosfat oleh jamur terhadap pH media.

6. Identifikasi jamur pelarut fosfat yang potensial melarutkan fosfat

Setelah diperoleh jamur pelarut fosfat paling potensial selanjutnya dilakukan identifikasi pada jamur tersebut. Biakan murni jamur diremajakan pada media potato dextrose agar (PDA) dan diinkubasi selama 3 hari. Jamur yang telah tumbuh pada media, diamati ciri-ciri makroskpisnya, yaitu ciri koloni seperti sifat tumbuh hifa, warna koloni dan diameter koloni. Jamur juga ditumbuhkan pada kaca objek yang diberi potongan PDA yang dioles tipis dengan spora JPF potensial. Potongan agar kemudian ditutup dengan kaca objek. Biakan pada kaca objek ditempatkan dalam cawan petri yang telah diberi pelembab berupa kapas basah. Biakan pada kaca diinkubasi selama 3 hari pada kondisi ruangan. Setelah masa inkubasi, jamur yang tumbuh pada kaca preparat diamati ciri mikroskopisnya yaitu ciri hifa, tipe percabangan hifa, serta ciri-ciri konidia dibawah mikroskop. Ciri yang ditemukan dari masing-masing jamur kemudian dideskripsikan dan dicocokkan dengan buku indentifikasi jamur (Gilman, 1971).


(33)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Sifat Kimia Sampel Tanah Bekas Kebakaran

Keberadaan mikroba di dalam tanah terutama dipengaruhi oleh sifat kimia tanah. Hasil analisis sifat kimia sampel tanah dapat di lihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil Analisis sifat kimia sampel tanah bekas kebakaran

Parameter Satuan Nilai Kriteria

pH (H2O) - 5.00 Masam

C- Organik % 3.36 Tinggi

N- Total % 0.26 Sedang

P- Tersedia Ppm 23.90 Sedang

P- Total % 60.53 Sangat tinggi

Al-dd me/100g Td*) -

Sumber kriteria: Staf Pusat Penelitian Tanah-Bogor dan BPP-Medan Td*) artinya tidak terdeteksi

Berdasarkan hasil analisis sifat kimia tanah terlihat bahwa reaksi tanah atau pH sampel tanah bekas kebakaran termasuk dalam tanah yang bereaksi masam. Hal ini diduga karena adanya curah hujan menyebabkan basa-basa tercuci atau erosi yang terjadi telah mentransportasikan akumulasi basa-basa sisa abu pembakaran ke tempat lain. Proses erosi yang terjadi pada lahan tersebut sangat intensif akibat terjadi kebakaran yang berulang-ulang, yang dapat menyebabkan terjadinya pemadatan tanah sehingga memperburuk sifat fisik tanah seperti porositas tanah menurun dan kemampuan tanah menyerap air menurun serta meningkatkan aliran permukaan. Rendahnya pH ini juga bisa diduga dari jumlah abu yang dihasil dari pembakaran lebih sedikit, disebabkan karena pencucian permukaan oleh curah hujan yang tinggi. Pendapat ini mengacu pada Pritchett


(34)

(1979) yang menyatakan bahwa perubahan kemasaman dalam tanah setelah kebakaran hutan sangat tergantung pada kandungan abu yang tersedia.

Sanchez (1993), menyatakan bahwa setelah terjadi kebakaran, pH tanah naik dan berangsur-angsur turun sejalan dengan waktu karena adanya pencucian basa. Besar dan kecepatan perubahan ini berbeda-beda menurut sifat tanah dan banyaknya abu yang dihasilkan dari sisa pembakaran. Penurunan pH akan diikuti kejenuhan basa yang rendah. Hal ini juga berarti ketersediaan hara yang semakin kecil. Marjenah (2007), menyatakan pembakaran cenderung menaikkan pH tanah karena endapan abu yang bersifat basa. Abu terutama terdiri atas elemen-elemen kalsium, magnesium, kalium dan fosfor. Kenaikan pH cenderung menambah ketersedian fosfor dan proporsi nitrogen nitrat yang lebih mudah tercuci.

Ketersediaan fosfat dalam tanah sangat dipengaruhi oleh pH karena P sangat rentan diikat pada kondisi masam maupun alkalin. Ketersediaan fosfat akan menurun pada pH <5,5 atau >7,0. Pada kondisi masam aktivitas besi dan aluminium yang tinggi menjadi unsur pengikat P yang utama. Pada kondisi alkalin aktivitas fiksasi atau jerapan dilakukan oleh kalsium dan magnesium yang banyak tersedia dan larut. Menurut Poerwowidodo (2000), umumnya ketersediaan fosfat dalam tanah maksimum dijumpai pada kisaran pH 5,5-7,0.

Hasil pengukuran C-organik sampel tanah bekas kebakaran adalah 3,36%. Nilai tersebut menggambarkan pada lahan bekas kebakaran memiliki simpanan karbon yang tinggi. Menurut Halimatusyadiah (2004) tingginya kandungan organik pasca kebakaran disebabkan karena adanya peningkatan kandungan C-organik. Peningkatan ini dipengaruhi oleh adanya penumpukan bahan-bahan organik dalam tanah karena terjadinya pemindahan bahan-bahan organik dari


(35)

bahan bakar yang terbakar pada saat kebakaran terjadi. Ketika hancur karena adanya kebakaran, bahan-bahan yang tidak mudah menguap akan tetap berada pada permukaan tanah mineral dalam bentuk abu. Hujan dapat menyebabkan berpindahnya bahan yang tidak dapat larut ke dalam tanah, pada saat sebagian bahan-bahan tersebut berada pada lapisan teratas, sebagian berpindah kebagian bawah setelah lapisan yang dapat dicapai akar tanaman dan sebagian lagi hilang karena terbawa oleh air. Kenaikan bahan organik ini juga berasal dari bahan bakar sisa pembakaran yang komponen utamanya berupa hemiselulosa, selulosa, dan lignin yang menjadi senyawa karbon berupa karbon dioksida (CO2) dan karbonat (CO3), CO2 dilepas dalam bentuk gas, sedangkan CO3 akan terakumulasi pada abu sehingga kandungan karbon di tanah akan meningkat. Selain itu adanya pertumbuhan tanaman setelah terjadi kebakaran juga ikut mendukung aktivitas biologi dan bahan organik dalam tanah. Peningkatan ini juga dimungkinkan karena adanya sisa-sisa tanaman yang ada pada lahan bekas kebakaran yang sebagian sudah terurai.

Sumber nitrogen dalam tanah adalah bahan organik dan senyawa-senyawa nitrogen hasil fiksasi nitrogen udara. Jumlah N di dalam tanah tergantung pada jumlah bahan organik dalam tanah tersebut. Tanah yang memiliki bahan organik tinggi akan mampu mempertahankan N yang lebih banyak Nitrogen diambil tanaman dalam bentuk amonium (NH4) dan nitrat (NO3). Pembakaran dapat menaikkan suhu tanah yang dapat menyebabkan nitrogen berupa amonium dan nitrat menguap (volatil) sehingga nitrogen total tanah cenderung menurun.

Kandungan nitrogen tanah berhubungan dengan organisme tanah yang dapat mengikat nitrogen baik simbiotik maupun non simbiotik. Organisme tanah


(36)

tersebut akan merombak bahan organik sehingga amonium (NH4) terlepas ke dalam tanah. Kemudian amonium tersebut akan diubah menjadi nitrat (NO3) oleh bakteri. Menurut Yudasworo (2001) pembakaran dapat menaikkan suhu tanah yang dapat menyebabkan nitrogen berupa amonium dan nitrat menguap sehingga nitrogen total tanah menurun. Penurunan kandungan N-total dan suplai nitrogen ke dalam tanah diduga disebabkan matinya mikroorganisme tersebut.

Kandungan bahan organik berhubungan dengan keadaan P-total serta hubungan antara bahan organik dengan pH tanah. Bahan organik mengandung berbagai hara, termasuk fosfat yang akan terlepas selama dekomposisi baik dalam bentuk P-terikat ataupun P-tersedia. Besarnya bahan organik yang terdekomposisi dipengaruhi pH tanah karena besarnya pH mempengaruhi jumlah mikroba pendekomposer. Jika pH mendukung, jumlah dan aktivitas dekomposer akan meningkat sehingga semakin besar hara yang dilepaskan dalam tanah. Menurut Hardjowigeno (2003), unsur P di dalam tanah berasal dari bahan organik dimana P dalam tanah terbentuk dalam P-organik dan P-anorganik.

Mikroba tanah mampu melarutkan fosfat secara biologis yang menghasilkan enzim fosfatase dan enzim fitase. Fosfatase merupakan enzim yang akan dihasilkan apabila ketersediaan fosfat rendah. Fosfatase diekskresikan oleh akar tanaman dan mikroorganisme, dan didalam tanah yang lebih dominan adalah fosfatase yang dihasilkan oleh mikroorganisme. Pada proses mineralisasi bahan organik, senyawa fosfat organik diuraikan menjadi bentuk fosfat anorganik yang tersedia bagi tanaman dengan bantuan enzim fosfatase. Enzim fosfatase dapat memutuskan fosfat yang terikat oleh senyawa-senyawa organik menjadi bentuk yang tersedia.


(37)

Aktivitas fosfatase dalam tanah meningkat dengan meningkatnya C-organik, temperatur dan kelembaban. Selain faktor diatas, kemasaman atau pH turut mempengaruhi aktivitas fosfatase. Hasil penelitian Fitriatin et al., (2008) menunjukkan bahwa pH media mempengaruhi aktivitas fosfatase. Jamur lebih dominan aktivitas fosfatasenya pada pH masam karena merupakan habitat yang baik untuk petumbuhannya yang optimum.

Jamur pelarut fosfat juga mampu melarutkan ikatan dalam bentuk AlPO4 dan FePO4 pada tanah masam bila dibandingkan dengan bakteri maupun aktinomisetes. Hal ini dikarenakan pertumbuhan optimum jamur berada pada kondisi masam. Sebaliknya, kondisi masam kurang sesuai bagi pertumbuhan kelompok bakteri dan aktinomisetes. Pertumbuhan kelompok bakteri optimum pada pH netral dan meningkat seiring dengan meningkatnya pH.

Isolasi Jamur Pelarut Fosfat dari Bahan Tanah Bekas Kebakaran

Biakan campuran yang tumbuh di media isolasi diamati dan dihitung jumlah mikroba yang mampu membentuk holozone. Populasi mikroba pelarut fosfat yang diperoleh tergolong tinggi yaitu 264,731 ×106 SPK/ml. Hal ini disebabkan oleh terbentuknya suksesi alami yang terjadi setelah pasca kebakaran, dimana vegetasi alang-alang merupakan vegetasi yang mendominan di kawasan tersebut yang dapat merubah keadaan tanah dan iklim mikro. Sampel tanah diambil disekitar rhizosfer vegetasi alang-alang karena umumya mikroorganisme hidup disekitar perakaran tanaman, yaitu di daerah permukaan tanah sampai kedalaman 25 cm dari permukaan tanah. Keberadaan mikroba ini berkaitan dengan banyaknya jumlah bahan organik yang secara langsung mempengaruhi


(38)

jumlah dan aktivitas hidupnya. Akar tanaman mempengaruhi kehidupan mikroba dan secara fisiologis mikroba yang berada dekat dengan daerah perakaran akan lebih aktif daripada yang hidup jauh dari daerah perakaran. Kemungkinan hal inilah yang membuat pada tahap isolasi diperoleh banyak mikroba tanah termasuk didalamnya mikroba pelarut fosfat (Ginting dkk., 2006). Nilai pH yang optimum setelah kebakaran menjadi salah satu faktor pendukung dalam membentuk kondisi lingkungan yang memungkinkan bagi pertumbuhan mikroorganisme tanah khususnya bakteri dan fungi. Aerasi dan drainase yang relatif bagus akan mendukung pertumbuhan mikroorganisme yang pesat.

Berdasarkan penampakan strukturnya, mikroba pelarut fosfat hasil isolasi dibedakan atas bakteri pelarut fosfat dan jamur pelarut fosfat. Bakteri pelarut

fosfat (BPF) tampak tumbuh pada 138 cawan petri dengan jumlah koloni 259,22 ×106 SPK/ml sedangkan jamur pelarut fosfat (JPF) tampak tumbuh pada

76 cawan petri dengan jumlah koloni 5,511 ×106 SPK/ml. Dominannya keberadaan BPF dibanding JPF diperkirakan karena populasi mikroba pelarut fosfat dari kelompok bakteri di dalam tanah lebih besar dibanding kelompok jamur. Hal ini sesuai dengan penyataan Alexander (1977) yang menyatakan bahwa jumlah populasi bakteri pelarut fosfat dapat mencapai 12 juta organisme per gram tanah sedaangkan fungi pelarut fosfat hanya berkisar 20 ribu sampai dengan 1 juta per gram tanah.

Menurut Darwiati (2008) tingginya populasi BPF dibanding JPF yang diisolasi dari tanah bekas kebakaran disebabkan karena bakteri lebih resisten terhadap pemanasan dibandingkan fungi, kadar air dalam spora bakteri sangatlah penting. Semakin kering spora, semakin resisten terhadap panas. Peningkatan


(39)

kemasaman tanah setelah kebakaran sedikit banyak akan mempengaruhi perkembangan fungi, pH optimum bagi perkembangan fungi antara 4,5-5,5 dan bakteri berkembang baik pada pH 5,5 atau lebih, sedangkan pada pH kurang dari 5,5 perkembangannya sangat lambat (Wijaya, 2000). Namun pada media isolasi memiliki populasi yang lebih rendah dibanding BPF. Sampel tanah yang digunakan memiliki pH masam yaitu 5,0. Dengan keadaan pH demikian seharusnya pertumbuhan BPF terhambat dan pertumbuhan JPF meningkat.

Tingginya populasi BPF kemungkinan karena media isolasi yang digunakan telah diatur besar pH nya sekitar netral serta kandungan nutrisi media di dalamnya sesuai untuk pertumbuhan mikroba. Hal ini yang menyebabkan BPF dapat berkembang dengan pesat pada kondisi pH yang netral tidak menghambat pertumbuhannya serta nutrisi yang tercukupi membuat BPF mampu berkembang maksimal. Populasi BPF yang tinggi selain didukung media tumbuh yang sesuai juga didukung sifat genetiknya yang berkembang lebih cepat dibanding jamur. Kondisi ini memungkinkan terjadinya penghambatan pertumbuhan JPF oleh BPF pada media isolasi. Menurut Foth (1994), bakteri dapat berbiak sangat cepat dengan pembelahan biner yang dapat berlangsung tiap menit bahkan lebih cepat bila kondisi lingkungan dan nutrisi mendukung. Media isolasi yang digunakan mengandung nutrisi lengkap untuk pertumbuhan mikroba. Kelengkapan nutrisi inilah yang kemungkinan turut mendukung tingginya perkembangbiakan BPF.

Hasil pemurnian isolasi 50 sampel tanah yang diambil secara zig-zag dari lokasi pengamatan pada kedalaman 0-20 cm diperoleh 7 isolat JPF. Isolasi menggunakan media tumbuh Pikovskaya dengan sumber P dari Ca3(PO4)2. Tumbuhnya JPF ditandai dengan terbentuknya holozone di sekeliling koloni.


(40)

Isolasi bertujuan memindahkan mikroba dari lingkungan asalnya sehingga diperoleh kultur murni. Kultur murni adalah biakan yang sel-selnya berasal dari pembelahan satu sel tunggal. Biakan murni diperlukan untuk mengidentifikasi dan mendapatkan hasil pengujian yang valid dari aktivitas 1 jenis mikroba saja (Fitter, 1991).

Kemampuan JPF Melarutkan P dalam Media Pikovskaya Padat

Jamur pelarut fosfat yang diperoleh selanjutnya diukur kemampuannya melarutkan P-terikat pada media Pikovskaya padat. Sebagai sumber P media padat adalah Ca3(PO4)2, AlPO4, FePO4 dan batuan fosfat (RP). Penggantian sumber fosfat ini mengacu pada penelitian yang telah dilakukan Premono (1994) dengan tujuan untuk menjaring mikroba dari tanah masam yang diduga mampu melarutkan aluminium fosfat maupun besi fosfat.

Jamur yang tumbuh pada media akan melarutkan P yang ditandai dengan terbentuknya holozone yang mengelilingi JPF. Holozone terbentuk sebagai akibat terjadinya pelarutan butiran fosfat dari media. Evaluasi kemampuan JPF dilakukan dengan mengukur lebar sempitnya diameter holozone yang di sekeliling koloni. Cara ini umum dilakukan, namun karena tidak memperhitungkan faktor pertumbuhan koloni, sering menghasilkan hubungan korelasi yang rendah antara

lebar holozone dengan jumlah P-terlarut secara kualitatif. Menurut Premono (1994), hal tersebut dapat diatasi dengan menggunakan nilai indeks

pelarutan (dissolving indeks) yaitu nisbah antara diameter holozone terhadap diameter koloni. Hasil indeks tersebut terbukti berkorelasi tinggi terhadap jumlah P yang dapat dilarutkan secara kualitatif. Maka pengukuran holozone dilakukan


(41)

Seluruh isolat JPF yang diuji memiliki efektivitas yang berbeda dalam melarutkan fosfat pada media Pikovskaya padat. Jamur pelarut fosfat yang unggul akan menghasilkan diameter holozone yang paling besar dibandingkan dengan koloni yang lainnya. Menurut Goenadi dan Saraswati (1994), kemampuan jamur pelarut fosfat dalam melarutkan P berbeda-beda tergantung jenis strain. Kemampuan melarutkan fosfat ditunjukkan oleh nilai Indeks pelarutan (dissolving index), yaitu nisbah antara diameter zona bening terhadap diameter koloni. Hasil indeks tersebut terbukti berkorelasi tinggi terhadap jumlah P yang dapat dilarutkan secara kualitatif, maka pengukuran holozone dilakukan dengan menghitung nilai indeks pelarutan tiap isolat (Tabel 2).

Tabel 2. Hasil pengukuran indeks pelarutan dalam media Pikovskaya padat dengan berbagai sumber P yang berbeda

Isolat

Indeks Pelarutan

Ca3(PO4)2 FePO4 AlPO4 RP

JP1 2,264 2,370 0,919 2,190

JP2 2,164 3,267 2,304 2,117

JP3 1,374 1,136 0,870 2,103

JP4 0,961 - 1,177 -

JP5 1,137 - 1,050 -

JP6 1,084 3,496 1,100 2,488

JP7 1,173 - 1,053 2,791

Keterangan: - tidak membentuk holozone

Berdasarkan hasil pengukuran indeks pelarutan (pada Tabel 2) terlihat bahwa semua isolat mampu melarutkan fosfat dari sumber Ca3(PO4)2 dan AlPO4 dengan nilai indeks pelarutan yang berbeda, namun hanya beberapa isolat yang mampu melarutkan fosfat dari sumber FePO4 dan sumber RP. Indeks pelarutan terbesar ditunjukkan oleh isolat 1 dengan indeks pelarutan 2,264 dari sumber Ca3(PO4)2. Dari sumber AlPO4 indeks pelarutan terbesar ditunjukkan oleh isolat 2 yaitu 2,304. Dari sumber FePO4 dan sumber RP indeks pelarutan terbesar sama-sama ditunjukkan oleh isolat 6 yaitu 3,496 dan 2,488. Hal ini menunjukkan bahwa


(42)

seluruh isolat JPF yang diuji memiliki efektivitas yang berbeda dalam melarutkan fosfat pada media Pikovskaya padat.

Kemampuan jamur pelarut fosfat sangat beragam dalam melarutkan fosfat dari sumber Ca3(PO4)2, AlPO4, FePO4 dan RP. Dari Tabel 2, dapat dilihat bahwa setiap isolat mampu melarutkan P dari ikatan Ca3PO4 hal ini berkaitan dengan kemampuan jamur pelarut fosfat dalam menghasilkan asam organik, dimana asam organik ini berperan dalam proses reduksi fosfat sehingga dapat membebaskan fosfat dari bentuk terikat menjadi bentuk yang lebih sederhana sehingga dapat diserap oleh tanaman. Selain itu waktu yang dibutuhkan JPF dalam mereduksi fosfat dari ikatan Ca3(PO4)2 lebih cepat yaitu hanya membutuhkan waktu 1 hari inkubasi dengan diameter rata-rata yang relatif kecil yaitu lebih kurang dari 2 cm dalam melarutkan butiran- butiran fosfat dibanding dengan AlPO4 dan FePO4 yang membutuhkan waktu 2- 3 hari masa inkubasi dan diameter yang lebih dari 3 cm dalam melarutkan P.

Jamur pelarut fosfat yang mampu melarutkan fosfat dari ikatan AlPO4, belum tentu mampu melarutkan fosfat dari ikatan FePO4. Selanjutnya JPF yang mampu melarutkan fosfat dari ikatan Ca3(PO4)2 juga tentu belum mampu melarutkan fosfat dari ikatan RP. Hal ini sesuai dengan pernyataan Elfiati (2005) yang menyatakan setiap jamur memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam melarutkan ikatan fosfat Ca3 (PO4)2, AlPO4, FePO4 dan RP. Isolat JPF yang mampu mereduksi senyawa fosfat mungkin terkait erat dengan kemampuannya dalam menghasilkan asam organik, karena menurut Ginting dkk (2006) asam organik yang dilepaskan oleh isolat JPF mampu mengikat PO4 sehingga dapat membentuk H2PO4- dari Ca3(PO4)2. Tabel 2 menunjukkan bahwa beberapa isolat


(43)

tidak mampu melarutkan P dari sumber RP (batuan fosfat) hal ini disebabkan karena RP merupakan fosfat alam yang sukar larut dalam air sehingga tidak cocok untuk media tumbuhnya JPF yang menyebabkan JPF sulit melarutkan P pada media tersebut.

Menurut Ginting dkk (2006), kemampuan tiap mikroba pelarut fosfat tumbuh dan melarutkan fosfat berbeda-beda yang diidentifikasi dari luas holozone dan waktu terbentuknya. Mikroba pelarut fosfat yang unggul akan menghasikan diameter holozone yang paling besar dan lebih cepat dibanding koloni lain. Perbedaan kemampuan tiap isolat JPF membentuk holozone, diduga karena isolat JPF tidak berasal dari titik pengambilan sampel tanah yang sama. Titik pengambilan sampel yang berbeda tentunya memiliki kondisi lingkungan, kelembaban, keadaan nutrisi dari bahan organik dan eksudat akar tegakan yang berbeda pula. Spesies jamur yang berbeda baik yang berasal dari tanah yang sama, maupun yang berasal dari tanah yang berbeda, bisa sama ataupun berbeda kemampuannya dalam melarutkan fosfat. Sebaliknya, spesies jamur yang sama tetapi berasal dari tanah yang berbeda, kemampuannya pun dapat berbeda. Menurut Goenadi dan Saraswati (1994), kemampuan bakteri dan jamur pelarut fosfat dalam melarutkan fosfat berbeda-beda tergantung jenis strain.

Secara garis besar, mekanisme jamur pelarut fosfat dalam mereduksi fosfat melalui dua tahapan yaitu secara kimiawi dan secara biologis.

1. Mekanisme pelarutan fosfat secara kimia dimulai saat JPF mengekresikan sejumlah asam organik berbobot molekul rendah hasil metabolismenya ke dalam tanah. Asam-asam organik tersebut dapat membentuk kompleks stabil dengan kation-kation pengikat P di dalam tanah seperti Al dan Fe yang


(44)

merupakan pengikat P pada tanah masam. Setiap JPF memiliki kemampuan yang berbeda secara genetik dalam mengekskresikan jenis dan jumlah asam organik. Sifat asam organik lebih penting dari jumlah yang dihasilkan. Hal ini terlihat dari perbedaan kemampuan tiap jenis JPF dalam melarutkan P. Efektivitas asam-asam organik yang dihasilkan tergantung pada kondisi lingkungan mikro di dalam tanah

2. Reduksi fosfat secara biologis terjadi karena mikroorganisme tersebut menghasilkan enzim antara lain enzim fosfatase. Fosfatase merupakan enzim yang akan dihasilkan apabila ketersediaan fosfat rendah, apabila ketersediaan fosfat tinggi maka enzim fosfatase kurang berguna atau produksi mikroba untuk menghasilkan fosfat tidak efektif. Fosfatase diekskresikan oleh akar dan mikroorganisme dalam tanah. Pada proses mineralisasi bahan organik, senyawa fosfat organik diuraikan menjadi bentuk fosfat anorganik yang tersedia bagi tanaman dengan bantuan enzim fosfatase. Enzim fosfatase dapat memutuskan fosfat yang terikat menjadi bentuk tersedia (Ginting dkk., 2006) pada pengujian di media padat tampak pertumbuhan tiap JPF berbeda-beda.

Berdasarkan penelitian Telaumbanua (2011), pada pengujian di media padat tampak pertumbuhan tiap JPF berbeda-beda, yang disebabkan beberapa hal antara lain:

1. Fraksi Ca3 (PO4)2, AlPO4, FePO4 dan RP dalam media padat yang tidak merata dalam petri mempengaruhi holozone yang terbentuk.

2. Ketebalan media yang tidak seragam di dalam cawan akan mempengaruhi holozone yang terbentuk. Fraksi Ca3 (PO4)2, AlPO4, FePO4 dan RP pada media


(45)

yang lebih tebal tentunya lebih sulit untuk dilarutkan daripada media yang tipis

3. Mikroba pelarut fosfat ada yang mampu tumbuh dengan cepat dan ada mikroba yang tumbuh lambat.

Menurut Noor (2001), luas holozone yang terbentuk di sekitar koloni JPF secara kualitatif dapat menunjukkan besar kecilnya kemampuan JPF melarutkan unsur P dari bentuk yang sukar larut. Inilah yang mendasari pemilihan 3 isolat untuk dapat diuji kembali pada media cair. Hal ini diperkuat Tatiek (1991) yang menyatakan daerah bening pada media padat tidak dapat menunjukkan banyak sedikitnya jumlah P terlarut yang dapat dihasilkan JPF, namun luas sempitnya daerah bening pada media padat dapat menunjukkan besar kecilnya jamur dalam melarutkan P. Untuk itulah perlu dilakukan uji lebih lanjut pada media cair untuk mengetahui kemampuan isolat melarutkan fosfat secara kuantitatif sehingga diperoleh informasi yang lengkap tentang potensi JPF hasil isolasi dalam melarutkan fosfat.

Kemampuan JPF Melarutkan P dalam Media Pikovskaya Cair

Jamur pelarut fosfat yang membentuk holozone paling cepat dengan diameter paling besar secara kualitatif di sekitar koloni menunjukkan besar kecilnya potensi jamur pelarut fosfat dalam melarutkan unsur P dari bentuk yang tidak terlarut. Dari hasil uji potensi pada media padat diperoleh 3 isolat yang paling potensial yaitu JP1, JP2, dan JP6. Ketiga isolat tersebut diuji kembali kemampuannya dalam melarutkan fosfat dalam media cair (sumber Ca3(PO4)2, AlPO4, FePO4, RP). Tiap biakan murni dilakukan 3 ulangan untuk mendapatkan


(46)

rataan hasil yang valid, setelah itu diinkubasi secara diam selama 7 hari pada suhu ruang (25-27°C) karena pelarutan fosfat optimum pada kisaran 25-35ºC.

Berdasarkan hasil penelitian Goenadi dan Saraswati (1994), uji in vitro lebih sensiftif daripada uji indeks pelarutan fosfat. Uji in vitro menggunakan media Pikovskaya tanpa agar. Metode ini tergolong lebih rumit dan mahal dalam menganalisis besar P terbebas dalam media. Oleh karena itu umumnya uji ini dilakukan setelah uji indeks pelarutan fosfat pada media padat dengan jumlah isolat yang diujikan lebih sedikit. Tabel 3 menunjukkan jumlah P terlarut dalam 50 ml medium Pikovskaya cair dengan berbagai sumber P selama 7 hari.

Tabel 3. Kemampuan isolat dalam melarutkan berbagai sumber fosfat dalam media pikovskaya cair

Isolat Sumber P Rataan P-tersedia (ppm) Kriteria

JP1 Ca3(PO4)2 72,601a Sangat tinggi

AlPO4 25,876c Tinggi

FePO4 7,875d Sangat rendah

RP 10,883d Rendah

JP2 Ca3(PO4)2 69,447a Sangat tinggi

AlPO4 43,028b Sangat tinggi

FePO4 45,381b Sangat tinggi

RP 18,574cd Sedang

JP6 Ca3(PO4)2 68,549a Sangat tinggi

AlPO4 45,138b Sangat tinggi

FePO4 46,424b Sangat tinggi

RP 13,018cd Rendah

Sumber kriteria : Staf Penelitian Tanah-Bogor dan BPP-Medan (Lampiran 5)

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5 %

Berdasarkan hasil pengujian yang disajikan pada Tabel 3 terlihat bahwa kemampuan jamur pelarut fosfat dari sumber P yang berbeda sangat bervariasi. Jumlah P yang dapat dilarutkan dari sumber Ca3(PO4)2 lebih tinggi dibandingkan dengan sumber AlPO4, FePO4 dan RP. Hal ini disebabkan karena sumber AlPO4, FePO4, dan RP lebih sukar larut atau memerlukan waktu yang lama untuk


(47)

kemampuan JPF dalam menghasilkan asam organik yang berbobot molekul rendah karena jumlah asam organik yang diekskresikan oleh jamur pelarut fosfat berbeda-beda, asam organik ini berperan membentuk khelat organik yang stabil sehingga dapat membebaskan ion fosfat dari bentuk tidak tersedia menjadi bentuk yang tersedia (Widjajanti,1991).

Jumlah P yang dapat dilarutkan dari sumber Ca3(PO4)2 hampir sama untuk semua isolat yaitu sekitar 68,549-72,601 ppm tergolong dalam kriteria sangat tinggi, sedangkan jumlah P yang dapat dilarutkan dari sumber AlPO4, FePO4 dan RP memiliki jumlah dan kriteria yang berbeda untuk semua isolat. Jumlah P yang dapat dilarutkan dari sumber AlPO4 untuk isolat 1 sebesar 25,876 ppm, isolat 2 sebesar 43,028 ppm dan isolat 6 sebesar 45,138 ppm. Isolat 1 tergolong dalam kriteria tinggi sedangkan isolat 2 dan isolat 6 tergolong dalam kriteria sangat tinggi kemampuannya dalam membebaskan fosfat dari bentuk terikat menjadi bentuk yang tersedia. Jumlah P yang dapat dilarutkan dari sumber FePO4 untuk isolat 1 sebesar 7,875 ppm, isolat 2 sebesar 45,381 ppm dan isolat 6 sebesar 46,424 ppm. Isolat 1 tergolong dalam kriteria sangat rendah sedangkan isolat 2 dan isolat 6 tergolong dalam kriteria sangat tinggi. Jumlah P yang dapat dilarutkan dari sumber RP untuk isolat 1 sebesar 10,883 ppm, isolat 2 sebesar 18,574 ppm dan isolat 6 sebesar 13,018 ppm. Isolat 1 dan isolat 6 tergolong dalam kriteria rendah sedangkan isolat 2 tergolong dalam kriteria sedang tinggi kemampuannya dalam membebaskan fosfat dari bentuk terikat menjadi bentuk yang tersedia.

Hasil uji lanjut (pada Tabel 3) menunjukkan bahwa kemampuan isolat 2 dalam melarutkan P dari berbagai sumber yang berbeda, tidak berbeda nyata dengan kemampuan isolat 6, namun menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap


(48)

kemampuan isolat 1 dalam melarutkan P dari berbagai sumber yang berbeda. Dari ketiga isolat yang paling baik dalam melarutkan fosfat adalah isolat 2 dan isolat 6 (pada Tabel 3) dimana kemampuannya tergolong dalam kriteria sedang sampai sangat tinggi dibandingkan dengan kemampuan isolat 1. Ini menunjukkan bahwa jamur pelarut fosfat ini mempunyai keselektifan dalam melarutkan P dari sumber yang berbeda-beda dan juga diduga hal ini berkaitan erat dengan kemampuan JPF dalam menghasilkan asam organik yang berbobot molekul rendah karena jumlah asam organik yang diekskresikan oleh jamur pelarut fosfat berbeda-beda, asam organik ini berperan membentuk khelat organik yang stabil sehingga dapat membebaskan ion fosfat dari bentuk tidak tersedia menjadi bentuk yang tersedia.

Selain mengukur kadar P-tersedia, dilakukan juga pengukuran pH media untuk mengetahui perubahan yang terjadi (Tabel 4).

Tabel 4. Hasil pengukuran pH media sumber P setelah 7 hari inokulasi

Isolat Sumber P Rataan pH Kriteria

JP1 Ca3(PO4)2 3,42b Sangat masam

AlPO4 3,04c Sangat masam

FePO4 2,77dc Sangat masam

RP 6,02a Agak masam

JP2 Ca3(PO4)2 2,35e Sangat masam

AlPO4 2,63d Sangat masam

FePO4 2,30e Sangat masam

RP 2,70d Sangat masam

JP6 Ca3(PO4)2 2,34e Sangat masam

AlPO4 2,64d Sangat masam

FePO4 2,32e Sangat masam

RP 2,80dc Sangat masam

Sumber kriteria : Staf Penelitian Tanah-Bogor dan BPP-Medan (Lampiran 5)

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5 %

Hasil uji lanjut (pada Tabel 4) menunjukkan perubahan pH media dengan sumber Ca3PO4, tidak berbeda nyata dengan perubahan pH media dengan sumber


(49)

terhadap perubahan pH media dengan sumber Ca3PO4, AlPO4, FePO4 dan RP oleh isolat 1. Perubahan pH berperan penting dalam peningkatan kelarutan fosfat. JPF dalam melarutkan fosfat dari yang terikat menjadi tersedia disertai dengan perubahan pH. Kisaran pH media setelah inkubasi adalah 2,30-6,02 perubahan pH ini sangat tinggi dimana sebelum diberi isolat pH nya telah ditentukan yaitu pada pH netral (6,8-7,0). Penurunan pH ini diduga akibat pembebasan sejumlah asam-asam organik oleh JPF sebagai hasil metabolismenya diantaranya asam sitrat, glutamat, suksinat, laktat, oksalat, glioksalat, malat, fumarat, tartarat, dan ά -ketobutirat akibat banyaknya asam organik yang diekskresikan membuat pH menjadi turun. Hal ini merupakan bentuk adaptasi JPF terhadap media yang mengandung P terikat yang lebih tinggi dari P terlarut. Terlihat pada Tabel 4 bahwa peningkatan P tersedia diikuti penurunan pH media. Jamur pelarut fosfat sama halnya seperti tumbuhan, memerlukan fosfat dalam metabolismenya. Fosfat merupakan sumber energi primer bagi oksidasi mikroba. Jamur pelarut fosfat dengan asam organik yang dihasilkannya mampu melepaskan P dari ikatannya menjadi bentuk terbebas.

Pembebasan fosfat dapat terjadi karena asam-asam organik ini akan membentuk khelat (kompleks stabil) dengan kation Al, Fe dan Ca yang mengikat P, sehingga ion H2PO4- terbebas (Rao, 1994). Jamur pelarut fosfat menggunakan sebagian kecil dari fosfat terbebas untuk metabolismenya dan sisanya dapat dimanfaatkan organisme lain seperti tumbuhan. Jika JPF mati maka P-organik yang terdapat dalam jaringan mikroba akan lepas kembali dalam bentuk P-anorganik. Premono (1994) menyatakan bahwa mikroba menghasilkan asam-asam organik tersebut melalui proses katabolisme glukosa dalam siklus asam


(50)

trikarboksilat (TCA), yang merupakan kelanjutan reaksi glikolisis. Asam-asam ini merupakan substrat untuk proses anabolisme dalam sintesis asam amino dan makromolekul lain yang dibutuhkan JPF untuk kelangsungan metabolismenya.

Asam-asam organik melarutkan P pada media dan dalam tanah melalui mekanisme antara lain: kompetisi anion ortofosfat pada tapak jerapan, perubahan pH media, pengikatan logam membentuk logam organik dan khelat oleh ligan organik. Terdapatnya asam-asam organik ini dalam tanah sangat penting artinya dalam mengurangi ikatan P oleh unsur penjerapannya dan mengurangi daya racun logam seperti aluminium pada tanah masam. Menurut Premono (1994), kecepatan pelarutan P dari mineral P oleh asam organik ditentukan oleh: (1) kecepatan difusi asam organik dari larutan tanah, (2) waktu kontak antara asam organik dan permukaan mineral, (3) tingkat dissosiasi asam organik, (4) tipe dan letak gugus fungsi asam organik, (5) affinitas kimia agen pengkhelat terhadap logam dan (6) kadar asam organik dalam larutan tanah.

Urutan kemampuan asam organik dalam melarutkan fosfat adalah: asam sitrat > asam oksalat = asam tartarat = asam malat > asam laktat = asam fumarat = asam asetat. Asam organik yang mampu membentuk komplek yang lebih mantap dengan kation logam akan lebih efektif dalam melepas Al dan Fe mineral tanah sehingga akan melepas P yang lebih besar. Urutan kemudahan fosfat terlepas mengikuti urutan Ca3(PO4)2 > AlPO4 > FePO4 (Premono, 1994).

Berdasarkan uji kemampuan melarutkan P pada media padat dengan berbagai sumber yang berbeda terlihat bahwa isolat 1, 2 dan 6 yang paling besar membentuk holozone dengan nilai indeks pelarutan yang besar bila dibandingkan dengan isolat lainnya. Sedangkan pada uji kemampuan melarutkan P pada media


(51)

cair dengan berbagai sumber yang berbeda tertinggi ditunjukkan oleh isolat 2 dan isolat 6. Hasil ini menunjukkan isolat 2 dan isolat 6 memiliki korelasi yang sesuai baik pada pengujian media padat maupun pengujian pada media cair. Isolat 2 dan 6 merupakan jamur pelarut fosfat yang efektif dan potensial dalam melarutkan fosfat dari bentuk tidak tersedia menjadi bentuk yang tersedia. Berbeda dengan isolat 1 yang membentuk holozone dengan nilai indeks pelarutan yang besar pada media padat namun pada pengujian media cair tidak terlalu tinggi dalam melarutkan P dibandingkan dengan isolat 2 dan isolat 6. Hal ini sesuai dengan pernyataan Tatiek (1991) dimana daerah bening pada medium padat tidak dapat menunjukkan banyak sedikitnya jumlah P terlarut yang dapat disumbangkan oleh setiap jamur, meskipun luas sempitnya daerah bening dapat menunjukkan besar kecilnya jamur melarutkan P sukar larut.

Identifikasi Jamur Pelarut Fosfat dari Tanah Bekas Kebakaran

Identifikasi dilakukan pada JPF yang mampu membentuk holozone paling cepat, berwarna bening dengan diameter paling tinggi pada media padat serta mampu melarutkan P-terikat paling besar pada media cair. Hal ini dilakukan karena banyaknya JPF yang diperoleh dari hasil isolasi namun tidak semuanya mampu melarutkan bentuk Ca3(PO4)2, AlPO4, FePO4 dan batuan fosfat (RP) dengan baik. Alasan lain, karena penelitian ini bertujuan untuk mencari JPF paling potensial. Sehingga hanya JPF yang menunjukkan potensi paling baik selama pengujian saja yang diidentifikasi. Berdasarkan pengamatan secara makrokopis dan mikrokopis dapat disimpulkan isolat 1, 2 dan 6 termasuk dalam genus Aspergillus.


(52)

Untuk mengetahui gambaran morfologi sel Aspergillus dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 1. Morfologi Aspergillus

Keterangan:

Gambar. Morfologi sel Aspergillus a. Vesikel, b. Metulae, c. Spora

Hasil pengamatan langsung secara mikrokopis dibawah miskroskop dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 2. Aspergillus

Keterangan:

Gambar. Penampakan Aspergillus dibawah mikroskop (perbesaran 40 kali) (a. spora, b. tangkai konidia)

a


(53)

Tabel 6. Penampakan Isolat JPF potensial secara makrokopis dan mikrokopis serta identifikasi JPF

Isolat Hasil

identifikasi

Penampakan Makrokopis

Penampakan Mikrokopis

1 Aspergillus

2 Aspergillus

3 Aspergillus

Apergillus

Ciri khas dari Aspergillus adalah koloni terdiri lapisan padat yang terbentuk oleh konidiofor berwarna cokelat kekuningan yang makin gelap dengan bertambahnya umur koloni. Tangkai konidiofor berwarna bening, dan umumnya berdinding tebal dan menyolok. Kepala konidia berwarna cokelat kekuningan tampak kompak, berbentuk kolumnar, dan berukuran (150-500)×(30-50) μm. Vesikula berbentuk semibulat, dan berdiameter 10-20 μm. Fialid terbentuk pada metula, dan berukuran (5-7) × (1,5-2,0) μm. Metula berukuran (5-7) × (2,0-2,5) μm. Konidia berbentuk bulat hingga elips, berdiameter 1,5-2,5 μm, berwarna hialin hingga kuning muda dan berdinding halus (Gandjar dkk, 1999).


(54)

Aspergillus tergolong mikroba mesofilik dengan pertumbuhan pada suhu 35°C-37°C (optimum), 6°C-8°C (minimum), 45°C-47 (maksimum). Derajat kemasaman untuk pertumbuhan adalah 2-8,5 tetapi pertumbuhan akan lebih baik pada kondisi keasaman atau pH yang rendah (Gilman, 1971).

Taksonomi fungi Aspergillus

Kingdom : Myceteae (Fungi) Divisio : Ascomycota Kelas : Eurotiomycetes Ordo : Eurotiales

Famili : Trichocommaceae Genus : Aspergillus

Spesies : Aspergillus sp.

Jenis JPF paling banyak diteliti adalah Aspergillus. Hal ini berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan tentang JPF memberikan hasil banyak diantara spesies dari genus tersebut yang berkemampuan tinggi dalam melarutkan fosfat. Jamur pelarut fosfat memiliki kemampuan yang jauh melebihi BPF dalam melarutkan Ca3(PO4)2, AlPO4, dan FePO4. Indikasi tersebut menunjukkan bahwa kemampuan jamur yang mempunyai spektrum lebar dalam melarutkan beberapa bentuk ikatan P yang ada di dalam tanah. Aspergillus merupakan fungi antagonis yang mempunyai daya antibiotik yang berperan dalam ketahanan tanaman. Menurut Darkuni dan Noviar (2001), Aspergillus mempunyai kemampuan tinggi dalam melarutkan P dan K. Fosfor berperan dalam proses penyimpanan energi dan transfer ikatan energi. Aplikasi Aspergillus dapat meningkatkan pertumbuhan atau produktivitas tanaman terutama di tanah-tanah marginal. Aspergillus dapat melepaskan ikatan fosfor dari mineral liat dan menyediakannya bagi tanaman dan dapat menghasilkan metabolik sekunder berupa griseofulvin yang dapat mengurangi infeksi tanaman oleh beberapa mikroba tanah (Isroi, 2008).


(55)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Populasi jamur pelarut fosfat yang diperoleh sejumlah 5,511 × 106 SPK/ml. 2. Hasil uji diperoleh indeks pelarutan terbesar ditunjukkan oleh isolat 1, 2 dan 6

dan isolat yang menghasilkan P-tersedia paling besar adalah isolat 2 dan 6 yaitu 46,422 ppm dan 45,381 ppm.

3. Hasil identifikasi baik secara makroskopis maupun mikroskopis menunjukkan bahwa isolat 1, 2, dan 6 termasuk genus Aspergillus.

Saran

Perlu dilakukan uji lanjut mengenai isolat yang potensial dalam skala rumah kaca.


(56)

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Z. 2004. Studi Dampak Kebakaran Hutan Terhadap Biota Tanah dengan Metode Forest Health Monitoring di Taman Buru Masigit Gunung Kareumbi Sumedang. Skripsi. Fakultas Kehutanan, IPB. Bogor

Alexander, M. 1977. Introduction to Soil Microbiology Second edition. John Willey and Son, Inc. NewYork.

Chapelle, F. H. 2001. Ground-Water Microbilogy and Geochemistry. John Wiley and Sons. New York

Darkuni, M. Noviar. 2001. Mikrobiologi (Bakteriologi, Virologi, dan Mikologi). Universitas Negeri Malang.

Darwiati, W. F. D, Tuheteru dan Prihatiningtyas. 2008. Dampak Kebakaran Hutan Terhadap Biota Tanah. Jurnal Pusat Litbang Hutan Tanaman. Lampung Mangkurat

Elfiati, D. 2005. Peranan Mikroba Pelarut Fosfat Terhadap Pertumbuhan Tanaman. USU e-Repository. Medan.

Fitriatin, BN., B. Joy and T. Subroto. 2007. Karakterisasi Aktivitas Fosfatase Mikroba Tanah dan Daya Katalisisnya terhadap Mineralisasi P Organik. Laporan Penelitian. Program Insentif Riset Dasar Kementrian Negara Riset dan Teknologi.

Fitriatin, BN., B. Joy and T. Subroto. 2008. The Influence od Organic Phosphorous Substrate on Phosphatase Activity of soil Microbes. 2008. Proceesing International seminar of Chemistry. 30-31 October, Indonesia. Fitter, A.H. 1991. Fisiologi Lingkungan Tanaman. UGM Press, Yogyakarta. Foth, H.D. 1994. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Terjemahan Soemartono Adisoemarto.

Airlangga. Jakarta.

Gandjar, I.R.A., Samson. 1999. Pengenalan Kapang Tropik Umum. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Gilman, J.C. 1971. A Manual of Soil Fungi. The Lowa State University Press. USA.

Ginting, R.C.B., R. Saraswati, dan E. Husen. 2006. Mikroorganisme Pelarut Fosfat. Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengambangan Pertanian, Bogor. Hal. 144-146.

Ginting, R. C. B.., R. Saraswati, dan E. Husen. 2008. Mikroorganisme Pereduksi Fosfat


(57)

Goenadi, D.H., dan R. Saraswati. 1994. Kemampuan Melarutkan Fosfat dari Beberapa Isolat Fungi Pelarut Fosfat. Menara Perkebunan 61(3):61-66. Halimatusyadiah, S. N. 2004. Analisis Hara C-Organik, N- Total Dan Cmic Pda

Lahan Setelah 1,5 dan 3 Tahun Terbakar Di Hutan Sekunder Haurbentes Jasinga, Bogor.

Hardjowigeno, S. 2003. Imu Tanah. Akademia Pressindo. Jakarta.

Isgitani, M., S. Kabirun, dan S.A. Siradz. 2005. Pengaruh Inokulasi Bakteri Pelarut Fosfat Terhadap Pertumbuhan Shorghum Pada Berbagai Kandungan P Tanah. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan Vol 5 (1) p: 48-54.

Isroi. 2008. Aplikasi Trichoderma harzianum dan Aspergillus sp. pada tanaman. Universitas Negeri Malang.

Jones, U.S. 1982. Fertilizer and Soil Fertility. Second edition. Reston Publ. Co. b Reston, Virginia.

Lal.L. 2006. Phosphate biofertilizers. Agrotech. Publ. Academy, Udaipur.India. 224p.

Lestari, Y. dan R. Saraswati. 1997. Aktivitas Enzim Fosfatase Jamur Pelarut Fosfat pada Tanah Podzolik Merah Kuning dalam Prosiding Seminar Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Menyongsong Era Globalisasi, Banjarmasin.

Marjenah. 2005. Dampak Kebakaran Hutan Terhadap Kondisi Iklim Mikro di Hutan Penelitian Bukit Soeharto. http//www.unmul.ac.id/dat/pub/lemlit/ no.2/05.pdf. [30 Januari 2012]

Mehrvarz, S., M. R. Chaichi and H. A. Alikhani. 2008. Effect of Phosphate Solubilizing Microorganisms and Phosphorus Chemical Fertilizer on Yield and Yield Components of Barely (Hordeum vulgare L.). American-Eurasian J. Agric. &Environ. Sci., 3 (6): 822-828.

Nasution, R. R. 2005. Isolasi Dan Uji Potensi Mikroorganisme Pelarut Fosfat Yang Berasal Dari Bahan Tanah Histosol. Skripsi. Fakultas Pertanian, USU. Medan

Noor. M. 2001. Pertanian Lahan Gambut: Potensi dan Kendala. Penerbit Kanisius, Jakarta.

Normasari. 2005. Isolasi dan Karakterisasi Jamur Pelarut Fosfat dari Sampel Tanah Gambut Sampit. Biologi Undip. Semarang


(58)

Poeponegoro, Milono. 2005. Pengaruh Limitasi Nutrien Pada Fermentasi Asam Sitrat Secara Biak-Rendam Dengan Kapang Aspergillus niger ATCC 11414 . ITB Central Library. Bandung

Poerwowidodo. 2000. Telaah Kesuburan Tanah. Angkasa, Bandung.

Premono M. E. 1994. Jasad Renik Pelarut Fosfat, Pengaruhnya Terhadap P Tanah dan Efisiensi Pemupukan P Tanaman Tebu. [Disertasi]. Bogor. Program Pascasarjana IPB.

Premono, E.M. 1998. Ulas Balik: Mikrob Pelarut Fosfat untuk Mengefisienkan Pupuk Fosfat dan Prospeknya di Indonesia (Enhancement of Phosphate-Fertilizer Efficiency by Phosphate Solubilizing Microbes and Its Prospect in Indonesia). Hayati 5(4):89-94.

Priandi, R. N. 2006. Dampak Kebakaran Hutan Terhadap Tumbuhan Bawah dan Sifat Kimia Tanah di Hutan Pendidikan Gunung Walat – Sukabumi. Skripsi Mahasiswa Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Tidak diterbitkan Pritchett. W. L. 1979. Properties and management of forest soil. John Wiley and

Sons. New York

Purbowaseso, B. 2004. Pengendalian Kebakaran Hutan. Rineka Cipta. Jakarta Rao, S. 1994. Mikroorganisme Tanah dan Pertumbuhan Tanaman. Ed 2. UI-Press,

Jakarta.

Rosmarkam, A. dan Yuwono, N. M. 2002. Ilmu kesuburan Tanah. Kanisius. Yogyakarta

Sanchez, P. A. 1993. Sifat dan Pengelolaan Tanah Tropika. Jilid II. Institut Teknologi Bandung. Bandung.

Saparatka, N.2003. Phosphatase activities (ACP, ALP) in agroecosytem soils. Doctoral thesis. Swedish University of agricultural sciences. Uppsala.

Schwarz, W.H. 2001. The Cellulosome and Cellulose degradating Anaerobic Bacteria. Journal of Appl. Microbiol, Biotechnol 56 : 634 – 649.

Setiawati, T. C. 1997. Efektifitas Mikroba Pelarut P dalam Meningkatkan

Ketersediaan P dan Pertumbuhan Tembakau Besuki Na-Oogst (Nicotiana tabacum L.). Tesis. Program Pascasarjana. IPB. Bogor

Suprihadi, A. 2007. Pelarutan Fosfat Anorganik oleh Kultur Campur Jamur Pelarut Fosfat Secara In Vitro. Jurnal Sains & Matematika (JSM) Volume 15, Nomor 2.


(1)

Rataan pengukuran P-tersedia pada perlakuan berbagai sumber P

Perlakuan Rataan

P4 14,158a

P3 33,226b

P2 38,013b

P1 70,199c

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5%

Rataan pengukuran P-tersedia pada interaksi jenis isolat pelarut P dengan berbagai sumber P

Perlakuan Rataan

J1P1 72,601a

J1P2 25,876c

J1P3 7,875d

J1P4 10,883d

J2P1 69,447a

J2P2 43,028b

J2P3 45,381b

J2P4 18,574cd

J6P1 68,549a

J6P2 45,138b

J6P3 46,424b

J6P4 13,018cd

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5%

P1 : Media Pikovskaya dengan sumber P (Ca3(PO4)2)

P2 : Media Pikovskaya dengan sumber P (AlPO4)

P3 : Media Pikovskaya dengan sumber P (FePO4)


(2)

Lampiran 3. Tabel rataan pengukuran pH dan analisis sidik ragam

Isolat Sumber P

Ulangan Ʃ ȳ Kriteria

1 2 3

JP1 Ca3(PO4)2 3.26 3.46 3.53 10.25 3.42 Sangat masam

AlPO4 3.05 3.00 3.08 9.13 3.04 Sangat masam

FePO4 2.89 2.80 2.61 8.30 2.77 Sangat masam RP 6.20 5.92 5.93 18.05 6.02 Agak masam

Ʃ 15.40 15.18 15.15

JP2 Ca3(PO4)2 2.39 2.36 2.31 7.06 2.35 Sangat masam

AlPO4 2.35 2.67 2.87 7.89 2.63 Sangat masam

FePO4 2.30 2.36 2.24 6.90 2.30 Sangat masam RP 2.75 2.70 2.65 8.10 2.70 Sangat masam

Ʃ 9.79 10.09 10.07

JP6 Ca3(PO4)2 2.33 2.33 2.35 7.01 2.34 Sangat masam

AlPO4 2.69 2.80 2.43 7.92 2.64 Sangat masam

FePO4 2.29 2.30 2.38 6.97 2.32 Sangat masam RP 2.53 2.86 3.01 8.40 2.80 Sangat masam

Ʃ 9.84 10.29 10.17 Analisis sidik ragam

Sumber Keragaman

Derajat Bebas

Jumlah Kuadrat

Kuadrat

Tengah F-Hitung F-Tabel

Perlakuan 11 34.485 3.135 155.134 2.220 Isolat 2 13.534 6.767 334.862* 3.400 Sumber P 3 10.082 3.361 166.301* 3.010 Interaksi 6 10.869 1.812 89.641* 2.510

Galad 24 0.485 0.020

Total 35 34.970

Keterangan : * = berpengaruh nyata

Rataan pengukuran pH pada perlakuan jenis isolat

Perlakuan Rataan


(3)

Rataan pengukuran pH pada perlakuan berbagai sumber P

Perlakuan Rataan

P3 2,463a

P1 2,702b

P2 2,771b

P4 3,838c

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5%

Rataan pengukuran pH pada interaksi jenis isolat pelarut P dengan berbagai sumber P

Perlakuan Rataan

J1P1 3,42b

J1P2 3,04c

J1P3 2,77dc

J1P4 6,02a

J2P1 2,35e

J2P2 2,63d

J2P3 2,30e

J2P4 2,70d

J6P1 2,34e

J6P2 2,64d

J6P3 2,32e

J6P4 2,80dc

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5%

P1 : Media Pikovskaya dengan sumber P (Ca3(PO4)2)

P2 : Media Pikovskaya dengan sumber P (AlPO4)

P3 : Media Pikovskaya dengan sumber P (FePO4)


(4)

Lampiran 4. Dokumentasi tahap penelitian

Gambar 1. Pengambilan sampel Gambar 2. Isolasi mikroba pelarut fosfat

Gambar 3. Pemurnian JPF Gambar 4. Isolat Jamur Pelarut Fosfat


(5)

Lampiran 5. Kriteria penilaian sifat kimia tanah Staf Pusat Penelitian Tanah Bogor (1983) dan BPP-Medan (1982)

Sifat tanah Satuan Sangat

rendah Rendah Sedang Tinggi

Sangat tinggi C (karbon) % < 1,00 1,00-2,00 2,01-3,00 3,01-5,00 > 5,00 P-tersedia ppm < 8,0 8,0-15 16-25 26-35 > 35

N

(Nitrogen) % < 0,10

0,10

-0,20 0,21-0,50 0,51-0,75 > 0,75 P-total % < 0,03 0,03-0,06

0,06-0,079 0,08-0,10 > 0,10

pH H2O

Sangat masam

Masam Agak Masam

Netral Agak alkalis

Alkalis < 4,5 4,5- 5,5 5,6-6,5 6,6-7,5 7,6-8,5 >8,5


(6)

Lampiran 6. Prosedur penetapan P-tersedia tanah dengan metode Bray-II

Alat : Shaker; pipet skala dan volumetrik; corong; spetrometer; tabung reaksi; Erlenmeyer.

Bahan :

1. Larutan Amonium fluoride: larutkan 3,7 g NH4F dengan H2O menjadi 100ml 2. Larutan HCl 5 N: larutkan 20,2 mL HCl pekat dengan H2O menjadi 500 ml 3. Larutan Bray-II: larutkan 30 ml larutan NH4F 1 N dengan 20 ml HCl 5 N

tambahkan H2O menjadi 1 L

4. Asam sulfat 5 N: larutkan 140 ml H2SO4 pekat BD 1,84 kg/L dengan H2O sampai volume 1 L

5. Ammonium molibdat: larutkan 12 g (NH4)6Mo7O24.4H2O dengan H2O hingga 250 ml

6. Kalium antimonite tartarat: larutkan 0,298 g KSbOC4H4O6 dalam 100 ml H2O

7. Asam ascobat

8. Pereaksi fosfat A: campurkan bahan nomor 4,5 dan 6, jadikan 2 L dengan menambahkan H2O

9. Pereaksi fosfat B: campurkan 1 g asam ascorbat ke dalam 200 ml pereaksi fosfat A

10.Larutan standar P 50 ppm: larutkan 0,275 g K2HPO4. 3H2O dengan H2O hingga 1 L

11.Larutan standar 0-0,5-1,0-2,0-3,0-4,0-5,0 ppm P: pipet larutan standar 50 ppm P masing-masing sebanyak 0-1-2-4-6-8 dan 10 ml ke dalam labu ukur 100 ml dan penuhkan dengan H2O

Cara kerja:

1. Timbang 2 g contoh tanah dan tempatkan pada gelas Erlenmeyer 250 cc 2. Tambahkan larutan Bray-II sebanyak 20 ml dan goncang selama 30 menit 3. Saring dengan kertas whatman No. 42

4. Pipet filtrat sebanyak 5 ml dan tempatkan pada tabung reaksi 5. Tambahkan pereaksi fosfat B sebanyak 10 ml, biarkan 5 menit

6. Ukur tarnsmitan pada spektrometer dengan panjang gelombang 660 nm 7. Pada saat bersamaan pipet masing-masing 5 ml larutan standar P 0-0,5- 1,0-

2,0- 3,0- 4,0 dan 5,0 ppm P ke tabung reaksi, kemudian tambahkan 10 ml pereaksi fosfat B

8. Ukur transmitan standar pada spektrometer dengan panjang gelombang 660 nm.