Hadis-hadis dan Pendapat-pendapat Sahabat

Kita tidak menolak bahwa para sahabat adalah murid-murid Nabi, tetapi tidak semua pendapat mereka bersumber dari Nabi. Ini terbukti dengan adanya perbedaan pendapat di antara mereka, bahkan di antara mereka ada yang keliru memahami arti ayat-ayat Al- Quran. Adi ibn Hatim, misalnya, memahami arti al-khaith al-abyadh min al-khaith al- aswad QS 2:187, dengan arti hakiki benang. 64 Kalau pendapat Al-Maududi tidak sepenuhnya diterima, maka demikian pula pendapat aliran lain semacam pandangan Muhammad Asad. Menurut Asad, kunci utama memahami Al-Quran adalah ayat ketujuh surah Ali Imran, Huwa alladzi anzala alaika al-kitab minhu ayat muhkamat hunna umm al-kitab wa ukharu mutasyabihat . Menurut Asad, ayat inilah yang menjadikan risalah Al-Quran mudah dicerna bagi mereka yang menggunakan pikirannya, karena al-mutasyabih adalah ayat-ayat yang menggunakan redaksi-redaksi majazi metaforis dan mempunyai makna-makna simbolis. Al-Quran -- katanya lebih jauh-- memiliki banyak ayat mutasyabih, sehingga bila redaksinya tidak dipahami secara metaforis, maka akan terjadi kekeliruan dalam memahami jiwa ajaran Al-Quran. 65 Tetapi, apakah benar dalam Al-Quran terdapat banyak ayat mutasyabih? Dan apakah mutasyabih dapat di-tawil-kan sebagaimana cara yang ditempuh itu, sehingga pada akhirnya hilanglah supra rasionalitas dalam ajaran agama mukjizat tidak menjadi mukjizat lagi, malaikat di-tawil-kan menjadi hukum alam atau bisikan hati nurani, dan sebagainya? Tidak, ini yang melampaui batas, tidak pula yang sebelumnya yang sangat terbatas, yang kita pahami sebagai tajdid atau modernisasi dalam bidang tafsir. Pandangan tentang Modernisasi Tafsir Berikut ini beberapa pokok pandangan yang dapat dijadikan pegangan dalam rangka tajdid atau modernisasi dalam bidang tafsir.

1. Hadis-hadis dan Pendapat-pendapat Sahabat

Seorang mufasir tidak dapat mengabaikan hadis-hadis Rasulullah dan pendapat sahabat. Penafsiran yang paling ideal adalah tafsir bi almatsur, yakni yang berlandaskan ayat, hadis, dan pendapat sahabat dalam menafsirkan Al-Quran. Hanya saja, ini bukan berarti bahwa penafsiran mereka tidak dapat dikembangkan maknanya. Penafsiran Nabi saw., demikian pula sahabat, dapat dibagi dalam dua kategori: 1 la majala li al-aql fihi masalah yang diungkapkan bukan dalam wilayah nalar, seperti masalah-masalah metafisika, perincian ibadah, dan sebagainya; dan 2 fi majal al-aql dalam wilayah nalar, seperti masalah-masalah kemasyarakatan. Yang pertama, apabila nilai riwayatnya sahih, diterima sebagaimana adanya tanpa pengembangan, karena sifatnya yang berada di luar jangkauan akal. Adapun yang kedua, walaupun harus diakui bahwa penafsiran Nabi saw. adalah benar adanya, namun penafsiran tersebut harus didudukkan pada proporsinya yang tepat. Ini karena sifat penafsiran beliau sangat bervariasi, baik dari segi motif penafsiran, yang dapat berbentuk tarif atau irsyad atau tashhih, dan sebagainya, maupun hubungan antara ayat yang ditafsirkan dengan penafsiran yang juga beraneka ragam. Hubungan itu terkadang berbentuk: a Hubungan padanan tathabuq, seperti penafsiran al-shalat al-wustha dengan shalat Ashar; b Hubungan kelaziman talazum seperti penafsiran uduni dalam QS 40:60 dengan beribadat; c Hubungan cakupan tadhamun, seperti penafsiran al-akhirat dalam QS 14:27 dengan kubur; d Hubungan percontohan tamtsil, seperti penafsiran al-maghdhub alayhim dalam surah Al-Fatihah dengan orang-orang Yahudi, dalam arti bahwa beliau menafsirkannya dengan orang Yahudi sebagai contoh yang beliau angkat dari masyarakat ketika itu, sehingga tidak menutup kemungkinan untuk diberikan penafsiran lain dalam bentuk contoh-contoh yang mungkin ditemukan dalam masyarakat-masyarakat lain. Di samping keragaman penafsiran seperti yang dikemukakan di atas, hadis-hadis Nabi pun dapat ditinjau dari berbagai segi, sejalan dengan kedudukan beliau ketika mengucapkan atau memperagakannya. Al-Qarafi 66 membagi sikap atau ucapan Nabi saw. dalam empat kategori, yaitu dalam kedudukan beliau sebagai: 1 Rasul; 2 Mufti; 3 Qadhi; dan 4 Imam pemimpin negara atau masyarakat. Pembagian di atas dapat ditambah dengan 5 sebagai pribadi. Hadis-hadis yang berkaitan dengan kedudukan beliau sebagai pemimpin masyarakat tentunya berkaitan dengan kondisi sosial masyarakat beliau, sehingga pemahamannya harus dikaitkan dengan kondisi sosial ketika itu. Adapun pendapat-pendapat sahabat, maka apabila permasalahan yang dikemukakannya termasuk fi ma la majal li al-aql fih bukan kalam wilayah nalar, maka ia fi hukm al- murfu bersumber dari Nabi saw. sehingga ia diterima sebagaimana adanya. Sedangkan bila sifatnya tidak demikian, maka ia hanya dipertimbangkan, dipilah, dan dipilih mana yang sesuai dan mana yang tidak.

2. Pembedaan antara yang Qathiy dan yang Zhanniy