Pembedaan antara yang Qathiy dan yang Zhanniy

tarif atau irsyad atau tashhih, dan sebagainya, maupun hubungan antara ayat yang ditafsirkan dengan penafsiran yang juga beraneka ragam. Hubungan itu terkadang berbentuk: a Hubungan padanan tathabuq, seperti penafsiran al-shalat al-wustha dengan shalat Ashar; b Hubungan kelaziman talazum seperti penafsiran uduni dalam QS 40:60 dengan beribadat; c Hubungan cakupan tadhamun, seperti penafsiran al-akhirat dalam QS 14:27 dengan kubur; d Hubungan percontohan tamtsil, seperti penafsiran al-maghdhub alayhim dalam surah Al-Fatihah dengan orang-orang Yahudi, dalam arti bahwa beliau menafsirkannya dengan orang Yahudi sebagai contoh yang beliau angkat dari masyarakat ketika itu, sehingga tidak menutup kemungkinan untuk diberikan penafsiran lain dalam bentuk contoh-contoh yang mungkin ditemukan dalam masyarakat-masyarakat lain. Di samping keragaman penafsiran seperti yang dikemukakan di atas, hadis-hadis Nabi pun dapat ditinjau dari berbagai segi, sejalan dengan kedudukan beliau ketika mengucapkan atau memperagakannya. Al-Qarafi 66 membagi sikap atau ucapan Nabi saw. dalam empat kategori, yaitu dalam kedudukan beliau sebagai: 1 Rasul; 2 Mufti; 3 Qadhi; dan 4 Imam pemimpin negara atau masyarakat. Pembagian di atas dapat ditambah dengan 5 sebagai pribadi. Hadis-hadis yang berkaitan dengan kedudukan beliau sebagai pemimpin masyarakat tentunya berkaitan dengan kondisi sosial masyarakat beliau, sehingga pemahamannya harus dikaitkan dengan kondisi sosial ketika itu. Adapun pendapat-pendapat sahabat, maka apabila permasalahan yang dikemukakannya termasuk fi ma la majal li al-aql fih bukan kalam wilayah nalar, maka ia fi hukm al- murfu bersumber dari Nabi saw. sehingga ia diterima sebagaimana adanya. Sedangkan bila sifatnya tidak demikian, maka ia hanya dipertimbangkan, dipilah, dan dipilih mana yang sesuai dan mana yang tidak.

2. Pembedaan antara yang Qathiy dan yang Zhanniy

Menurut Al-Syathibi, tidak ada atau sedikit sekali yang bersifat qathiy dalam dalil-dalil Syariat bila yang dimaksud dengannya adalah tidak adanya kemungkinan arti lain bagi satu lafal pada saat ia berdiri sendiri. 67 Betapapun terdapat perbedaan pendapat tentang batas pengertian dan bilangan ayat-ayat yang bersifat qathiy al-dalalah, namun yang jelas apabila satu ayat telah dinilai demikian, maka tidak ada lagi tempat bagi suatu interpretasi baru baginya. Adapun yang sifatnya zhanniy, maka ia merupakan lahan garapan para ulama dan pemikir hingga akhir zaman dan dari sinilah kemudian timbul ide pembedaan antara Syariat dan fiqih. Ahmad Abu Al-Majd menulis, Kita harus menekankan keharusan pembedaan antara Syariat dan fiqih: Syariat adalah sesuatu yang langgeng dan ditetapkan berdasarkan nash-nash qathiy baik dari segi wurud-nya keaslian sumbernya maupun dari segi dilalah-nya pengertiannya; sedangkan fiqih adalah penafsiran terhadap nash-nash. 68 Selanjutnya ia menekankan: Kelirulah mereka yang berkata bahwa generasi lampau tidak lagi menyisihkan bagi generasi berikutnya sesuatu apa pun ... Sesungguhnya mereka telah menyisihkan bagi generasi sesudahnya suatu alamdunia yang berbeda dengan alamdunia mereka ... Pengalaman-pengalaman baru tidak dapat diabaikan dengan alasan bahwa pengalaman lama dapat mencukupi dan menempati tempatnya. 69 Nah, dalam pengalaman-pengalaman baru inilah dapat timbul penafsiran-penafsiran baru, bahkan kaidah-kaidah baru yang belum dikenal oleh para pendahulu. Pengalaman masa kini menunjukkan antara lain: a Angka kematian dapat ditekan dan rata-rata umur manusia meningkat dibanding tahun-tahun sebelumnya. b Janin telah dapat diketahui jenis kelaminnya, bahkan manusia telah berada dalam pintu gerbang pemilihan jenis kelamin dan genetics engineering rekayasa genetis. Dua contoh di atas menjadikan seseorang yang percaya kepada Al-Quran terpaksa meninjau penafsiran ayat-ayat yang berbicara tentang penciptaan Tuhan terhadap manusia serta mafatih al ghayb yang tidak diketahui kecuali oleh Allah. Tentunya bukan yang dimaksud di sini mengabaikan semua hasil penelitian atau pendapat para pendahulu, tetapi prinsip yang sewajarnya dipegang adalah al-muhafazhah ala al-qadim al-shalih wa al-akhdz bi al-jadid al-ashlah berpegang kepada yang lama yang baik, dan kepada yang baru yang lebih baik.

3. Penggunaan Tawil dan Metafora