Metode ini istimewa bila ditinjau dari sudut informasi kesejarahannya yang luas, serta objektivitas mereka dalam menguraikan riwayat itu, sampai-sampai ada di antara mereka
yang menyampaikan riwayat-riwayat tanpa melakukan penyeleksian yang ketat. Imam Ahmad menilai bahwa tafsir yang berdasarkan riwayat, seperti halnya riwayat-riwayat
tentang peperangan dan kepahlawanan, kesemuanya tidak mempunyai dasar yang kokoh.
45
Karena itu, agaknya para pakar riwayat menekankan bahwa Kami hanya menyampaikan dan silakan meneliti kebenarannya.
46
Pegangan ini, secara umum, melemahkan metode riwayat, walaupun diakui bahwa sanad dari suatu riwayat seringkali dapat ditemukan. Namun, sebagian lainnya tanpa sanad.
Yang ditemui sanadnya pun membutuhkan penelitian yang cukup panjang untuk menetapkan kelemahan dan kesahihannya. Kelemahan lainnya adalah bahwa mufasir
seringkali disibukkan dengan pendapat si A dan si B, yang tidak jarang berbeda bahkan bertentangan satu dengan lainnya sehingga pesan-pesan ayat terlupakan.
Cukup beralasan sikap generasi lalu ketika mengandalkan riwayat dalam penafsiran Al- Quran. Karena, ketika itu, masa antara generasi mereka dengan generasi para sahabat dan
tabiin masih cukup dekat dan laju perubahan sosial dan perkembangan ilmu belum sepesat masa kini, sehingga tidak terlalu jauh jurang antara mereka. Di samping itu,
penghormatan kepada sahabat, dalam kedudukan mereka sebagai murid-murid Nabi dan orang-orang berjasa, dan demikian pula terhadap tabiin sebagai generasi peringkat kedua
khair al-qurun sebaik-baik generasi,
47
masih sangat berkesan dalam jiwa mereka. Dengan kata lain, pengakuan akan keistimewaan generasi terdahulu atas generasi berikut
masih cukup mantap.
Kesemua itu sedikit atau banyak berbeda dengan keadaan masa sesudahnya apalagi masa kini, sehingga menggunakan metode riwayat membutuhkan pengembangan, di samping
seleksi yang cukup ketat.
Pengembangan ini tentunya dengan menggunakan nalar dan dari penalaran lahir metode tafsir bi al-ray.
2. Metode Penalaran: Pendekatan dan Corak-coraknya
a. Metode Tahliliy
Banyak cara pendekatan dan corak tafsir yang mengandalkan nalar, sehingga akan sangat luas pembahasan apabila kita bermaksud menelusurinya satu demi satu. Untuk itu,
agaknya akan lebih mudah dan efisien, bila bertitik tolak dari pandangan Al-Farmawi yang membagi metode tafsir menjadi empat macam metode, yaitu tahliliy, ijmaliy,
muqaran dan mawdhuiy.
48
Terlepas dari catatan-catatan yang dikemukakan menyangkut istilah dan kategorisasinya.
Yang paling populer dari keempat metode yang disebutkan itu, adalah metode tahliliy, dan metode mawdhuiy. Metode tahliliy, atau yang dinamai oleh Baqir Al-Shadr sebagai
metode tajziiy,
49
adalah satu metode tafsir yang Mufasirnya berusaha menjelaskan
kandungan ayat-ayat Al-Quran dari berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat Al-Quran sebagaimana tercantum di dalam mushaf.
Segala segi yang dianggap perlu oleh seorang mufasir tajziiytahliliy diuraikan, bermula dari arti kosakata, asbab al-nuzul, munasabah, dan lain-lain yang berkaitan dengan teks
atau kandungan ayat. Metode ini, walaupun dinilai sangat luas, namun tidak menyelesaikan satu pokok bahasan, karena seringkali satu pokok bahasan diuraikan
sisinya atau kelanjutannya, pada ayat lain.
Pemikir Aljazair kontemporer, Malik bin Nabi, menilai bahwa upaya para ulama menafsirkan Al-Quran dengan metode tahliliy itu, tidak lain kecuali dalam rangka upaya
mereka meletakkan dasar-dasar rasional bagi pemahaman akan kemukjizatan Al-Quran.
50
Terlepas dari benar tidaknya pendapat Malik di atas, namun yang jelas, kemukjizatan Al- Quran tidak ditujukan kecuali kepada mereka yang tidak percaya. Ia tidak ditujukan
kepada umat Islam. Hal ini dapat dibuktikan dengan memperhatikan rumusan definisi mukjizat dimana terkandung di dalamnya unsur tahaddiy tantangan, sedangkan seorang
Muslim tidak perlu ditantang karena dengan keislamannya ia telah menerima. Bukti kedua dapat dilihat dari teks ayat-ayat yang berbicara tentang keluarbiasaan Al-Quran
yang selalu dimulai dengan kalimat Inkuntum fi raib atau Inkuntum shadiqin.
Kalau tujuan penggunaan metode tahliliy seperti yang diungkapkan Malik di atas, maka terlepas dari keberhasilan atau kegagalan mereka, yang jelas untuk masyarakat Muslim
dewasa ini, paling tidak persoalan tersebut bukan lagi merupakan persoalan yang mendesak. Karenanya, untuk masa kini, pengembangan metode penafsiran menjadi amat
dibutuhkan, apalagi jika kita sependapat dengan Baqir Al-Shadr --ulama Syiah Irak itu-- yang menilai bahwa metode tersebut telah menghasilkan pandangan-pandangan parsial
serta kontradiktif dalam kehidupan umat Islam.
51
Dapat ditambahkan bahwa para penafsir yang menggunakan metode itu tidak jarang hanya berusaha menemukan dalil atau lebih
tepat dalih pembenaran pendapatnya dengan ayat-ayat Al-Quran. Selain itu, terasa sekali bahwa metode ini tidak mampu memberi jawaban tuntas terhadap persoalan-persoalan
yang dihadapi sekaligus tidak banyak memberi pagar-pagar metodologis yang dapat mengurangi subjektivitas mufasirnya.
Kelemahan lain yang dirasakan dalam tafsir-tafsir yang menggunakan metode tahliliy dan yang masih perlu dicari penyebabnya --apakah pada diri kita atau metode mereka--
adalah bahwa bahasan-bahasannya dirasakan sebagai mengikat generasi berikut. Hal ini mungkin karena sifat penafsirannya amat teoretis, tidak sepenuhnya mengacu kepada
penafsiran persoalan-persoalan khusus yang mereka alami dalam masyarakat mereka, sehingga uraian yang bersifat teoretis dan umum itu mengesankan bahwa itulah
pandangan Al-Quran untuk setiap waktu dan tempat.
b. Metode Mawdhuiy