kandungan ayat-ayat Al-Quran dari berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat Al-Quran sebagaimana tercantum di dalam mushaf.
Segala segi yang dianggap perlu oleh seorang mufasir tajziiytahliliy diuraikan, bermula dari arti kosakata, asbab al-nuzul, munasabah, dan lain-lain yang berkaitan dengan teks
atau kandungan ayat. Metode ini, walaupun dinilai sangat luas, namun tidak menyelesaikan satu pokok bahasan, karena seringkali satu pokok bahasan diuraikan
sisinya atau kelanjutannya, pada ayat lain.
Pemikir Aljazair kontemporer, Malik bin Nabi, menilai bahwa upaya para ulama menafsirkan Al-Quran dengan metode tahliliy itu, tidak lain kecuali dalam rangka upaya
mereka meletakkan dasar-dasar rasional bagi pemahaman akan kemukjizatan Al-Quran.
50
Terlepas dari benar tidaknya pendapat Malik di atas, namun yang jelas, kemukjizatan Al- Quran tidak ditujukan kecuali kepada mereka yang tidak percaya. Ia tidak ditujukan
kepada umat Islam. Hal ini dapat dibuktikan dengan memperhatikan rumusan definisi mukjizat dimana terkandung di dalamnya unsur tahaddiy tantangan, sedangkan seorang
Muslim tidak perlu ditantang karena dengan keislamannya ia telah menerima. Bukti kedua dapat dilihat dari teks ayat-ayat yang berbicara tentang keluarbiasaan Al-Quran
yang selalu dimulai dengan kalimat Inkuntum fi raib atau Inkuntum shadiqin.
Kalau tujuan penggunaan metode tahliliy seperti yang diungkapkan Malik di atas, maka terlepas dari keberhasilan atau kegagalan mereka, yang jelas untuk masyarakat Muslim
dewasa ini, paling tidak persoalan tersebut bukan lagi merupakan persoalan yang mendesak. Karenanya, untuk masa kini, pengembangan metode penafsiran menjadi amat
dibutuhkan, apalagi jika kita sependapat dengan Baqir Al-Shadr --ulama Syiah Irak itu-- yang menilai bahwa metode tersebut telah menghasilkan pandangan-pandangan parsial
serta kontradiktif dalam kehidupan umat Islam.
51
Dapat ditambahkan bahwa para penafsir yang menggunakan metode itu tidak jarang hanya berusaha menemukan dalil atau lebih
tepat dalih pembenaran pendapatnya dengan ayat-ayat Al-Quran. Selain itu, terasa sekali bahwa metode ini tidak mampu memberi jawaban tuntas terhadap persoalan-persoalan
yang dihadapi sekaligus tidak banyak memberi pagar-pagar metodologis yang dapat mengurangi subjektivitas mufasirnya.
Kelemahan lain yang dirasakan dalam tafsir-tafsir yang menggunakan metode tahliliy dan yang masih perlu dicari penyebabnya --apakah pada diri kita atau metode mereka--
adalah bahwa bahasan-bahasannya dirasakan sebagai mengikat generasi berikut. Hal ini mungkin karena sifat penafsirannya amat teoretis, tidak sepenuhnya mengacu kepada
penafsiran persoalan-persoalan khusus yang mereka alami dalam masyarakat mereka, sehingga uraian yang bersifat teoretis dan umum itu mengesankan bahwa itulah
pandangan Al-Quran untuk setiap waktu dan tempat.
b. Metode Mawdhuiy
Istanthiq Al-Quran Ajaklah Al-Quran berbicara atau Biarkan ia menguraikan maksudnya -- konon itu pesan Ali ibn Abi Thalib.
Pesan ini, antara lain mengharuskan penafsir untuk merujuk kepada Al-Quran dalam rangka memahami kandungannya. Dari sini lahir metode mawdhuiy di mana mufasirnya
berupaya menghimpun ayat-ayat Al-Quran dari berbagai surah dan yang berkaitan dengan persoalan atau topik yang ditetapkan sebelumnya. Kemudian, penafsir membahas
dan menganalisis kandungan ayat-ayat tersebut sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh.
Tafsir dalam Era Globalisasi
Dr. Abdul Aziz Kamil, mantan Menteri Waqaf dan Urusan Al-Azhar Mesir, dalam bukunya Al-Islam wa Al-Mustaqbal menyinggung tentang hal-hal yang menjadi
penekanan sementara penulis Islam baik Muslim maupun non-Muslim tentang apa yang dinamai Al-Islam Al-Iqlimiy. Hal itu berarti bahwa setiap wilayah kawasan atau
lokasi mengambil corak dan bentuk yang berbeda dengan lainnya, akibat perbedaan agama dan peradaban yang pernah hidup dan dianut oleh penduduk kawasan tersebut,
sehingga pemahamannya terhadap Islam dipengaruhi sedikit atau banyak dengan budaya setempat.
Kalau pendapat di atas dapat diterima, itu berarti bahwa Islam Indonesia dapat berbeda dengan Islam di negara-negara lain, akibat perbedaan budaya dan peradaban.
Dari satu sisi, apa yang ditekankan di atas ada benarnya dan dapat diperkuat dengan kenyataan yang berkaitan dengan Al-Quran yang diyakini sebagai berdialog dengan
seluruh manusia sepanjang masa. Dan tentunya, pemahaman manusia --termasuk terhadap Al-Quran-- akan banyak dipengaruhi oleh budaya dan perkembangan
masyarakatnya. Bahkan lebih jauh dari itu, dalam Al-Quran sendiri terdapat perbedaan- perbedaan, akibat perbedaan masyarakat yang ditemuinya. Hal ini dapat dirasakan dari
adanya apa yang dinamai Al-Ahruf Al-Sabah yang oleh sementara ulama dipahami sebagai adanya perbedaan bahasa atau dialek yang dibenarkan Allah akibat kesulitan-
kesulitan masyarakat suku tertentu dalam membacanya bila hanya terbatas dalam satu bahasa dialek saja. Demikian juga halnya dengan perbedaan qiraat yang dikenal luas
dewasa ini.
Namun demikian, hemat penulis, tidaklah wajar untuk menonjolkan segi-segi perbedaan tersebut, yang pada akhirnya menciptakan tafsir Al-Quran ala Indonesia, Mesir, atau
kawasan lain. Ketidakwajaran ini bukan saja disebabkan oleh adanya sekian banyak persamaan dalam bidang pandangan hidup umat Islam --akidah, syariah, dan akhlak--
yang tentunya harus mempengaruhi pemikiran-pemikiran mereka sehingga dapat melahirkan persamaan pandangan dalam banyak bidang. Tetapi juga, dan yang tidak
kurang pentingnya, adalah karena kita semua hidup dalam era informasi dan globalisasi yang menjadikan dunia kita semakin menyempit dan penduduknya saling mempengaruhi.
Diakui bahwa setiap masyarakat mempunyai kekhususan-kekhususan. Nah, apakah ciri masyarakat Indonesia, yang membedakannya dari masyarakat-masyarakat lain dan yang
mungkin akan menjadi bahan pertimbangan untuk meletakkan dasar-dasar penafsiran itu?
Ada yang berpendapat bahwa kekhususan tersebut adalah keberadaannya sebagai masyarakat plural. Tetapi, walaupun hal tersebut benar, hal ini bukan merupakan sesuatu
yang khas Indonesia. Masyarakat Mesir, Syria, dan India, misalnya, juga merupakan masyarakat plural di mana berbagai etnis dan agama hidup berdampingan dengan segala
suka-dukanya.
Menjadi kewajiban semua umat Islam untuk membumikan Al-Quran, menjadikannya menyentuh realitas kehidupan. Kita semua berkewajiban memelihara Al-Quran dan salah
satu bentuk pemeliharaannya adalah memfungsikannya dalam kehidupan kontemporer yakni dengan memberinya interpretasi yang sesuai tanpa mengorbankan teks sekaligus
tanpa mengorbankan kepribadian, budaya bangsa, dan perkembangan positif masyarakat.
Dalam kesempatan yang sangat terbatas ini, penulis ingin menggarisbawahi dua persoalan pokok, yang berkaitan dengan dasar penafsiran, tanpa menutup mata terhadap
dasar-dasar lain.
1. Asbab Al-Nuzul