Karakteristik pigmen fikosianin dari Spirulina fusiformis yang dikeringkan dan diamobilisasi

(1)

BUDI ATRIKA CANDRA

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(2)

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul ”Karakteristik Pigmen Fikosianin dari Spirulina fusiformis yang Dikeringkan dan Diamobilisasi” adalah karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Januari 2011

Budi Atrika Candra NIM C4060365


(3)

BUDI ATRIKA CANDRA. Karakteristik Pigmen Fikosianin dari Spirulina fusiformis yang Dikeringkan dan Diamobilisasi. Dibimbing oleh IRIANI SETYANINGSIH dan TJANDRA CHRISMADHA.

Warna merupakan karakteristik penting untuk pangan dan produk kosmetik. Penggunaan pewarna sintetik ”non-food grade” pada bahan pangan dan kosmetika dapat membahayakan konsumen. Zat pewarna alami merupakan salah satu solusi penggunaan bahan pewarna untuk pangan dan kosmetik yang lebih aman. Bahan pewarna alami memiliki banyak kelemahan namun bisa dikembangkan karena kesehatan manusia lebih bernilai. Pewarna alami dapat diperoleh dari mikroalga Spirulina fusiformis, yaitu pigmen biru fikosianin.

Spirulina fusiformis dikultivasi pada media Zarrouk yang dimodifikasi. Kultivasi dilakukan di luar ruangan menggunakan penyinaran cahaya matahari. Pemanenan dilakukan dengan menggunakan kain penyaring (nylon mesh) berukuran 20 µm, selanjutnya biomasa basah dikeringkan pada suhu ruang.

Ekstraksi fikosianin menggunakan pelarut polar bufer fosfat 100 mM pH 7. Pigmen fikosianin yang diperoleh dari ekstraksi dikeringkan menggunakan spray dryer (suhu tinggi) dan freeze dryer (suhu rendah). Suhu pengeringan Spray dryer adalah 175-180 oC (inlet) dan 69-71 oC (outlet), sedangkan suhu pengeringan freeze dryer kurang dari -18 oC. Fikosianin yang diperoleh dari ekstraksi juga diamobilisasi menggunakan kitosan dengan perbandingan 1:1, 1:2, dan 2:1.

Fikosianin hasil pengeringan freeze dryer mengandung 27,27% protein, 15,69% kadar air, dan 62,74% kadar abu. Fikosianin hasil pengeringan spray dryer mengandung 24,90% protein, 2,13% kadar air, dan 74,47% kadar abu. Nilai penghambatan fikosianin kering hasil pengeringan freeze dryer terhadap radikal bebas dari asam linoleat sebesar 21,4–27,27%, lebih besar dibanding nilai penghambatan fikosianin kering hasil pengeringan spray dryer (20,27–24,90%).

Hasil amobilisasi fikosianin diuji daya larut dan stabilitasnya terhadap suhu pasteurisasi. Daya larut fikosianin amobil terhadap kelarutan fikosianin murni sebesar 0,94%-8,7%. Hasil pengujian stabilitasnya pada suhu pasteurisasi menunjukkan fikosianin yang diamobilisasi menggunakan kitosan dengan perbandingan 2:1 adalah sebesar 98,2%.


(4)

KARAKTERISTIK PIGMEN FIKOSIANIN DARI Spirulina

fusiformis YANG DIKERINGKAN DAN DIAMOBILISASI

BUDI ATRIKA CANDRA

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada

Departemen Teknologi Hasil Perairan

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(5)

NRP : C34060365

Menyetujui

Tanggal lulus:

Mengetahui

Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan

(Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, M.Phil.) NIP. 1958 0511 1985 03 1001

Pembimbing II

(Drs. Tjandra Chrismadha M.Sc ) NIP. 19620112 1987 01 1001 Pembimbing I

(Dr. Ir. Iriani Setyaningsih, MS) NIP. 19600925 1986 01 2001


(6)

Puji syukur penulis haturkan kepada Allah SWT, atas segala karuniaNya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Karakteristik Pigmen Fikosianin dari Spirulina fusiformis yang Dikeringkan dan Diamobilisasi, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya penulis haturkan kepada Ibu Dr. Ir. Iriani Setyaningsih, MS dan Bapak Drs. Tjandra Chrismadha M.Sc, peneliti dari Pusat Penelitian Limnologi LIPI Cibinong, selaku pembimbing. Terima kasih juga saya ucapkan kepada Ibu Dra Pipih Suptijah, MBA selaku penguji pada ujian sidang saya. Terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya juga penulis sampaikan kepada Ayahanda Waris Wongso Rejo dan Ibunda Sutihat atas dukungan, kasih sayang dan doa-doa yang selalu diberikan.

Terima kasih penulis sampaikan kepada Ibu Jovita, Bapak Deni dan Ibu Mei dari Pusat Penelitian Limnologi LIPI Cibinong yang telah membantu dalam menyelesaikan penelitian. Terima kasih juga disampaikan kepada Ibu Ema Masruroh, Mbak Silvi dan Mbak Lastri, staf Laboratorium Mikrobologi Hasil Perairan dan Biokimia Hasil perairan yang telah membantu dalam penelitian.

Terima kasih penulis sampaikan kepada rekan-rekan seperjuangan Ely Ermayanti, Anita, Nur Madina, Hasanah, Dwi Abdia, dan Rizki Agus, serta semua pihak yang belum sempat penulis sebutkan satu persatu. Semoga, bantuan, dukungan, dan perhatian yang diberikan senantiasa mendapatkan balasan yang berlipat dari Allah SWT.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini untuk itu kami mohon kritik dan saran yang membangun. Akhir kata penulis ucapkan semoga skripsi ini memberikan manfaat bagi yang membaca.

Bogor, Januari 2011 Budi Atrika Candra


(7)

Tanggamus Provinsi Lampung, pada tanggal 2 April 1987 dari Ayah Waris Wongso Rejo dan Ibu Sutihat. Penulis merupakan putra pertama dari tiga bersaudara.

Tahun 2006 penulis lulus dari SMA Negeri 4 Bandar Lampung dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Pada tahun yang sama, penulis menjalani perkuliahan pada Tingkat Persiapan Bersama sebelum masuk ke jurusan. Pada tahun 2007 penulis diterima di Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten mata kuliah Teknologi Produk Tradisional Hasil Perairan pada tahun ajaran 2009/2010, Teknologi Pengolahan Hasil Perairan pada tahun ajaran 2009/2010, serta mata kuliah Mikrobiologi Hasil Perairan pada tahun ajaran 2010/2011. Penulis menjadi anggota Himpunan Profesi Mahasiswa Hasil Perikanan (HIMASILKAN) Teknologi Hasil Perairan IPB periode 2007-2009.


(8)

Halaman

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ...xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 3

2 TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1 Spirulina ... 4

2.2 Fikosianin ... 5

2.3 Antioksidan ... 7

2.4 Freeze Drying ... 8

2.5 Spray Drying ... 9

2.6 Amobilisasi ... 10

2.7 Kitosan ... 11

3 METODOLOGI ... 13

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 13

3.2 Bahan dan Alat ... 13

3.3 Metode Penelitian ... 13

3.3.1 Kultivasi Spirulina... 14

3.3.2 Pemanenan dan pengeringan ... 15

3.3.3 Ekstraksifikosianin ... 15

3.3.4 Pengeringan fikosianin ... 16

3.3.5 Amobilisasifikosianin menggunakan kitosan ... 16

3.3.6 Pengujian aktivitas antioksidan metode FTC ... 18

3.3.7 Analisis kadar protein ... 19

3.3.8 Analisis kadar air ... 20

3.3.9 Analisis kadar abu ... 20

4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 21

4.1 Kultivasi Spirulinafusiformis ... 21

4.2 Pigmen Fikosianin ... 23

4.3 Pengeringan Fikosianin ... 24


(9)

5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 34

5.1 Kesimpulan ... 34

5.2 Saran ... 34

DAFTAR PUSTAKA ... 35

LAMPIRAN ... 39


(10)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Data rendemen fikosianin hasil pengeringan ... 25

2 Analisis regresi linier terhadap nilai absorbansi kontrol dan sampel ... 29

3 Daya larut fikosianin amobil ... 32


(11)

1 Spirulina fusiformis ... 5

2 Struktur fikosianin ... 6

3 Diagram alir metode penelitian ... 14

4 Prosedur amobilisasi pigmen fikosianin menggunakan kitosan ... 17

5 Diagram alir pengujian aktivitas antioksidan fikosianin ... 18

6 Kondisi kultivasi Spirulina ... 21

7 Rapat optis kultur Spirulina OD 480 nm ... 22

8 Absorbansi fikosianin pada jumlah biomasa yang berbeda ... 23

9 Pigmen fikosianin ... 23

10 Kadar air fikosianin setelah pengeringan ... 26

11 Konsentrasi fikosianin (a = sebelum pengeringan; b = setelah Pengeringan spray dryer;c = setelah pengeringan freeze dryer). ... 26

12 Grafik aktifitas antioksidan ... 29

13 Daya Penghambatansampel menggunakan metode FTC ... 29

14 Struktur kimia bilinchromophore fikosianin (a) dan bilirubin (b) ... 30


(12)

Halaman 1 Media Zarouk untuk pertumbuhan Spirulina fusiformis ... 40 2 Data pengukuran rapat optis kultur Spirulina selama kultivasi ... 41 3 Pembuatan larutan yang digunakan untuk analisis antioksidan dengan

metode Feri Tiosianat (FTC) ... 42 4 Nilai absorbansi dan persen penghambatan ... 43 5 Nilai R2 dari analisis regresi linier nilai absorbansi kontrol dan sampel

fikosianin ... 44 6 Contoh perhitungan daya hambat sampel terhadap oksidasi asam linoleat 45 7 Perhitungan fikosianin ... 46


(13)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pigmen atau bahan pewarna dibutuhkan oleh industri pangan untuk mewarnai produk makanan agar lebih menarik. Produsen makanan mewarnai produknya karena penampakan produk termasuk warnanya mempengaruhi penerimaan konsumen selain itu penampilan makanan, termasuk warnanya, sangat berpengaruh untuk menggugah selera. Penggunaan pewarna dalam makanan telah diatur oleh pemerintah. Namun, masih ditemukan produsen makanan, terutama pengusaha kecil, yang menggunakan bahan pewarna dilarang dan berbahaya bagi kesehatan. Bahan pewarna yang ditambahkan diantaranya adalah pewarna tekstil yang mempunyai warna yang lebih cerah, stabil selama penyimpanan, dan harganya lebih murah (Syah et al. 2005).

Pewarna alami merupakan solusi untuk makanan yang lebih sehat dan menyehatkan. Astawan & Kasih (2008), menjelaskan bahwa warna alami yang ada di tumbuhan memiliki berbagai macam khasiat untuk menjaga kesehatan. Bahkan warna-warni alami ini juga memiliki kemampuan untuk menyembuhkan suatu penyakit. Hal ini merupakan potensi yang dapat dikembangkan dari warna alami yang terdapat pada tanaman.

Pewarna alami memiliki kelemahan. Umumnya ketersediaan pewarna alami terbatas dan warnanya tidak homogen sehingga tidak cocok digunakan untuk industri makanan dan minuman. Penggunaan pewarna alami untuk produksi massal juga dapat meningkatkan biaya produksi. Proses produksi juga akan terhambat karena sifat pewarna alami tidak homogen sehingga sulit menghasilkan warna yang stabil (Syah et al. 2005). Namun lebih dari fakta yang dimiliki pewarna alami tersebut, kesehatan manusia jauh lebih bernilai. Oleh karena itu pewarna alami tetap berpotensi untuk dikembangkan.

Pewarna alami yang telah dikenal masyarakat Indonesia diantaranya berasal dari daun, buah, batang, dan umbi-umbian. Penggunaan bahan pewarna ini umumnya diajarkan secara turun-temurun dan diolah secara tradisional. Selain dari tanaman tingkat tinggi, bahan pewarna alami juga dapat diperoleh dari spesies alga, yaitu tumbuhan tingkat rendah yang hidup di perairan. Spesies alga


(14)

yang mampu menghasilkan bahan pewarna (pigmen) salah satunya adalah Spirulina.

Spirulina mampu menghasilkan pigmen fikosianin berwarna biru. Pigmen ini dapat larut pada pelarut polar seperti air. Spolaore et al. (2006), melaporkan bahwa pigmen ini berpotensi digunakan sebagai pewarna alami. Hirata et al. (2000) dan Kato (1994) diacu dalam El-Baky (2003), juga melaporkan bahwa pemanfaatan pigmen fikosianin sebagai bahan pewarna alami pada bahan makanan telah lama dilakukan. Perusahaan Dainippon Ink & Chemicals (Sakura), bahkan telah mengembangkan produk dengan bahan dasar pigmen fikobiliprotein dengan nama Lina Blue. Produk ini telah diaplikasikan pada permen karet, ice sherberts, popsicles, permen, minuman ringan, dairy product, dan wasabi. Sebagai pewarna alami, pigmen fikosianin juga berpotensi menjadi pewarna untuk produk kosmetika yang bernilai jual tinggi. Contoh produk yang telah mereka kembangkan adalah lispstick dan eyeliners (Spolaore et al. 2006).

Fikosianin termasuk kelompok pigmen yang terikat pada protein (biliprotein). Selain berpotensi sebagai bahan pewarna alami fikosianin juga diketahui memiliki kemampuan penyembuhan, diantaranya adalah kemampuan sebagai antiradang (Cherng et al. 2007; Shih et al. 2009; González et al. 2003; Romay et al. 2003), dan antioksidan (Romay et al. 1998; Romay et al. 2003; Patel et al. 2006). Fikosianin, seperti pigmen alami pada umumnya, dapat mengalami kerusakan akibat suhu tinggi. Larutan fikosianin mengalami pemudaran warna sebesar 30% setelah penyimpanan 5 hari dan menjadi bening setelah 15 hari pada suhu 35 oC (Mishra et al. 2008). Hasil penelitian ini menunjukkan perlu adanya suatu perlakuan khusus agar fikosianin dapat disimpan dalam waktu lama dan tidak membutuhkan tempat yang luas.

Pengeringan merupakan proses pengurangan kadar air sampai dengan konsentrasi tertentu. Pengeringan dilakukan untuk mengurangi air bebas yang dapat digunakan bakteri untuk merusak fikosianin. Metode pengeringan yang dilakukan penelitian ini adalah pengeringan dengan menggunakan suhu tinggi (spray dryer) dan suhu beku (freeze dryer).

Amobilisasi merupakan suatu teknik untuk menempatkan enzim atau sel dalam suatu ruang atau matriks sehingga sebagian besar aktifitasnya berkurang


(15)

namun masih memperlihatkan aktifitas katalitiknya (Bickerstaff 1997). Amobilisasi enzim papain menggunakan memiliki stabilitasnya yang relatif lebih tinggi terhadap suhu bila dibandingkan enzim papain bebas (Cahyaningrum et al. 2007). Metode amobilisasi sel atau enzim ada lima prinsip, yaitu adsorpsi, ikatan kovalen, penjeratan, enkapsulasi, dan ikatan silang (Bickerstaff 1997). Pada penelitian ini dilakukan pada pigmen fikosianin. Prinsip amobilisasi yang digunakan adalah penjeratan struktur pigmen pada kitosan.

1.2Tujuan

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan: 1) memperoleh fikosianin kering dengan pengeringan suhu tinggi dan pengeringan suhu rendah; 2) mempelajari amobilisasi fikosianin menggunakan kitosan; 3) mempelajari karakterisasi fikosianin kering dan fikosianin amobil yang diperoleh.


(16)

4

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Spirulina

Spirulina adalah organisme yang termasuk kelompok alga hijau biru ( blue-green algae). Spirulina termasuk organisme multiseluer. Tubuhnya berupa filamen berwarna hijau-biru berbentuk silinder dan tidak bercabang (Richmond 1988). Spirulina mempunyai ukuran 100 kali lebih besar dari sel darah merah manusia. Spirulina berwarna hijau tua di dalam koloni yang besar. Warna hijau tua ini berasal dari klorofil dalam jumlah tinggi. Secara alami, Spirulina mampu tumbuh di perairan danau yang bersifat alkali dan suhu hangat atau kolam dangkal di wilayah tropis (Tietze 2004).

Spirulina mengandung protein dalam jumlah yang cukup tinggi. Kandungan protein Spirulina bervariasi dari 50%, hingga 70% dari berat keringnya. Hasil analisis asam amino dari Spirulina mexican yang dikeringkan dengan spray dryer ditemukan 18 asam amino (Richmond 1988). Spirulina mempunyai membran sel yang tipis dan lembut sehingga mudah dicerna (Tietze 2004). Karakteristik ini juga menyebabkan Spirulina tidak membutuhkan proses pengolahan khusus (Richmond 1988). Spirulina secara alami rendah kolesterol, kalori, lemak, dan sodium. Spirulina mengandung sembilan vitamin penting dan empat belas mineral yang terikat dengan asam amino. Hal ini memudahkan dan mempercepat proses asimilasi dengan tubuh (Tietze 2004). Spirulina juga mengandung 4-7% lipid atau lemak dan sebagian besar dalam bentuk asam lemak esensial. Setiap 10 gram Spirulina mengandung 225 mg asam lemak esensial dalam bentuk linoleat dan gamma linolenic acid (GLA) (Henrikson 2009).

Spirulina memiliki membran tilakoid. Pada membran tilakoid terdapat struktur granula berupa fikobilisom yang terdiri dari fikobiliprotein yang berfungsi untuk menyerap cahaya dan diduga dapat melindungi pigmen fotosintesis lainnya dari oksidasi pada cahaya berintensitas tinggi. Cahaya yang diserap oleh fikosianin akan ditransfer kepada allofikosianin kemudian diteruskan menuju pusat reaksi yaitu klorofil a di membran tilakoid (Sze 1993 diacu dalam Diharmi 2001). Klorofil a merupakan pigmen fotosintesis mikroalga Spirulina yang terletak pada membran


(17)

tilakoid yang tersebar di dalam kromoplasma (Trainor 1978 diacu dalam Diharmi 2001).

Spirulina fusiformis merupakan salah satu spesies Spirulina yang banyak ditemukan di perairan tawar. Spirulina fusiformis adalah salah satu varian mikroalga Spirulina yang berasal dari Madurai. Tiga varian dari Spirulina fusiformis, yaitu: Varian tipe S, varian tipe C, dan varian tipe H (Richmond 1988). Morfologi Spirulina secara umum dapat dilihat pada Gambar 1. Secara taksonomi Spirulina fusiformis (Bold & Wyne 1978 diacu dalam Pamungkas 2005), diklasifikasikan sebagai berikut:

Kingdom : Protista Filum : Cyanobacteria Divisi : Cyanophyta Kelas : Cyanophyceae Ordo : Nostocales Famili : Oscillatoriaceae Genus : Spirulina

Spesies : Spirulina fusiformis

Gambar 1 Spirulina fusiformis

(Sumber: Mussagy et al. 2006)

2.2Fikosianin

Pigmen fikosianin berwarna biru tua yang dapat memancarkan warna merah tua (Ó Carra & Ó hEocha 1976). Fikosianin termasuk golongan biliprotein. Fikosianin sebagai biliprotein diketahui mampu menghambat pembentukan koloni kanker (Adams 2005). Biliprotein atau biasa dikenal dengan fikobiliprotein adalah kelompok pigmen yang ditemukan pada Rhodophyta (alga merah), Cyanophyta (alga hijau-biru) dan Cryptophyta (alga crytomonad). Pigmen ini berfungsi sebagai penyerap cahaya pada sistem fotosintesis (Ó Carra & Ó hEocha 1976). Kelompok


(18)

pigmen ini diantaranya adalah R-phycoerythrin, C-phycoerythrin B-phycoerythrin, allophycocyanin, R-phycocyanin dan C-phycocyanin (Ó Carra & Ó hEocha 1976; Henrikson 2009).

Fikosianin adalah pigmen yang paling banyak pada alga hijau biru, dan jumlahnya lebih dari 20% berat kering alga (Richmond 1990). Fikosianin adalah pigmen dominan pada Spirulina (Richmond 1988). Kandungan fikosianin dalam 500 mg tablets Spirulina adalah sebanyak 333,0 mg (Tietze 2004). Fikosianin mempunyai absorbansi cahaya maksimum pada panjang gelombang 546 nm. Berat bobot molekul fikosianin (c-fikosianin) adalah sebesar 134 kDa, namun ditemukan bobot molekul yang lebih besar (262kDa) dari ekstrak fikosianin segar pada banyak spesies (Ó Carra & Ó hEocha 1976). Bobot molekul yang lebih besar ini diduga disebabkan oleh keberadaan fragmen fikobilisom (Kessel et al. 1973 diacu dalam Ó Carra & Ó hEocha 1976). Struktur fikosianin ditampilkan pada Gambar 2.

Gambar 2 Struktur fikosianin

Sumber: O Carra & O Heocha (1976)

Struktur fikosianin mengandung rantai tetraphyrroles terbuka yang mungkin mempunyai kemampuan menangkap radikal oksigen (Romay et al. 1998). Struktur kimia chromophores pada c-fikosianin, (tetraphyrroles terbuka) sangat mirip dengan bilirubin. Stocker et al. (1987) diacu dalam Romay et al. (1998) melaporkan bahwa bilirubun adalah antioksidan yang mungkin penting untuk fisiologis karena mampu mengikat radikal peroksi dengan cara mendonorkan atom hidrogen yang terikat pada atom C ke 10 pada molekul tetraphyrroles.

Fikosianin merupakan salah satu dari tiga pigmen (klorofil dan karotenoid) yang mampu menangkap radiasi sinar matahari paling efisien (Hall & Rao 1999). Fikosianin merupakan kompleks pigmen-protein yang saling berhubungan dan terlibat dalam pemanenan cahaya dan energi transduksi. Fikosianin dapat bertindak sebagai bahan penyimpan nitrogen karena konsentrasi fikosianin tinggi bila Spirulina


(19)

platensis ditumbuhkan dalam kondisi nitrogen yang optimal (Boussiba & Richmond 1980).

Fikosianin merupakan pigmen yang memiliki nilai jual tinggi. Spolaore (2006) mencatat, harga produk fikobiliprotein adalah US$ 3 hingga US$ 25 per mg untuk pigmen asli. Harga pigmen dapat mencapai US$ 1500 per mg untuk pigmen yang terikat dengan antibodi atau molekul berpendar lainnya.

2.3Antioksidan

Berdasarkan definisinya, antioksidan dapat diartikan sebagai bahan pencegah oksidasi. Prinsip kerja antioksidan adalah memberikan elektron untuk radikal bebas untuk mencegah oksidasi. Radikal bebas yang telah mendapat elektron dari antioksidan maka radikal bebas tidak akan menyerang sel dan rantai reaksi oksidasi akan terhenti (Dekkers et al. diacu dalam Helwig 2000). Setelah memberikan elektron, secara definisi antioksidan akan menjadi radikal bebas. Antioksidan dalam keadaan ini tidak berbahaya karena mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan perubahan elektronnya tanpa menjadi reaktif. Tubuh manusia mempunyai pertahanan antioksidan yang rumit. Antioksidan dapat dibuat di dalam tubuh atau diekstrak dari makanan yang dimakan seperti buah-buahan, sayur-sayuran, biji-bijian, kacang-kacangan, daging, dan minyak (Helwig 2000).

Antioksidan dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu antioksidan pencegah (preventive antioxidants) dan antioksidan pemutus rantai (chain-breaking antioxidants). Antioksidan pencegah bertujuan mencegah terjadinya radikal hidroksil, yaitu radikal paling berbahaya. Radikal hidroksil di dalam tubuh bukan merupakan produk primer proses biologi, tetapi terbentuk dari H2O2 dan O2 dengan bantuan logam transmisi Fe dan Cu. Untuk mencegah pembentukan radikal hidroksil maka keberadaan ion Fe++ atau Cu+ bebas harus dicegah. Ion Fe dicegah oleh protein transferin atau feritin dan ion Cu dicegah oleh protein seruplasmin atau albumin. Penimbunan H2O2 dicegah melalui dua aktivitas enzim katalase dan peroksidase. Apabila radikal hidroksil masih tetap terbentuk, usaha lain tubuh untuk meredamnya dengan cara memutuskan rantai reaksi. Senyawa-senyawa yang berperan adalah yang mengandung gugus sulfihidril seperti glutation dan sistein. Senyawa-senyawa tersebut diantaranya adalah vitamin E (tokoferol), asam askorbat (vitamin C), beta


(20)

karoten, dan dua senyawa berperan sebagai antioksidan pencegah, yaitu glutation dan sistein (Taher 2003).

2.5 Freeze drying

Freeze drying adalah penghilangan air dengan cara sublimasi dari fraksi beku (es). Produk pangan yang dikeringkan dengan proses ini, terlebih dahulu dibekukan kemudian dimasukkan ke dalam tabung bertekanan dimana air beku dapat tersublim (Berk 2009). Pengeringan dengan freeze dryer diatur oleh dua mekanisme perpindahan, yang pertama adalah perpindahan energi untuk mengubah es menjadi uap air (diantara suhu -21oC hingga -30oC) dan yang kedua perpindahan massa uap air dari permukaan sublimasi melewati produk yang sudah kering menuju ruang pengeringan untuk kondensasi, atau sistem penyerapan uap (Oetjen 1999).

Pengeringan menggunakan freeze drying meliputi beberapa tahap. Tahap pengeringan dengan freeze drying (Stapley 2008) adalah sebagai berikut:

i) Produk pangan dibekukan terlebih dahulu sehingga menghasilkan kristal es diantara produk dan fraksi tidak beku menjadi terkonsentrasi.

ii) Tahap pengeringan utama, pada tahap ini bahan beku diberi tekanan sehingga terjadi sublimasi kristal es. Tahap ini berakhir bila semua air beku telah

tersublim.

iii) Tahap pengeringan Sekunder. Tahap ini meliputi desorpsi fraksi tidak beku pada matrik bahan.

Pengeringan dengan freeze drying adalah berdasarkan prinsip sublimasi. Sublimasi adalah perubahan secara langsung dari bentuk padat menjadi bentuk gas tanpa terjadi pelelehan. Sublimasi dapat terjadi pada suhu dibawah 0,01 oC dan tekanan 611,73 Pa. Secara teori freeze drying dapat terjadi pada tekanan atmosfer, bila tekanan bagian uap air sangat rendah, yaitu saat udara sangat kering. Dalam praktik, freeze drying dilakukan pada tekanan yang sangat rendah (10-50 Pa), pada tekanan tersebut uap air mempunyai volume spesifik yang sangat besar, untuk memindahkan volume uap air dalam bentuk gas maka diperlukan pompa vakum yang memiliki kapasitas ukuran yang tidak realistik. Masalah ini diatasi dengan mengkondensasikan uap air tersebut sebagai kristal es pada permukaan kondenser (Berk 2009).


(21)

Metode pengeringan Freeze drying mempunyai keunggulan dalam mempertahankan kualitas produk yang dikeringkan. Freeze drying dilakukan pada suhu rendah, sehingga dapat menjaga flavor, warna, dan penampakan, serta meminimalisasi kerusakan akibat panas untuk nutrien yang sensitif terhadap suhu tinggi. Namun, secara ekonomis metode ini hanya dapat diaplikasikan pada produk yang bernilai tinggi, karena pengeringan dengan freeze drying membutuhkan biaya yang mahal (Berk 2009).

2.6 Spray drying

Spray drying adalah pengeringan bahan dengan menggunakan suhu tinggi. Prinsip pengeringan dengan metode spray drying adalah dengan menyemprotkan bahan dalam bentuk droplet ke dalam suatu media pengering yang panas. Air dalam bentuk droplet akan menguap meninggalkan bahan kering (Dubey et al. 2009). Proses spray drying terdiri dari empat tahap, yaitu atomisasi bahan melalui penyemprot, kontak droplet dengan udara pengering, evaporasi uap air, dan pemisahan produk dari udara kering (Ernawati 2010). Beberapa faktor yang mempengaruhi pengeringan bahan pangan dengan spray dryer antara lain suhu pengeringan (Suhu inlet/outlet), laju aliran bahan, dan tekanan udara pengering (Masters 1979).

Proses yang terjadi secara umum dalam spray dryer meliputi atomisasi atau penyemprotan bahan melalui penyemprot (atomizer), kontak antara bahan dengan udara pengering, evaporasi dan pemisahan partikel kering dan udara (Masters 1979). Fungsi utama atomizer adalah untuk menghasilkan droplet yang berukuran kecil, sehingga luas permukaan menjadi lebih besar yang mengakibatkan proses penguapan akan lebih cepat. Atomizer juga bertindak sebagai alat pengatur kecepatan aliran produk pada proses pengeringan. Atomizer mendistribusikan cairan pada aliran udara dan menghasilkan droplet dengan ukuran tertentu sesuai dengan yang diinginkan. Ukuran droplet berkolerasi positif dengan kecepatan aliran bahan dan mempunyai korelasi negatif dengan kecepatan putaran atomizer (Heldman & Singh 1981).

Evaporasi terjadi karena adanya kontak atara droplet dengan udara pengering, sehingga terjadi transfer panas dari udara pengering ke droplet dan air yang terdapat dalam droplet akan menguap. Evaporasi terjadi pada masing-masing droplet yang bersinggungan dengan udara pengering. Kecepatan evaporasi dipengaruhi oleh


(22)

komposisi bahan, terutama kandungan total padatan, semakin tinggi total padatan bahan, maka proses evaporasi akan berlangsung lebih cepat (Heldman & Singh 1981).

Suhu pengeringan tergantung dari produk yang dikeringkan. suhu pengeringan dapat mempengaruhi mikrokapsul. Suhu inlet yang tinggi digunakan untuk meningkatkan aliran penguapan dari membran semipermeabel pada permukaan droplet. Rentang suhu inlet yang umumnya aman digunakan dan menghasilkan retensi yang baik adalah 160-210 oC (Reinnecius et al. 1988)

Kelebihan metode spray drying (Desorby et al. 1997 & Quinn 1965) diantaranya adalah:

1. Produk akan menjadi kering tanpa bersentuhan dengan permukaan logam panas.

2. Suhu produk rendah meskipun suhu udara pengering yang digunakan cukup tinggi.

3. Penguapan air terjadi pada permukaan yang sangat luas sehingga waktu yang dibutuhkan untuk pengeringan hanya beberapa detik saja.

4. Produk akhir yang dihasilkan berbentuk bubuk yang stabil sehingga memudahkan dalam penanganan dan transportasi.

5. Biaya produksi lebih murah bila dibandingkan dengan metode freeze drying Kekurangan metode spray drying (Desoby et al. 1997) diantaranya adalah: komponen volatile bertitik didih rendah dapat hilang selama proses. Material inti terdapat pada permukaan mikrokapsul sehingga dapat meningkatkan oksidasi dan kemungkinan perubahan perisa dari produk enkapsulasi.

2.7 Amobilisasi

Amobilisasi merupakan suatu teknik untuk menempatkan enzim atau sel dalam suatu ruang atau matriks sehingga sebagian besar aktifitasnya berkurang namun masih memperlihatkan aktifitas katalitiknya. Terdapat lima prinsip metode amobilisasi sel atau enzim, yaitu adsorpsi, ikatan kovalen, penjeratan, enkapsulasi, dan ikatan silang (Bickerstaff 1997). Amobilisasi dapat dilakukan dengan carrier fixation, enkapsulasi, ikatan silang dan atau menggunakan membran catalyst retention dalam sistem berlanjut (Wiffels et al. 1996).


(23)

Metode penjeratan (entrapping) telah umum digunakan dalam amobilisasi sel. Terutama bahan pembawa yang terbuat dari bahan berbentuk gel, seperti karagenan dan alginat. Metode penjeratan cukup sederhana dan dapat diterapkan secara luas untuk pemerangkapan sel mikroba dan organel dengan berbagai ukuran dan karakteristiknya (Klinkenberg et al. 2001). Penjeratan atau pemerangkapan menyebabkan konsentrasi lokal sel menjadi tinggi. Sel-sel mikroorganisme dijebak dalam matrik polimer yang bersifat membran semipermeabel sehingga mikroorganisme masih dapat menjalankan aktifitasnya. Sel mikroba diperangkap secara fisik namun tidak diikat secara kimiawi. Sarana penempatan mikroorganisme dapat berbentuk gel suatu bentuk serabut kapiler atau mikrokapsul (Henrikardiyah 1996). Bahan yang digunakan untuk amobilisasi sel dengan metode penjeratan, ada dua jenis, yaitu polimer alami dan polimer buatan. Polimer alami yang umum digunakan yaitu kolagen, gelatin, agar/agarosa, karagenan, gelatin, selulosa, kitosan dan alginat (Bickerstaff 1997).

2.8Kitosan

Kitosan adalah turunan dari kitin dengan rumus N-Asetil-D-Glukosamin, yaitu polimer kationik yang mempunyai jumlah monomer sekitar 2000-3000 monomer. Kitosan dapat berinteraksi dengan bahan-bahan bermuatan seperti protein. Kitosan mempunyai bentuk kristal rombik dengan struktur silang antar bentuk alfa, beta, dan gamma membentuk suatu matriks seperti resin. Karakteristik kitosan ini membuatnya sangat cocok digunakan sebagai absorben atau agen amobilisasi (Suptijah 2006).

Kitosan sebagai polimer alami dapat diperoleh dari hewan berkulit keras terutama dari laut seperti kulit udang, rajungan, kepiting, dan cumi-cumi. Kandungan kitosan pada bahan kulit tersebut antara 10-15%. Selain dari hewan laut, kitosan juga dapat diperoleh dari dinding sel jamur antara lain Aspergillus niger (Hardjito 2006). Kitosan dipisahkan dari komponen lain pada cangkang udang, rajungan, dan cumi-cumi melalui proses demineralisasi, deproteinasi, dan deasetilasi. Proses ini menggunakan asam kuat (demineralisasi) dan basa kuat (deproteinasi) dan dilakukan pada suhu tinggi. Saat ini penelitian mengenai pengolahan kitosan telah berkembang, diantaranya dilakukan secara mikrobiologi dan enzimatis (Setyahadi 2006; Rochima et al. 2006).


(24)

Berat molekul kitosan sebesar 1,24 x 106 Dalton sedangkan derajat deasetilasinya adalah sekitar 80-85% (Krajewska 2004). Berat molekul ini tergantung dari derajat deasetilasi yang dihasilkan pada saat ekstraksi. Semakin banyak gugus asetil yang hilang pada kitosan, maka semakin kuat interaksi antar ion dan ikatan hydrogen dari kitosan (Sugita et al. 2009). Kitosan merupakan polielektronik netral pada pH asam. Bahan-bahan seperti protein, anion, polisakarida, dan asam nukleat yang bermuatan negatif akan berinteraksi kuat dengan kitosan membentuk ion netral (Krajewska 2004).

Kitosan mempunyai gugus amino bebas polikationik, pengkelat, dan pembentuk dispersi dalam larutan asam asetat. Bila kitosan dilarutkan dalam asam maka kitosan akan menjadi polimer kationik dengan struktur linear sehingga dapat digunakan dalam proses flokulasi, pembentuk film atau amobilisasi dalam berbagai reagen biologi termasuk enzim (Rinaudo 2006). Proses kationisasi mengarah kepada pembentukan grup yang fungsional (OH dan NH). Kitosan yang larut dalam asam memiliki keunikan, yaitu mampu membentuk gel yang stabil dan membentuk muatan dwi kutub, yaitu muatan positif pada gugus NH dan muatan negatif pada gugus karboksilat (Krajewska 2004).

Kitin-kitosan merupakan senyawa kimia yang mudah menyesuaikan diri, hidrofilik, memiliki reaktivitas kimia yang tinggi (karena mengandung gugus OH dan gugus NH2) untuk ligan yang bervariasi (sebagai pewarna dan penukar ion). Ketahanan kimia yang dimiliki kitosan juga cukup baik. Kitosan larut dalam asam, tetapi tidak larut dalam basa, serta tidak larut dalam media campuran asam basa (Ronaldo 2008). Melihat kitosanmempunyai gugus amin/NH yang reaktif dan gugus hidroksil yang banyak serta kemampuannya membentuk gel maka kitosan dapat berperan sebagai komponen reaktif, pengkelat, pengikat, pengabsorbsi, penstabil, pembentuk film, penjernih, flokulan, koagulan (Shahidi et al. 1999).


(25)

3 METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April hingga bulan Agustus 2010 di Laboratorium Plankton, Laboratorium Pengendalian Pencemaran Lingkungan, Laboratorium Hidrokimia Pusat Penelitian Limnologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cibinong Bogor serta Laboratorium Bioteknologi Hasil Perairan II dan Laboratorium Mikrobiologi Hasil Perairan Departemen Teknologi Hasil Perairan, Institut Pertanian Bogor.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan untuk penelitian meliputi inokulum kultur Spirulina fusiformis, media pertumbuhan Zarouk (Lampiran 1). Bahan kimia untuk analisis kuantitatif fikosianin adalah 100 mM larutan buffer fosfat pH 7 yang dibuat dari K2HPO4, KH2PO4 dan aquades. Bahan kimia untuk analisis aktivitas antioksidan metode FTC adalah asam linoleat, FeCl2 20 mM, ammonium tiosianat, HCl dan etanol. Bahan yang digunakan untuk amobilisasi adalah kitosan.

Alat yang digunakan meliputi spektrofotometer UV-vis, spray dryer, freeze dryer, lemari pendingin, freezer, kertas Whatman GF/A, sentrifus suhu rendah, desikator, cawan timbang neraca analitik, pH meter, paranet, oven, tanur, vortex, autoklaf, alat-alat gelas.

3.3 Metode Penelitian

Metode penelitian secara umum terbagi dalam beberapa tahap. Pertama adalah kultivasi Spirulina. Tahap kedua adalah ekstraksi dan pengeringan pigmen fikosianin. Tahap ketiga adalah prosedur pengujian fikosianin kering yang dihasilkan. Tahap ke 4 adalah prosedur amobilisasi menggunakan kitosan. Tahap ke 5 adalah pengujian kelarutan dan stabilitas fikosianin amobil. Diagram alir metode penelitian ditampilkan pada Gambar 3.


(26)

Gambar 3 Diagram alir metode penelitian

3.3.1 Kultivasi Spirulina

Kultivasi Spirulina dilakukan dengan sistem fed-batch culture, yaitu metode kultivasi yang dilakukan dengan menambahkan media secara berkala atau secara acak dimana kultur dipanen secara rutin (Lee & Shen 2004). Kultivasi dilakukan di dalam wadah plastik PE, dengan ukuran diameter 60 cm dan panjang ± 10 m. Kultur diletakkan di atas atap gedung agar memperoleh penyinaran cahaya matahari. Untuk menghindari fotoinhibisi karena intensitas penyinaran matahari terlalu tinggi, kultur Spirulina ditudungi dengan paranet. Kultur setiap hari diaduk dengan cara mengangkat salah satu ujung plastik beberapa kali hingga

Inokulum Spirulina Kultivasi Spirulina Pemanenan dan Pengeringan

Biomassa Spirulina Ekstraksi fikosianin

Fikosianin

Pengeringan Spray dryer Fikosianin kering Pengeringan Freeze dryer

Fikosianin kering

1. Uji Aktivitas Antioksidan metode FTC

2. Analisis kadar fikosianin 3. Analisis kandungan protein 4. Analisis kadar air

5. Analisis kadar abu

Imobilisasi Menggunakan kitosan (1:1, 1:2, 2:1)

Pengeringan Menggunakan spray dryer

Fikosianin amobil Uji kelarutan Fikosianin amobil

Uji Pemanasan Suhu pasteurisasi


(27)

membentuk gelombang. Pengadukan harus dilakukan untuk mencegah penumpukan nutrien pada satu titik.

Selama kultivasi dilakukan pengukuran rapat optis kultur menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 480 nm. Pengukuran rapat optis kultur digunakan untuk menentukan waktu pemanenan. Pengukuran dilakukan setiap hari pada pukul 09.30 WIB. Pengambilan sampel dilakukan setelah dilakukan pengadukan supaya sampel yang diambil seragam.

3.3.2 Pemanenan dan pengeringan

pemanenan Spirulina dilakukan saat kepadatan sel sudah cukup tinggi (rapat optis kultur > 1) yaitu pada hari ke-10 dan 18. Pemanenan dilakukan dengan cara menyaring biomasa menggunakan kain nylon mesh dengan kerapatan 20 µm. Sebelum penyaringan dilakukan, kultur Spirulina dipindahkan terlebih dahulu ke bak penampungan sementara. Hal ini dilakukan untuk mempermudah penyaringan kultur Spirulina dari wadah plastik. Kultur Spirulina yang telah ditampung langsung disaring ke bak penampungan kedua. Media kultivasi hasil penyaringan selanjutnya dimasukkan ke dalam wadah plastik untuk ditumbuhkan kembali.

Pengeringan biomasa Spirulina dilakukan berdasarkan hasil penelitian Mohammad (2007), yaitu biomasa dikeringkan pada suhu ruang (25-30 oC). Untuk mempercepat waktu pengeringan, biomasa dihamparkan pada tempat yang lapang dan diberi aliran udara menggunakan kipas angin. Pengeringan dengan cara ini dapat menghasilkan kadar fikosianin sebesar 8,090 %.

3.3.3 Ekstraksi fikosianin

Ekstraksi fikosianin dilakukan berdasarkan metode Lorenz (1998). Fikosianin diekstraksi dari Spirulina menggunakan larutan buffer fosfat 100 mM pH 7. Prosedur ekstraksi dilakukan dengan cara menambahkan larutan buffer fosfat ke dalam contoh kering Spirulina yang akan diekstraksi. Campuran buffer fosfat dan Spirulina dikocok menggunakan vorteks agar tercampur semua. Sampel disimpan dalam lemari pendingin pada suhu 10 oC selama 24 jam. Campuran dikocok dan disentrifugasi untuk memisahkan fikosianin dari biomasa Spirulina.


(28)

Sentrifugasi dilakukan dengan kecepatan minimum 3500 rpm selama 5 menit pada suhu 10 oC.

Analisis kuantitatif fikosianin berdasarkan metode Lorenz (1998). Kadar fikosianin dihitung dengan mengukur absorbansi fikosianin pada panjang gelombang 620 nm, dengan buffer fosfat sebagai blanko. Persentase fikosianin dalam bahan dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:

3.3.4 Pengeringan fikosianin

Fikosianin dikeringan menggunakan dua metode berbeda, yaitu pengeringan menggunakan suhu tinggi dan suhu rendah. Pengeringan dengan suhu tinggi dilakukan menggunakan spray dryer, sedangakan pengeringan dengan suhu rendah dilakukan menggunakan freeze dryer. Alat spray dryer yang digunakan untuk pengeringan fikosianin adalah Büchi 190 Mini Spray Dryer. Prinsip pengeringan menggunakan spray dryer penyemprotan larutan contoh dalam bentuk partikel kecil (droplet) melewati media pengering bersuhu tinggi (Dubey et al. 2009).

Pengeringan dengan suhu rendah menggunakan freeze dryer dengan suhu pengeringan kurang dari -18 oC. Prosedur pengeringan dengan freeze dryer dilakukan dengan menyiapkan larutan fikosianin dan dimasukkan kedalam tabung khusus yang disediakan. Fikosianin dalam tabung dimasukkan kedalam freezer hingga larutan membeku. Kemudian tabung berisi larutan fikosianin membeku dipasangkan pada alat freeze dryer yang sudah dihidupkan. Selanjutnya, keran pengatur tekanan dibuka agar uap air yang tersublim dapat berpindah dari bahan. Proses ini berlangsung hingga bahan benar-benar kering.

3.3.5 Amobilisasi fikosianin menggunakan kitosan

Prosedur amobilisasi fikosianin dilakukan dengan mencampurkan pigmen fikosianin cair dari hasil ekstraksi dengan kristal kitosan yang telah dilarutkan dalam asam asetat 2%. Kitosan yang mempunyai kemampuan absorpsi akan mengikat fikosianin sehingga membentuk matriks ketika dikeringkan. Campuran larutan fikosianin dengan larutan kitosan adalah 1:1, 1:2, dan 2:1. Campuran ini


(29)

dikeringkan dengan menggunakan spray dryer Diagram alir prosedur amobilisasi fikosianin dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Prosedur amobilisasi pigmen fikosianin menggunakan kitosan Efektivitas metode amobilisasi ini dievaluasi dengan menguji kemampuan larut kembali fikosianin amobil dan tingkat stabilitasnya terhadap perlakuan pemanasan pasteurisasi. Kemampuan larut fikosianin amobil diuji dengan cara melarutkan fikosianin amobil pada akuades selama 3-5 menit, kemudian jumlah fikosianin yang terlarut diukur rapat optisnya menggunakan spektrofotometer. Nilai rapat optis yang diperoleh digunakan untuk menduga tingkat kelarutan fikosianin amobil yang diuji. Nilai rapat optis paling besar menunjukkan kelarutan fikosianin yang paling tinggi.

Tingkat stabilitas fikosianin amobil diuji pada suhu pasteurisasi. Pengujiannya dilakukan dengan meletakkan fikosianin amobil pada tabung reaksi dan dimasukkan ke dalam waterbath yang telah diseting suhu pasteurisasi selama 15 detik. Stabilitas fikosianin amobil diamati dengan melarutkan fikosianin

Larutan fikosianin

Kristal Kitosan

Pelarutan dalam Asetat 2% Larutan Kitosan

Pencampuran Fikosianin dan Kitosan

(1:1, 1:2. 2:1) Campuran fikosianin

dan kitosan Pengeringan menggunakan Spray Drier


(30)

amobil yang telah dipanaskan kemudian diukur rapat optis fikosianinnya. Tingkat stabilitas fikosianin amobil diduga berdasarkan nilai rapat optis yang terukur.

3.3.6 Pengujian aktivitas antioksidan metode feritiosianat (FTC) (Kikuzaki & Nakatani 1993)

Pengujian antioksidan dilakukan dengan metode feritiosianat. Prosedur pengujian meliputi penyiapan contoh bahan fikosianin kering dari pengeringan dengan spray dryer dan freeze dryer. Contoh fikosianin kering ditimbang sebanyak 4 mg lalu dilarutkan dalam 2 mL buffer fosfat 0,1 M pH 7,0.

Selanjuntnya campuran ditambahkan 1 mL aquades dan 2 mL asam linoleat 50 mM dalam etanol 99,5% (Lampiran 2). Campuran reaksi tersebut

kemudian diinkubasi selama 10 hari pada suhu 37 °C. Campuran reaksi diambil setiap hari sebanyak 50 µL dan ditambahkan 6 mL etanol 75%, 50 µL amonium tiosianat 30 % dan 50 µL FeCl2 20 mM dalam HCl 3,5%. Hasil campuran tersebut diukur nilai absorbansinya pada panjang gelombang 500 nm. Diagram alir metode pengujian aktivitas antioksidan menggunakan FTC ditampilkan pada Gambar 5.

Data yang diperoleh selanjutnya dihitung daya penghambatannya (%) terhadap oksidasi asam linoleat dengan cara menghitung selisih antara absorbansi sampel dengan absorbansi linoleat kemudian dibagi dengan nilai absorbansi asam linoleat.

Fikosianin kering

Contoh fikosianin ditimbang sebanyak 4 mg Pelarutan contoh dalam 2 ml buffer fosfat 0.1 M pH 7.0

Penambahan 1 mL akuades dan 2 mL asam linoleat 50 mM dalam etanol 99.5%


(31)

Gambar 5 Diagram alir pengujian aktivitas antioksidan fikosianin

3.3.7Analisis kadar protein (AOAC 1995)

Prosedur analisis protein terdiri dari tiga tahap yaitu destruksi, destilasi, dan titrasi. Pengukuran kadar protein dilakukan dengan metode mikro Kjeldahl. Sampel ditimbang sebanyak 1,01 gram untuk fikosianin freeze dryer dan 0,61 gram untuk fikosianin spray dryer. Sampel kemudian dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl 100 mL, lalu ditambahkan 0,25 gram kjeltab (campuran K2SO4 dan CuSO4) dan 3 mL H2SO4 pekat. Sampel didestruksi pada suhu 400 oC selama kurang lebih 1 jam sampai larutan jernih lalu didinginkan. Setelah dingin, ke dalam labu Kjeldahl ditambahkan 50 mL akuades dan 20 mL NaOH 40%, kemudian dilakukan proses destilasi dengan suhu destilator 100 oC. Hasil destilasi ditampung dalam labu Erlenmeyer 125 mL yang berisi campuran 10 mL asam borat (H3BO3) 2% dan 2 tetes indikator bromcherosol green-methyl red yang berwarna merah muda (1:2). Setelah volume destilat mencapai 40 mL dan berwarna hijau kebiruan, maka proses destilasi dihentikan. Lalu destilat dititrasi dengan HCl 0,10 N sampai terjadi perubahan warna merah muda. Volume titran dibaca dan dicatat. Larutan blanko dianalisis seperti contoh. Kadar protein dihitung dengan rumus sebagai berikut :

* Faktor Konversi = 6,25

Cairan reaksi tersebut diinkubasi Selama 10 hari pada suhu 37 oC Setiap hari campuran reaksi diambil 50 µL

dan ditambah dengan 6 ml etanol 75% 50 µL amonium fiosianat 30% dan 50 µL FeCl2 20 mM dalam HCl 3.5% Pengukuran nilai absorbansi λ 500 nm


(32)

3.3.8 Analisis Kadar Air (AOAC 1995)

Cawan porselin dikeringkan dalam oven pada suhu 102-105 oC selama 30 menit, kemudian cawan tersebut diletakkan ke dalam desikator selama lebih kurang 30 menit. Setelah cawan dingin ditimbang hingga beratnya konstan. Sebanyak 1-2 g fikosianin ditimbang dalam cawan porselen yang telah diketahui beratnya. Cawan berisi fikosianin dimasukkan ke dalam oven pada suhu 102-105 oC selama kurang lebih 6 jam. Selanjutnya cawan dimasukkan ke dalam desikator kembali dan dibiarkan hingga dingin. Setelah Sekitar 30 menit cawan berisi fikosianin ditimbang. Perhitungan kadar air dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Keterangan: a = Berat cawan kosong (g)

b = Berat cawan dengan sampel (g)

c = Berat cawan dengan sampel setelah dikeringkan (g)

3.3.9 Analisis Kadar Abu (AOAC 1995)

Prinsip penetapan kadar abu yaitu dengan menimbang sisa mineral hasil pembakaran bahan organik pada suhu sekitar 550-600 oC. Cawan porselin dikeringkan dalam oven pada suhu 102-105 oC selama 30 menit. Sebanyak 1-2 g contoh fikosianin kering ditimbang dalam cawan porselin yang telah diketahui beratnya. Contoh kemudian dikeringkan dalam oven dan diarangkan. Selanjutnya diabukan dalam tanur pada suhu 600 oC selama 6-8 jam sampai pengabuan sempurna (abu berwarna putih). Contoh kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Rumus untuk menghitung kadar abu adalah sebagai berikut :

Keterangan:

a = Berat cawan kosong (g)

b = Berat cawan dengan sampel Spirulina fusiformis (g)


(33)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kultivasi Spirulina fusiformis

Kultivasi Spirulina fusiformis dilakukan dalam wadah plastik berdiameter 60 cm dan panjang ± 10 meter (Gambar 6). Wadah plastik dipilih untuk kultivasi karena dinilai lebih efisien dan ekonomis dibandingkan bak fibre glass dan kolam permanen. Wadah plastik lebih mudah dipindah-pindahkan dan tidak membutuhkan tempat luas. Penggunaan wadah plastik juga dapat mempermudah pengadukan kultur Spirulina. Pengadukan harus dilakukan agar tidak terjadi penumpukan nutrien pada satu titik.

Gambar 6 Kondisi kultivasi Spirulina

Kultivasi Spirulina menggunakan penyinaran cahaya matahari. Kultivasi dengan penyinaran cahaya matahari merupakan cara alternatif untuk mengurangi biaya kultivasi. Namun, kultivasi dengan sumber penyinaran cahaya matahari memiliki kelemahan, yaitu faktor lingkungan seperti intensitas cahaya dan suhu tidak dapat dikendalikan. Intensitas penyinaran cahaya matahari yang terlalu tinggi dapat menyebabkan terjadinya fotoinhibisi. Fotoinhibisi adalah fenomena penurunan kecepatan fotosintesis akibat intensitas cahaya yang terlalu tinggi. Penurunan kecepatan fotosintesis terjadi karena reaksi enzimatik yang memanfaatkan energi dalam jumlah tetap tidak mampu menggunakan energi cahaya yang melebihi kapasitasnya (Masojidek et al. 2004). Pada penelitian ini fotoinhibisi dicegah dengan menudungi kultur menggunakan paranet. Penggunaan paranet menyebabkan cahaya matahari mengenai kultur secara tidak langsung. Achmadi et al. (2002) melaporkan, sinar langsung yang mengenai biakan


(34)

Spirulina platensis pada media limbah lateks dapat menghambat pertumbuhan, sebaliknya cahaya tidak langsung dapat menaikkan produksi biomasa.

Pertumbuhan Spirulina diamati dengan mengukur rapat optis kultur menggunakan spektrofotometer pada OD480 nm (Achmadi et al. 2002). Nilai rapat optis kultur yang diperoleh digunakan untuk menduga kepadatan sel Spirulina per satuan volume dan untuk menentukan waktu pemanenannya. Hasil pengukuran rapat optis kultur yang diperoleh tidak digunakan untuk membentuk kurva pertumbuhan karena metode kultivasi yang digunakan adalah fed-batch culture. Metode fed-batchculture adalah metode kultivasi yang dilakukan dengan menambahkan media secara berkala atau secara acak dimana kultur dipanen secara rutin (Lee & Shen 2004). Penambahan media selama kultivasi ini menyebabkan terjadinya pengenceran sehingga peningkatan nilai rapat optis kultur menjadi tidak teratur sehingga kurva pertumbuhan tidak terbentuk. Hasil pengamatan pertumbuhan Spirulina ditampilkan dalam bentuk grafik pada Gambar 7.

Gambar 7 Rapat optis kultur Spirulina OD 480 nm

Grafik pertumbuhan mengalami peningkatan secara umum namun mengalami penurunan tajam pada hari 11. Nilai rapat optis kultur pada hari ke-11 menurun karena pemanenan dan penambahan media pada hari ke 10. Pemanenan dan penambahan media menyebabkan terjadinya pengenceran pada kultur sehingga nilai rapat optis yang terukur menurun. Data hasil pengukuran nilai rapat optis kultur Spirulina ditampilkan pada Lampiran 2.

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18

OD

48

0

nm


(35)

4.2 Pigmen Fikosianin

Pigmen fikosianin termasuk kelompok pigmen biliprotein. Seperti halnya globular protein, biliprotein juga dapat terekstrak dalam air atau larutan garam lemah dari sel alga yang pecah (Ó Carra & Ó hEocha 1976). Pada penelitian ini ekstraksi pigmen fikosianin menggunakan pelarut polar buffer fosfat pH 7. Hasil uji ekstraksi fikosianin dengan buffer fosfat ditampilkan pada Gambar 8.

Gambar 8 Absorbansi fikosianin pada jumlah biomasa yang berbeda

Nilai rapat optis pigmen fikosianin meningkat dengan bertambahnya jumlah biomasa Spirulina dalam 10 mL buffer fosfat (Gambar 8). Jumlah biomasa Spirulina sebanyak 80 mg dipilih sebagai jumlah optimum untuk ekstraksi fikosianin. Hal ini dikarenakan nilai rapat optis paling tinggi sebelum mengalami penurunan akibat kejenuhan. Kejenuhan menyebabkan jumlah fikosianin yang terekstrak menjadi tidak efisien. Kejenuhan terjadi karena jumlah bahan yang diekstraksi melebihi kemampuan jumlah larutan yang diberikan. Rasio volume larutan pengekstrak dengan volume bahan yang diekstraksi merupakan faktor yang mempengaruhi efisiensi ekstraksi (Grima et al. 2004). Dokumentasi larutan fikosianin yang diperoleh ditampilkan pada Gambar 9.

Gambar 9 Pigmen fikosianin 0

0.5 1 1.5 2 2.5 3

20 40 60 80 100 120 140 160 180 200

OD

fikosianin

62

0

nm


(36)

Ekstrak fikosianin yang diperoleh berwarna biru pekat dan berpendar warna merah. Hal ini sesuai dengan karakteristik pigmen fikosianin. Pigmen fikosianin merupakan kelompok pigmen fikobiliprotein yang dipisahkan menjadi dua kelompok utama berdasarkan warnanya. Kelompok pertama adalah fikoeritrin, yaitu pigmen berwarna merah bila terkena cahaya dan memancarkan cahaya pendar berwarna kuning-oranye. Kelompok kedua adalah fikosianin, yaitu pigmen berwarna biru dan memancarkan cahaya pendar merah kuat. Pigmen ini di Spirulina berfungsi sebagai pigmen asesoris yang membantu klorofil sebagai penyerap cahaya pada sistem fotosintesis (Ó Carra & Ó hEocha 1976).

4.3 Pengeringan Fikosianin

Pengaruh metode pengeringan diamati untuk mengetahui karakteristik fikosianin setelah dikeringkan. Fikosianin dikeringkan menggunakan metode spray dryer dan freeze dryer. Prinsip pengeringan menggunakan spray dryer adalah dengan menyemprotkan bahan dalam bentuk droplet ke dalam suatu media pengering yang panas. Butiran air yang masuk dalam media pemanas akan menguap meninggalkan bahan kering (Dubey et al. 2009). Pengeringan dengan spray dryer menggunakan suhu tinggi, namun waktu bahan kontak dengan panas cukup singkat. Rentang suhu inlet yang umumnya aman digunakan dan menghasilkan retensi yang baik adalah 160 – 210 oC (Reinnecius et al. 1988), sedangkan proses penguapan air bahan berlangsung sangat cepat sekitar 5 detik (Corrigan 1995). Hal ini diduga dapat memperkecil kerusakan fikosianin selama pengeringan.

Pengeringan menggunakan freeze dryer merupakan pengeringan yang menggunakan suhu dibawah titik beku (lebih rendah dari -18 oC). Prinsip pengeringannya berdasarkan mekanisme sublimasi. Pengeringan dengan freeze dryer diatur oleh dua mekanisme perpindahan, yang pertama adalah perpindahan energi untuk mengubah es menjadi uap air (antara -21 oC hingga -30 oC) dan yang kedua adalah perpindahan uap air dari permukaan sublimasi melewati produk yang sudah kering menuju ruang pengeringan untuk kondensasi (Oetjen 1999). Data rendemen hasil pengeringan fikosianin dapat dilihat pada Tabel 1.


(37)

Rendemen fikosianin kering yang diperoleh dari proses pengeringan menggunakan freeze dryer lebih besar dibandingkan pengeringan menggunakan spray dryer (Tabel 1). Hal ini diduga karena struktur fikosianin yang mengandung protein rusak akibat suhu tinggi pada pengeringan menggunakan spray dryer. Ó Carra dan Ó hEocha (1976) menyatakkan bahwa fikosianin merupakan kelompok pigmen fikobiliprotein, yaitu kelompok pigmen yang berikatan dengan struktur protein. Struktur protein yang terdapat pada pigmen diduga mengalami kerusakan ketika proses pengeringan dengan spray dryer. Hal ini sesuai dengan Lehninger (1982) yang menyatakan bahwa pengaruh panas dapat terjadi pada semua protein globular, tanpa memandang ukuran atau fungsi biologinya, walaupun suhu yang tepat bagi fenomena ini mungkin bervariasi.

Tabel 1 Data rendemen fikosianin hasil pengeringan Biomasa Fikosianin cair

(mL)

Fikosianin kering (gr)

Rendemen fikosianin (%)

Spray dryer 500 3,18 0,64

Freeze dryer 500 7,25 1,46

Faktor lain yang diduga mempengaruhi hasil rendemen fikosianin setelah pengeringan adalah kadar air fikosianin. Hasil pengukuran kadar air pigmen fikosianin kering ditampilkan pada Gambar 10. Kadar air fikosianin yang dikeringkan menggunakan spray dryer lebih kecil (2,13%) dibandingkan pengeringan dengan freeze dryer (15,69%). Hal ini terjadi karena prinsip pengeringan dari alat yang digunakan berbeda. Prinsip pengeringan menggunakan spray dryer adalah bahan cair disemprotkan dalam bentuk droplet melewati media pemanas (Dubey et al. 2009), sehingga kandungan air bahan akan lebih banyak yang hilang dan kadar airnya lebih kecil.


(38)

Gambar 10 Kadar air fikosianin setelah pengeringan

Proses pengeringan menggunakan spray dryer dengan bahan sebanyak 500 mL membutuhkan waktu ± 45 menit, sedangkan pengeringan menggunakan freeze dryer membutuhkan waktu lebih dari 48 jam. Perbedaan waktu pengeringan ini menunjukkan bahwa pengeringan menggunakan spray dryer lebih efisien dan ekonomis. Pengaruh pengeringan terhadap konsentrasi fikosianin ditampilkan pada Gambar 11, perhitungan konsentrasi fikosianin disajikan pada Lampiran 8.

Gambar 11 Konsentrasi fikosianin

(a = sebelum pengeringan; b = setelah pengeringan spray dryer; c = setelah pengeringan freeze dryer).

Konsentrasi fikosianin yang terukur setelah pengeringan freeze dryer (5,95%) lebih tinggi dari pengeringan spray dryer (4,05%) (Gambar 11). Hal ini menunjukkan bahwa pengeringan fikosianin menggunakan freeze dryer lebih baik dalam mempertahankan mutu fikosianin. Fikosinin adalah pigmen yang terikat pada protein (Ó Carra dan Ó hEocha 1976). Konsentrasi fikosianin yang lebih

2,13 15,69 0 5 10 15 20

Spray dryer Freeze dryer

Kad ar air ( %) Metode Pengeringan 0 1 2 3 4 5 6 7 8

a b c

Fikosi

anin

(%


(39)

tinggi setelah dikeringkan menggunakan freeze dryer diduga karena prinsip pengeringan menggunakan suhu dibawah titik beku dapat mengurangi kerusakan struktur protein fikosianin selama proses pengeringan. Freeze drying merupakan pengeringan yang dilakukan pada suhu rendah, sehingga dapat menjaga flavor, warna, dan penampakan, serta meminimalisasi kerusakan akibat panas untuk nutrien yang sensitif terhadap suhu tinggi (Berk 2009).

4.4Total Protein Fikosianin

Protein merupakan komposisi kimia terbesar pada Spirulina, yaitu 50 - 70% dari berat keringnya (Richmond 1988). Fikobiliprotein pada umumnya terdiri dari alofikosianin, fikosianin, dan fikoeritrin, dimana semuanya terbentuk oleh subunit protein a dan b. Setiap fikobiliprotein memiliki rantai prostetik tetrapirol linear yang berbeda isomer (bilin chromophore) pada susunan ikatan gandanya (Chopra & Bishnoi 2008).

Kadar protein dari fikosianin yang dikeringkan menggunakan spray dryer sebesar 26,18%, dan yang menggunakan freeze dryer sebesar 29,05%. Total protein dalam fikosianin yang dikeringkan menggunakan spray dryer lebih kecil, diduga karena struktur protein yang terikat pada fikosianin mengalami kerusakan akibat suhu tinggi pengeringan. Pengeringan spray dryer adalah metode pengeringan yang menggunakan suhu tinggi. Suhu inlet pada alat spray dryer berkisar antara 175-180 oC, sedangkan suhu outlet adalah sebesar 69-71 oC. Prinsip pengeringan menggunakan spray dryer adalah dengan menyemprotkan bahan dalam bentuk droplet melewati media pemanas dalam kecepatan tinggi, sehingga fikosianin mengalami pemanasan dalam waktu kurang dari 1 detik. Hasil pengukuran total protein fikosianin yang diperoleh menunjukkan bahwa suhu tinggi yang digunakan untuk pengeringan spray dryer masih berpengaruh terhadap total protein yang terukur.

Total protein fikosianin kering hasil pengeringan menggunakan freeze dryer lebih tinggi. Hal ini diduga karena pengeringan freeze dryer, menggunakan suhu rendah (-21oC hingga -30oC), sehingga struktur protein tidak banyak mengalami kerusakan. Freeze drying dilakukan pada suhu rendah, sehingga dapat


(40)

menjaga warna, dan penampakan, serta meminimalisasi kerusakan akibat panas untuk nutrien yang sensitif terhadap suhu tinggi (Berk 2009).

4.5Aktivitas Antioksidan

Kemampuan aktivitas antioksidan dari Spirulina dan hasil ekstraknya telah menarik perhatian para peneliti. Penelitian tentang aktivitas antioksidan pada fikosianin pertama kali dilakukan oleh Romay et al. (1998). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa fikosianin mampu menangkap radikal hidroksil (OH*) (IC50 = 0,91 mg/mL) dan alkoksil (RO*) (IC50 = 76 µg/mL). Aktivitas antioksidan ini ekivalen dengan 0,125 mg/mL dimethyl sulphoxide (DMSO) dan 0,038 mg/mL trolox (vitamin E larut air).

Pengujian aktivitas antioksidan pigmen fikosianin kering dilakukan dengan metode FTC (ferri tiosianat). Prinsip pengujian aktivitas antioksidan dengan metode FTC adalah pengukuran nilai absorbansi kompleks warna merah ferri tiosianat. Kompleks warna ini terbentuk akibat adanya radikal peroksida yang mengoksidasi ion ferro (Fe2+) menjadi ion ferri (Fe3+), kemudian ion ferri yang terbentuk akan berikatan dengan ion tiosianat membentuk kompleks ferri tiosianat yang berwarna merah (Budijanto et al. 2000).

Sumber radikal bebas pada pengujian antioksidan dengan metode FTC adalah asam linoleat. Radikal merupakan senyawa oksidator yang akan mengoksidasi ion ferro (Fe2+) menjadi ion ferri (Fe3+). Kation besi yang mengalami kenaikan bilangan oksidasi akan bereaksi spesifik dengan ion tiosianat membentuk kompleks berwarna merah berupa [Fe(SCN)6]3- (Rohman & Sugeng 2005).

Hasil pengujian menunjukkan bahwa kontrol positif (BHT) memiliki nilai absorbansi yang paling rendah kemudian secara berturut-turut diikuti oleh fikosianin 1, fikosianin 2, dan kontrol negatif (asam linoleat) (Gambar 12). Data nilai absorbansi fikosianin dapat dilihat pada Lampiran 7. Rendahnya nilai absorbansi BHT menegaskan bahwa BHT mampu menghambat oksidasi asam linoleat lebih besar dibanding senyawa antioksidan lainnya. BHT (butil hydroxi toluen) adalah antioksidan komersial yang banyak digunakan untuk mencegah oksidasi lemak.


(41)

Gambar 12 Grafik aktivitas antioksidan

( Fikosianin 1; Fikosianin 2; Kontrol +; Kontrol – ) Tabel 2 Analisis regresi linier terhadap nilai absorbansi kontrol dan sampel

Sampel Persamaan Slope

Fikosianin 1 y = 0.016x + 0.788 > 0 Fikosianin 2 y = 0.013x + 0.81 > 0

Kontrol + y = 0.015x + 0.771 > 0

Kotrol - y = 0.021x + 0.874 > 0

Keterangan: Fikosianin 1: Pengeringan dengan freeze dryer Fikosianin 2: Pengeringan dengan spray dryer

Nilai slope lebih besar 0 atau α = 0,01 menunjukkan bahwa sampel memiliki kemampuan sebagai antioksidan. Nilai slope sampel memiliki nilai absorbansi lebih kecil dibandingkan kontrol negatif. Hal ini menunjukkan bahwa sampel mampu menghambat terjadinya oksidasi asam linoleat (Rohman & Sugeng 2005). Analisis lebih lanjut dilakukan untuk menentukan besarnya persen penghambatan senyawa antioksidan terhadap kontrol persatuan waktu menggunakan persamaan regresi. Besarnya persen penghambatan tersebut dapat dilihat pada Gambar 13.

Gambar 13 Daya Penghambatansampel menggunakan metode FTC ( Fikosianin 1; Fikosianin 2; Kontrol +; Kontrol – )

0.75 0.8 0.85 0.9 0.95 1

1 2 3 4 5

OD S ampel 50 0 nm

Waktu Pengamatan (hari ke-)

5 10 15 20 25 30

1 2 3 4 5

%

Inhibi

si


(42)

Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa BHT memiliki daya hambat paling tinggi (22,72-28,8%) terhadap terjadinya oksidasi asam linoleat dibandingkan sampel Fikosianin 1 (21,4-27,27%) dan Fikosianin 2 (20,27-24,9%). BHT adalah antioksidan sintetik yang telah diizinkan penggunaanya pada bahan pangan. Penambahan antioksidan sintetik pada bahan pangan harus berhati-hati, karena banyak diantaranya dapat menyebabkan keracunan pada dosis tertentu (Ketaren 1986). Informasi ini menunjukkan antioksidan alami berpotensi untuk dikembangkan karena lebih aman digunakan dalam bahan pangan. Antioksidan alami yang telah banyak digunakan pada bahan pangan diantaranya asam sitrat, askorbat dan tartarat, karoten, lesitin, asam maleat dan gum guaiac (Ketaren 1986).

Fikobiliprotein pada umumnya terdiri dari alofikosianin, fikosianin, dan fikoeritrin, dimana semuanya terbentuk oleh subunit protein a dan b. Setiap fikobiliprotein memiliki rantai prostetik tetrapirol linear yang berbeda isomer (bilin chromophore) pada susunan ikatan gandanya (Chopra & Bishnoi 2008). Struktur ini diduga berperan sebagai penangkap radikal bebas (Bhat & Madyastha 2000; Lissi et al. 2000 ). Romay et al. (1998) menjelaskan, struktur kimia chromophores pada c-fikosianin, tetraphyrol terbuka sangat mirip dengan bilirubin. Bilirubin adalah senyawa antioksidan yang penting secara fisiologis karena mampu membersihkan radikal peroksi dengan cara mendonorkan atom hidrogen pada rantai C-10 (Stocker et al. 1987 diacu dalam Romay et al. 1998). Struktur kimia bilin chromophore fikosianin dan bilirubin ditampilkan pada Gambar 14.

Gambar 14 Struktur kimia bilinchromophore fikosianin (a) dan bilirubin (b) Sumber: Chopra & Bishnoi (2008)

Aktivitas antioksidan fikosianin yang dikeringkan menggunakan freeze dryer (Fikosianin 1) lebih besar dibandingkan fikosianin yang dikeringkan dengan spray dryer (Fikosianin 2). Hal ini diduga karena kerusakan struktur bilin


(43)

chromophore pada fikosianin yang dikeringkan dengan spray dryer lebih banyak dibandingkan fikosianin yang dikeringkan menggunakan freeze dryer. Bilin chromophore merupakan sisi aktif fikosianin yang memiliki aktivitas antioksidan. Mekanisme aktivitas antioksidan fikosianin pada bilin chromophore khususnya telah diamati oleh banyak peneliti. Bhat & Madyastha (2000) menunjukkan peran bilin chromophore fikosianin dalam menangkap radikal dengan mempelajari

reaktivitas protein dengan radikal peroksil yang diperoleh dari 2,2’-Azobis (2-amidinopropane) dihydrochloride (AAPH) thermolysis. Lissi et al. (2000) juga menunjukkan bahwa fikosianin asli dan fikosianin yang telah dirubah bentuknya dengan NaBH4 masih mampu menangkap radikal peroksil.

Kerusakan struktur bilin chromophore pada fikosianin dapat terjadi akibat suhu tinggi. Hal ini dikarenakan fikosianin adalah biliprotein, biliprotein seperti protein globular pada umumnya dapat mengalami kerusakan struktur akibat panas (Ó Carra & Ó hEocha 1976; Lehninger 1982). Kerusakan struktur ini disebut denaturasi, yaitu perubahan struktur protein yang teratur secara alami menjadi tidak teratur dalam konfigurasi tiga dimensi (Hawab et al. 1989).

4.6Amobilisasi Fikosianin

Amobilisasi merupakan suatu teknik untuk menempatkan enzim atau sel dalam suatu ruang atau matriks sehingga enzim dan sel tersebut aktivitasnya tidak berkurang dan memperlihatkan aktivitas katalitiknya pada suhu tinggi (Bickerstaff 1997). Amobilisasi pigmen fikosianin dilakukan berdasarkan prinsip amobilisasi sel atau enzim. Pengikatan pigmen fikosianin pada suatu matriks atau ruang diduga dapat mempertahankan stabilitasnya selama penyimpanan dan pengolahan suhu tinggi. Mekanisme amobilisasi menggunakan kitosan dengan prinsip penjeratan atau enkapsulasi. Kitosan dapat berinteraksi dengan bahan-bahan bermuatan seperti protein. Suptijah (2006) menjelaskan kitosan mempunyai bentuk kristal rombik dengan struktur silang antar bentuk alfa, beta, dan gamma membentuk suatu matriks seperti resin.

Fikosianin amobil yang dihasilkan dilarutkan kembali dalam air akuades kemudian diukur rapat optisnya ( 620 nm) untuk menduga jumlah fikosianin


(44)

yang terlarut. Rapat optis fikosianin amobil yang telah dilarutkan ditampilkan pada Gambar 15.

Gambar 15 Rapat optis fikosianin amobil setelah dilarutkan dalam air (A = Fikosianin:kitosan (1:2), B = Fikosianin:kitosan (1:1), C = Fikosianin:kitosan (2:1), D = Fikosianin tanpa kitosan (kontrol))

Hasil pengukuran nilai rapat optis fikosianin yang dilarutkan dalam akuades menunjukkan fikosianin yang tidak diamobilisasi menggunakan kitosan (kontrol) lebih lebih tinggi nilai rapat optisnya (0,928) dibandingkan fikosianin amobil (0,008-0,082) (Gambar 15). Hasil ini menunjukkan amobilisasi menggunakan kitosan dapat menurunkan jumlah fikosianin yang terlarut. Hasil pengukuran daya larut fikosianin amobil berdasarkan kelarutan fikosianin murni ditampilkan pada Tabel 3.

Tabel 3 Daya larut fikosianin amobil

Sampel fikosianin OD Daya larut (%) Fikosianin : Kitosan 1: 2 0,0087 0,94

Fikosianin : Kitosan 1:1 0,0655 7,12 Fikosianin : Kitosan 2:1 0,0825 8,97 Fikosianin tanpa kitosan 0,9200 100

Daya larut fikosianin amobil bila dibandingkan daya larut fikosianin tanpa kitosan menunjukkan angka yang lebih kecil. Daya larut fikosianin amobil yang terbesar adalah campuran fikosianin:kitosan (2:1) sebesar 8,7% (Tabel 3). Angka ini sangat kecil bila dibandingkan kelarutan fikosianin tanpa kitosan yang dianggap 100%. Hasil ini menunjukkan fikosianin yang diamobilisasi menggunakan kitosan tidak mudah larut kembali dalam air. Hal ini diduga karena mekanisme pengikatan struktur fikosianin pada matriks kitosan yang cukup kuat.

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1

A B C D

OD

62

0


(45)

Sugita (2009) menyatakan bahwa, kitosan mampu berperan sebagai adsorben dengan cara mengikat bahan pada gugus –NH2–nya.

Fikosianin amobil yang diperoleh diuji stabilitasnya terhadap suhu pasteurisasi. Pengujian dilakukan dengan menempatkan fikosianin amobil pada suhu pasteurisasi 71,7oC selama 15 detik. Hasil pengujian stabilitas fikosianin amobil ditampilkan pada Tabel 4.

Tabel 4 Hasil pengujian stabilitas fikosianin amobil pada suhu pasteurisasi Sampel

Absorbansi fikosianin ( 620 nm)

Stabilitas (%) Sebelum

pasteurisasi

Setelah Pasteurisasi

Fikosianin : Kitosan (1: 2) 0,0087 0,0043 50

Fikosianin : Kitosan (1:1) 0,0655 0,0643 98,22 Fikosianin : Kitosan (2:1) 0,0825 0,0520 63,03

Fikosianin tanpa kitosan 0,93 0,92 98,92

Hasil uji stabilitas fikosianin amobil dengan perlakuan pasteurisasi (71,7 oC 15 detik) menunjukkan fikosianin amobil dengan perbandingan 1:1 memiliki stabilitas tertinggi (98,2%) diantara fikosianin amobil yang diuji (Tabel 4). Namun, hasil pengujian stabilitas juga menunjukkan fikosianin yang tidak diamobilisasi menggunakan kitosan memiliki stabilitas yang baik. Data ini menunjukkan bahwa kitosan larut asam tidak tepat digunakan sebagai agen amobilisasi pigmen fikosianin.


(46)

5 KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Rendemen fikosianin hasil pengeringan freeze dryer lebih besar dibanding fikosianin hasil pengeringan spray dryer. Hasil analisis proksimat menunjukkan fikosianin yang dikeringkan menggunakan freeze dryer memiliki kadar fikosianin, protein, dan kadar air yang lebih besar dibandingkan fikosianin yang dikeringkan menggunakan spray dryer. Fikosianin hasil pengeringan freeze dryer memiliki persen penghambatan terhadap radikal bebas lebih tinggi dibandingkan hasil pengeringan spray dryer. Daya larut fikosianin amobil lebih kecil dibandingkan daya larut fikosianin murni. Stabilitas fikosianin amobil pada suhu pasteurisasi masih lebih kecil dibanding stabilitas fikosianin tanpa kitosan.

5.2 Saran

Saran yang dapat diberikan dari hasil penelitian ini adalah:

1) Perlu dilakukan pengamatan perubahan struktur fikosianin sebelum dan setelah dilakukan pengeringan.

2) Perlu dilakukan uji stabilitas fikosianin hasil pengeringan terhadap lama penyimpanan.

3) Masih perlu dilakukan penelitian tentang amobilisasi fikosianin menggunakan bahan penyalut selain kitosan larut asam.


(47)

DAFTAR PUSTAKA

[AOAC] Association of Official Analytical Chemyst. 1995. Official Method of Analysis of The Association of Offial Analytical of Chemist. Arlington: The Association of Official Analytical Chemyst, Inc.

Achmadi SS, Jayadi, Tri-Panji. 2002. Produksi pigmen oleh Spirulina platensis yang ditumbuhkan pada media limbah lateks pekat. Hayati. 9(3):80-84.

Adams M. 2005. Superfood for Optimum Health: Chlorella and Spirulina. New York: Truth Publishing International, Ltd. Hal 26.

Astawan M, Kasih AL. 2008. Khasiat Warna-Warni Makanan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Hal 161-184.

Berk Z. 2009. Food Process Engineering and Technology. USA: Elsevier Inc. Hal 511-524.

Bhat VB, Madyastha KM. 2000. C-phycocyanin: a potent peroxyl radical scavenger invivo and invitro. Biochemical and Biophysical Research Communications 275(1):20-25.

Bickerstaff GF. 1997. Imobilization of enzyme and cells. Di dalam: Gordon F. Bickerstaff, editor. Imobilization of Enzymes and Cells. New Jersey: Humana Press.

Boussiba S, Richmond AE. 1980. C-phycocyanin as a storage protein in blue green algae Spirulinaplatensis. Archive of Microbiology 125:143–147.

Budijanto S, Lilis N, Andries S. 2000. Studi stabilitas minyak kapang Mucor inaequisporus M05 II/4 kaya asam gamma linoleat selama penyimpanan. Buletin Teknologi dan Industri Pangan 11(2):49-54.

Cahyaningrum SE, Agustini R, Herdyastuti N. 2007. Pemakaian kitosan limbah udang windu sebagai matriks pendukung pada imobilisasi papain. Akta Kimindo 2(2):93–98.

Cherng SC, Cheng SN, Tarn A, Chou TC. 2007. Anti-inflammatory activity of c-phycocyanin in lipopolysaccharide-stimulated RAW 264.7 macrophages. Life Sciences 81:1431–1435.

Desorby, S. Netto FM. dan Labuza TP. 1997. Comparison of spray drying, drum drying and freeze drying for b-carotene encapsulation and preservation. Journal of food science 62:1158-1162.

Diharmi A. 2001. Pengaruh pencahayaan terhadap kandungan pigmen bioaktif mikrolaga Spirulina platensis strain Lokal (INK). [Tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.

Dubey RT, C Tsami dan B Rao. 2009. Microencapsulation technology and application. Journal of Defence Science 59(1):82-95.

El-Baky HHA. 2003. Over production of phycocyanin pigment in blue green alga Spirulina sp. And it’s Inhibitory effect on growth of Ehrlich Aschites Carcinoma Cells Journal Medical Science 3(4):314-324.


(48)

Ernawati S. 2010. Stabilitas sediaan bubuk pewarna alami dari rosella (Hibiscus sabdariffa L.) yang diproduksi dengan metode spray drying dan tray drying. [Skripsi]. Ilmu Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

González R. González A, Remirez D, Romay C, Rodriguez S, Ancheta O, Merino N. 2003. Protective effects of phycocyanin on galactosamine-induced hepatitis in rats. Biotecnología Aplicada 20:107-110.

Hall DO, Rao KK. 1999. Photosynthesis Six edition. Cambridge: ,Cambridge university press.

Hardjito L. 2006. Aplikasi kitosan sebagai bahan tambahan makanan dan pengawet. Di dalam: Prosiding Seminar Nasional Kitin-Kitosan. Bogor: Departemen Teknologi Hasil Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Hal 1-13.

Hawab M, Bintang M, Kustaman E. 1989. Penuntun Praktikum Biokimia Lanjutan. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Hal 112-133.

Heldman DR, Singh RP. 1981. Food Process Engineering. Westport: AVI Publishing Co.

Helwig B. 2000. Antioxidants and Exercise. http://www.exrx.net/nutrition/ antioxidants/articel. [12 Februari 2010].

Henrikardiyah NW.1996. Kajian imobilisasi mikroorganisme penghasil protease untuk solubilisasi protein hasil perikanan. [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Henrikson R. 2009. Earth Food Spirulina. Ed Ke-6. Hawai: Ronore Interprise, Inc. Hal 37.

Ketaren S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta: UI press. Kikuzaki H, Nakatani B. 1993. Antioxidants effect of some ginger constituent.

Journal of Food Science58(6):1407-1410.

Klinkenberg G, Listad KQ, Levine DW, Dyrset N. 2001. Cell release from alginat immobilized Lactococcus lactis ssp. lactis in chitosan and alginate coated beads. Journal of Americans Dairy Science Association.

Krajewska B. 2004. Membraned-based processes performed with use of chitin/chitosan materials. Journal of Separation and Purification Technology 41:305-312.

Lee YK, Shen H. 2004. Basic culturing techniques. Di dalam: Richmond A, editor. Handbook of Microalgal Culture: Biotechnology and Applied Phycology. New York: Blackwell Publishing Company. Hal 40-56.

Lehninger LA. 1982. Dasar Dasar Biokimia Jilid 1. Thenawijaya M, Penerjemah. Jakarta: Penerbit Erlangga. Terjemahan dari: Principle of Biochemistry. Lissi EA et al. 2000. Kinetics of phycocyanin bilin groups destruction byperoxyl


(49)

Lorenz RT. 1998. Quantitative Analysis of C-phycocyanin from Spirulina pasifica (low teperature method). www.cyanotech.com [16 Maret 2010].

Masojidek J, Koblizek M, Torzillo G. 2004. Photosynthesis in microalgae. Di dalam: Richmond A, editor. Handbook of Microalgal Culture: Biotechnology and Applied Phycology. New York: Blackwell Publishing Company. Hal 20-39. Masters, K. 1979. Spray drying Hand book. New York: John Willegard Sons.

Mishra SK, Shrivastav A, Mishra S. 2008. Effect of preservatives for food grade C-PC from Spirulina platensis. Process Biochemistry 43:339–345.

Mohammad J. 2007. Produksi dan karakterisasi biopigmen fikosianin dari Spirulina fusiformis serta aplikasinya sebagai pewarna minuman. [Skripsi]. Bogor: Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Mussagy A, Annadotter H, Cronberg G. 2006. An experimental study of toxin production in Arthrospira fusiformis (Cyanophyceae) isolated from African waters. Toxicon 48:1027–1034.

Ó Carra P, Ó hEocha C 1976. Algal Biliproteins and Phycobilins. Goodwin TW, editor. 1976. Chemistry and Biochemistry of Plant Pigments. London: Academic press inc.Hal 328-371.

Oetjen GW. 1999. Freeze Drying. Germany: WILEY-VCH Verlag. Hal 1-288

Pamungkas E. 2005. Pengolahan limbah cair PT. Pupuk Kujang dengan Spirulina sp. pada reaktor curah (batch). [Skripsi]. Bogor: Program studi Teknologi Hasil Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Patel A, Mishra S, Ghosh PK. 2006. Antioxidant potential of c-phycocyanin isolated

from cyanobacterial species Lynbya, Phormidium and Spirulina spp. Indian Journal of Biochemistry dan Biophysics 43:25-31.

Quinn JJ. 1965. The economic of spray drying. Industrial and engineering chemistry 57:35-37.

Reinnecius, GA. 1988. Spray drying of food flavours. Di dalam Reinnecius GA dan Risch SJ (Eds) Flavour Encapsulation. Washington: American Chemical Society. Hal 55-66.

Richmond A. 1988. Spirulina. Di dalam Borowitzka MA dan Borowitzka LJ, editor. Micro-algal biotechnology. Cambridge: Cambridge University Press.

Rinaudo M. 2006. Chittin and chitosan: properties and applications. Journal of Polymer Science. 31: 603-632.

Rochima et al. 2006). Karakterisasi kitosan hasil deasetilasi enzimatis oleh kitin deasetilase isolat Bacillus papandayan K29-14. Di dalam: Di dalam: Prosiding Seminar Nasional Kitin-Kitosan. Bogor: Departemen Teknologi Hasil Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.Hal 74-87.


(50)

Rohman A, Sugeng R. 2005. Daya antioksidan ekstrak etanol daun kemuning (Murraya paniculata (L) Jack) secara invitro. Majalah Farmasi Indonesia 16(3):136-140.

Romay C, Armesto J, Remirez D, González R, Ledón N, García I. 1998. Antioxidant and anti-inflammatory properties of c-phycocyanin from blue-green algae. Inflammation Research 47:36-41.

Romay C, González R, Ledón N, Remirez D, Rimbau V. 2003. C-phycocyanin: a biliprotein with antioxidant, anti-inflammatory and neuroprotective effects. Current Protein and Peptide Science 4:207-216.

Ronaldo R. 2008. Zeolit alam dan chitosan sebagai adsorben catalytic converter monolitik untuk pereduksi emisi gas buang kendaraan bermotor. [skripsi]. Bogor : Departemen Teknologi Hasil Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Setyahadi S. 2006. Pengembangan produksi kitin secara mikrobiologi. Di dalam: Di dalam: Prosiding Seminar Nasional Kitin-Kitosan. Bogor: Departemen Teknologi Hasil Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Hal 33-40.

Shahidi F, Janak KVA, Yon JJ. 1999. Food Aplications of chitin-Kitosan. Canada: Dept of Biochemistry Univ of Newfoundland.

Shih CM, Cheng SN, Wong CS, Kuo YL, Chou TC. 2009. Antiinflammatory and antihyperalgesic activity of C-Phycocyanin. International Anesthesia Research Society 108(4):1303-1310.

Spolaore P, Joanis-Carson C, Duran E, Isambert A. 2006. Comercial application of microalgae. Journal of bioscience and bioenginering 101(2):87-96

Stapley A. 2008. Freeze drying. Di dalam: Evans JA, editor. Frozen Food Science and Technology. United Kingdom: Blackwell Publishing Ltd. Hal 248-275.

Sugita P, Wukirsari T, Sjahriza A, Wahyono D. 2009. Kitosan: Sumber Biomaterial Masa Depan. Bogor: Penerbit IPB Press. Hal 3.

Suhartono MT, Angka SL. 2000. Bioteknologi Hasil Laut. PKSPL-IPB 1:64-70.

Suptijah P. 2006. Deskripsi Karakteristik Fungsional dan Aplikasi Kitin Kitosan. Di dalam: Prosiding Seminar Nasional Kitin-Kitosan. Bogor: Departemen Teknologi Hasil Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. hlm 14-24.

Syah et al. 2005. Manfaat dan Bahaya Bahan Tambahan Pangan. Bogor: Himpunan Alumni Fakultas Teknologi Pertanian IPB.

Taher A. 2003. Peran fitoesterogen kedelai sebagai antioksidan dalam penanggulangan aterosklerosis. [Tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.

Tietze HW. 2004. Spirulina Micro Food Macro Blessing. Ed ke-4. Australia: Harald W. Tietze Publishing. Hal 8-10

Wiffels RH, Buitellar RM, Bucke C, Tramper J, editor. 1996. Immobilized Cells: Basic and Applications. Amsterdam: Elsevier. Hal 4.


(51)

(1)

Lampiran 2 Data pengukuran kepadatan sel kultur Spirulina selama kultivasi

Data OD kulur Spirulina fusiformis

Hari ke- Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata

0 0,25 0,29 0,27

3 0,48 0,65 0,57

4 0,78 1,08 0,93

5 0,56 1,12 0,84

6 0,89 1,14 1,01

7 0,74 1,03 0,88

10 1,34 1,21 1,27

11 0,76 0,65 0,70

12 1,04 1,11 1,07

13 1,09 1,01 1,05

16 1,23 0,85 1,04

17 1,61 0,89 1,25


(2)

dengan metode Feri Tiosianat (FTC) a. Buffer fosfat pH 7,0

8,16 gr KH2PO4 dimasukkan dalam 60 ml air destilasi, Kemudian KOH ditambahkan hingga pH meter menunjukkan angka 7,0

b.Pembuatan asam linoleat 50 mM dalam 15 ml etanol 99,5%.

c. Pembuatan etanol 75% M1V1=M2V2

375 ml etanol absolut

Untuk memperoleh etanol 75% sebanyak 500 ml, 375 ml etanol absolut ditambahkan akuades hingga 500 ml.

d.Pembuatan amonium tiosianat 30% sebanyak 5 ml

e. Pembuatan FeCl2 20 mM dalam HCl 3,5%

- Pembuatan larutan HCl 3,5% sebanyak 5ml

M1V1 = M2V2

37% · a = 3,5% · 5ml a = (3,5 x 5)/37

a = 0,5ml HCl 37% kemudian ditambahkan akuades hingga 5 ml.

- Pembuatan FeCl2 20mM dalam 5 ml HCl 3,5%

FeCl2 yang ditambahkan dalam 5ml HCl 3,5% adalah sebanyak 0,012675 gram.


(3)

Lampiran 4 Nilai absorbansi dan persen penghambatan Hari

ke- Sampel 1 2 Rata-rata % Inhibisi 1 Fikosianin 1 0,815 0,785 0,8 27,27273 Fikosianin 2 0,806 0,846 0,826 24,90909

+ 0,781 0,785 0,783 28,81818

- 0,89 0,924 0,907 17,54545

2 Fikosianin 1 0,839 0,806 0,8225 25,22727 Fikosianin 2 0,816 0,852 0,834 24,18182

+ 0,798 0,818 0,808 26,54545

- 0,889 0,931 0,91 17,27273

3 Fikosianin 1 0,852 0,836 0,844 23,27273 Fikosianin 2 0,843 0,858 0,8505 22,68182

+ 0,85 0,79 0,82 25,45455

- 0,879 0,981 0,93 15,45455

4 Fikosianin 1 0,874 0,847 0,8605 21,77273 Fikosianin 2 0,868 0,875 0,8715 20,77273

+ 0,821 0,845 0,833 24,27273

- 0,954 0,956 0,955 13,18182

5 Fikosianin 1 0,867 0,862 0,8645 21,40909 Fikosianin 2 0,876 0,878 0,877 20,27273

+ 0,823 0,877 0,85 22,72727


(4)

sampel fikosianin

Keterangan: Fikosianin 1: Fikosianin kering dengen freeze dryer

Fikosianin 2: Fikosianin kering dengan spray dryer

Kontrol + : Antioksidan komersil BHT Kontrol - : Hanya asam linoleat Persamaan dan nilai R2:

Fikosianin 1 : y = 0,016x + 0,788 R² = 0,952

Fikosianin 2 : y = 0,013x + 0,81 R² = 0,969

Kontrol + : y = 0,015x + 0,771 R² = 0,981

Kotrol - : y = 0,021x + 0,874 R² = 0,924

0.75 0.8 0.85 0.9 0.95 1

1 2 3 4 5

Abso rb a n si c o n to h ( 5 0 0 n m)


(5)

Lampiran 6 Contoh perhitungan daya hambat sampel terhadap oksidasi asam linoleat

% daya hambat Fikosianin 1 = – = – = 23,27%

% daya hambat Fikosianin 2 = – = – = 22,68 %

% daya hambat Kontrol (+) = – = –

= 25,45%

% daya hambat Kontrol - = – = –


(6)

Keterangan:

A620 : Absorbansi fikosianin pada panjang gelombang 620 nm

3,39 : Koefisien konsistensi fikosianin kasar pada panjang gelombang 620 nm 10 : Total volume buffer posfat

Kadar Fikosianin awal =

= 6,94 % Kadar Fikosianin spray dryer =

= 4,06 % Kadar Fikosianin freeze dryer =