Penggunaan media alternatif pada produksi spirulina fusiformis

(1)

1

PENGGUNAAN MEDIA ALTERNATIF PADA PRODUKSI

Spirulina fusiformis

NOVIA DIANA AYU WULANDARI

DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(2)

x

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul :

PENGGUNAAN MEDIA ALTERNATIF PADA PRODUKSI Spirulina fusiformis

adalah benar merupakan hasil karya yang belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Januari 2011

NOVIA DIANA AYU WULANDARI C14063502


(3)

xi

ABSTRAK

NOVIA DIANA AYU WULANDARI. Penggunaan media alternatif pada produksi Spirulina fusiformis. Dibimbing oleh TATAG BUDIARDI dan NUR BAMBANG PRIYO UTOMO.

Spirulina fusiformis digunakan sebagai pakan alami bagi ikan dan udang, serta sebagai bahan pangan. Penelitian ini bertujuan untuk membuat formulasi media kultur yang efisien untuk memproduksi S. fusiformis yang berkualitas tinggi. Perlakuan yang digunakan terdiri atas media Zarrouk modifikasi, media berbasis urea, dan media berbasis kotoran ayam. Pemeliharaan dilakukan selama tiga minggu dalam toples bervolume 2 L dan bak terpal berukuran 5x1,5 m dengan ketinggian air ± 20 cm, dengan kepadatan awal S. fusiformis 2,0x104 sel/mL. Parameter uji yang diamati adalah kepadatan, laju pertumbuhan spesifik, biomassa, kecerahan, analisis proksimat, klorofil, dan kualitas air. Hasil penelitian menunjukkan bahwa media berbasis kotoran ayam memiliki nilai kepadatan, laju pertumbuhan spesifik, dan biomassa yang lebih baik dibandingkan perlakuan lainnya. Pada media berbasis pupuk anorganik, urea dapat dijadikan sebagai substitusi pupuk Zarrouk modifikasi, dilihat dari nilai kepadatan, laju pertumbuhan spesifik, biomassa, dan waktu panen yang mendekati media Zarrouk modifikasi. Kandungan nutrisi S. fusiformis dari yang paling baik adalah S. fusiformis yang dikultur dengan media Zarrouk modifikasi, media berbasis urea, dan media berbasis kotoran ayam. Waktu panen pada pemakaian media Zarrouk modifikasi, media berbasis urea, dan media berbasis kotoran ayam adalah pada hari ke-9 sampai hari ke-10. Pemupukan ulang dapatdilakukan setelah panen agar produksi dapat terus berlanjut.

Kata kunci : Spirulina fusiformis, media Zarrouk modifikasi, media berbasis urea, media berbasis kotoran ayam


(4)

xii

ABSTRACT

NOVIA DIANA AYU WULANDARI. The use of alternative media for Spirulina

fusiformis production. Supervised by TATAG BUDIARDI and NUR BAMBANG

PRIYO UTOMO.

Spirulina fusiformis is used as natural-feed for fish and shrimp, and as human food. The aim of this research was to create an efficient formulation culture media for producing a high quality of S. fusiformis. The treatments was consisted of Zarrouk modification medium, urea-based medium, and chicken manure-based medium. Cultured of S. fusiformis were performed in three weeks in jars with volume 2 L and wooden-plastic tank sized 5x1,5 m with ± 20 cm of water height, and S. fusiformis’s initial density 2,0x104 cell/mL. The parameters observed, including the population density, the specific growth rate, the biomass, the brightness, the proximate analysis, the chlorophyll content, and the water quality. The results showed that chicken manure-based medium has the value of population density, specific growth rate, and biomass better compared to other treatments. Culture using an inorganic fertilizer-based medium, urea could be used as a substitute for Zarrouk modification medium, which was observed from population density, the specific growth rate, the biomass, and the harvest time. The best of nutritional values were shown by S. fusiformis which was cultured in Zarrouk modification medium, urea-based medium, and chicken manure-based medium, respectively. Harvesting time on Zarrouk modification medium, urea-based medium, and chicken manure-based medium on 9th until 10th day. Remanuring can be done after harvesting to continually production. Keywords : Spirulina fusiformis, Zarrouk modification medium, urea-based medium,


(5)

xiii

PENGGUNAAN MEDIA ALTERNATIF PADA PRODUKSI

Spirulina fusiformis

NOVIA DIANA AYU WULANDARI

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Program Studi Teknologi dan Manajemen Perikanan Budidaya

Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(6)

xiv Judul Skripsi : Penggunaan media alternatif pada produksi Spirulina

fusiformis

Nama : Novia Diana Ayu Wulandari

NIM : C14063502

Menyetujui

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ir. Tatag Budiardi, M.Si. Dr. Ir. Nur Bambang Priyo Utomo, M.Si. NIP. 19631002 199702 1 001 NIP. 19650814 199303 1 005

Mengetahui :

Ketua Departemen Budidaya Perairan

Dr. Ir. Odang Carman, M.Sc. NIP. 19591222 198601 1 001


(7)

xv

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT dan shalawat atas Rasulullah Muhammad SAW atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan dari bulan Juni hingga September 2010 ini adalah pakan alami, dengan judul “Penggunaan Media Alternatif pada Produksi Spirulina fusiformis”.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Tatag Budiardi, M.Si. selaku dosen Pembimbing I, Dr. Ir. Nur Bambang Priyo Utomo, M.Si. selaku dosen Pembimbing II, dan Dr. Ir. Mia Setiawati, M.Si. selaku dosen penguji tamu sekaligus dosen pembimbing akademik yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan, dan dukungan kepada penulis. Disamping itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh dosen dan segenap pegawai Departemen Budidaya Perairan khususnya Pak Wasjan, Mbak Retno, dan Pak Endang, serta laboran Laboratorium Proling Pak Tony atas bimbingan, dukungan dan bantuannya. Ucapan terima kasih yang tidak terhingga juga disampaikan kepada Ayahanda Yudhi Hartono, Ibunda Dwi Retnaningsih Rahayoe, dan Adinda Febrian Wahyu Hartono Putra, serta Hasan Abidin, S.Pi. yang tidak henti-hentinya memberikan cinta, kasih sayang, dan motivasi. Terima kasih kepada sahabat-sahabat (Alfian, Annisa, Dian, Faizah, Firsty, Ide, Ikbal, Isni, Kristanti, Merry, Novia, Nurazizah, Nurika, Puguh, Ria, Rian, Rifqi, Rini, Riri, Riza, Soraya, Sulistia, Zamzam, dan semua anggota BDP 43) atas kebersamaan, kasih sayang, dan semangatnya.

Akhir kata, semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan dapat diterapkan di masyarakat luas.

Bogor, Januari 2011


(8)

xvi

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Surakarta tanggal 24 November 1988 dari ayah Yudhi Hartono dan ibu Dwi Retnaningsih Rahayoe. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara.

Pendidikan formal yang dilalui penulis adalah SMAN 1 Tanjung (2003-2004), serta SMAN 1 Banjarmasin dan lulus tahun 2006. Pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor. Setahun kemudian penulis memilih mayor Teknologi dan Manajemen Perikanan Budidaya, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah magang di Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara, Jawa Tengah (2008) dan praktek kerja lapang di Balai Budidaya Laut (BBL) Lombok, Nusa Tenggara Barat (2009). Penulis juga pernah menjadi asisten mata kuliah Biologi Laut 2008/2009 (S1), Nutrisi Ikan 2009/2010 (S1), Teknologi Produksi Plankton, Benthos, dan Alga 2009/2010 (S1), dan Teknik Produksi Pakan Alami 2010/2011 (D3). Selain itu penulis juga aktif menjadi pengurus Himpunan Mahasiswa Akuakultur (HIMAKUA) periode 2007/2008 dan 2008/2009, serta Ikatan Keluarga Mahasiswa Banjar (Kakamban). Tugas akhir dalam pendidikan tinggi diselesaikan dengan menulis skripsi yang berjudul “Penggunaan Media Alternatif pada Produksi Spirulina fusiformis”.


(9)

xvii

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xviii

DAFTAR GAMBAR ... xix

DAFTAR LAMPIRAN ... xx

I. PENDAHULUAN ... 1

II. BAHAN DAN METODE ... 3

2.1. Kultur Skala Laboratorium ... 3

2.2. Kultur Skala Massal ... 4

2.3. Parameter Penelitian ... 4

2.4.1 Pertumbuhan ... 4

2.4.2 Biomassa ... 4

2.4.3 Kecerahan ... 5

2.4.4 Analisis Proksimat ... 5

2.4.5 Klorofil ... 5

2.4.6 Kualitas Air ... 5

2.4. Analisis Data ... 5

III. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 6

3.1. Hasil ... 6

3.1.1 Pertumbuhan ... 6

3.1.2 Analisis Kualitas ... 8

3.1.3 Kualitas Air ... 9

3.2. Pembahasan ... 11

3.2.1 Pertumbuhan ... 11

3.2.2 Analisis Kualitas ... 15

3.2.3 Kualitas Air ... 16

IV. KESIMPULAN DAN SARAN ... 18

4.1. Kesimpulan ... 18

4.2. Saran ... 18

DAFTAR PUSTAKA ... 19


(10)

xviii

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Formulasi media kultur Spirulina fusiformis (untuk 1 L) ... 3 2. Formulasi larutan mikronutrien A5 untuk 1 L ... 3 3. Analisis proksimat S. fusiformis pada kultur skala laboratorium

dengan perlakuan media Zarrouk modifikasi (A), media berbasis urea (B), dan media berbasis kotoran ayam (C) dalam % bobot

kering ... 8 4. Kandungan klorofil S. fusiformis pada kultur skala laboratorium

dengan perlakuan media Zarrouk modifikasi (A), media berbasis urea (B), dan media berbasis kotoran ayam (C) ... 9 5. Kualitas air kultur S. fusiformis pada kultur skala laboratorium ... 9 6. Perbandingan nilai N dan P kultur S. fusiformis pada kultur skala

laboratorium dengan perlakuan media Zarrouk modifikasi (A), media berbasis urea (B), dan media berbasis kotoran ayam (C) ... 11


(11)

xix

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Grafik kepadatan S. fusiformis pada kultur skala laboratorium

dengan perlakuan media Zarrouk modifikasi (A), media berbasis

urea (B), dan media berbasis kotoran ayam (C) ... 6 2. Grafik laju pertumbuhan spesifik S. fusiformis pada kultur skala

laboratorium dengan perlakuan media Zarrouk modifikasi (A),

media berbasis urea (B), dan media berbasis kotoran ayam (C) ... 7 3. Grafik biomassa S. fusiformis pada kultur skala laboratorium dengan

perlakuan media Zarrouk modifikasi (A), media berbasis urea (B),

dan media berbasis kotoran ayam (C) ... 7 4. Grafik kecerahan S. fusiformis pada kultur skala massal dengan

perlakuan media Zarrouk modifikasi (A), media berbasis urea (B),

dan media berbasis kotoran ayam (C) ... 8 5. Grafik pH kultur S. fusiformis pada kultur skala laboratorium

dengan perlakuan media Zarrouk modifikasi (A), media berbasis

urea (B), dan media berbasis kotoran ayam (C) ... 9 6. Grafik P-total kultur S. fusiformis pada kultur skala laboratorium

dengan perlakuan media Zarrouk modifikasi (A), media berbasis

urea (B), dan media berbasis kotoran ayam (C) ... 10 7. Grafik N-total kultur S. fusiformis pada kultur skala laboratorium

dengan perlakuan media Zarrouk modifikasi (A), media berbasis


(12)

xx

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Prosedur pembuatan media berbasis kotoran ayam ... 23 2. Data kepadatan rata-rata S. fusiformis pada kultur skala laboratorium ... 24 3. Data laju pertumbuhan spesifik rata-rata S. fusiformis

pada kultur skala laboratorium ... 25 4. Data biomassa rata-rata S. fusiformis pada kultur skala laboratorium ... 26 5. Data kecerahan S. fusiformis pada kultur skala massal ... 27


(13)

1

I.

PENDAHULUAN

Mikroalga telah dikenal dalam bidang akuakultur sebagai pakan alami bagi ikan maupun udang. Salah satu jenis mikroalga yang digunakan sebagai pakan alami adalah Spirulina fusiformis. S. fusiformis termasuk ke dalam kelas Cyanophyceae (Bold dan Wynne, 1985) dan hidup di perairan tawar. Mikroalga ini dapat hidup di perairan dengan pH mencapai 11. De Pauw dan Persoone (1988) menyebutkan bahwa Spirulina merupakan makanan yang baik bagi larva udang penaeid, pascalarva bivalvia, Artemia, Brachionus, dan Tilapia.

Selain digunakan sebagai pakan ikan, Spirulina juga telah lama digunakan sebagai bahan pangan oleh bangsa Aztek dan penduduk di sekitar Danau Chad (Costa et al., 2004). Hal ini dikarenakan Spirulina mengandung sejumlah zat gizi alami yang baik untuk tubuh seperti protein, vitamin, asam amino esensial, mineral, asam lemak esensial seperti gama-linolenic acid (GLA) dan anti oksidan seperti karotenoid (Belay et al., 1996).

S. fusiformis menjadi salah satu mikroalga yang sangat menjanjikan dikembangkan di Indonesia terkait dengan besarnya potensi yang dimiliki seperti telah disebutkan sebelumnya. Namun, dalam perkembangannya usaha kultur S. fusiformis di Indonesia kurang berkembang, antara lain dikarenakan rendahnya kualitas dari S. fusiformis yang dikultur di Indonesia. Untuk saat ini, Indonesia masih mengimpor dari luar negeri antara lain Cina, Jepang, India, dan Amerika Serikat yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan akan S. fusiformis (Marliani, 2007).

Permasalahan lain yang timbul adalah kultur S. fusiformis relatif mahal dan bahan yang digunakan sebagai media kultur tidak selalu mudah didapatkan. Selain itu, teknik kultur dan penggunaan media yang tidak tepat dapat mengakibatkan S. fusiformis cepat mengalami penurunan produksi.

Selama ini penelitian maupun usaha budidaya S. fusiformis sebagian besar menggunakan media Zarrouk dan modifikasi yang relatif mahal. Hal ini tentunya akan sangat berpengaruh pada prospek pengembangan kultur S. fusiformis dengan skala yang lebih besar. Oleh karena itu, diperlukan penelitian mengenai formulasi


(14)

2 media kultur yang murah dan dapat memberikan produk berkualitas, serta dapat diterapkan di masyarakat umum.

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan formulasi media kultur yang efisien untuk memproduksi S. fusiformis yang berkualitas. Hasil penelitian dapat dimanfaatkan secara langsung oleh masyarakat untuk mengembangkan produksi S. fusiformis.


(15)

3

II.

BAHAN DAN METODE

2.1. Kultur Skala Laboratorium

Alat yang digunakan dalam kultur skala laboratorium adalah toples dengan volume air 2 L, peralatan aerasi, dan lampu TL. Bahan yang digunakan dalam kultur skala laboratorium adalah inokulan Spirulina fusiformis, akuades, dan media dengan formulasi (untuk 1 L) yang tercantum dalam Tabel 1. Perlakuan A merupakan media Zarrouk modifikasi, perlakuan B merupakan media berbasis urea, dan perlakuan C merupakan media berbasis kotoran ayam. Sementara itu, formulasi larutan mikronutrien (A5) untuk 1 L tercantum dalam Tabel 2.

Persiapan wadah dimulai dengan pencucian alat-alat hingga bersih. Akuades yang digunakan sebagai media kultur disterilisasi terlebih dahulu menggunakan klorin dengan dosis 25 ppm dan diaerasi kuat selama 24 jam, kemudian dinetralkan menggunakan natrium tiosulfat dengan dosis 185 mg/L.

Tabel 1. Formulasi media kultur Spirulina fusiformis (untuk 1 L)

Bahan Media Zarrouk Modifikasi (L) Media Berbasis Urea (L) Media Berbasis Kotoran Ayam (L)

NaNO3 (g) 0,500 0,050 0,050

K2SO4 (g) 1,000 - -

NaCl (g) 1,000 1,000 1,000

MgSO4.7H2O (g) 0,200 0,200 0,020

CaCl2.7H2O (g) 0,040 0,040 0,040

FeSO4.7H2O (g) 0,010 - -

EDTA (g) 0,080 - -

Urea (g) 0,020 0,100 -

Larutan mikronutrien (A5) (mL) 1,000 - -

Diammonium phosphate (g) 1,250 1,250 0,125

KCl (g) 0,898 1,000 0,100

NaHCO3 (soda kue) (g) 5,000 5,000 5,000

Kotoran ayam (g) - - 0,250

Tabel 2. Formulasi larutan mikronutrien (A5) untuk 1 L

Bahan Jumlah

H3BO3 (mg) 2,860

ZnSO4.7H2O (mg) 0,222


(16)

4 Bahan-bahan dalam formulasi dilarutkan terlebih dahulu sebelum ditambahkan ke dalam wadah berisi akuades. Untuk perlakuan C, kotoran ayam yang akan digunakan adalah kotoran ayam kering yang telah direbus dan disaring terlebih dahulu. Selanjutnya inokulan S. fusiformis ditambahkan ke dalam media sebanyak 1/10 bagian dari volume kultur. Pemeliharaan dilakukan selama 3 minggu.

2.2. Kultur Skala Massal

Alat yang digunakan dalam kultur skala massal adalah bak terpal berukuran 5x1,5 m dengan ketinggian air ± 20 cm yang dilengkapi dengan penutup di bagian atasnya, peralatan aerasi, dan pompa. Bahan yang digunakan dalam kultur skala massal adalah inokulan S. fusiformis, air tawar, dan media dengan formulasi seperti yang tercantum pada Tabel 1 dan 2. Untuk prosedur kultur sama seperti pada kultur skala laboratorium. Air tawar yang digunakan difilter terlebih dahulu sebelum disterilisasi. Pompa ditempatkan ke dalam wadah untuk menjaga sirkulasi media.

2.3. Parameter Penelitian 2.4.1 Pertumbuhan

Pertumbuhan S. fusiformis dilihat dari kepadatan dan laju pertumbuhan spesisik. Kepadatan dihitung setiap hari selama pemeliharaan menggunakan hemositometer. Data kepadatan digunakan untuk menghitung laju pertumbuhan spesifik dengan menggunakan rumus menurut Vonshak 1997 dalam Santosa

2010) :

μ ln – ln Keterangan: µ = laju pertumbuhan spesifik (hari-1)

No = kepadatan sel S. fusiformis awal (sel/ml) Nt = kepadatan sel S. fusiformis akhir (sel/ml) T = selang waktu dari No ke Nt (hari) 2.4.2 Biomassa

Biomassa S. fusiformis dihitung berdasarkan banyaknya S. fusiformis yang tersaring dalam kertas saring Whatman No. 41 setelah dioven dan dikurangi dengan bobot awal kertas saring.


(17)

5 2.4.3 Kecerahan

Kecerahan S. fusiformis diukur menggunakan secchidisk. Pengamatan kecerahan dilakukan pada kultur skala massal.

2.4.4 Analisis Proksimat

Analisis proksimat dilakukan pada kultur skala laboratorium yang meliputi analisis kadar air, kadar protein, dan kadar lemak.

2.4.5 Klorofil

Pengukuran kandungan klorofil dilakukan pada kultur skala laboratorium. Sebanyak 10 mg biomassa S. fusiformis dihaluskan dengan mortar sambil ditambahkan aseton 90% sampai volume 10 mL dan kemudian dimasukkan ke dalam botol sentrifuge 10 mL. Kemudian sampel disimpan dalam lemari es selama semalam. Setelah itu sampel dibungkus rapat menggunakan aluminium foil, disimpan dalam lemari es selama semalam. Selama proses pengekstrasian klorofil, aseton 90% disiapkan sebagai blanko dengan jumlah yang sama dengan yang ditambahkan ke sampel. Setelah semalam, sampel didiamkan sekitar 15 menit di dalam suhu kamar dan disentrifugasi selama 20 menit dengan kecepatan 3000 rpm. Kemudian supernatan diambil dan diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 664 dan 647 nm. Klorofil merupakan pigmen yang fotosensitif, sehingga pengukuran dilakukan pada cahaya yang minim (redup).

Hasil akhir dihitung dengan persamaan berikut (Jeffrey dan Humprey, 1975 dalam Chrismadha et al., 2006).

/ 11,47 0,4 !" #$

$ ! " 2.4.6 Kualitas Air

Parameter kualitas air kultur S. fusiformis yang diukur adalah suhu, pH, N-total, dan P-total. Suhu diukur setiap hari, baik pada kultur skala laboratorium maupun kultur skala massal. Sementara itu, pH, N-total, dan P-total diukur pada awal dan akhir perlakuan, hanya pada kultur skala laboratorium.

2.4. Analisis Data

Data yang telah diperoleh diolah dengan bantuan program Microsoft Excel 2007 dan dianalisis secara deskriptif. Data yang dianalisis adalah pertumbuhan, biomassa, kecerahan, dan kualitas air.


(18)

6

III.

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Hasil

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan diperoleh data mengenai kepadatan, laju pertumbuhan spesifik, biomassa, analisis proksimat, klorofil, dan kualitas air dari kultur Spirulina fusiformis skala laboratorium dengan tiga perlakuan yang telah ditetapkan. Sementara itu, dari kultur S. fusiformis skala massal diperoleh data mengenai kecerahan.

3.1.1 Pertumbuhan

Pertumbuhan S. fusiformis dengan perlakuan media Zarrouk modifikasi (A), media berbasis urea (B), dan media berbasis kotoran ayam (C) dapat dilihat dari kepadatan, laju pertumbuhan spesifik, dan biomassa pada kultur skala laboratorium, serta kecerahan pada kultur skala massal.

Hasil pengamatan kepadatan S. fusiformis pada kultur skala laboratorium untuk setiap perlakuan selama 21 hari masa kultur dapat dilihat pada Gambar 1. Perlakuan C memiliki pertumbuhan paling baik yang dapat dilihat dari tercapainya puncak pertumbuhan pada hari ke-17 dengan kepadatan 33,51x104 sel/mL. Sementara itu, perlakuan A dan B memiliki pertumbuhan yang relatif sama. Perlakuan A belum mencapai titik puncak pertumbuhan karena pada akhir perlakuan masih menunjukkan peningkatan. Perlakuan B mengalami titik puncak pertumbuhan pada hari ke-17 dengan kepadatan 10,40x104 sel/mL, namun pertumbuhannya relatif tidak stabil.

Gambar 1. Grafik kepadatan S. fusiformis pada kultur skala laboratorium dengan perlakuan media Zarrouk modifikasi (A), media berbasis urea (B), dan media berbasis kotoran ayam (C)

0 100000 200000 300000 400000

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20

K e p a d at an ( se l/ m L ) Hari Ke-A B C


(19)

7 Hasil pengamatan laju pertumbuhan spesifik S. fusiformis pada kultur skala laboratorium untuk setiap perlakuan selama 21 hari masa kultur dapat dilihat pada Gambar 2. Laju pertumbuhan spesifik S. fusiformis mengalami penurunan di akhir penelitian untuk perlakuan B dan C. Perlakuan A dan B mempunyai nilai LPS yang hampir sama, namun cenderung rendah dibandingkan dengan perlakuan C.

Gambar 2. Grafik laju pertumbuhan spesifik S. fusiformis pada kultur skala laboratorium dengan perlakuan media Zarrouk modifikasi (A), media berbasis urea (B), dan media berbasis kotoran ayam (C) Hasil pengamatan biomassa S. fusiformis pada kultur skala laboratorium untuk setiap perlakuan selama 21 hari masa kultur dapat dilihat pada Gambar 3. Pertumbuhan biomassa dialami oleh S. fusiformis pada semua perlakuan. Perlakuan C mengalami pertumbuhan biomassa yang paling tinggi, sedangkan perlakuan A dan B mengalami pertumbuhan biomassa yang relatif sama.

Gambar 3. Grafik biomassa S. fusiformis pada kultur skala laboratorium dengan perlakuan media Zarrouk modifikasi (A), media berbasis urea (B), dan media berbasis kotoran ayam (C)

0.00 0.10 0.20 0.30 0.40 0.50 0.60

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20

L aj u P e rt u m b u h an S p e si fi k (H ar i-1 ) Hari Ke-A B C 0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 3.00

1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112131415161718192021

B io m as sa ( g/ L ) Hari Ke-A B C


(20)

8 Parameter kecerahan diamati pada kultur skala massal. Hasil pengamatan kecerahan S. fusiformis untuk setiap perlakuan selama 15 hari masa kultur dapat dilihat pada Gambar 4. Nilai kecerahan menggambarkan kepadatan kultur S. fusiformis, yaitu semakin rendah kepadatan kultur maka kecerahan semakin tinggi. Data kecerahan dapat dilihat pada Lampiran 5 dan 6.

Keterangan: = garis polynomial pada perlakuan Zarrouk modifikasi (A), media berbasis urea (B), dan media berbasis kotoran ayam (C)

Gambar 4. Grafik kecerahan S. fusiformis pada kultur skala massal dengan perlakuan media Zarrouk modifikasi (A), media berbasis urea (B), dan media berbasis kotoran ayam (C)

3.1.2 Analisis Kualitas Nutrisi

Analisis kualitas nutrisi S. fusiformis dapat dilihat dari analisis proksimat dan kandungan klorofil. Hasil analisis proksimat S. fusiformis pada kultur skala laboratorium untuk setiap perlakuan selama 21 hari masa kultur dapat dilihat pada Tabel 3. Kandungan protein dan lemak tertinggi terdapat pada perlakuan A, yaitu masing-masing sebesar 42,76% dan 13,44%. Sementara itu, kandungan protein dan lemak terendah terdapat pada perlakuan C, yaitu masing-masing sebesar 33,34% dan 4,87%.

Tabel 3. Analisis proksimat S. fusiformis pada kultur skala laboratorium dengan perlakuan media Zarrouk modifikasi (A), media berbasis urea (B), dan media berbasis kotoran ayam (C) dalam % bobot kering

Perlakuan Kadar Protein (%) Kadar Lemak (%)

A 42,76 13,44

B 37,34 9,32

C 33,34 4,87

yA= 0.103x2 - 1.946x + 12.00 R² = 0.845

y B= 0.104x2 - 1.994x + 11.39 R² = 0.955

yC = 0.082x2 - 1.659x + 9.329 R² = 0.928

0 2 4 6 8 10 12

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

K e c e ra h a n (c m ) Hari Ke-A B C


(21)

9 Hasil analisis kandungan klorofil S. fusiformis pada kultur skala laboratorium untuk setiap perlakuan selama 21 hari masa kultur dapat dilihat pada Tabel 4. Kandungan klorofil S. fusiformis pada perlakuan C memiliki nilai tertinggi, yaitu sebesar 1890,640 mg/L dan pada perlakuan B memiliki nilai terendah, yaitu sebesar 256,175 mg/L.

Tabel 4. Kandungan klorofil S. fusiformis pada kultur skala laboratorium dengan perlakuan pupuk Zarrouk modifikasi (A), pupuk berbasis urea (B), dan pupuk berbasis kotoran ayam (C)

Perlakuan Klorofil (mg/L)

A 1119,700

B 256,175

C 1890,640

3.1.3 Kualitas Air

Hasil analisis kualitas air kultur S. fusiformis pada kultur skala laboratorium untuk setiap perlakuan selama 21 hari masa kultur dapat dilihat pada Tabel 5. Kisaran nilai kualitas air kultur S. fusiformis selama masa pemeliharaan memiliki nilai yang relatif sama. Nilai masing-masing parameter kualitas air tersebut juga disajikan dalam grafik seperti pada Gambar 5, 6, dan 7.

Tabel 5. Kualitas air kultur S. fusiformis pada kultur skala laboratorium

Perlakuan Suhu (0C) pH P-total (mg/L) N-total (mg/L) A 23 – 25 9,10 – 10,80 6,588 – 9,020 0,224 – 1,188 B 23 – 25 8,49 – 9,77 6,300 – 9,740 0,153 – 0,440 C 22,5 – 25 9,32 – 10,25 6,796 – 9,340 0,110 – 0,940

Gambar 5. Grafik pH kultur S. fusiformis pada kultur skala laboratorium dengan perlakuan media Zarrouk modifikasi (A), media berbasis urea (B), dan media berbasis kotoran ayam (C)

9.15 8.99 9.39 10.37 9.33 10.07 8.00 8.50 9.00 9.50 10.00 10.50

A B C

p

H

Perlakuan

Awal Akhir


(22)

10 Berdasarkan Gambar 5 dapat dilihat bahwa terjadi kenaikan pH di akhir perlakuan. Kenaikan pH tertinggi terjadi pada perlakuan A dan C, sedangkan kenaikan pH terendah terjadi pada perlakuan B. Nilai kenaikan pH antara perlakuan A dan C relatif sama.

Gambar 6. Grafik P-total kultur S. fusiformis pada kultur skala laboratorium dengan perlakuan media Zarrouk modifikasi (A), media berbasis urea (B), dan media berbasis kotoran ayam (C)

Berdasarkan Gambar 6 dapat dilihat bahwa terjadi penurunan nilai P-total di akhir perlakuan. Penurunan P-total terendah terjadi pada perlakuan C. Sementara itu, nilai penurunan P-total pada perlakuan A dan B hampir sama.

Gambar 7. Grafik N-total kultur S. fusiformis pada kultur skala laboratorium dengan perlakuan media Zarrouk modifikasi (A), media berbasis urea (B), dan media berbasis kotoran ayam (C)

8.559 9.465 9.180

6.985 7.935 7.023

0.000 2.000 4.000 6.000 8.000 10.000

A B C

P -tot al (m g /L ) Perlakuan Awal Akhir 0.291 0.263 0.144 0.743 0.337 0.640 0.000 0.100 0.200 0.300 0.400 0.500 0.600 0.700 0.800

A B C

N -t ota l (m g/ L ) Perlakuan Awal Akhir


(23)

11 Berdasarkan Gambar 7 dapat dilihat bahwa terjadi kenaikan nilai N-total di akhir perlakuan. Kenaikan N-total tertinggi terjadi pada perlakuan C, namun nilainya hampir sama dengan perlakuan A. Sementara itu, kenaikan N-total terendah terjadi pada perlakuan B.

Perbandingan nilai N dan P pada kultur S. fusiformis dengan perlakuan pupuk Zarrouk modifikasi (A), pupuk berbasis urea (B), dan pupuk berbasis kotoran ayam (C) dapat dilihat pada Tabel 6. Berdasarkan tabel tersebut dapat dilihat bahwa terjadi peningkatan rasio N dan P di akhir perlakuan. Peningkatan rasio N dan P tertinggi terjadi pada perlakuan A.

Tabel 6. Perbandingan nilai N dan P kultur S. fusiformis pada skala laboratorium dengan perlakuan pupuk Zarrouk modifikasi (A), pupuk berbasis urea (B), dan pupuk berbasis kotoran ayam (C)

Perlakuan Awal Akhir

A 0,03 0,11

B 0,03 0,04

C 0,02 0,09

3.2. Pembahasan 3.2.1 Pertumbuhan

Parameter kepadatan populasi digunakan secara luas untuk mengetahui pertumbuhan mikroalga. Pola pertumbuhan S. fusiformis meliputi beberapa fase, yaitu fase lag, fase eksponensial, fase penurunan laju pertumbuhan, fase stasioner, dan fase kematian. Fase lag merupakan fase adaptasi, yaitu saat sel akan berusaha menyesuaikan diri dengan media tumbuhnya sehingga tidak terjadi kenaikan jumlah sel (Fogg, 1975). S. fusiformis pada perlakuan A dan B mengalami fase lag yang relatif lama dibandingkan perlakuan C yang hanya 2 hari. Hal ini menandakan lamanya waktu yang dibutuhkan oleh S. fusiformis pada perlakuan A dan B untuk beradaptasi terhadap media tumbuhnya. Menurut Fogg (1975), pada fase ini terjadi pertumbuhan yang lambat karena alokasi energi dipusatkan untuk penyesuaian diri terhadap media kultur yang baru dan untuk pemeliharaan sehingga hanya sebagian kecil atau tidak ada energi yang digunakan untuk tumbuh.

Fase eksponensial merupakan fase waktu terjadi peningkatan jumlah sel yang berlangsung secara cepat (Fogg, 1975). S. fusiformis pada perlakuan A


(24)

12 mengalami fase eksponensial pada hari ke-14 dan fase ini masih berlangsung hingga akhir perlakuan. Sementara itu, S. fusiformis pada perlakuan B mengalami fase eksponensial pada hari ke-5 sampai hari ke-10. Kemudian pertumbuhan relatif stabil hingga mencapai kepadatan populasi maksimum di hari ke-17 dengan kepadatan 10,40x104 sel/mL. Pada perlakuan C, S. fusiformis mengalami fase eksponensial dari hari ke-2 hingga hari ke-9, yang diikuti dengan fase penurunan laju pertumbuhan dan fase stasioner hingga kultur mencapai kepadatan populasi maksimum. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1 dan 2.

Fogg (1975) menyebutkan bahwa pertumbuhan sel relatif lambat dan terjadi penurunan dalam pertambahan populasi per satuan waktu bila dibandingkan dengan fase eksponensial pada saat fase penurunan laju pertumbuhan. Melambatnya pertumbuhan populasi ini dikarenakan zat nutrisi di dalam media sudah sangat berkurang. Sementara itu, pada fase stasioner jumlah sel tidak berubah karena pertambahan kepadatan populasi seimbang dengan pengurangan kepadatan populasi akibat kematian.

Setelah mencapai kepadatan populasi maksimum, terjadi penurunan kepadatan populasi hingga akhirnya sampai pada fase kematian. Pada perlakuan A tidak terjadi fase kematian karena masih mengalami fase eksponensial, sedangkan perlakuan B dan C mengalami fase kematian setelah mencapai titik puncak pertumbuhan. Fase ini dapat dilihat dari warna kultur yang mulai berubah menjadi hijau kekuningan. Fase kematian terjadi karena adanya penurunan jumlah sel akibat kematian. Penyebab kematian sel-sel tersebut yaitu akibat habisnya nutrien di dalam media dan energi cadangan di dalam sel. Kecepatan kematian dipengaruhi oleh kondisi nutrien, lingkungan, dan jenis mikroalga (Fogg, 1975).

Adanya perbedaan dalam peningkatan kepadatan populasi selama kultur diduga karena adanya perbedaan dalam jumlah nutrien yang tersedia dan adanya perbedaan dalam proses pemanfaatan nutrien. S. fusiformis yang dikultur dengan media berbasis kotoran ayam (perlakuan C) memiliki pertumbuhan yang paling baik dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal ini diduga karena kandungan nutrien dalam media berbasis kotoran ayam dapat mencukupi kebutuhan S. fusiformis untuk tumbuh. Kandungan nutrien dalam media Zarrouk modifikasi (perlakuan A) lebih lengkap dibandingkan perlakuan lainnya (Tabel 1 dan 2)


(25)

13 karena media tersebut merupakan media spesifik untuk Spirulina. Namun pertumbuhannya lebih lambat dibandingkan dengan perlakuan C karena penyerapan nutriennya yang relatif lambat. Pada akhir perlakuan masih terjadi peningkatan kepadatan S. fusiformis karena nutrien yang ada masih mencukupi untuk pertumbuhan.

Hakim et al. (1986) menyebutkan bahwa nitrogen yang terkandung dalam urea mudah larut sehingga mempercepat penyerapan alga terhadap urea dan ketersediannya dalam media lama-kelamaan akan habis. Namun dalam penelitian ini, hal tersebut sepertinya berlangsung lebih lambat karena kepadatan populasi S. fusiformis yang dikultur dengan media berbasis urea (perlakuan B) tidak mengalami pertumbuhan yang signifikan seperti pada perlakuan C. Sementara itu, nutrien yang terdapat dalam media berbasis kotoran ayam diduga mulai habis karena dimanfaatkan oleh S. fusiformis.

Laju pertumbuhan spesifik menggambarkan kecepatan pertambahan sel alga per satuan waktu. Laju pertumbuhan spesifik dapat dipakai sebagai tolok ukur untuk mengetahui daya dukung media terhadap pertumbuhan alga. Semakin tinggi laju pertumbuhan spesifik menunjukkan daya dukung media terhadap pertumbuhan alga semakin baik. Faktor yang dapat mempengaruhi laju pertumbuhan spesifik adalah kandungan unsur hara yang terdapat dalam media kultur (Myers, 1955).

Berdasarkan Gambar 2 dapat dilihat nilai laju pertumbuhan spesifik S. fusiformis pada perlakuan A, B, dan C masing-masing berkisar antara 0,07-0,16/hari, 0,01-0,11/hari, dan 0,14-0,49/hari. Rendahnya nilai laju pertumbuhan spesifik menandakan laju pertumbuhan yang semakin turun seiring bertambahnya masa pemeliharaan. Hal ini dikarenakan kandungan nutrien dalam media yang digunakan mulai berkurang seiring dengan bertambahnya waktu pemeliharaan.

Fogg (1975) menyatakan bahwa peningkatan populasi alga yang terjadi menyebabkan nutrien berkurang sangat cepat sehingga terjadi penurunan laju pertumbuhan. Selain itu, adanya bayangan populasi dari selnya sendiri (self shading) juga menyebabkan berkurangnya intensitas cahaya yang diserap sehingga dapat menyebabkan kematian individu.


(26)

14 Pertumbuhan mikroalga juga dapat dilihat dari biomassa yang berkaitan dengan kepadatannya. Biomassa akhir perlakuan C lebih tinggi dibandingkan perlakuan lainnya, yaitu 2,34 g/L. Hal ini sesuai dengan kepadatan populasi perlakuan C yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan lainnya. Dalam hal ini kepadatan populasi berbanding lurus dengan biomassanya, yaitu semakin padat kultur yang dihasilkan maka semakin tinggi biomassanya, begitu pula sebaliknya.

Arief (2010) menggunakan kotoran ayam dengan dosis 8 ppm dalam kultur S. platensis dan menghasilkan biomassa sebesar 0,285 g/L. Biomassa yang dihasilkan tersebut lebih kecil dibandingkan dengan biomassa yang dapat dihasilkan dalam penelitian ini, yaitu 2,34 g/L. Dosis kotoran ayam yang digunakan dalam penelitian ini adalah 250 ppm yang mengacu pada penelitian Winarti (2003). Hal ini menunjukkan bahwa dosis kotoran ayam 8 ppm masih belum optimal digunakan dalam kultur Spirulina karena dalam penelitian Winarti (2003) dosis kotoran ayam yang menghasilkan pertumbuhan paling baik adalah 250 ppm dengan kepadatan maksimum mencapai 42,23x104 sel/mL.

Sementara itu, Rositasari (2010) menggunakan kotoran ayam yang telah difermentasi dengan EM-4 dengan dosis masing-masing adalah 10 ppm dan 0,1 mL dalam kultur S. platensis. Penggunaan media tersebut menghasilkan biomassa seberat 0,745 g/L. Penggunaan kotoran ayam yang telah difermentasi dengan EM-4 dapat meningkatkan biomassa kultur.

Kecerahan dapat dijadikan tolok ukur untuk mengetahui kepadatan populasi mikroalga pada kultur skala massal. Semakin rendah nilai kecerahan menandakan semakin padatnya kultur mikroalga, dan menjadi penanda waktu panen dari mikroalga tersebut. Berdasarkan Gambar 4 dapat dilihat bahwa nilai kecerahan masing-masing perlakuan tidak stabil hingga akhir perlakuan. Hal ini dikarenakan S. fusiformis mulai dipanen setelah kultur mencapai kecerahan 1,5-2,5 cm (Lampiran 5). S. fusiformis dengan perlakuan C lebih cepat panen dibandingkan perlakuan lainnya karena lebih dulu mencapai kepadatan maksimum.

Waktu panen yang ideal adalah ketika laju pertumbuhan spesifik mencapai nilai maksimum. Karena pada saat tersebut biomassa sel mencapai konsentrasi yang optimum. Konsentrasi biomassa yang optimum akan berkorelasi dengan produktivitas tertinggi (Vonshak, 1997 dalam Santosa, 2010). Waktu panen yang


(27)

15 disarankan pada pemakaian media Zarrouk modifikasi, media berbasis urea, dan media berbasis kotoran ayam adalah pada hari ke-9 sampai hari ke-10. Hal ini dapat dilihat dari nilai kecerahan dan kepadatan pada kultur skala massal yang berkorelasi dengan kepadatan, laju pertumbuhan spesifik, dan biomassa dari S. fusiformis pada kultur skala laboratorium (Gambar 1-4 serta Lampiran 2-6).

Pemupukan ulang dapat dilakukan setelah panen dilakukan agar nutrien yang dibutuhkan S. fusiformis untuk tumbuh terus tersedia. Hal ini dapat dilihat dari laju pertumbuhannya yang mulai mendatar (Gambar 1 dan 2), serta kecerahan kultur yang mulai meningkat kembali (Gambar 4).

Media berbasis pupuk organik, yaitu urea (perlakuan B) dapat dijadikan sebagai substitusi media Zarrouk modifikasi (perlakuan A) karena memiliki nilai kepadatan, laju pertumbuhan spesifik, biomassa, dan waktu panen yang mendekati perlakuan A. Sementara itu, perlakuan C (media berbasis kotoran ayam) memiliki nilai kepadatan, laju pertumbuhan spesifik, biomassa, dan waktu panen yang lebih baik dibandingkan dengan perlakuan lainnya.

3.2.2 Analisis Kualitas Nutrisi

Tabel 3 memperlihatkan kandungan protein dan lemak tertinggi terdapat pada perlakuan A, yaitu sebesar 42,76% dan 13,44%. Sementara itu, kandungan protein dan lemak terendah terdapat pada perlakuan C, yaitu sebesar 33,34% dan 4,87%. Kandungan protein pada S. fusiformis tersebut lebih kecil dibandingkan hasil penelitian Rafiqul et al. (2005) yaitu sebesar 61,8%. Namun kandungan lemak pada hasil penelitian Rafiqul et al. (2005) lebih rendah dari perlakuan A dan B, yaitu sebesar 6,9%.

Pigmen bioaktif utama Spirulina adalah klorofil-a, dengan konsentrasi berkisar antara 0,8-1,5% per berat kering (Paloetti, 1980 dalam Diharmi, 2001). Klorofil-a merupakan pigmen fotosintesis. Tabel 4 memperlihatkan kandungan klorofil S. fusiformis pada perlakuan C memiliki nilai tertinggi, yaitu sebesar 1890,640 mg/L dan pada perlakuan B memiliki nilai terendah, yaitu sebesar 256,175 mg/L. Hal ini berhubungan dengan kepadatan S. fusiformis. Semakin padat kultur, maka semakin tinggi pula nilai klorofilnya.

Penelitian yang telah dilakukan menyebutkan bahwa penggunaan urea sebagai sumber nitrogen untuk S. platensis (Stanca and Popovici, 1996 dalam


(28)

16 Soletto et al., 2005; Danesi et al., 2002) meningkatkan produksi biomassa dan kandungan klorofil (Rangel-Yagui et al., 2004). Kandungan klorofil S. platensis mengalami penurunan pada konsentrasi nitrogen yang rendah dengan ciri-ciri akan berwarna hijau kekuningan (Carvalho et al., 2004). Namun, dalam penelitian ini kandungan klorofil yang terdapat pada S. fusiformis yang dikultur dengan media berbasis urea lebih rendah dibandingkan perlakuan lainnya.

3.2.3 Kualitas Air

Suhu secara langsung mempengaruhi efisiensi fotosintesis dan merupakan faktor yang menentukan pertumbuhan mikroalga. Spirulina termasuk ke dalam mikroalga mesofilik, yang dapat tumbuh pada temperatur 20-400C dengan suhu optimum pertumbuhannya 25-330C. Suhu minimum untuk pertumbuhannya adalah antara 18-200C. Umumnya kisaran temperatur untuk pertumbuhan mikroalga hijau-biru lebih besar dibandingkan jenis mikroalga lainnya (Borowitzka dan Borowitzka, 1988). Hasil pengukuran suhu selama penelitian berkisar antara 22,5-250C, sehingga masih dalam kisaran suhu optimum untuk pertumbuhan S. fusiformis.

Nilai pH merupakan faktor yang penting bagi pertumbuhan Spirulina yang dapat menentukan kemampuan biologi mikroalga dalam memanfaatkan unsur hara (Fogg, 1975). Nilai pH media kultur selama pemeliharaan berkisar antara 8,49-10,80. Ciferri (1983) menyatakan bahwa Spirulina dapat tumbuh dengan baik pada pH 8-11, sehingga kisaran nilai pH selama penelitian masih termasuk ke dalam kisaran pH optimum Spirulina. Soong (1980) dalam Handini (1994) mengemukakan bahwa pH diatas 10,5 atau kurang dari 7 akan menghambat pertumbuhan. Ketidaksesuaian pH akan menyebabkan lisis dan perubahan pigmen. Selain itu, pada pH yang tinggi kultur tidak akan mudah terkontaminasi oleh alga lainnya (Richmond, 1988).

Terjadi peningkatan nilai pH untuk semua perlakuan setelah proses pemeliharaan (Gambar 5) yang disebabkan oleh proses fotosintesis dan diduga adanya penguraian media oleh bakteri. Selain itu, adanya NaHCO3 pada komposisi media dapat meningkatkan nilai pH (Zarrouk, 1966 dalam Richmond, 1988).


(29)

17 Unsur N dan P merupakan unsur utama yang penting bagi pertumbuhan alga. Secara umum, alga dapat memanfaatkan nitrat, ammonia, atau sumber nitrogen lain seperti urea (Becker, 1994). Fogg et al. (1973) menyebutkan bahwa Cyanophyceae dapat mengasimilasi nitrogen dari udara. Konsentrasi fosfor sering menjadi pembatas dalam pertumbuhan alga di habitatnya. Fosfor terdapat dalam bentuk ortofosfat dan P-organik (Becker, 1994).

Kisaran nilai P-total selama penelitian adalah 6,300-9,740 mg/L. Becker (1994) menyatakan bahwa rata-rata nilai fosfor yang masih dapat ditoleransi oleh mikroalga berkisar antara 0,050-20 mg/L sehingga kisaran nilai P-total selama penelitian masih dapat ditoleransi oleh S. fusiformis. Pada akhir perlakuan terjadi penurunan nilai P-total untuk semua perlakuan (Gambar 6). Alga hijau biru biasanya mengasimilasi fosfat dalam jumlah melebihi kebutuhannya, baik dalam keadaan terang maupun gelap, dan ditimbun dalam bentuk polifosfat yang dapat digunakan kembali jika diperlukan (Fogg et al., 1973).

Kisaran nilai N-total selama penelitian adalah 0,110-1,188 mg/L. Pada akhir perlakuan terjadi peningkatan nilai N-total untuk semua perlakuan (Gambar 7). Hal ini diduga karena S. fusiformis dapat menggunakan nitrogen yang berasal dari udara bebas (Fogg et al., 1973) sehingga nitrogen yang terdapat dalam media tidak termanfaatkan sepenuhnya. Sumber N diduga berasal dari pupuk dan sisa-sisa penguraian S. fusiformis yang sudah mati.

Beberapa penelitian memperlihatkan bahwa media dengan N yang terbatas masih dapat memberikan pertumbuhan yang relatif bagus kepada S. fusiformis. Sebaliknya untuk media kekurangan P akan mengalami gangguan pertumbuhan dan konsentrasi biomassa (Chrismadha et al., 2006; elekli et al., 2009). Dengan demikian, data tersebut mendukung hasil pada Gambar 6 dan 7.

Rasio N dan P berpengaruh terhadap pertumbuhan fitoplankton karena apabila rasio jumlah N dan P berlebihan bisa menjadi faktor pembatas. Sebaliknya apabila jumlah N dan P kurang maka fitoplankton akan mati (Rositasari, 2010). Rasio N dan P untuk alga hijau-biru adalah kurang dari 10:1 (Eddy et al., 2003 dalam Arief, 2010). Rasio N dan P pada media kultur mengalami peningkatan untuk semua perlakuan. Hal ini karena adanya penurunan nilai P-total di akhir perlakuan sehingga berpengaruh terhadap rasio N dan P.


(30)

18

IV.

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan

Media berbasis kotoran ayam memiliki nilai kepadatan, laju pertumbuhan spesifik, dan biomassa yang lebih baik dibandingkan perlakuan lainnya. Pada media berbasis pupuk anorganik, urea dapat dijadikan sebagai substitusi pupuk Zarrouk modifikasi, dilihat dari nilai kepadatan, laju pertumbuhan spesifik, biomassa, dan waktu panen yang mendekati media Zarrouk modifikasi. Kandungan nutrisi S. fusiformis dari yang paling baik adalah S. fusiformis yang dikultur dengan media Zarrouk modifikasi, media berbasis urea, dan media berbasis kotoran ayam. Waktu panen pada pemakaian media Zarrouk modifikasi, media berbasis urea, dan media berbasis kotoran ayam adalah pada hari ke-9 sampai hari ke-10.

4.2. Saran

Penelitian lanjutan mengenai formulasi pupuk bagi media S. fusiformis dapat dilakukan terutama dengan menggunakan kotoran ayam yang telah difermentasi. Penggunaan urea dan kotoran ayam dalam media kultur S. fusiformis dapat diterapkan di masyarakat. Pemupukan ulang dapat dilakukan setelah panen agar produksi dapat terus berlanjut.


(31)

19

DAFTAR PUSTAKA

Arief, A.S., 2010. Pemanfaatan limbah kotoran ayam kering sebagai pupuk organik untuk pertumbuhan populasi Spirulina platensis. [Skripsi]. Fakultas Perikanan dan Kelautan, Universitas Airlangga. Surabaya.

Becker, E.W., 1994. Microalgae Biotechnology and Microbiology. Cambridge University Press, England.

Belay, A., Kato, T., Ota, Y., 1996. Spirulina (Arthrospira): potential application as an animal feed supplement. Journal of Applied Phycology 8, 303-311. Bold, H.C., Wynne, M.J., 1985. Introduction to The Algae Structure and

Reproduction. Second Edition. Prentice-Hall, Inc., New Jersey.

Borowitzka, M.A., Borowitzka, L.J., 1988. Micro-algal Biotechnology. Cambridge University Press. England.

Carvalho. J.C.M., Fransisko, F.R., Almeida, K.A., Sato, S., Converti, A., 2004. Cultivation of Arthrospira (Spirulina) platensis (Cyanophyceae) by fed-batch addition of ammonium chloride at exponentially increasing feeding rates. Journal Phycology 40, 589-597.

elekli, A., Yavuzatmaca, M., Bozkurt, H., 2009. Modelling of biomass production by Spirulina platensis as function of phosphate concentrations and pH regimes. Bioresourches Technology 100, 3625-3629.

Chrismada, T., Panggabean, L.M., Mardiati, Y., 2006. Pengaruh konsentrasi nitrogen dan fosfor terhadap pertumbuhan, kandungan protein, karbohidrat, dan fikosianin pada kultur Spirulina fusiformis. Berita Biologi 8 (3), 163-169.

Ciferri, O., 1983. Spirulina The Edible Microorganism. Microbiol Review. America Society.

Costa, J.A.V., Colla, L.M., Duarte, P.F., 2004. Improving Spirulina platensis biomass yield using a fed-batch process. Bioresourches Technology 23, 261-269.

Danesi, E.D.G., Rangel-Yagui, C. de O., de Carvalho, J.C.M., Sato, S., 2002. An investigation of effect of replacing nitrate by urea in the growth and production of chlorophyll by Spirulina platensis. Biomass and Bioenergy 23, 261-269.

De Pauw, N., Persoone, G., 1988. Micro-algae for aquaculture article, in: Borowitzka, M.A., Borowitzka, L.J. Micro-algal Biotechnology. Cambridge University Press. England, pp. 198-221.


(32)

20 Diharmi, A., 2001. Pengaruh pencahayaan terhadap kandungan pigmen bioaktif mikroalga Spirulina platensis strain Lokal (INK). [Tesis]. Program PascaSarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Fogg, G.E., 1975. Algal Culture and Phytoplankton Ecology. The University of Winsconsin Press, London.

Fogg, G.E., Stewart, W.D.P., Fay, P., Walsby, A.E., 1973. The Blue-green Algae. Academic Press, London.

Hakim, N., Nyakpa, Y., Lubis, A.M., Nugroho, S.G., Dika, A., Go, B.H., Bailey, H.H., 1986. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung, Lampung. Handini, 1994. Pengaruh dosis EDTA yang berbeda terhadap pertumbuhan

populasi alga Spirulina sp. dalam media yang mengandung Urea dan TSP. [Skripsi]. Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Marliani, L., 2007. Olah Spirulina saat liliput berubah wujud. Artikel Trubus. Available at http://www.trubusonline.com [25 Juli 2010]

Myers, J., 1955. Growth characteristic of algae in relation to the problem of mass culture article, in: Burlew, J.S. Algal Culture from Laboratory to Pilot Plant. Carnigie Institution of Washington Publication, Washington D.C., pp. 37-54.

Rafiqul, I.M., Jalal, K.C.A., Alam, M.Z., 2005. Environmental factors for optimization of Spirulina biomass in laboratory culture. Biotechnology 4 (1), 19-22.

Rangel-Yagui, C. de O., Danesi, E.D.G., de Carvalho, J.C.M., Sato, S., 2004. Clorophyll production from Spirulina platensis: cultivation with urea addition by fed-batch process. Bioresource Technology 92, 133-141.

Richmond, A., 1988. Spirulina article, in: Borowitzka, M.A., Borowitzka, L.J. Micro-algal Biotechnology. Cambridge University Press, England, pp. 85-121.

Rositasari, C., 2010. Pengaruh lama fermentasi kotoran ayam dengan Effective Microorganism (EM-4) sebagai pupuk terhadap populasi Spirulina platensis. [Skripsi]. Fakultas Perikanan dan Kelautan, Universitas Airlangga. Surabaya.

Santosa, A., 2010. Produksi Spirulina sp. yang dikultur dengan perlakuan manipulasi fotoperiod. [Skripsi]. Program Studi Teknologi dan Manajemen Perikanan Budidaya, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.


(33)

21 Soletto, D., Binaghi, L., Lodi, A., de Carvalho, J.C.M., Converti, A., 2005. Batch and fed-batch cultivations of Spirulina platensis using ammonium sulphate and urea as nitrogen source. Aquaculture 243, 217-224.

Winarti, 2003. Pertumbuhan Spirulina platensis yang dikultur dengan pupuk komersil (Urea, TSP, dan ZA) dan kotoran ayam. [Skripsi]. Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.


(34)

22

LAMPIRAN


(35)

23 Lampiran 1. Prosedur pembuatan media berbasis kotoran ayam

Kotoran ayam kering

Rebus hingga mendidih

Masukkan ke dalam botol bervolume 1L, tambah air tawar

Saring, ambil airnya Dinginkan


(36)

24 Lampiran 2. Data kepadatan rata-rata S. fusiformis pada kultur skala

laboratorium

Hari Ke-

Kepadatan Rata-rata S. fusiformis (sel/mL) Media Zarrouk

Modifikasi

Media Berbasis Urea

Media Berbasis Kotoran Ayam

0 2,02 x 104 2,02 x 104 2,02 x 104

1 2,20 x 104 2,14 x 104 3,31 x 104

2 2,76 x 104 2,44 x 104 4,36 x 104

3 2,96 x 104 2,31 x 104 6,05 x 104

4 3,07 x 104 2,09 x 104 8,42 x 104

5 3,60 x 104 2,78 x 104 11,29 x 104

6 3,71 x 104 3,82 x 104 14,38 x 104

7 3,78 x 104 4,13 x 104 16,87 x 104

8 4,22 x 104 4,89 x 104 20,49 x 104

9 4,94 x 104 5,07 x 104 24,13 x 104

10 5,09 x 104 5,58 x 104 26,04 x 104

11 4,91 x 104 5,35 x 104 27,31 x 104

12 4,91 x 104 5,11 x 104 28,16 x 104

13 4,87 x 104 4,73 x 104 29,49 x 104

14 5,84 x 104 8,37 x 104 30,20 x 104

15 7,43 x 104 9,40 x 104 30,93 x 104

16 7,94 x 104 10,00 x 104 31,87 x 104

17 10,02 x 104 10,40 x 104 33,51 x 104

18 11,45 x 104 9,84 x 104 31,87 x 104

19 12,40 x 104 9,80 x 104 31,05 x 104


(37)

25 Lampiran 3. Data laju pertumbuhan spesifik rata-rata S. fusiformis pada

kultur skala laboratorium

Hari Ke-

Laju Pertumbuhan Spesifik Rata-rata S. fusiformis (hari-1)

Media Zarrouk Modifikasi

Media Berbasis Urea

Media Berbasis Kotoran Ayam

1 0,09 0,06 0,49

2 0,16 0,09 0,38

3 0,13 0,04 0,37

4 0,10 0,01 0,36

5 0,12 0,06 0,34

6 0,10 0,11 0,33

7 0,09 0,10 0,30

8 0,08 0,11 0,29

9 0,10 0,10 0,28

10 0,09 0,10 0,26

11 0,08 0,09 0,24

12 0,07 0,08 0,22

13 0,07 0,07 0,21

14 0,08 0,10 0,19

15 0,09 0,10 0,18

16 0,09 0,10 0,17

17 0,09 0,10 0,17

18 0,10 0,09 0,15

19 0,10 0,08 0,14


(38)

26 Lampiran 4. Data biomassa rata-rata S. fusiformis pada kultur skala

laboratorium

Hari Ke-

Biomassa Rata-rata S. fusiformis (g/L) Media Zarrouk

Modifikasi

Media Berbasis Urea

Media Berbasis Kotoran Ayam

0 1,09 0,89 0,42

1 1,42 1,26 1,38

2 1,42 1,26 1,38

3 1,42 1,26 1,40

4 1,42 1,26 1,44

5 1,42 1,26 1,51

6 1,43 1,28 1,62

7 1,43 1,30 1,73

8 1,43 1,34 1,90

9 1,44 1,35 2,08

10 1,44 1,38 2,17

11 1,44 1,36 2,22

12 1,44 1,35 2,25

13 1,44 1,33 2,30

14 1,46 1,58 2,33

15 1,51 1,64 2,35

16 1,53 1,67 2,38

17 1,61 1,68 2,43

18 1,66 1,66 2,38

19 1,70 1,66 2,36

20 1,75 1,63 2,34

- Kecerahan perlakuan media Zarrouk modifikasi: yA = 0,103x2 – 1,946x + 12,00 Titik balik minimum yA = 9,4

- Kecerahan perlakuan media berbasis urea: yB = 0,104x2 – 1,994x + 11,39 Titik balik minimum yB = 9,6

- Kecerahan perlakuan media berbasis kotoran ayam: yC = 0,082x2 – 1,659x + 9,329 Titik balik minimum yC = 10,1


(39)

27 Lampiran 5. Data kecerahan S. fusiformis pada kultur skala massal

Hari Ke-

Kecerahan S. fusiformis (cm) Media Zarrouk

Modifikasi

Media Berbasis Urea

Media Berbasis Kotoran Ayam

0 10,2 9,5 7,8

1 8,5 7,8 6,3

2 7,1 6,3 5,1

3 5,9 5,1 4,0

4 4,9 4,0 3,1

5 4,0 3,2 2,3

6 3,4 2,5 1,7

7 3,0 2,1 1,3

8 2,8 1,9 1,0

9 2,8 1,9 0,9

10 3,1 2,0 1,0

11 3,5 2,4 1,2

12 4,1 3,0 1,6

13 4,9 3,9 2,2


(40)

28 Lampiran 6. Data kepadatan rata-rata S. fusiformis pada kultur skala

massal

Hari Ke-

Kecerahan S. fusiformis (sel/mL) Media Zarrouk

Modifikasi

Media Berbasis Urea

Media Berbasis Kotoran Ayam

0 3,73 x 104 4,27 x 104 5,27 x 104

1 3,60 x 104 4,47 x 104 3,82 x 104

2 4,23 x 104 6,36 x 104 7,24 x 104

3 6,51 x 104 9,60 x 104 10,42 x 104

4 7,43 x 104 12,15 x 104 13,04 x 104

5 10,37 x 104 15,27 x 104 17,16 x 104

6 8,89 x 104 13,40 x 104 15,76 x 104

7 9,25 x 104 12,83 x 104 15,89 x 104

8 16,60 x 104 26,03 x 104 23,18 x 104

9 16,00 x 104 16,36 x 104 22,98 x 104

10 9,15 x 104 11,29 x 104 15,71 x 104

11 10,42 x 104 17,64 x 104 23,71 x 104

12 8,31 x 104 14,18 x 104 21,70 x 104

13 11,33 x 104 19,38 x 104 19,98 x 104


(1)

23 Lampiran 1. Prosedur pembuatan media berbasis kotoran ayam

Kotoran ayam kering

Rebus hingga mendidih

Masukkan ke dalam botol bervolume 1L, tambah air tawar

Saring, ambil airnya Dinginkan


(2)

24 Lampiran 2. Data kepadatan rata-rata S. fusiformis pada kultur skala

laboratorium

Hari Ke-

Kepadatan Rata-rata S. fusiformis (sel/mL) Media Zarrouk

Modifikasi

Media Berbasis Urea

Media Berbasis Kotoran Ayam

0 2,02 x 104 2,02 x 104 2,02 x 104

1 2,20 x 104 2,14 x 104 3,31 x 104

2 2,76 x 104 2,44 x 104 4,36 x 104

3 2,96 x 104 2,31 x 104 6,05 x 104

4 3,07 x 104 2,09 x 104 8,42 x 104

5 3,60 x 104 2,78 x 104 11,29 x 104

6 3,71 x 104 3,82 x 104 14,38 x 104

7 3,78 x 104 4,13 x 104 16,87 x 104

8 4,22 x 104 4,89 x 104 20,49 x 104

9 4,94 x 104 5,07 x 104 24,13 x 104

10 5,09 x 104 5,58 x 104 26,04 x 104

11 4,91 x 104 5,35 x 104 27,31 x 104

12 4,91 x 104 5,11 x 104 28,16 x 104

13 4,87 x 104 4,73 x 104 29,49 x 104

14 5,84 x 104 8,37 x 104 30,20 x 104

15 7,43 x 104 9,40 x 104 30,93 x 104

16 7,94 x 104 10,00 x 104 31,87 x 104

17 10,02 x 104 10,40 x 104 33,51 x 104

18 11,45 x 104 9,84 x 104 31,87 x 104

19 12,40 x 104 9,80 x 104 31,05 x 104


(3)

25 Lampiran 3. Data laju pertumbuhan spesifik rata-rata S. fusiformis pada

kultur skala laboratorium

Hari Ke-

Laju Pertumbuhan Spesifik Rata-rata S. fusiformis (hari-1) Media Zarrouk

Modifikasi

Media Berbasis Urea

Media Berbasis Kotoran Ayam

1 0,09 0,06 0,49

2 0,16 0,09 0,38

3 0,13 0,04 0,37

4 0,10 0,01 0,36

5 0,12 0,06 0,34

6 0,10 0,11 0,33

7 0,09 0,10 0,30

8 0,08 0,11 0,29

9 0,10 0,10 0,28

10 0,09 0,10 0,26

11 0,08 0,09 0,24

12 0,07 0,08 0,22

13 0,07 0,07 0,21

14 0,08 0,10 0,19

15 0,09 0,10 0,18

16 0,09 0,10 0,17

17 0,09 0,10 0,17

18 0,10 0,09 0,15

19 0,10 0,08 0,14


(4)

26 Lampiran 4. Data biomassa rata-rata S. fusiformis pada kultur skala

laboratorium

Hari Ke-

Biomassa Rata-rata S. fusiformis (g/L) Media Zarrouk

Modifikasi

Media Berbasis Urea

Media Berbasis Kotoran Ayam

0 1,09 0,89 0,42

1 1,42 1,26 1,38

2 1,42 1,26 1,38

3 1,42 1,26 1,40

4 1,42 1,26 1,44

5 1,42 1,26 1,51

6 1,43 1,28 1,62

7 1,43 1,30 1,73

8 1,43 1,34 1,90

9 1,44 1,35 2,08

10 1,44 1,38 2,17

11 1,44 1,36 2,22

12 1,44 1,35 2,25

13 1,44 1,33 2,30

14 1,46 1,58 2,33

15 1,51 1,64 2,35

16 1,53 1,67 2,38

17 1,61 1,68 2,43

18 1,66 1,66 2,38

19 1,70 1,66 2,36

20 1,75 1,63 2,34

- Kecerahan perlakuan media Zarrouk modifikasi: yA = 0,103x2 – 1,946x + 12,00 Titik balik minimum yA = 9,4

- Kecerahan perlakuan media berbasis urea: yB = 0,104x2 – 1,994x + 11,39 Titik balik minimum yB = 9,6

- Kecerahan perlakuan media berbasis kotoran ayam: yC = 0,082x2 – 1,659x + 9,329 Titik balik minimum yC = 10,1


(5)

27 Lampiran 5. Data kecerahan S. fusiformis pada kultur skala massal

Hari Ke-

Kecerahan S. fusiformis (cm) Media Zarrouk

Modifikasi

Media Berbasis Urea

Media Berbasis Kotoran Ayam

0 10,2 9,5 7,8

1 8,5 7,8 6,3

2 7,1 6,3 5,1

3 5,9 5,1 4,0

4 4,9 4,0 3,1

5 4,0 3,2 2,3

6 3,4 2,5 1,7

7 3,0 2,1 1,3

8 2,8 1,9 1,0

9 2,8 1,9 0,9

10 3,1 2,0 1,0

11 3,5 2,4 1,2

12 4,1 3,0 1,6

13 4,9 3,9 2,2


(6)

28 Lampiran 6. Data kepadatan rata-rata S. fusiformis pada kultur skala

massal

Hari Ke-

Kecerahan S. fusiformis (sel/mL) Media Zarrouk

Modifikasi

Media Berbasis Urea

Media Berbasis Kotoran Ayam

0 3,73 x 104 4,27 x 104 5,27 x 104

1 3,60 x 104 4,47 x 104 3,82 x 104

2 4,23 x 104 6,36 x 104 7,24 x 104

3 6,51 x 104 9,60 x 104 10,42 x 104

4 7,43 x 104 12,15 x 104 13,04 x 104

5 10,37 x 104 15,27 x 104 17,16 x 104

6 8,89 x 104 13,40 x 104 15,76 x 104

7 9,25 x 104 12,83 x 104 15,89 x 104

8 16,60 x 104 26,03 x 104 23,18 x 104

9 16,00 x 104 16,36 x 104 22,98 x 104

10 9,15 x 104 11,29 x 104 15,71 x 104

11 10,42 x 104 17,64 x 104 23,71 x 104

12 8,31 x 104 14,18 x 104 21,70 x 104

13 11,33 x 104 19,38 x 104 19,98 x 104