Analisis Sosial 58
lokal dari daerah asal ke Jakarta, ter-masuk alokasi dari NTB.
Peternak dan para pedagang merupakan pihak yang sangat
dirugikan oleh masalah tersebut. Sejak tahun 1994, jatah alokasi
pengiriman sapi potong dari NTB terus menurun, begitu pula
dengan propinsi produsen sapi lainnya semisal Jawa Timur,
Sulawesi Selatan, dan NTT. Sebaliknya, jumlah sapi impor
yang masuk ke propinsi daerah konsumen semisal DKI Jakarta
meningkat cukup besar dari 25.092 ekor pada tahun 1994
menjadi 42.267 ekor pada tahun 1995,
sementara permintaan
sapi lokal menurun dari 246.145 ekor pada tahun 1994 menjadi
208.093 ekor pada tahun 1995.
Tabel 7 Jatah Alokasi Pengiriman Ternak Sapi Antarpulau dari Daerah
Produsen Utama, 1994-1995 dalam ekor
Daerah Produsen Utama Tahun
Jawa Timur Sulawesi
Selatan NTB
NTT
1994 196,000
40,000 27,000
63,000 1995
180,000 12,000
26,000 49,800
1996 165,000
19,000 23,500
59,000 1997
135,000 18,500
23,500 41,000
Sumber : SK Dirjen Peternakan, 1994-1997.
II. UU NO.201997: DAPATKAH MENINGKAKAN EFISIENSI
DAN EFEKTI-FITAS PELAKSANAAN PUNGUTAN
SERTA MENGURANGI EKONOMI BIAYA TINGGI ?
1. Dapatkah jenis pungutan
berkurang tanpa ada pe- rubahan peraturan lain
bagi peternak dan peda- gang dalam melakukan
usahanya? Walaupun jenis pos pungutan
mungkin akan berkurang dengan adanya UU No. 201997 juga
UU No.18 tahun 1997 mengenai PDRD, besar pungutan belum
tentu ber-kurang jika segala peraturan
yang biasanya
terdapat dan dikenakan kepada para peternak dan pedagang
dalam melakukan
usahanya, tidak diubah atau disesuaikan.
Per-aturan yang
dimaksud
BAHASAN UTAMA
Edisi 6November 1997 59
adalah peraturan yang bersifat non-pungutan, namun berpotensi
menimbulkan pungutan
ter- utama pungutan yang bersifat
ilegal. Beberapa contoh yang terdapat di daerah NTB adalah
regulasi tentang penentuan jatah alokasi pengiriman ternak ke luar
daerah,
keharusan untuk
menjual sapi di pasar ternak, dan kewajiban bagi peternak untuk
mengurus surat keterangan asal ternak di kantor kecamatan atau
kantor desa. 2.
Pengurangan jenis
pungutan dan jasa pe- layanan di sektor per-
tanian menurut UU No.20 th.1997 dan PP-nya
Untuk komoditas
pertanian tampak tidak banyak perubahan
dalam jumlah dan jenis pos pungutan yang dikenakan oleh
pemerintah pusat sebagaimana tercantum dalam PP No.22 tahun
1997. Hampir seluruh dari pos pungutan dan jasa pelayanan di
sektor
pertanian yang
ada sebelumnya masih tetap terdapat
walaupun telah diberlakukan UU No.20 tahun 1997 berikut PP-
nya. 3.
Sinkronisasi jenis pungut- an di sektor pertanian
antara UU No.20 tahun 1997 dan UU No. 18 tahun
1997
Sinkronisasi ini perlu untuk menghindari
tumpang tindih
antara pungutan
pemerintah daerah dan pungutan peme-
rintah pusat
yang dapat
merugikan kegiatan
usaha termasuk
usaha di
sektor pertanian. Pungutan berganda
harus dihilangkan
karena seringkali jenis pelayanan yang
diberikan oleh pemerintah pusat ternyata sama dengan pelayanan
yang diberikan
pemerintah daerah, walaupun secara harfiah
nama pungutan-nya berlainan. Walaupun PP telah keluar,
sebagian pos pungutan terutama pada sub-sektor perikanan dan
peternak-an
masih tumpang
tindih dengan pungutan yang ditetap-kan
oleh pemerintah
daerah. Oleh karena itu perlu diklarifi-kasi kembali, jenis pos
pungutan dan jasa pelayanan yang memang benar-benar layak
menjadi porsi pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Ada
baiknya jika pemerintah pusat hanya
mengelola pungut-an
pada kegiatan
usaha yang
memiliki ruang lingkup makro, berdampak ekonomi besar atau
mencakup kepentingan nasio- nal. Sementara pos pungutan
lainnya
harus diberikan
ke daerah
dalam rangka
me- nunjang
program otonomi
daerah.
4. Manfaat UU No.20 tahun
1997 dan UU No.18 tahun 1997
bagi peningkatan
daya saing
komoditas hasil sektor pertanian