Technology of Spirulina fusiformis production intensively with monospectrum lighting

(1)

TEKNOLOGI PRODUKSI Spirulina fusiformis

SECARA

INTENSIF DENGAN PENCAHAYAAN MONOSPEKTRUM

AHMAD FAUZAN

DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyataka n bahwa skrips i yang be rjudul :

TEKNOLOGI PRODUKSI Spirulina fusiformis SECARA INTENSIF DENGAN PENCAHAYAAN MONOSPEKTRUM

adalah benar merupakan hasil karya yang belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Agustus 2012

AHMAD FAUZAN C14080007


(3)

ABSTRAK

AHMAD FAUZAN. Teknologi produksi Spirulina fusiformis secara intensif dengan pencahayaan monospektrum. Dibimbing oleh TATAG BUDIARDI da n NUR BAMBANG PRIYO UTOMO.

Spirulina sp. merupakan jenis mikroalga yang banyak digunakan sebagai bahan baku industri pa ngan dan pakan karena memiliki kandungan nutrisi seperti protein, asam lemak, vitamin, dan antioksidan yang tinggi. Spirulina sp. bersifat fotoautotrof yang melakukan proses fotosintesis untuk memperoleh berbagai senyawa yang diperlukan dalam metabolisme. Penelitian ini dilakukan untuk menentuka n efektivitas penggunaan lampu monospektrum 1500 lux sebagai sumber spektrum fotosintesis pada produksi biomassa Spirulina fusiformis yang dikultur secara intensif dengan menggunakan spektrum putih, merah, biru dan biru- merah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan cahaya pada kultur

Spirulina fusiformis mempengaruhi puncak kepadatan, biomassa, kadar protein dan klorofil. Kepadatan puncak pada perlakuan merah, biru- merah, putih da n biru terjadi saat 18 hari kultivasi dengan masing- masing kepadatan 14,83 x 104 sel/ml; 8,67 x 104 sel/ml; 6,67 x 104 sel/ml dan 3,89 x 104 sel/ml. Spirulina fusiformis

yang dikultur menggunakan sumber pencahayaan monospektrum merah mencapai produksi terbaik dengan biomassa panen 5,075 mg/ml, kadar protein sebesar 65,77% dan kadar klorofil sebesar 1,605 mg/l.


(4)

ABSTRACT

AHMAD FAUZAN. Technology of Spirulina fusiformis production intensively with monospectrum lighting. Supervised by TATAG BUDIARDI dan NUR BAMBANG PRIYO UTOMO.

Spirulina sp. is important for food and feed ind ustry. Spirulina sp. contains high nutrients levels such as protein, fatty acids, vitamins and antioxidants. Spirulina

sp. is photoautotroph that can do process of photosynthesis to obtain the necessary range of compounds in metabolism. The obj ective of study to was compare the effective of the use of monospectrum lighting 1500 lux as source photosynthesis spectrum to biomass production. Spirulina fusiformis was intensively cultured using sources white, red, blue and blue-red spectrum. The results showed that treatment of light for culture Spirulina fusiformis influenced the top population level, biomass, proteins and chlorophyll content. The top of density on red, blue-red, white and blue at 18 day of cultivation with each de nsity was 14,83 x 104 cells/ml; 8,67 x 104 cells/ml; 6,67 x 104 cells/ml and 3,89 x 104 cells/ml. The

Spirulina fusiformis was cultured using sources red monospectrum lighting achieved the best production with biomass harvesting was 5,075 mg/ml, proteins content 65,77% and chlorophyll content 1,605 mg/l.


(5)

TEKNOLOGI PRODUKSI Spirulina

fusiformis

SECARA

INTENSIF DENGAN PENCAHAYAAN MONOSPEKTRUM

AHMAD FAUZAN

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk me mperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Prog ram Studi Teknologi dan Manaje men Perikanan Budidaya

Departemen Budidaya Perairan, Fak ultas Pe rikanan dan Ilmu Kelautan,

Institut Pe rtanian Bogo r

DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(6)

Judul Skripsi : Teknologi Produksi Spirulina fusiformis Secara Intensif de nga n Pencahayaan Monospektrum

Nama : Ahmad Fauzan

NIM : C14080007

Disetujui

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ir. Tatag Budiardi, M.Si.

NIP. 19631002 199702 1 001 NIP. 19650814 199303 1 005

Dr. Ir. Nur Bambang Priyo Utomo, M.Si.

Diketahui

Ketua Departemen Budidaya Perairan

NIP. 19591222 198601 1 001 Dr. Ir. Odang Carman, M.Sc.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret sampai dengan Mei 2012 adalah pakan alami, dengan judul “Teknologi produksi Spirulina fusiformis secara intensif de ngan pe ncahayaan monospekt rum”.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Tatag Budiardi, M.Si. selaku dosen Pembimbing I, Dr. Ir. Nur Bambang Priyo Utomo, M.Si. selaku dosen Pembimbing II, Dr. Agus Oman Sudrajat, M.Sc. selaku dosen penguji tamu dan Dr. Edd y Supriyono, M.Sc. selaku dosen pembimbing akademik yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan dan dukungan kepada penulis. Di samping itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh dosen dan segenap pegawai Departemen Budidaya Perairan khususnya Pak Wasjan, Mbak Retno, Pak Ranta, Kang Abe dan Kang Dama atas bimbingan, dukungan dan bantuannya. Ucapan terima kasih yang tidak terhingga juga disampaikan kepada ayahanda Kusman da n Ibunda Komariah yang tidak henti- hentinya memberikan dukungan, cinta, kasih sayang da n motivasi. Terima kasih kepada tim PKMP Spirulina 2012 (Daus, Heru, Putri da n Ferdi), sahaba t-sahabat (Yadi, Dendi, Asep, Taqin, Aqil, Burhan, Fatima, Titi, Jeani, Retno, Pika, Bayu, Wahyu, Nurlita, Riska, Randi, Adit, Yoga, Ernitha, Eko, Sribon, Eriza, Widi dan semua anggota BDP 45), adik-adik BDP 46 dan BDP 47 serta kakak BDP 44 atas kebersamaan, bantuan dan semangatnya.

Akhir kata, semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan dapat diterima di masyarakat luas.

Bogor, Agustus 2012


(8)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sumedang tanggal 30 Oktober 1990 dari ayah Kusman dan ibu Komariah. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Pendidikan formal yang dilalui penulis adalah SMAN 3 Sumedang dan lulus tahun 2008. Pada tahun yang sama, penulis lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Unda ngan Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor dan memilih mayor Teknologi dan Manajemen Perikanan Budidaya, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Setahun kemudian penulis memilih minor Pengembangan Usaha Agribisnis, Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah melakukan magang di Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi, Jawa Barat (2010) dan praktik kerja lapang di Balai Besar Air Payau (BBAP) Situbondo (2011). Penulis pernah mengikuti kegiatan Go Field ke Kabupaten Brebes, Jawa Timur (2010). Penulis juga aktif dalam organisasi sebagai anggota Century Partner’s (2008/2009), anggota Taekwondo IPB (2008/2009), staf Forum Komunikasi Muslim FPIK (FKMC) (2009/2010), Wakil Ketua Himpunan Mahasiswa Akuakultur (HIMAKUA) (2009/2010), Ketua Divisi Kewirausahaan HIMAKUA (2010/2011) serta anggota Warga Pelajar Mahasiswa Lingga (WAPEMALA). Selain itu, penulis juga pernah menjadi asisten mata kuliah Fisiologi Hewan Air (2010-2012) (S1), Dasar-dasar Akuakultur (2011/2012) (S1) dan Konstruksi Wadah dan Fasilitas Perikanan Budidaya (2012) (D3). Penulis pernah lolos dalam pengajuan proposal Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) dari Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (DIKTI) bidang kewirausahaan (2009/2010) dan bidang penelitian (2010-2012). Beasiswa yang pernah penulis dapatkan yaitu Beasiswa Tingkat Persiapan Bersama (TPB-IPB) (2008/2009) dan Beasiswa Bank Indonesia (2011/2012). Tugas Akhir dalam pendidikan tinggi diselesaikan dengan menulis skripsi yang berjudul “Teknolog i Produksi Spirulina fusiformis Secara Intensif dengan Pencahayaan Monospektrum”.


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

I. PENDAHULUAN... 1

II. BAHAN DAN METOD E ... 4

2.1 Prosedur Penelitian ... 4

2.1.1 Perlakuan Uji ... 4

2.1.2 Persiapan Alat dan Bahan ... 4

2.1.3 Kultur Skala Laboratorium ... 5

2.1.4 Kultur Ska la Intermediet ... 5

2.1.5 Pemanenan ... 5

2.2 Parameter Penelitian ... 6

2.2.1 Biomassa Panen ... 6

2.2.2 Kepadatan Populasi ... 6

2.2.3 Laju Pertumbuhan Spesifik ... 7

2.2.4 Wakt u Penggandaan ... 7

2.2.5 Analisis Proks imat ... 7

2.2.6 Analisis Klorofil ... 7

2.2.7 Kualitas Air ... 8

2.3 Analisis Statistik ... 9

III. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 10

3.1 Hasil ... 10

3.1.1 Kepadatan Sel ... 10

3.1.2 Biomassa ... 11

3.1.3 Laju Pertumbuhan Spesifik ... 12

3.1.4 Wakt u Penggandaan ... 13

3.1.5 Analisis Proks imat ... 13

3.1.6 Analisis Klorofil ... 14

3.1.7 Kualitas Air ... 14

3.2 Pembahasan ... 15

IV. KESIMPULAN DAN SARAN ... 20

4.1 Kesimpulan ... 20

4.2 Saran ... 20

DAFTAR PUSTAKA ... 21


(10)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Hasil analisis proks imat Spirulina fusiformis... 14 2. Analisis klorofil Spirulina fusiformis ... 14 3. Nilai parameter kualitas air selama kultivasi Spirulina fusiformis ... 14


(11)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Kepadatan sel Spirulina fusiformis selama kultivasi dengan

perlakuan cahaya putih (P), cahaya biru (B), cahaya merah (M) dan

cahaya biru merah (BM) ... 10 2. Kepadatan sel Spirulina fusiformis pada saat puncak populasi

dengan perlakuan cahaya putih (P), cahaya biru (B), cahaya merah

(M) da n cahaya biru merah (BM) ... 10 3. Biomassa Spirulina fusiformis de nga n perlakuan cahaya putih (P),

cahaya biru (B), cahaya merah (M) da n cahaya biru merah (BM) ... 11 4. Hubungan antara kepadatan dan biomassa Spirulina fusiformis

pada perlakuan cahaya putih (P), cahaya biru (B), cahaya merah

(M) da n cahaya biru merah (BM) ... 12 5. Laju pertumbuhan spesifik Spirulina fusiformis dengan perlakuan

cahaya put ih (P), cahaya biru (B), cahaya merah (M) da n cahaya

biru merah (BM) ... 12 6. Waktu penggandaan Spirulina fusiformis dengan perlakuan cahaya

putih (P), cahaya biru (B), cahaya merah (M) dan caha ya biru merah (BM) ... 13


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Tata letak akuarium penelitian ... 23 2. Komposisi pupuk Zarrouk modifikasi untuk kultur Spirulina

fusiformis skala laboratorium 1 liter dan 16 liter ... 24 3. Komposisi pupuk Zarrouk modifikasi untuk kultur Spirulina

fusiformis skala intermediet 20 liter ... 25 4. Analisis statistik kepadatan puncak kultur Spirulina fusiformis ... 26


(13)

I. PENDAHULUAN

Mikroalga adalah kelompok alga berukuran ukuran 2-20 µm yang memiliki klorofil sehingga mampu melakukan fotosintesis. Mikroalga bereproduksi secara aseksual melalui pembelahan sel. Mikroalga terdiri dari banyak spesies yang

hampir semuanya merupakan organisme akuatik (Sasmita et al., 2004).

Mikroorganisme tersebut banyak digunakan dalam industri akuakultur, kesehatan, dan maka nan. Salah satu jenis mikroalga yang banyak digunakan da lam ind ustri tersebut adalah Spirulina sp. karena memiliki kandungan nutrisi seperti protein, asam lemak, vitamin dan antioksidan yang tinggi.

Industri akuakultur menggunakan spirulina sebagai bahan baku pembuatan pakan karena dapat meningkatkan nafsu makan, pertumbuhan dan kelangsungan hidup pada larva ika n da n udang, serta dapat meningkatkan kualitas kulit, warna dan pemampilan pada ikan koi (Henrikson, 2009). Berba gai industri di bidang kesehatan khususnya bagi manusia, spirulina digunakan sebagai bahan baku produk yang akan dihasilkan seperti suplemen berbentuk tablet, cair ataupun dijadikan makanan siap saji seperti roti dan selai. Hal ini karena dapat meningkatkan fungsi imun tubuh (Borchers et al., 2008), mengurangi risiko kanker, merangsang kekebalan tubuh da n meningkatkan aktivitas limfosit (Henson da n Kozlenko, 2009).

Selain digunakan dalam dunia industri, Spirulina sp. juga dapat dikonsumsi langsung oleh manusia, seperti oleh penduduk yang tinggal di sekitar Danau Chad, Republik Chad, Afrika dan di Danau Texcoco, Meksiko yang menjadikannya sebagai makanan tambahan atau suplemen maupun sebagai makanan tradisional (Belay, 2008).

Semakin berkembangnya pengetahuan pada berbagai manfaat dari spirulina mengakibatkan peningkatan permintaan produk spirulina dari berbagai kalangan seperti perusahaan makanan, pakan maupun ind ustri lainnya. Peningkatan produksi terjadi di Cina dengan memproduksi 19.080 ton pada tahun 2003 menjadi 41.570 ton pada tahun 2004 atau setara dengan nilai transaksi sebesar 7,6 juta US$ tahun 2003 menjadi 16,6 US$ tahun 2004 (FAO, 2008). Meskipun demikian, permintaan yang besar ternyata belum diimbangi dengan peningkatan


(14)

2 produksi spirulina. Kondisi tersebut terjadi akibat produksi dari budidaya spirulina masih rendah. Solusi permasalahan tersebut adalah melalui pengembangan teknik kul tur agar produktivitas dan kualitas kultur spirulina dapat ditingkatkan.

Berbagai penelitian dan pengembangan telah dilakukan untuk memproduksi biomassa Spirulina sp. yang meliputi teknik kultur dalam berbagai skala produksi, optimasi kondisi lingkungan kultur, dan uji galur Spirulina sp. (Vonshak dan Tomaselli, 2000; Reinehr dan Costa, 2006). Optimasi kondisi lingkungan kultur dapat dilakukan dengan cara memanipulasi nutrisi media, suhu, pH dan perlakuan pencahayaan. Jenis Spirulina sp. yang umum dibudidaya di Indonesia yaitu S. platensis da n S. fusiformis. Perbedaan dari kedua jenis tersebut terdapat pada kondisi lingkungan hidupnya. S. platensis hidup di perairan laut, sedangkan S. fusiformis hidup di perairan tawar. Perbedaan tersebut mengakibatkan harus adanya segmentasi dalam pengembangan produksi berdasarkan jenis perairan seperti perairan tawar, payau dan laut, sehingga jenis Spirulina yang akan dikembangan di perairan tawar adalah S. fusiformis.

S. fusiformis merupakan organisme fotoautotrof yang melakukan proses fotosintesis untuk memperoleh berbagai senyawa yang diperlukan dalam metabolisme. Faktor utama yang berpengaruh dalam fotosintesis adalah cahaya. Cahaya merupakan faktor esensial untuk pertumbuhan S. fusiformis yang tidak dapat disimpan dalam fotobioreaktor, hal ini menyebabka n caha ya harus disuplai secara terus- menerus. Mengacu kepada efisiensi pemanfaatan cahaya oleh klorofil mikroalga, diketahui bahwa alga menyerap semua cahaya yang diterima walaupun tidak semua foton yang diterima dapat dimanfaatkan (Park dan Lee, 2000).

Secara alami cahaya yang berperan dalam proses fotosintesis adalah cahaya tampak yang berasal dari matahari. Sementara dalam kultur intensif, cahaya yang digunakan umumnya berasal dari lampu tabung (tube lamp, TL) putih. Cahaya yang be rasal dari matahari dan lampu TL merupakan cahaya polikromatik yang terdiri atas beberapa komponen cahaya monokromatik, yaitu caha ya merah, jingga, kuning, hijau, biru, dan ungu. Menurut Campbell et al. (2002), spektrum cahaya yang pa ling efektif diserap oleh klorofil sebagai sumber energi dalam reaksi terang adalah spektrum merah dan biru. Rekayasa pencahayaan dengan menggunakan cahaya monokromatik merah dan biru dapat meningkatkan efisiensi


(15)

3 dalam kegiatan produksi. Hal ini disebabkan keseluruhan energi yang digunakan untuk sumber cahaya dapat dikonversi menjadi gelombang merah (630-700 nm) dan biru (400-480 nm) yang paling bermanfaat dalam fotosintesis. Oleh karena itu, penelitian tentang efektivitas dan efisiensi penggunaan pencahayaan monospektrum dalam produksi spirulina di lingkungan yang terkontrol perlu dilakukan. Hal ini dikarenakan dalam menghasilkan produk berkualitas baik, yaitu food grade harus memiliki kriteria dari ISO 9001 yang di antaranya adalah kualitas premium nutrisi dan kualitas kontrol lingkungan (Henrikson, 2009). Tujuan da ri penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh penggunaan TL monospektrum sebagai sumber pencahayaan fotosintesis terhadap produksi biomassa Spirulina fusiformis yang dikultur melalui kajian kepadatan sel, laju pertumbuhan spesifik dan kandungan nutrisinya.


(16)

II. BAHAN DAN METODE

2.1 Prosedur Penelitian 2.1.1 Perlak uan Uji

Penelitian ini dilakukan dengan mengkultur spirulina Spirulina fusiformis dalam skala laboratorium (1 liter) dengan pencahayaan menggunakan lampu TL putih selama 24 jam dengan intensitas berkisar antara 1500-2000 lux dan melakukan pengamatan kepadatan harian untuk mengetahui kurva pertumbuhan spirulina. Penelitian dilanjutkan dengan kultur skala intermediet (20 liter) menggunakan media Zarrouk yang dimodifikasi. Perlakuan yang diberika n berupa sumber cahaya yang berbeda yaitu lampu TL putih 36 watt dan lampu TL monospektrum 40 watt selama 24 jam sebagai berikut:

1) Perlakuan A (P): Sumber pe ncahayaan lampu TL putih. 2) Perlakuan B (100M): Sumber pe ncahayaan lampu TL merah. 3) Perlakuan C (100 B): Sumber pe ncahayaan lampu TL biru.

4) Perlakuan D (50B50M): Sumber pencahayaan lampu TL biru 50% dan TL

merah 50% .

2.1.2 Persiapan Alat dan Bahan

Pada tahap pertama persiapan, terlebih dahulu dilakukan pemasangan lampu TL dengan spektrum putih, spektrum merah, spektrum biru, spektrum merah-biru (50%-50%), dan sistem aerasi. Selanjutnya, alat-alat yang akan digunakan sebagai wadah kultur terlebih dahulu disterilisasi dengan cara dicuci menggunakan sabun hingga bersih, kemudian dibilas menggunakan air bersih dan dikeringkan. Setelah itu, peralatan disemprot dengan menggunakan larutan alkohol 70%.

Air yang digunakan sebagai media kultur terlebih dahulu disterilisasi menggunakan larutan klorin 30 µl/l dan diaerasi kuat selama 24 jam. Titik aerasi pada setiap akuarium dipasang sebanyak 2 titik. Setelah itu, air media diberi natrium tiosulfat 15 mg/l (50% dari dosis klorin yang digunakan) sebagai penetralisir residu larutan klorin.


(17)

5

2.1.3 Kultur Skala Laboratorium

Kultur dilakukan secara bertingkat yaitu dengan dilakukannya kultur skala laboratorium dengan volume 1 liter, ke mudian dibiakan menjadi 16 liter dan dilanjutka n dengan kultur intermediet bervolume 20 liter. Kultur tahap pertama dilakukan dalam skala kultur 1 liter. Kultur dilakukan menggunakan botol plastik transparan bervolume 1,5 liter. Wadah kultur diisi air mineral yang telah disiapkan terlebih dahul u da n ke mudian ditamba hka n larutan Zarrouk yang dimodifikasi sebagai nutrisi biakannya (Lampiran 2). Kompo sisi pupuk dilarutka n de ngan cara menambahkan air panas ke dalam pupuk agar dapat larut dengan baik. Setelah pengisian air dan zat hara sebagai media selesai, selanjutnya dilakukan inokulasi Spirulina sp. ke dalam media. Hasil kultur skala ini kemudian dibiakan menjadi 16 liter menggunakan wadah berupa galon transpa ran. Selanjut nya hasil biakan tersebut digunakan untuk inokulan pada perlakuan yaitu skala intermediet bervolume 20 liter.

2.1.4 Kultur Skala Intermediet

Kegiatan kultur skala intermediet dilakukan dengan menggunakan akuarium berdimens i 25 cm x 25 cm x 45 cm. Inokulan yang digunakan untuk kultur ini ada lah kultur Spirulina ska la 16 liter. Pertama akuarium diisi dengan air yang telah disterilisasi sebanyak 17 liter. Kemudian dimasukka n larutan Zarrouk yang dimodifikasi (Lampiran 3) ke dalam akuarium hingga larut sempurna. Setelah media kultur siap, inokulan yang berasal dari skala laboratorium ditambahkan ke da lam media sebanyak 3 liter atau 15% dari total kultur per akuarium. Setiap akuarium diberikan sumber cahaya sesuai perlakuan dengan lama pencahayaan 24 jam. Kultur dilakukan selama 23 hari.

2.1.5 Pemanenan

Pemanenan Spirulina dilakukan pada saat kultur telah mencapai puncak populasi. Puncak populasi dapat diketahui dari perubahan warna pada media kultur dan jumlah populasi berdasarkan pola pertumbuhan yang telah dihitung setiap harinya. Kegiatan ini dilakukan pukul 08.00 WIB dengan menggunakan plankton net ber-mesh size 90 µm. Kultur yang sudah mencapai puncak populasi


(18)

6 dipanen dengan terlebih dahulu mematikan aerasi dan kemudian spirulina disaring dengan plankton net. Spirulina yang tersaring dipindahkan ke dalam botol film dan selanjutnya digunakan untuk uji prosimat.

2.2 Parameter Penelitian 2.2.1 Biomassa Panen

Pada penelitian ini, biomassa yang dihasilkan pada setiap perlakuan dihitung berdasarkan bobot kering setiap harinya. Pengambilan sampel dilakukan pada jam 08.00 sampai 09.00 WIB. Tahapa n pertama yang dilakuka n yaitu air media diambil sebanyak 15 ml setiap perlakuan. Titik pengambilan sampel berada di bagian tengah akuarium dengan kedalaman 20 cm dari permukaan dan selanjutnya disaring dengan menggunakan kertas saring yang sebelumnya telah dioven dan ditimbang terlebih dahulu. Spirulina yang tersaring dioven selama 4 jam serta didesikator selama 20 menit. Selanjutnya ditimbang sebagai bobot akhir. Nilai biomassa diperoleh dari selisih antara bobot akhir dan bobot awal kertas saring.

2.2.2 Kepadatan Populas i

Kepadatan populasi spirulina yang dihasilka n dihitung de ngan ba ntua n hemositometer dan mikroskop. Pengambilan sampel dilakukan pada semua ulangan dan perlakuan pukul 08.00 hingga 09.00 WIB. Titik pengambilan sampel berada di bagian tengah dengan kedalaman 20 cm dari permukaan sebanyak 1 ml. Pengamatan sel pada hemositometer dilakukan 4 kali ulangan pada setiap bidang pandang hemositometer. Sel spirulina yang dihitung merupakan sel spirulina yang utuh dengan rumus seba gai berikut :

N = (C x 104) / (A x D) Keterangan :

N = Kepadatan sel spirulina (sel/ml) C = Jumlah sel yang dihitung A = Luas lapang pandang (mm2) D = Kedalaman lapang pandang (mm)


(19)

7

2.2.3 Laju Pertumbuhan Spesifik

Laju pertumbuhan spesifik dihitung menggunakan rumus (Vonshak, 1997): µ = (ln Nt – ln N0) / t

Keterangan :

µ = Laju pertumbuhan spesifik (hari-1) N0 = Kepadatan sel spirulina awal (sel/ml)

Nt = Kepadatan sel spirulina akhir (sel/ml)

t = Selang waktu dari N0 ke Nt

Analisis ka ndungan klorofil dilakukan pada akhir kultivasi skala intermediet. Sampel kultur diambil sebanyak 100 ml setiap perlakuan dan dimasukkan ke dalam botol PE. Sampel ditambahkan MgCO

(hari)

2.2.4 Waktu Penggandaan

Wakt u penggandaan merupaka n lama waktu sel untuk menggandakan menjadi dua kali lipatnya. Pengukuran waktu penggandaan dihitung dengan rumus (Vonshak, 1997):

G = ln 2 / µ = 0,693 / µ Keterangan :

G = Waktu penggandaan (hari)

µ = Laju pertumbuhan spesifik (pembelahan/hari)

2.2.5 Analisis Proksimat

Hasil kultur skala intermediet yang suda h dipa nen selanj utnya ditimbang dan dianalisis proksimat. Analisis proks imat dilakuka n unt uk menganalisis kandungan nut risi yang meliputi lemak menggunakan metode Folch, protein menggunakan metode Kjeldahl, kadar abu dan air menggunakan metode gravimetri dan serat kasar (Takeuchi, 1988).

2.2.6 Analisis Klorofil

3 1% sebanyak 10

ml/liter. Membran filter jenis cellulose nitrate 0,45 UM berdiameter 47 mm, vakum listrik dan filtering apparatus Nalgen dan selanjutnya sampel disaring. Membran filter diambil dengan tidak menyentuh bagian permukaan atas atau


(20)

8 sampel. Kemudian dilipat menjadi 2 bagian sama besar dan dilipat kembali menjadi 2 bagian lebih kecil. Membran filter tersebut dibungkus denga n alumunium foil dan dimasukka n kedalam plastik klip yang telah memiliki label. Selanjutnya sampel disimpan dalam kotak pendingin (cool box) dengan suhu 4 0C dan tidak terkena cahaya.

Sampel ditempatkan di alat penggiling jaringan dan dimasukkan 2 hingga 3 ml larutan aseton 90% selanjutnya dikocok dengan 500 rpm selama 1 menit. Pindahkan sampel ke tabung sentrifus (sentrifuge tube) dan membilasnya dengan larutan aseton 90% hingga menjadi volume 10 ml. Selama pengekstrasian klorofil, aseton 90% disiapkan sebagai blanko dengan jumlah yang sama dengan jumlah yang ditambahkan ke sampel. Setelah semalam, sampel didiamkan selama 15 menit di suhu kamar dan disentrifus selama 20 menit dengan kecepatan 3000 rpm. Kemudian supernatan yang terbentuk diambil untuk diukur menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang sebesar 630, 647 dan 664 nm. Hasil akhir dihitung dengan persamaan berikut (APHA, 2005) :

Keterangan :

OD664 = Nilai spektrofotometer pada panjang gelombang 664 OD647 = Nilai spektrofotometer pada panjang gelombang 647 OD630 = Nilai spektrofotometer pada panjang gelombang 630

2.2.7 Kualitas Air

Parameter kualitas air yang diukur pada penelitian ini ada lah pe ngukuran setiap hari pukul 09.00 WIB (suhu, pH dan DO), serta pengukuran awal dan akhir penelitian (intensitas cahaya, total ammonium nitrogen (TAN), kadar nitrit, kadar nitrat dan kadar fosfat). Alat yang digunakan berupa DO-meter, thermometer, pH-meter, lux meter serta spektrofotometer.


(21)

9

2.3 Analisis Statistik

Penelitian ini dirancang menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan empat perlakuan dan masing- masing diulang tiga kali. Data yang diperoleh berupa parameter kepadatan sel dianalisis ragam dengan tingkat kepercayaan 95%. Jika terdapat perbedaan yang nyata, maka analisis dilanjutkan dengan uji Tuke y. Hasil biomassa panen, laju pertumbuhan spesifik (LPS), waktu penggandaan (G), analisis proksimat, klorofil dan kualitas air dianalisis secara deskriptif dengan menampilkan gambar dan tabel.


(22)

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil

3.1.1 Kepadatan Sel

Kepadatan sel Spirulina fusiformis yang dikultivasi selama 23 hari dengan berbagai perlakuan cahaya menunjukkan bahwa kepadatan sel tertinggi terdapat pada perlakuan cahaya merah (p<0,05) (Gambar 1). Kepadatan puncak perlakuan tersebut terjadi pada hari ke-18 kultivasi sebesar 14,83 x 104 sel/ml. Kepadatan puncak pada perlakuan biru-merah, ko ntrol da n biru juga terjadi saat 18 hari kultivasi dengan masing- masing jumlah kepadatan 8,67 x 104 sel/ml; 6,67 x 104 sel/ml dan 3,89 x 104 sel/ml.

Gambar 1. Kepadatan sel Spirulina fusiformis selama kultivasi dengan perlakua n cahaya putih ( P), cahaya biru ( B), cahaya merah ( M) dan cahaya biru merah ( BM).

Gambar 2. Kepadatan sel Spirulina fusiformis pada saat puncak populasi dengan perlakuan cahaya putih (P), cahaya biru (B), cahaya merah (M) dan cahaya biru merah (BM).


(23)

11 Selanjutnya, pengaruh perlakuan terhadap pencapaian kepadatan populasi maksimal dianalisis melalui kepadatan sel pada saat puncak populasi yaitu hari ke-18 masa kultivasi. Gambar 2 menunjukkan bahwa populasi pada perlakuan merah memiliki kepadatan sel tertinggi dibandingkan dengan perlakuan kontrol, biru dan biru- merah. Hal tersebut bahwa perlakuan cahaya merah dan biru memberikan pengaruh yang nyata terhadap puncak kepadatan populasi (p<0,05). Akan tetapi, perlakuan cahaya putih tidak berbeda nyata dengan biru- merah.

3.1.2 Biomassa

Biomassa merupakan bobot populasi spirulina yang ditimbang dalam keadaan kering. Hasil biomassa S. fusiformis selama 23 hari kultivasi dapat dilihat dari Gambar 3 yang menunjukkan hasil fluktuatif. Bobot kering tertinggi diperoleh pada perlakuan merah dengan biomassa sebanyak 5,075 mg/ml pada hari ke-18 kultivasi. Kemudian dilanjutkan dengan biomassa tertinggi hingga terenda h yaitu perlakua n biru-merah sebanyak 3,625 mg/ml, perlakuan kontrol sebanyak 2,303 mg/ml dan perlakuan biru 1,453 mg/ml pada hari ke-18 kultivasi.

Gambar 3. Biomassa Spirulina fusiformis kultivasi dengan perlakuan cahaya putih ( P), cahaya biru ( B), cahaya merah ( M) dan cahaya biru merah ( BM).


(24)

12 Selain itu, terdapat hubungan antara kepadatan dan bobot kering. Semakin bertambahnya kepadatan sel maka berkecenderungan semakin bertambah pula bobot kering dari S. fusiformis. Hubungan tersebut terlihat dari garis linear yang terbentuk setiap perlakuan (Gambar 4). Setiap garis linear perlakuan memiliki nilai regresi yang berbeda. N ilai regresi tertinggi terjadi pada perlakuan cahaya merah sebesar 0,956. Semakin besar nilai regresi, maka semakin besar pula hubungan antara kepadatan sel dengan nilai bobot keringnya.

Gambar 4. Hubungan antara kepadatan dan biomassa Spirulina fusiformis pada perlakuan cahaya putih ( P), cahaya biru ( B), cahaya merah ( M) da n cahaya biru merah ( BM).

3.1.3 Laju Pertumbuhan Spesifik

Laju pertumbuhan spesifik (LPS) merupakan parameter yang menggambarkan pertambahan sel S. fusiformis per satuan waktu. Hasil LPS selama masa kultivasi selama 23 hari mengalami penurunan pada semua perlakuan pencahayaan (Gambar 5). Akan tetapi, nilai LPS pada perlakuan merah cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan biru- merah, ko ntrol dan biru.


(25)

13 Gambar 5. Laju pertumbuhan spesifik Spirulina fusiformis dengan perlakuan

cahaya put ih ( P), cahaya biru ( B), caha ya merah ( M) da n cahaya biru merah ( BM).

3.1.4 Waktu Penggandaan

Waktu penggandaan didefinisikan sebagai lama waktu yang dibutuhkan sel untuk menggandakan populasi. Waktu penggandaan pada semua perlakuan terhadap kultur S. fusiformis selama 23 hari kultivasi dapat dilihat pada Gambar 6. Hasil tersebut menunjukkan bahwa waktu penggandaan relatif terus bertambah lama seiring bertambahnya masa kultivasi hingga tidak adanya lagi penggandaan pada populasi kultur tersebut.

Gambar 6. Waktu penggandaan Spirulina fusiformis de ngan perlakuan cahaya putih ( P), cahaya biru ( B), cahaya merah ( M) dan cahaya biru merah ( BM).

3.1.5 Analisis Proksimat

Kandungan nutrisi dari Spirulina diukur melalui analisis proks imat setelah pe manenan yaitu pada hari ke-23 kultivasi. Berdasarkan Tabel 1, protein pada


(26)

14 perlakuan merah menghasilkan nilai sebesar 65,77 % yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Jika ditinjau dari kadar lemak tertinggi terdapat pada perlakuan kontrol yaitu dengan penggunaan pencahayaan lampu putih yang umum digunakan. Nilai lemak tersebut sebesar 6,63% yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Selain itu, jika ditinjau dari segi nilai serat dari masing- masing perlakuan menunjukkan bahwa perlakuan merah menghasilkan nilai serat yang paling rendah.

Tabel 1. Hasil analisis proks imat Spirulina fusiformis

Jenis nutrisi Nilai nutrisi pada perlakuan pencahayaan (% per bobot kering)

Putih Biru Merah Biru-Merah

Protein 55,78 58,31 65,77 56,05

Lemak 6,63 5,00 4,94 3,78

Karbohidrat 6,91 7,01 3,60 16,48

Mineral 16,00 12,99 8,91 9,61

Serat 14,68 16,98 8,53 15,62

3.1.6 Analisis Klorofil

Tabel 2 menunjukkan ba hwa kadar klorofil relatif lebih tinggi pada perlakuan merah sebesar 1,605 mg/l daripada perlakuan kontrol, biru- merah dan biru memiliki nilai yang lebih rendah.

Tabel 2. Analisis klorofil Spirulina fusiformis

Perlakuan Kadar (mg/l)

Kontrol 0,987

Biru 0,356

Merah 1,605

Biru-Merah 0,935

3.1.7 Kualitas Air

Tabel 3 menunjukkan bahwa terjadi kenaikan kandungan nitrat, DO dan pH selama perlakuan. Akan tetapi berbeda dengan kandungan nitrit yang terjadi penurunan dari 0,45 mg/l menjadi 0.06 mg/l hingga 0,27 mg/l. Parameter kualitas air yang memiliki nilai fluktuatif antar perlakuan adalah TAN, fosfat dan suhu.


(27)

15 Tabel 3. N ilai parameter kualitas air selama kultivasi Spirulina fusiformis

Parameter/

Perlakuan Satuan

K B M BM

Awal Akhir Awal Akhir Awal Akhir Awal Akhir

Nitrat mg/l 0,91 2,06 0,91 1,91 0,91 3,00 0,91 1,91

Nitrit mg/l 0,45 0,06 0,45 0,08 0,45 0,21 0,45 0,27

TAN mg/l 0,26 0,19 0,26 0,26 0,26 0,49 0,26 0,40

Fosfat mg/l 0,59 0,49 0,59 1,01 0,59 0,53 0,59 0,38

DO mg/l 6,40 7,20 6,40 7,30 6,33 7,40 6,10 7,30

Suhu 0C 27,10 26,97 27,57 27,17 27,80 27,17 28,77 27,07

pH - 9,63 10,31 9,63 10,31 9,63 10,30 9,63 10,31

3.2 Pembahasan

Ditinjau dari parameter kepadatan sel Spirulina fusiformis (Gambar 1), diketahui bahwa semua perlakuan menunjukkan adanya pertambahan kepadatan. Perlakuan pe ncahayaan TL merah 1500 lux menunjukkan populasi tertinggi pada hari ke-18 kultivasi dengan kepadatan 14,83 x 104 sel/ml. Sementara, untuk perlakuan pe ncaha yaan TL biru- merah, pe ncahayaan TL putih da n pe ncahayaan dengan TL biru 1500 lux menunjukkan populasi masing- masing sebesar 8,67 x 104 sel/ml; 6,67 x 104 sel/ml dan 3,83 x 104

Selama kultivasi dapat terlihat beberapa fase pertumbuhan dari S.fusiformis yang meliputi fase lag, fase eksponensial atau logaritma dan fase deklinasi atau fase kematian. Fase lag pada perlakuan pencahayaan relatif singkat dibandingka n de ngan perlakuan lainnya sekitar 5 hari. Menurut Fogg (1975), fase

sel/ml pada hari ke-18 kultivasi. Park dan Lee (2000) menjelaskan bahwa alga menyerap semua cahaya yang diterima walaupun tidak semua foton dapat dimanfaatkan. Selanjutkan Campbe ll et al. (2002) mengungkapkan bahwa spektrum cahaya yang paling efektif diserap oleh klorofil sebagai sumber energi dalam reaksi terang adalah spektrum merah dan biru. Penggunaan cahaya merah selama kultur menampilkan hasil pertumbuhan yang berbeda nyata dengan perlakuan pencahayaan lainnya serta kepadatan populasi puncak tertinggi (Gambar 2). Hal tersebut menjelaskan bahwa cahaya merah lebih dimanfaatkan oleh klorofil spirulina dalam proses fotosintesis. Sebaliknya, perlakuan cahaya biru tidak menunjukkan hasil pertumbuhan yang baik. Berdasarkan Gonvindjee dan Barbara (1974) dalam Pambudi (2001) menerangkan bahwa warna merah diserap sangat kuat oleh alga untuk melakukan proses fotosintesis.


(28)

16 ini terjadi pelambatan dalam pertumbuhan alga karena energi yang dimiliki dipusatkan untuk penyesuaian diri terhadap media kultur yang baru dan untuk pemeliharaan sehingga sebagian kecil atau tidak ada energi yang digunakan dalam pertumbuhan. Di samping itu, fakta yang membuktikan bahwa spektrum merah lebih efektif diserap dibanding dengan spektrum lain mengakibatkan energi yang produksi untuk beradaptasipun lebih banyak (Gonvindjee dan Barbara, 1974 dalam Pambudi, 2001).

Setelah fase lag berakhir, maka pertumbuhan alga memasuki fase eksponensial atau fase logaritma yaitu fase pertumbuhan yang terjadi peningkatan jumlah sel secara cepat (Fogg, 1975). S. fusiformis yang dikultur menggunakan cahaya merah mengalami fase tersebut dari hari ke-5 hingga hari ke-18 masa kultivasi. Berbeda dengan perlakuan biru- merah dan kontrol yang mengalami fase eksponensial pada hari ke-8 hingga ke-18 masa kultivasi, sedangkan untuk perlakuan cahaya biru tidak menunjukkan fase eksponensial. Pertumbuhan yang terjadi pada perlakuan tersebut cenderung meningkat secara perlahan. Hal ini dikarenakan cahaya yang terpapar pada S. fusiformis yang dikultur tidak dikonversi menjadi senyawa kimiawi atau energi untuk mereka tumbuh. Cahaya tersebut lebih cenderung dipantulkan dibandingkan untuk diserap oleh klorofil. Menurut Campbell et al. (2002) klorofil akan mengkonversi cahaya yang memaparkannya menjadi energi, jika cahaya tersebut diserapnya. Kualitas cahaya juga akan berpengaruh terhadap proses fotosintesis, pertumbuhan, perkembangan dan morfogenesis alga (Korbee, 2005).

Selama fase eksponensial berlangsung terjadi peristiwa yang disebut doubling time atau waktu terjadinya peningkatan populasi atau generasi sel baru dua kali lipatnya secara cepat (Lee dan Shen, 2004). Selama peristiwa tersebut terjadi pembelahan yang serempak pada sel S. fusiformis. Sel-sel mati ya ng disebut nikr idia aka n putus de ngan segera, ke mudian trichoma akan terfragmentasi menjadi koloni sel yang terdiri atas 2-4 sel yang disebut hormogonium. Setelah itu memisahkan diri da ri filament induknya untuk menjadi sel trachoma baru (Ciferri, 1983; Ali dan Saleh, 2012). Dengan demikian, ketika semua sel pada populasi tersebut bersamaan pada fase pembelahan dan didukung


(29)

17 dengan energi cahaya serta zat hara yang cukup, maka terjadilah peristiwa yang disebut doubling time.

Setelah berakhirnya fase puncak, populasi S. fusiformis yang dikultur pada semua perlakuan langsung mengalami fase kematian. Fase ini terjadi pada hari yang sama yaitu hari ke-18 kultivasi. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya fase tersebut diantaranya adalah habisnya nutrisi dalam media dan energi cadangan di dalam sel, jenis mikroalga (Fogg, 1975), suplai cahaya yang be rkurang, umur sel yang suda h tua, ko ndisi lingk ungan yang tidak mendukung untuk pertumbuhan dan kontaminasi oleh mikroorganisme lain (Becker, 1994 dalam Winarti 2003).

Grafik biomassa menunjukkan bahwa bobot kering spirulina yang dikultivasi selama 23 hari terjadi peningkatan pada awal kultivasi hingga hari ke-18, serta langsung terjadi penurunan hingga akhir kultivasi. Hal ini berkorelasi positif dengan kepadatan sel, yaitu turunnya kepadatan mengakibatkan penurunan biomassa. Pernyataan tersebut diperkuat dengan Gambar 4 yang menjelaskan bahwa adanya korelasi positif antara biomassa dan kepadatan sel dengan nilai R2

Waktu penggandaan spirulina cenderung meningkat dari awal periode kultur hingga hari ke-21. Hal tersebut ditunjukkan dari waktu penggandaan yang mencapai lebih dari satu hari. Kondisi ini diduga terkait dengan fase lag yang terjadi pada awal kultur akibat adaptasi inokulan terhadap kondisi lingkungan kultur. Waktu penggandaan tertinggi ditunjukkan pada perlakuan pencahayaan TL merah de ngan nilai waktu pe nggandaan sekitar 5 hari. Perlakuan pe ncahayaan sama dengan 90 persen. Oleh karena itu, dengan persamaan tersebut kita dapat memprediksi biomassa pada suatu kepadatan sel tertentu ataupun sebaliknya.

Laju pertumbuhan spesifik spirulina cenderung terus mengalami penurunan. Hal ini dikarenakan daya dukung media untuk hidup semakin berkurang seiiring bertambahnya waktu kultivasi. Faktor yang dapat mempengaruhi laju pertumbuhan spesifik adalah kandungan unsur hara yang terdapat dalam media kultur. Hasil tersebut sesuai de ngan pernyataan Fogg (1975) yang menyatakan bahwa peningkatan populasi alga yang terjadi menyebabkan nutrisi media berkurang sangat cepat sehingga terjadi penurunan laju pertumbuhan.


(30)

18 putih, pe ncahayaan TL biru da n biru-merah memiliki waktu penggandaan lebih dari 5 hari. Hal ini menunjukkan bahwa selama 21 hari kultivasi tersebut merupakan fase peralihan dari stasioner menuju fase kematian. Waktu penggandaan pada awal inokulan menunjukkan hasil yang baik dimana semua perlakuan memiliki waktu penggandaan di bawah 2 hari. Hal tersebut disebabkan oleh media skala intermediet memiliki kondisi yang mendekati sama denga n kondisi skala laboratorium. Dengan demikian, ketika inokulan ditransfer tidak terlalu mengalami penurunan yang cukup signifikan. Seiring dengan bertambahnya masa kultivasi mengakibatkan waktu untuk menggandakan populasi dari semua perlakuan semakin lama. Hal ini berkolerasi dengan semakin berkurangnya unsur hara yang terdapat pada media kultur.

Kandungan nutrisi pada suatu bahan sangat penting untuk diketahui dalam berbagai aspek baik dalam pangan maupun pakan. Kandungan nutrisi utama yang sering dicari oleh kebanyakan kalangan yaitu protein. Hal ini dikarenakan dari segi ekonomi memiliki harga yang cukup mahal dan memiliki manfaat besar bagi yang mengkonsumsinya. Nilai protein pada perlakuan cahaya merah sebesar 65,77% menunjukkan hasil yang lebih tinggi dari penelitian Rafiqul et al. (2005) yang menghasilkan nilai protein sebesar 61,8%. Ditinjau dari kadar lemak da n karbohidrat pada semua perlakuan memiliki nilai yang berbeda-beda. Nilai lemak tertinggi terdapat pada perlakuan cahaya putih sebesar 6,63% dan kadar karbohidrat tertinggi pada perlakuan cahaya biru-merah sebesar 16,48%. Akan tetapi, nilai tersebut masih dibawah nilai hasil penelitian Rafiqul et al. (2005) yang menghasilkan kadar lemak sebesar 8,2% dan kadar karbohidrat sebesar 18,2% pada S. fusiformis yang dikultur. Perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh perbedaan perlakuan cahaya pada saat kultivasi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hu (2004), bahwa adanya faktor yang mempengaruhi fotosintesis akan mempengaruhi pula pertumbuhan, susunan biokimia dan genetik pada sel, serta kondisi kultur seperti suhu, intensitas cahaya dan pH akan merubah kadar protein pada alga hijau-biru (Ciferri, 1983).

Selain protein, kandungan klorofil pada mikroalga akan berubah dengan adanya perbedaan perlakuan cahaya baik intensitas, periode pemaparan maupun gelombang cahayanya. Kandungan klorofil pada perlakuan cahaya merah


(31)

19 menghasilkan nilai terbaik dibandingkan dengan perlakuan cahaya lainnya. Hal ini dapat berkorelasi dengan pertumbuhan karena dengan banyaknya cahaya merah yang ditangkap oleh klorofil dibandingkan cahaya lainnya, mengakibatkan pertumbuhan sel semakin cepat dan begitu pula dengan semakin tingginya kandungan klorofil. Berdasarkan Campbell et al. (2002), cahaya yang terserap akan memberikan keefektifan relatif panjang gelombang yang berbeda dalam menggerakkan fotosintesis, karena cahaya dapat melakukan kerja dalam kloroplas hanya jika ia diserap. Oleh karena itu, semakin tinggi nilai klorofil menunjukk an bahwa cahaya tersebut diserap secara efektif oleh kloroplas.

Kisaran kualitas air pada penelitian ini masih dalam kondisi yang baik untuk pertumbuhan spirulina. Suhu selama penelitian mencapai kisaran 26 hingga 29 oC. Payer et al. (1980) dalam Winarti (2003) mengungkapkan bahwa suhu 25-30oC merupakan suhu optimal untuk pertumbuhan Spirulina dan dapat pula tumbuh pada suhu 20-40oC. Borowitzka dan Borowitzka (1988) mengungkapkan bahwa umumnya kisaran suhu untuk pertumbuhan mikroalga hijau-biru lebih besar dibandingkan jenis mikroalga lainnya. Nilai derajat keasamaan atau pH selama penelitian berkisar antara 9,63 hingga 10,31. Nilai tersebut masih dalam kisaran yang optimal untuk pertumbuhan spirulina yang dapat hidup pada kisaran pH 8-11 (Ciferri, 1983). Kandungan fosfat selama penelitian terjadi penurunan nilai. Hal tersebut menunjukkan bahwa terjadi penyerapan fosfat oleh alga untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya. Fosfat tersebut dalam bentuk ortofosfat yaitu bentuk fari forfor yang dapat langsung digunakan oleh tumbuhan (Fatimah, 2007).


(32)

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa spektrum cahaya mempengaruhi kuantitas dan kualitas S.fusiformis yang dikultur. Sumber pencahayaan fotosintesis yang paling efektif adalah cahaya merah. Kepadatan puncak pada perlakuan pencahayaan merah tercapai pada hari ke-18 kultivasi yaitu sebesar 14,83 x 104 sel/ml dengan biomassa panen 5,075 mg/ml, kadar protein sebesar 65,77% dan kadar klorofil sebesar 1,605 mg/l.

4.2 Saran

Saran unt uk pe nelitian selanjut nya yaitu dilakukannya perhitungan proksimat dan kualitas air ketika puncak kepadatan populasi.


(33)

21

DAFTAR PUSTAKA

Ali, S.K., Saleh A.M. 2012. Spirulina – An Overview. Academic Sciences. International Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Science 4: 9-15.

APHA. 2005. Standard Methods For The Examination of Water and Wastewater 21st

Belay, A. 2008. Spirulina ( Spirulina sp.) : Prod uction and Quality Assurance. Di dalam: Gershwin M.E. dan Belay A. (Eds.), Spirulina in Human Nutrition and Health. California: CRC Press 2-26.

Edition. Washingt on : American Public Health Assoc iation.

Borchers, A.T., Belay, A., Keen, C.L., Gershwin, M.E. 2008. Spirulina and Immunity. Di dalam: Gershwin M.E dan A. Belay. (Eds.), Spirulina in Human Nutrition and Health. California: CRC Press 177-226

Borowitzka, M.A., Borowitzka, L.J. 1988. Micro-alga Biotechnology. Cambridge University Press. England.

Campbell, N.A., Reece, J.B., Mitchell, L.G. 2002. Biologi Edisi Kelima- Jilid 1. Jakarta: Erlangga.

Ciferri, O. 1983. Spirulina, The Edible Microorganism. America Society for Microbiology. Microbiological 4: 551-578.

FAO. 2008. A Review On Culture, Production And Use of Spirulina as Food for Humans and Feeds for Domestic Animals And Fish. Rome, Italy.

Fatimah. 2007. Simulasi Model Transpor Fosfor pada Aliran Sungai Menggunakan Persamaan Diferensial Orde Satu. Jurnal Teknologi Proses 6(1): 10-16.

Fogg, G.E. 1975. Algal Culture and Phytoplankton Ecology. London: The University of Winsconsin Press.

Henrikson, R. 2009. Earth Food Spirulina. Hana, Maui, Hawaii : Ronore Enterpr ise, I nc.

Henson, R., Kozlenko, R. 2009. New Research Reveals Health Benefits : Phycocyanin Enhances The Immune System. Di dalam: Henrikson R.(Eds.), Earth Food Spirulina. Hana, Maui, Hawaii : Ronore Enterprise, Inc.

Hu, Q. 2004. Industrial Production of Microalgal Cell- mass and Secondary Products- Major Industrial Species: Arthrospira (Spirulina) platensis. Di dalam: Richmond A.E. (Eds.), Handbook of Microalgal Culture, Biotechnology and Applied Phycology. Iowa: Blackwell Publishing 264-272. Korbee, N., Figueroa, F.L., Aguilera, J. 2005. Effect of Light Quality on The


(34)

22

Amino Acids in The Red Alga Porphyra leucosticta (Bangiales,

Rhodophyta). Elsevier. Jour nal of Photoc hemistry and Photob iology B: Biology 80:71-78.

Lee, Y.K. dan Shen, H. 2004. Basic Culturing Techniques. Di dalam: Richmond A.E. (Eds.), Handbook of Microalgal Culture, Biotechnology and Applied Phycology. Iowa: Blackwell Publishing 40-56.

Pambudi, L.T. 2001. Pengaruh Sinar Merah dengan Panjang Gelombang yang Berbeda Terhadap Pertumbuhan Kultur Murni Chlorella. [Skripsi]. Bogor: Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Park, K.H., Lee, C.G. 2000. Optimization of Alga l Photobioreactors Using Flashing Lights. J. Biotechnol. Bioprocess Eng 5: 186-190.

Rafiqul, I.M., Jalal, K.C.A., Alam, M.Z. 2005. Environmental Factors for Optimalization of Spirulina Biomass in Laboratory Culture. Asian Network for Scientific Information. Biotechnology 4(1): 19-22.

Reinehr, C.O., Costa, J.A.V. 2006. Repeated Batch Cultivation of The Microalga Spirulina platensis. J. Microbiol. & Biotech 22: 937-943.

Sasmita, P.G., Wenten, I.G., Suantika, G. 2004. Pengemba ngan Teknologi Ultrafiltrasi untuk Pemekatan Mikroalga. Prosiding. Seminar Nasional Rekayasa Kimia dan Proses 2004. Semarang: Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro.

Takeuchi, T. 1988. Laboratory Work Chemical Evaluation of Dietary Nutriens. Di dalam: Watanabe T, (Eds.), Fish Nutrition and Mariculture. Department of Aquatic Bioscience. Tokyo University if Fisheries. JICA 179-226.

Vonshak, A. 1997. Spirulina: Growth, Physiology and Biochemistry. Di dalam: Vonshak A. (Eds.), Spirulina platensis (Arthrospira): Physiology, Cell-biology and Biotechnology. USA: Taylor and Francis Ltd, Bristol 46-47. Vonshak, A., Tomaselli, L. 2000. Spirulina sp. (Spirulina): Systematics and

Ecophysiology. Di dalam: Whitton B. A dan M. Potts. (Eds.), The Ecology of Cyanoba cteria: Their Diversity in Time and Space. Boston: Academic Publishing 505-522.

Winarti. 2003. Pertumbuhan Spirulina platensis yang Dikultur de ngan Pupuk Komersil (Urea, TSP dan ZA) dan Kotoran Ayam. [Skripsi]. Bogor: Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.


(35)

23 Lampiran 1. Tata letak akuarium penelitian

Keterangan :

= Akuarium perlakuan berdimensi 25 cm x 25 cm x 45 cm = Perlakuan pe ncahayaan Biru-Merah

= Perlakuan pe ncahayaan Merah = Perlakuan pe ncahayaan Biru = Perlakuan pe ncahayaan Putih


(36)

24 Lampiran 2. Komposisi pupuk Zarrouk modifikasi untuk kultur Spirulina

fusiformis skala laboratorium 1 liter dan 16 liter

Nama Bahan Dos is

NaNO3 0,5 g/l

K2SO4 1,0 g/l

NaCl 1,0 g/l

MgSO4 7H2O 0,2 g/l

CaCl2 7 H2O 0,04 g/l

FeSO4 7H2O 0,01 g/l

EDTA 0,08 g/l

CO(NH2)2 0,02 g/l

DAP (diammonium phospat) 1,25 g/l

KCl 0,898 g/l

Larutan mikronutrien (A5)* 1 ml/l

Bahan pembuat larutan mikronutrien (A5)*

Nama Bahan Dosis(mg/ l)

H3BO3 2,86

MnCl2.4H2O 1,81

ZnSO4.7H2O 0,222

((Na2Mo4 atau ((NH4)6Mo7)24.4H2O 0,0177


(37)

25 Lampiran 3. Komposisi pupuk Zarrouk modifikasi untuk kultur Spirulina

fusiformis skala intermediet 20 liter

Nama Bahan Jumlah (gram/liter)

NaHCO3 (soda kue) 8

NaCl 6,15

KCl 1,47

NaNO3 1,68

MgSO4. 7 H2O 0,16

DAP (diammonium phosphate) 0,008

Urea atau CO(NH2)2 0,015

FeSO4. 7H2O 0,005


(38)

26 Lampiran 4. Analisis statistik kepadatan puncak kultur Spirulina fusiformis

Deskripsi

Ulangan Perlakuan (10

4 sel/ml)

Putih Biru Merah Biru-Merah

1 6,75 4,00 14,00 9,75

2 6,75 3,75 16,00 7,00

3 6,50 3,75 14,50 9,25

Rata-rata 6,67 3,83 14,83 8,67

Simpangan baku 0,14 0,14 1,04 1,46

ANOVA Sumber keragaman

Jumlah

kuadrat db

Kuadrat

tengah F-hitung P

Perlakuan 195,83 3 65,28 79,83 0,00

Galat 6,54 8 0,82

Total 202,38 11

Uji Tuke y

Perlakuan N Subset

a b c

Biru 3 3,8333

Putih 3 6,6667

Biru-Merah 3 8,6667

Merah 3 14,8333


(39)

ABSTRAK

AHMAD FAUZAN. Teknologi produksi Spirulina fusiformis secara intensif

dengan pencahayaan monospektrum. Dibimbing oleh TATAG BUDIARDI da n

NUR BAMBANG PRIYO UTOMO.

Spirulina sp. merupakan jenis mikroalga yang banyak digunakan sebagai bahan baku industri pa ngan dan pakan karena memiliki kandungan nutrisi seperti protein, asam lemak, vitamin, dan antioksidan yang tinggi. Spirulina sp. bersifat fotoautotrof yang melakukan proses fotosintesis untuk memperoleh berbagai senyawa yang diperlukan dalam metabolisme. Penelitian ini dilakukan untuk menentuka n efektivitas penggunaan lampu monospektrum 1500 lux sebagai sumber spektrum fotosintesis pada produksi biomassa Spirulina fusiformis yang dikultur secara intensif dengan menggunakan spektrum putih, merah, biru dan biru- merah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan cahaya pada kultur

Spirulina fusiformis mempengaruhi puncak kepadatan, biomassa, kadar protein dan klorofil. Kepadatan puncak pada perlakuan merah, biru- merah, putih da n biru terjadi saat 18 hari kultivasi dengan masing- masing kepadatan 14,83 x 104 sel/ml; 8,67 x 104 sel/ml; 6,67 x 104 sel/ml dan 3,89 x 104 sel/ml. Spirulina fusiformis

yang dikultur menggunakan sumber pencahayaan monospektrum merah mencapai produksi terbaik dengan biomassa panen 5,075 mg/ml, kadar protein sebesar 65,77% dan kadar klorofil sebesar 1,605 mg/l.


(40)

ABSTRACT

AHMAD FAUZAN. Technology of Spirulina fusiformis production intensively

with monospectrum lighting. Supervised by TATAG BUDIARDI dan NUR

BAMBANG PRIYO UTOMO.

Spirulina sp. is important for food and feed ind ustry. Spirulina sp. contains high nutrients levels such as protein, fatty acids, vitamins and antioxidants. Spirulina

sp. is photoautotroph that can do process of photosynthesis to obtain the necessary range of compounds in metabolism. The obj ective of study to was compare the effective of the use of monospectrum lighting 1500 lux as source photosynthesis spectrum to biomass production. Spirulina fusiformis was intensively cultured using sources white, red, blue and blue-red spectrum. The results showed that treatment of light for culture Spirulina fusiformis influenced the top population level, biomass, proteins and chlorophyll content. The top of density on red, blue-red, white and blue at 18 day of cultivation with each de nsity was 14,83 x 104 cells/ml; 8,67 x 104 cells/ml; 6,67 x 104 cells/ml and 3,89 x 104 cells/ml. The

Spirulina fusiformis was cultured using sources red monospectrum lighting achieved the best production with biomass harvesting was 5,075 mg/ml, proteins content 65,77% and chlorophyll content 1,605 mg/l.


(41)

I. PENDAHULUAN

Mikroalga adalah kelompok alga berukuran ukuran 2-20 µm yang memiliki klorofil sehingga mampu melakukan fotosintesis. Mikroalga bereproduksi secara aseksual melalui pembelahan sel. Mikroalga terdiri dari banyak spesies yang

hampir semuanya merupakan organisme akuatik (Sasmita et al., 2004).

Mikroorganisme tersebut banyak digunakan dalam industri akuakultur, kesehatan, dan maka nan. Salah satu jenis mikroalga yang banyak digunakan da lam ind ustri tersebut adalah Spirulina sp. karena memiliki kandungan nutrisi seperti protein, asam lemak, vitamin dan antioksidan yang tinggi.

Industri akuakultur menggunakan spirulina sebagai bahan baku pembuatan pakan karena dapat meningkatkan nafsu makan, pertumbuhan dan kelangsungan hidup pada larva ika n da n udang, serta dapat meningkatkan kualitas kulit, warna dan pemampilan pada ikan koi (Henrikson, 2009). Berba gai industri di bidang kesehatan khususnya bagi manusia, spirulina digunakan sebagai bahan baku produk yang akan dihasilkan seperti suplemen berbentuk tablet, cair ataupun dijadikan makanan siap saji seperti roti dan selai. Hal ini karena dapat meningkatkan fungsi imun tubuh (Borchers et al., 2008), mengurangi risiko kanker, merangsang kekebalan tubuh da n meningkatkan aktivitas limfosit (Henson da n Kozlenko, 2009).

Selain digunakan dalam dunia industri, Spirulina sp. juga dapat dikonsumsi langsung oleh manusia, seperti oleh penduduk yang tinggal di sekitar Danau Chad, Republik Chad, Afrika dan di Danau Texcoco, Meksiko yang menjadikannya sebagai makanan tambahan atau suplemen maupun sebagai makanan tradisional (Belay, 2008).

Semakin berkembangnya pengetahuan pada berbagai manfaat dari spirulina mengakibatkan peningkatan permintaan produk spirulina dari berbagai kalangan seperti perusahaan makanan, pakan maupun ind ustri lainnya. Peningkatan produksi terjadi di Cina dengan memproduksi 19.080 ton pada tahun 2003 menjadi 41.570 ton pada tahun 2004 atau setara dengan nilai transaksi sebesar 7,6 juta US$ tahun 2003 menjadi 16,6 US$ tahun 2004 (FAO, 2008). Meskipun demikian, permintaan yang besar ternyata belum diimbangi dengan peningkatan


(42)

2 produksi spirulina. Kondisi tersebut terjadi akibat produksi dari budidaya spirulina masih rendah. Solusi permasalahan tersebut adalah melalui pengembangan teknik kul tur agar produktivitas dan kualitas kultur spirulina dapat ditingkatkan.

Berbagai penelitian dan pengembangan telah dilakukan untuk memproduksi biomassa Spirulina sp. yang meliputi teknik kultur dalam berbagai skala produksi, optimasi kondisi lingkungan kultur, dan uji galur Spirulina sp. (Vonshak dan Tomaselli, 2000; Reinehr dan Costa, 2006). Optimasi kondisi lingkungan kultur dapat dilakukan dengan cara memanipulasi nutrisi media, suhu, pH dan perlakuan pencahayaan. Jenis Spirulina sp. yang umum dibudidaya di Indonesia yaitu

S. platensis da n S. fusiformis. Perbedaan dari kedua jenis tersebut terdapat pada kondisi lingkungan hidupnya. S. platensis hidup di perairan laut, sedangkan

S. fusiformis hidup di perairan tawar. Perbedaan tersebut mengakibatkan harus adanya segmentasi dalam pengembangan produksi berdasarkan jenis perairan

seperti perairan tawar, payau dan laut, sehingga jenis Spirulina yang akan

dikembangan di perairan tawar adalah S. fusiformis.

S. fusiformis merupakan organisme fotoautotrof yang melakukan proses fotosintesis untuk memperoleh berbagai senyawa yang diperlukan dalam metabolisme. Faktor utama yang berpengaruh dalam fotosintesis adalah cahaya. Cahaya merupakan faktor esensial untuk pertumbuhan S. fusiformis yang tidak dapat disimpan dalam fotobioreaktor, hal ini menyebabka n caha ya harus disuplai secara terus- menerus. Mengacu kepada efisiensi pemanfaatan cahaya oleh klorofil mikroalga, diketahui bahwa alga menyerap semua cahaya yang diterima walaupun tidak semua foton yang diterima dapat dimanfaatkan (Park dan Lee, 2000).

Secara alami cahaya yang berperan dalam proses fotosintesis adalah cahaya tampak yang berasal dari matahari. Sementara dalam kultur intensif, cahaya yang

digunakan umumnya berasal dari lampu tabung (tube lamp, TL) putih. Cahaya

yang be rasal dari matahari dan lampu TL merupakan cahaya polikromatik yang terdiri atas beberapa komponen cahaya monokromatik, yaitu caha ya merah, jingga, kuning, hijau, biru, dan ungu. Menurut Campbell et al. (2002), spektrum cahaya yang pa ling efektif diserap oleh klorofil sebagai sumber energi dalam reaksi terang adalah spektrum merah dan biru. Rekayasa pencahayaan dengan menggunakan cahaya monokromatik merah dan biru dapat meningkatkan efisiensi


(43)

3 dalam kegiatan produksi. Hal ini disebabkan keseluruhan energi yang digunakan untuk sumber cahaya dapat dikonversi menjadi gelombang merah (630-700 nm) dan biru (400-480 nm) yang paling bermanfaat dalam fotosintesis. Oleh karena itu, penelitian tentang efektivitas dan efisiensi penggunaan pencahayaan monospektrum dalam produksi spirulina di lingkungan yang terkontrol perlu dilakukan. Hal ini dikarenakan dalam menghasilkan produk berkualitas baik, yaitu

food grade harus memiliki kriteria dari ISO 9001 yang di antaranya adalah kualitas premium nutrisi dan kualitas kontrol lingkungan (Henrikson, 2009). Tujuan da ri penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh penggunaan TL monospektrum sebagai sumber pencahayaan fotosintesis terhadap produksi biomassa Spirulina fusiformis yang dikultur melalui kajian kepadatan sel, laju pertumbuhan spesifik dan kandungan nutrisinya.


(44)

II. BAHAN DAN METODE

2.1 Prosedur Penelitian 2.1.1 Perlak uan Uji

Penelitian ini dilakukan dengan mengkultur spirulina Spirulina fusiformis

dalam skala laboratorium (1 liter) dengan pencahayaan menggunakan lampu TL putih selama 24 jam dengan intensitas berkisar antara 1500-2000 lux dan melakukan pengamatan kepadatan harian untuk mengetahui kurva pertumbuhan spirulina. Penelitian dilanjutkan dengan kultur skala intermediet (20 liter) menggunakan media Zarrouk yang dimodifikasi. Perlakuan yang diberika n berupa sumber cahaya yang berbeda yaitu lampu TL putih 36 watt dan lampu TL monospektrum 40 watt selama 24 jam sebagai berikut:

1) Perlakuan A (P): Sumber pe ncahayaan lampu TL putih.

2) Perlakuan B (100M): Sumber pe ncahayaan lampu TL merah.

3) Perlakuan C (100 B): Sumber pe ncahayaan lampu TL biru.

4) Perlakuan D (50B50M): Sumber pencahayaan lampu TL biru 50% dan TL

merah 50% .

2.1.2 Persiapan Alat dan Bahan

Pada tahap pertama persiapan, terlebih dahulu dilakukan pemasangan lampu TL dengan spektrum putih, spektrum merah, spektrum biru, spektrum merah-biru (50%-50%), dan sistem aerasi. Selanjutnya, alat-alat yang akan digunakan sebagai wadah kultur terlebih dahulu disterilisasi dengan cara dicuci menggunakan sabun hingga bersih, kemudian dibilas menggunakan air bersih dan dikeringkan. Setelah itu, peralatan disemprot dengan menggunakan larutan alkohol 70%.

Air yang digunakan sebagai media kultur terlebih dahulu disterilisasi menggunakan larutan klorin 30 µl/l dan diaerasi kuat selama 24 jam. Titik aerasi pada setiap akuarium dipasang sebanyak 2 titik. Setelah itu, air media diberi natrium tiosulfat 15 mg/l (50% dari dosis klorin yang digunakan) sebagai penetralisir residu larutan klorin.


(45)

5

2.1.3 Kultur Skala Laboratorium

Kultur dilakukan secara bertingkat yaitu dengan dilakukannya kultur skala laboratorium dengan volume 1 liter, ke mudian dibiakan menjadi 16 liter dan dilanjutka n dengan kultur intermediet bervolume 20 liter. Kultur tahap pertama dilakukan dalam skala kultur 1 liter. Kultur dilakukan menggunakan botol plastik transparan bervolume 1,5 liter. Wadah kultur diisi air mineral yang telah disiapkan terlebih dahul u da n ke mudian ditamba hka n larutan Zarrouk yang dimodifikasi sebagai nutrisi biakannya (Lampiran 2). Kompo sisi pupuk dilarutka n de ngan cara menambahkan air panas ke dalam pupuk agar dapat larut dengan baik. Setelah pengisian air dan zat hara sebagai media selesai, selanjutnya dilakukan inokulasi

Spirulina sp. ke dalam media. Hasil kultur skala ini kemudian dibiakan menjadi 16 liter menggunakan wadah berupa galon transpa ran. Selanjut nya hasil biakan tersebut digunakan untuk inokulan pada perlakuan yaitu skala intermediet bervolume 20 liter.

2.1.4 Kultur Skala Intermediet

Kegiatan kultur skala intermediet dilakukan dengan menggunakan akuarium berdimens i 25 cm x 25 cm x 45 cm. Inokulan yang digunakan untuk kultur ini ada lah kultur Spirulina ska la 16 liter. Pertama akuarium diisi dengan air yang telah disterilisasi sebanyak 17 liter. Kemudian dimasukka n larutan Zarrouk yang dimodifikasi (Lampiran 3) ke dalam akuarium hingga larut sempurna. Setelah media kultur siap, inokulan yang berasal dari skala laboratorium ditambahkan ke da lam media sebanyak 3 liter atau 15% dari total kultur per akuarium. Setiap akuarium diberikan sumber cahaya sesuai perlakuan dengan lama pencahayaan 24 jam. Kultur dilakukan selama 23 hari.

2.1.5 Pemanenan

Pemanenan Spirulina dilakukan pada saat kultur telah mencapai puncak

populasi. Puncak populasi dapat diketahui dari perubahan warna pada media kultur dan jumlah populasi berdasarkan pola pertumbuhan yang telah dihitung setiap harinya. Kegiatan ini dilakukan pukul 08.00 WIB dengan menggunakan


(46)

6 dipanen dengan terlebih dahulu mematikan aerasi dan kemudian spirulina disaring dengan plankton net. Spirulina yang tersaring dipindahkan ke dalam botol film dan selanjutnya digunakan untuk uji prosimat.

2.2 Parameter Penelitian 2.2.1 Biomassa Panen

Pada penelitian ini, biomassa yang dihasilkan pada setiap perlakuan dihitung berdasarkan bobot kering setiap harinya. Pengambilan sampel dilakukan pada jam 08.00 sampai 09.00 WIB. Tahapa n pertama yang dilakuka n yaitu air media diambil sebanyak 15 ml setiap perlakuan. Titik pengambilan sampel berada di bagian tengah akuarium dengan kedalaman 20 cm dari permukaan dan selanjutnya disaring dengan menggunakan kertas saring yang sebelumnya telah dioven dan ditimbang terlebih dahulu. Spirulina yang tersaring dioven selama 4 jam serta didesikator selama 20 menit. Selanjutnya ditimbang sebagai bobot akhir. Nilai biomassa diperoleh dari selisih antara bobot akhir dan bobot awal kertas saring.

2.2.2 Kepadatan Populas i

Kepadatan populasi spirulina yang dihasilka n dihitung de ngan ba ntua n

hemositometer dan mikroskop. Pengambilan sampel dilakukan pada semua ulangan dan perlakuan pukul 08.00 hingga 09.00 WIB. Titik pengambilan sampel berada di bagian tengah dengan kedalaman 20 cm dari permukaan sebanyak 1 ml. Pengamatan sel pada hemositometer dilakukan 4 kali ulangan pada setiap bidang pandang hemositometer. Sel spirulina yang dihitung merupakan sel spirulina yang utuh dengan rumus seba gai berikut :

N = (C x 104) / (A x D) Keterangan :

N = Kepadatan sel spirulina (sel/ml) C = Jumlah sel yang dihitung A = Luas lapang pandang (mm2) D = Kedalaman lapang pandang (mm)


(47)

7

2.2.3 Laju Pertumbuhan Spesifik

Laju pertumbuhan spesifik dihitung menggunakan rumus (Vonshak, 1997): µ = (ln Nt – ln N0) / t

Keterangan :

µ = Laju pertumbuhan spesifik (hari-1) N0 = Kepadatan sel spirulinaawal (sel/ml)

Nt = Kepadatan sel spirulinaakhir (sel/ml)

t = Selang waktu dari N0 ke Nt

Analisis ka ndungan klorofil dilakukan pada akhir kultivasi skala intermediet. Sampel kultur diambil sebanyak 100 ml setiap perlakuan dan dimasukkan ke dalam botol PE. Sampel ditambahkan MgCO

(hari)

2.2.4 Waktu Penggandaan

Wakt u penggandaan merupaka n lama waktu sel untuk menggandakan menjadi dua kali lipatnya. Pengukuran waktu penggandaan dihitung dengan rumus (Vonshak, 1997):

G = ln 2 / µ = 0,693 / µ Keterangan :

G = Waktu penggandaan (hari)

µ = Laju pertumbuhan spesifik (pembelahan/hari)

2.2.5 Analisis Proksimat

Hasil kultur skala intermediet yang suda h dipa nen selanj utnya ditimbang dan dianalisis proksimat. Analisis proks imat dilakuka n unt uk menganalisis kandungan nut risi yang meliputi lemak menggunakan metode Folch, protein menggunakan metode Kjeldahl, kadar abu dan air menggunakan metode gravimetri dan serat kasar (Takeuchi, 1988).

2.2.6 Analisis Klorofil

3 1% sebanyak 10

ml/liter. Membran filter jenis cellulose nitrate 0,45 UM berdiameter 47 mm, vakum listrik dan filtering apparatus Nalgen dan selanjutnya sampel disaring. Membran filter diambil dengan tidak menyentuh bagian permukaan atas atau


(48)

8 sampel. Kemudian dilipat menjadi 2 bagian sama besar dan dilipat kembali menjadi 2 bagian lebih kecil. Membran filter tersebut dibungkus denga n alumunium foil dan dimasukka n kedalam plastik klip yang telah memiliki label. Selanjutnya sampel disimpan dalam kotak pendingin (cool box) dengan suhu 4 0C dan tidak terkena cahaya.

Sampel ditempatkan di alat penggiling jaringan dan dimasukkan 2 hingga 3 ml larutan aseton 90% selanjutnya dikocok dengan 500 rpm selama 1 menit. Pindahkan sampel ke tabung sentrifus (sentrifuge tube) dan membilasnya dengan larutan aseton 90% hingga menjadi volume 10 ml. Selama pengekstrasian klorofil, aseton 90% disiapkan sebagai blanko dengan jumlah yang sama dengan jumlah yang ditambahkan ke sampel. Setelah semalam, sampel didiamkan selama 15 menit di suhu kamar dan disentrifus selama 20 menit dengan kecepatan 3000 rpm. Kemudian supernatan yang terbentuk diambil untuk diukur menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang sebesar 630, 647 dan 664 nm. Hasil akhir dihitung dengan persamaan berikut (APHA, 2005) :

Keterangan :

OD664 = Nilai spektrofotometer pada panjang gelombang 664 OD647 = Nilai spektrofotometer pada panjang gelombang 647 OD630 = Nilai spektrofotometer pada panjang gelombang 630

2.2.7 Kualitas Air

Parameter kualitas air yang diukur pada penelitian ini ada lah pe ngukuran setiap hari pukul 09.00 WIB (suhu, pH dan DO), serta pengukuran awal dan akhir penelitian (intensitas cahaya, total ammonium nitrogen (TAN), kadar nitrit, kadar nitrat dan kadar fosfat). Alat yang digunakan berupa DO-meter, thermometer, pH-meter, lux meter serta spektrofotometer.


(49)

9

2.3 Analisis Statistik

Penelitian ini dirancang menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan empat perlakuan dan masing- masing diulang tiga kali. Data yang diperoleh berupa parameter kepadatan sel dianalisis ragam dengan tingkat kepercayaan 95%. Jika terdapat perbedaan yang nyata, maka analisis dilanjutkan dengan uji Tuke y. Hasil biomassa panen, laju pertumbuhan spesifik (LPS), waktu penggandaan (G), analisis proksimat, klorofil dan kualitas air dianalisis secara deskriptif dengan menampilkan gambar dan tabel.


(50)

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil

3.1.1 Kepadatan Sel

Kepadatan sel Spirulina fusiformis yang dikultivasi selama 23 hari dengan berbagai perlakuan cahaya menunjukkan bahwa kepadatan sel tertinggi terdapat pada perlakuan cahaya merah (p<0,05) (Gambar 1). Kepadatan puncak perlakuan tersebut terjadi pada hari ke-18 kultivasi sebesar 14,83 x 104 sel/ml. Kepadatan puncak pada perlakuan biru-merah, ko ntrol da n biru juga terjadi saat 18 hari kultivasi dengan masing- masing jumlah kepadatan 8,67 x 104 sel/ml; 6,67 x 104 sel/ml dan 3,89 x 104 sel/ml.

Gambar 1. Kepadatan sel Spirulina fusiformis selama kultivasi dengan perlakua n cahaya putih ( P), cahaya biru ( B), cahaya merah ( M) dan cahaya biru merah ( BM).

Gambar 2. Kepadatan sel Spirulina fusiformis pada saat puncak populasi dengan perlakuan cahaya putih (P), cahaya biru (B), cahaya merah (M) dan cahaya biru merah (BM).


(51)

11 Selanjutnya, pengaruh perlakuan terhadap pencapaian kepadatan populasi maksimal dianalisis melalui kepadatan sel pada saat puncak populasi yaitu hari ke-18 masa kultivasi. Gambar 2 menunjukkan bahwa populasi pada perlakuan merah memiliki kepadatan sel tertinggi dibandingkan dengan perlakuan kontrol, biru dan biru- merah. Hal tersebut bahwa perlakuan cahaya merah dan biru memberikan pengaruh yang nyata terhadap puncak kepadatan populasi (p<0,05). Akan tetapi, perlakuan cahaya putih tidak berbeda nyata dengan biru- merah.

3.1.2 Biomassa

Biomassa merupakan bobot populasi spirulina yang ditimbang dalam keadaan kering. Hasil biomassa S. fusiformis selama 23 hari kultivasi dapat dilihat dari Gambar 3 yang menunjukkan hasil fluktuatif. Bobot kering tertinggi diperoleh pada perlakuan merah dengan biomassa sebanyak 5,075 mg/ml pada hari ke-18 kultivasi. Kemudian dilanjutkan dengan biomassa tertinggi hingga terenda h yaitu perlakua n biru-merah sebanyak 3,625 mg/ml, perlakuan kontrol sebanyak 2,303 mg/ml dan perlakuan biru 1,453 mg/ml pada hari ke-18 kultivasi.

Gambar 3. Biomassa Spirulina fusiformis kultivasi dengan perlakuan cahaya putih ( P), cahaya biru ( B), cahaya merah ( M) dan cahaya biru merah ( BM).


(52)

12 Selain itu, terdapat hubungan antara kepadatan dan bobot kering. Semakin bertambahnya kepadatan sel maka berkecenderungan semakin bertambah pula bobot kering dari S. fusiformis. Hubungan tersebut terlihat dari garis linear yang terbentuk setiap perlakuan (Gambar 4). Setiap garis linear perlakuan memiliki nilai regresi yang berbeda. N ilai regresi tertinggi terjadi pada perlakuan cahaya merah sebesar 0,956. Semakin besar nilai regresi, maka semakin besar pula hubungan antara kepadatan sel dengan nilai bobot keringnya.

Gambar 4. Hubungan antara kepadatan dan biomassa Spirulina fusiformis pada perlakuan cahaya putih ( P), cahaya biru ( B), cahaya merah ( M) da n cahaya biru merah ( BM).

3.1.3 Laju Pertumbuhan Spesifik

Laju pertumbuhan spesifik (LPS) merupakan parameter yang

menggambarkan pertambahan sel S. fusiformis per satuan waktu. Hasil LPS

selama masa kultivasi selama 23 hari mengalami penurunan pada semua perlakuan pencahayaan (Gambar 5). Akan tetapi, nilai LPS pada perlakuan merah cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan biru- merah, ko ntrol dan biru.


(53)

13

Gambar 5. Laju pertumbuhan spesifik Spirulina fusiformis dengan perlakuan

cahaya put ih ( P), cahaya biru ( B), caha ya merah ( M) da n cahaya biru merah ( BM).

3.1.4 Waktu Penggandaan

Waktu penggandaan didefinisikan sebagai lama waktu yang dibutuhkan sel untuk menggandakan populasi. Waktu penggandaan pada semua perlakuan terhadap kultur S. fusiformis selama 23 hari kultivasi dapat dilihat pada Gambar 6. Hasil tersebut menunjukkan bahwa waktu penggandaan relatif terus bertambah lama seiring bertambahnya masa kultivasi hingga tidak adanya lagi penggandaan pada populasi kultur tersebut.

Gambar 6. Waktu penggandaan Spirulina fusiformis de ngan perlakuan cahaya

putih ( P), cahaya biru ( B), cahaya merah ( M) dan cahaya biru merah ( BM).

3.1.5 Analisis Proksimat

Kandungan nutrisi dari Spirulina diukur melalui analisis proks imat setelah pe manenan yaitu pada hari ke-23 kultivasi. Berdasarkan Tabel 1, protein pada


(54)

14 perlakuan merah menghasilkan nilai sebesar 65,77 % yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Jika ditinjau dari kadar lemak tertinggi terdapat pada perlakuan kontrol yaitu dengan penggunaan pencahayaan lampu putih yang umum digunakan. Nilai lemak tersebut sebesar 6,63% yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Selain itu, jika ditinjau dari segi nilai serat dari masing- masing perlakuan menunjukkan bahwa perlakuan merah menghasilkan nilai serat yang paling rendah.

Tabel 1. Hasil analisis proks imat Spirulina fusiformis

Jenis nutrisi Nilai nutrisi pada perlakuan pencahayaan (% per bobot kering)

Putih Biru Merah Biru-Merah

Protein 55,78 58,31 65,77 56,05

Lemak 6,63 5,00 4,94 3,78

Karbohidrat 6,91 7,01 3,60 16,48

Mineral 16,00 12,99 8,91 9,61

Serat 14,68 16,98 8,53 15,62

3.1.6 Analisis Klorofil

Tabel 2 menunjukkan ba hwa kadar klorofil relatif lebih tinggi pada perlakuan merah sebesar 1,605 mg/l daripada perlakuan kontrol, biru- merah dan biru memiliki nilai yang lebih rendah.

Tabel 2. Analisis klorofil Spirulina fusiformis

Perlakuan Kadar (mg/l)

Kontrol 0,987

Biru 0,356

Merah 1,605

Biru-Merah 0,935

3.1.7 Kualitas Air

Tabel 3 menunjukkan bahwa terjadi kenaikan kandungan nitrat, DO dan pH selama perlakuan. Akan tetapi berbeda dengan kandungan nitrit yang terjadi penurunan dari 0,45 mg/l menjadi 0.06 mg/l hingga 0,27 mg/l. Parameter kualitas air yang memiliki nilai fluktuatif antar perlakuan adalah TAN, fosfat dan suhu.


(55)

15 Tabel 3. N ilai parameter kualitas air selama kultivasi Spirulina fusiformis

Parameter/

Perlakuan Satuan

K B M BM

Awal Akhir Awal Akhir Awal Akhir Awal Akhir

Nitrat mg/l 0,91 2,06 0,91 1,91 0,91 3,00 0,91 1,91

Nitrit mg/l 0,45 0,06 0,45 0,08 0,45 0,21 0,45 0,27

TAN mg/l 0,26 0,19 0,26 0,26 0,26 0,49 0,26 0,40

Fosfat mg/l 0,59 0,49 0,59 1,01 0,59 0,53 0,59 0,38

DO mg/l 6,40 7,20 6,40 7,30 6,33 7,40 6,10 7,30

Suhu 0C 27,10 26,97 27,57 27,17 27,80 27,17 28,77 27,07

pH - 9,63 10,31 9,63 10,31 9,63 10,30 9,63 10,31

3.2 Pembahasan

Ditinjau dari parameter kepadatan sel Spirulina fusiformis (Gambar 1), diketahui bahwa semua perlakuan menunjukkan adanya pertambahan kepadatan. Perlakuan pe ncahayaan TL merah 1500 lux menunjukkan populasi tertinggi pada hari ke-18 kultivasi dengan kepadatan 14,83 x 104 sel/ml. Sementara, untuk perlakuan pe ncaha yaan TL biru- merah, pe ncahayaan TL putih da n pe ncahayaan dengan TL biru 1500 lux menunjukkan populasi masing- masing sebesar 8,67 x 104 sel/ml; 6,67 x 104 sel/ml dan 3,83 x 104

Selama kultivasi dapat terlihat beberapa fase pertumbuhan dari

S.fusiformis yang meliputi fase lag, fase eksponensial atau logaritma dan fase deklinasi atau fase kematian. Fase lag pada perlakuan pencahayaan relatif singkat dibandingka n de ngan perlakuan lainnya sekitar 5 hari. Menurut Fogg (1975), fase

sel/ml pada hari ke-18 kultivasi. Park dan Lee (2000) menjelaskan bahwa alga menyerap semua cahaya yang diterima

walaupun tidak semua foton dapat dimanfaatkan. Selanjutkan Campbe ll et al.

(2002) mengungkapkan bahwa spektrum cahaya yang paling efektif diserap oleh klorofil sebagai sumber energi dalam reaksi terang adalah spektrum merah dan biru. Penggunaan cahaya merah selama kultur menampilkan hasil pertumbuhan yang berbeda nyata dengan perlakuan pencahayaan lainnya serta kepadatan populasi puncak tertinggi (Gambar 2). Hal tersebut menjelaskan bahwa cahaya

merah lebih dimanfaatkan oleh klorofil spirulina dalam proses fotosintesis.

Sebaliknya, perlakuan cahaya biru tidak menunjukkan hasil pertumbuhan yang

baik. Berdasarkan Gonvindjee dan Barbara (1974) dalam Pambudi (2001)

menerangkan bahwa warna merah diserap sangat kuat oleh alga untuk melakukan proses fotosintesis.


(56)

16 ini terjadi pelambatan dalam pertumbuhan alga karena energi yang dimiliki dipusatkan untuk penyesuaian diri terhadap media kultur yang baru dan untuk pemeliharaan sehingga sebagian kecil atau tidak ada energi yang digunakan dalam pertumbuhan. Di samping itu, fakta yang membuktikan bahwa spektrum merah lebih efektif diserap dibanding dengan spektrum lain mengakibatkan energi yang produksi untuk beradaptasipun lebih banyak (Gonvindjee dan Barbara, 1974

dalam Pambudi, 2001).

Setelah fase lag berakhir, maka pertumbuhan alga memasuki fase eksponensial atau fase logaritma yaitu fase pertumbuhan yang terjadi peningkatan jumlah sel secara cepat (Fogg, 1975). S. fusiformis yang dikultur menggunakan cahaya merah mengalami fase tersebut dari hari ke-5 hingga hari ke-18 masa kultivasi. Berbeda dengan perlakuan biru- merah dan kontrol yang mengalami fase eksponensial pada hari ke-8 hingga ke-18 masa kultivasi, sedangkan untuk perlakuan cahaya biru tidak menunjukkan fase eksponensial. Pertumbuhan yang terjadi pada perlakuan tersebut cenderung meningkat secara perlahan. Hal ini

dikarenakan cahaya yang terpapar pada S. fusiformis yang dikultur tidak

dikonversi menjadi senyawa kimiawi atau energi untuk mereka tumbuh. Cahaya tersebut lebih cenderung dipantulkan dibandingkan untuk diserap oleh klorofil.

Menurut Campbell et al. (2002) klorofil akan mengkonversi cahaya yang

memaparkannya menjadi energi, jika cahaya tersebut diserapnya. Kualitas cahaya juga akan berpengaruh terhadap proses fotosintesis, pertumbuhan, perkembangan dan morfogenesis alga (Korbee, 2005).

Selama fase eksponensial berlangsung terjadi peristiwa yang disebut

doubling time atau waktu terjadinya peningkatan populasi atau generasi sel baru dua kali lipatnya secara cepat (Lee dan Shen, 2004). Selama peristiwa tersebut terjadi pembelahan yang serempak pada sel S. fusiformis. Sel-sel mati ya ng disebut nikr idia aka n putus de ngan segera, ke mudian trichoma akan terfragmentasi menjadi koloni sel yang terdiri atas 2-4 sel yang disebut hormogonium. Setelah itu memisahkan diri da ri filament induknya untuk menjadi sel trachoma baru (Ciferri, 1983; Ali dan Saleh, 2012). Dengan demikian, ketika semua sel pada populasi tersebut bersamaan pada fase pembelahan dan didukung


(57)

17 dengan energi cahaya serta zat hara yang cukup, maka terjadilah peristiwa yang disebut doubling time.

Setelah berakhirnya fase puncak, populasi S. fusiformis yang dikultur pada semua perlakuan langsung mengalami fase kematian. Fase ini terjadi pada hari yang sama yaitu hari ke-18 kultivasi. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya fase tersebut diantaranya adalah habisnya nutrisi dalam media dan energi cadangan di dalam sel, jenis mikroalga (Fogg, 1975), suplai cahaya yang be rkurang, umur sel yang suda h tua, ko ndisi lingk ungan yang tidak mendukung untuk pertumbuhan dan kontaminasi oleh mikroorganisme lain (Becker, 1994 dalam Winarti 2003).

Grafik biomassa menunjukkan bahwa bobot kering spirulina yang dikultivasi selama 23 hari terjadi peningkatan pada awal kultivasi hingga hari ke-18, serta langsung terjadi penurunan hingga akhir kultivasi. Hal ini berkorelasi positif dengan kepadatan sel, yaitu turunnya kepadatan mengakibatkan penurunan biomassa. Pernyataan tersebut diperkuat dengan Gambar 4 yang menjelaskan bahwa adanya korelasi positif antara biomassa dan kepadatan sel dengan nilai R2

Waktu penggandaan spirulina cenderung meningkat dari awal periode kultur hingga hari ke-21. Hal tersebut ditunjukkan dari waktu penggandaan yang mencapai lebih dari satu hari. Kondisi ini diduga terkait dengan fase lag yang terjadi pada awal kultur akibat adaptasi inokulan terhadap kondisi lingkungan kultur. Waktu penggandaan tertinggi ditunjukkan pada perlakuan pencahayaan TL merah de ngan nilai waktu pe nggandaan sekitar 5 hari. Perlakuan pe ncahayaan sama dengan 90 persen. Oleh karena itu, dengan persamaan tersebut kita dapat memprediksi biomassa pada suatu kepadatan sel tertentu ataupun sebaliknya.

Laju pertumbuhan spesifik spirulina cenderung terus mengalami penurunan. Hal ini dikarenakan daya dukung media untuk hidup semakin berkurang seiiring bertambahnya waktu kultivasi. Faktor yang dapat mempengaruhi laju pertumbuhan spesifik adalah kandungan unsur hara yang terdapat dalam media kultur. Hasil tersebut sesuai de ngan pernyataan Fogg (1975) yang menyatakan bahwa peningkatan populasi alga yang terjadi menyebabkan nutrisi media berkurang sangat cepat sehingga terjadi penurunan laju pertumbuhan.


(1)

21

DAFTAR PUSTAKA

Ali, S.K., Saleh A.M. 2012. Spirulina – An Overview. Academic Sciences. International Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Science 4: 9-15.

APHA. 2005. Standard Methods For The Examination of Water and Wastewater 21st

Belay, A. 2008. Spirulina ( Spirulina sp.) : Prod uction and Quality Assurance. Di dalam: Gershwin M.E. dan Belay A. (Eds.), Spirulina in Human Nutrition and Health. California: CRC Press 2-26.

Edition. Washingt on : American Public Health Assoc iation.

Borchers, A.T., Belay, A., Keen, C.L., Gershwin, M.E. 2008. Spirulina and Immunity. Di dalam: Gershwin M.E dan A. Belay. (Eds.), Spirulina in Human Nutrition and Health. California: CRC Press 177-226

Borowitzka, M.A., Borowitzka, L.J. 1988. Micro-alga Biotechnology. Cambridge University Press. England.

Campbell, N.A., Reece, J.B., Mitchell, L.G. 2002. Biologi Edisi Kelima- Jilid 1. Jakarta: Erlangga.

Ciferri, O. 1983. Spirulina, The Edible Microorganism. America Society for Microbiology. Microbiological 4: 551-578.

FAO. 2008. A Review On Culture, Production And Use of Spirulina as Food for Humans and Feeds for Domestic Animals And Fish. Rome, Italy.

Fatimah. 2007. Simulasi Model Transpor Fosfor pada Aliran Sungai Menggunakan Persamaan Diferensial Orde Satu. Jurnal Teknologi Proses 6(1): 10-16.

Fogg, G.E. 1975. Algal Culture and Phytoplankton Ecology. London: The University of Winsconsin Press.

Henrikson, R. 2009. Earth Food Spirulina. Hana, Maui, Hawaii : Ronore Enterpr ise, I nc.

Henson, R., Kozlenko, R. 2009. New Research Reveals Health Benefits : Phycocyanin Enhances The Immune System. Di dalam: Henrikson R.(Eds.), Earth Food Spirulina. Hana, Maui, Hawaii : Ronore Enterprise, Inc.

Hu, Q. 2004. Industrial Production of Microalgal Cell- mass and Secondary Products- Major Industrial Species: Arthrospira (Spirulina) platensis. Di dalam: Richmond A.E. (Eds.), Handbook of Microalgal Culture, Biotechnology and Applied Phycology. Iowa: Blackwell Publishing 264-272. Korbee, N., Figueroa, F.L., Aguilera, J. 2005. Effect of Light Quality on The


(2)

22 Amino Acids in The Red Alga Porphyra leucosticta (Bangiales, Rhodophyta). Elsevier. Jour nal of Photoc hemistry and Photob iology B: Biology 80:71-78.

Lee, Y.K. dan Shen, H. 2004. Basic Culturing Techniques. Di dalam: Richmond A.E. (Eds.), Handbook of Microalgal Culture, Biotechnology and Applied Phycology. Iowa: Blackwell Publishing 40-56.

Pambudi, L.T. 2001. Pengaruh Sinar Merah dengan Panjang Gelombang yang Berbeda Terhadap Pertumbuhan Kultur Murni Chlorella. [Skripsi]. Bogor: Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Park, K.H., Lee, C.G. 2000. Optimization of Alga l Photobioreactors Using Flashing Lights. J. Biotechnol. Bioprocess Eng5: 186-190.

Rafiqul, I.M., Jalal, K.C.A., Alam, M.Z. 2005. Environmental Factors for Optimalization of Spirulina Biomass in Laboratory Culture. Asian Network for Scientific Information. Biotechnology 4(1): 19-22.

Reinehr, C.O., Costa, J.A.V. 2006. Repeated Batch Cultivation of The Microalga

Spirulina platensis. J. Microbiol. & Biotech22: 937-943.

Sasmita, P.G., Wenten, I.G., Suantika, G. 2004. Pengemba ngan Teknologi Ultrafiltrasi untuk Pemekatan Mikroalga. Prosiding. Seminar Nasional Rekayasa Kimia dan Proses 2004. Semarang: Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro.

Takeuchi, T. 1988. Laboratory Work Chemical Evaluation of Dietary Nutriens. Di dalam: Watanabe T, (Eds.), Fish Nutrition and Mariculture. Department of Aquatic Bioscience. Tokyo University if Fisheries. JICA 179-226.

Vonshak, A. 1997. Spirulina: Growth, Physiology and Biochemistry. Di dalam: Vonshak A. (Eds.), Spirulina platensis (Arthrospira): Physiology, Cell-biology and Biotechnology. USA: Taylor and Francis Ltd, Bristol 46-47. Vonshak, A., Tomaselli, L. 2000. Spirulina sp. (Spirulina): Systematics and

Ecophysiology. Di dalam:Whitton B. A dan M. Potts. (Eds.), The Ecology of Cyanoba cteria: Their Diversity in Time and Space. Boston: Academic Publishing 505-522.

Winarti. 2003. Pertumbuhan Spirulina platensis yang Dikultur de ngan Pupuk Komersil (Urea, TSP dan ZA) dan Kotoran Ayam. [Skripsi]. Bogor: Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.


(3)

23 Lampiran 1. Tata letak akuarium penelitian

Keterangan :

= Akuarium perlakuan berdimensi 25 cm x 25 cm x 45 cm = Perlakuan pe ncahayaan Biru-Merah

= Perlakuan pe ncahayaan Merah = Perlakuan pe ncahayaan Biru = Perlakuan pe ncahayaan Putih


(4)

24 Lampiran 2. Komposisi pupuk Zarrouk modifikasi untuk kultur Spirulina

fusiformis skala laboratorium 1 liter dan 16 liter

Nama Bahan Dos is

NaNO3 0,5 g/l

K2SO4 1,0 g/l

NaCl 1,0 g/l

MgSO4 7H2O 0,2 g/l

CaCl2 7 H2O 0,04 g/l

FeSO4 7H2O 0,01 g/l

EDTA 0,08 g/l

CO(NH2)2 0,02 g/l

DAP (diammonium phospat) 1,25 g/l

KCl 0,898 g/l

Larutan mikronutrien (A5)* 1 ml/l Bahan pembuat larutan mikronutrien (A5)*

Nama Bahan Dosis(mg/ l)

H3BO3 2,86

MnCl2.4H2O 1,81

ZnSO4.7H2O 0,222

((Na2Mo4 atau ((NH4)6Mo7)24.4H2O 0,0177


(5)

25 Lampiran 3. Komposisi pupuk Zarrouk modifikasi untuk kultur Spirulina

fusiformis skala intermediet 20 liter

Nama Bahan Jumlah (gram/liter)

NaHCO3 (soda kue) 8

NaCl 6,15

KCl 1,47

NaNO3 1,68

MgSO4. 7 H2O 0,16

DAP (diammonium phosphate) 0,008

Urea atau CO(NH2)2 0,015

FeSO4. 7H2O 0,005


(6)

26 Lampiran 4. Analisis statistik kepadatan puncak kultur Spirulina fusiformis

Deskripsi

Ulangan Perlakuan (10

4 sel/ml)

Putih Biru Merah Biru-Merah

1 6,75 4,00 14,00 9,75

2 6,75 3,75 16,00 7,00

3 6,50 3,75 14,50 9,25

Rata-rata 6,67 3,83 14,83 8,67

Simpangan baku 0,14 0,14 1,04 1,46

ANOVA Sumber keragaman

Jumlah

kuadrat db

Kuadrat

tengah F-hitung P

Perlakuan 195,83 3 65,28 79,83 0,00

Galat 6,54 8 0,82

Total 202,38 11

Uji Tuke y

Perlakuan N Subset

a b c

Biru 3 3,8333

Putih 3 6,6667

Biru-Merah 3 8,6667

Merah 3 14,8333