Nilai nominal pungutan resmi untuk setiap pos

Analisis Sosial 56 Rp ekor Rp ekor pelaku usaha tk. peternak pdg. antarpulau 1. Lombok Barat a. Peternak b. Pedagang lkl. c. Pdg. antarpulau d. Total 7500 3000 70439 83939 1279314 1303903 1488375 0.59 0.23 4.73 6.6 5.6 2. Bima a. Peternak b. Pedagang lokal c. Pdg. antarpulau d. Total 7500 84252 91752 819167 840000 1133009 0.92 0.00 7.44 11,2 8.1 3. Rata-rata 87846 8.4 6.7 Keterangan : Berat rata-rata sapi di Lobar 364 kgekor dan Bima 277 kgekor Sumber : Survei CPIS, 1997

12. Pungutan yang dikenakan pada

komoditas sapi potong menyebabkan distorsi harga yang cukup besar Sebenarnya, distorsi pada harga pasar sapi potong terjadi bukan hanya karena adanya pungutan melainkan juga karena regulasi yang bersifat nonpungutan semisal restribusi dalam perdagangan sapi potong antarpulau. Namun dampak dari jenis regulasi ini terhadap pembentukan harga pasar relatif lebih sulit diukur dibanding regulasi yang berbentuk pungutan. Tabel 5 menunjukkan tingkat distorsi harga pada komoditas sapi potong menurut kabupaten asal dan pelaku usaha. Pada tabel tersebut tampak bahwa tingkat distorsi harga sapi potong yang berasal dari kabupaten Bima lebih besar dari tingkat distorsi yang terjadi pada sapi dari Lombok Barat. Tingkat distorsi berkisar antara 0,2-4,7 di Lombok Barat dan 0-7,4 di Bima, bervariasi menurut tingkat pelaku usaha peternak, pedagang lokal, dan pedagang antarpulau. Jika dibandingkan dengan harga yang diterima peternak, maka tingkat distorsi harga sapi potong mencapai 6,6 untuk sapi yang berasal dari Lombok Barat dan 11,2 untuk sapi dari Bima. Sedang-kan jika dibandingkan dengan harga jual pedagang antarpulau pedagang akhir pada daerah produsen, tingkat distorsi harganya sebesar 5,6 dan 8,1, masing-masing untuk sapi yang berasal dari Lombok Barat dan Bima.

13. Besar

pungutan yang dikenakan pada komo- ditas sapi potong men- capai 50,2 dari total biaya pemasaran Jumlah seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memasarkan satu ekor sapi sejak dari tangan peternak di daerah asal Kab.Bima sampai ke tangan BAHASAN UTAMA Edisi 6November 1997 57 pedagang besar penampung di DKI Jakarta Cakung rata-rata mencapai Rp175.016 per ekor tabel 6. Dari seluruh biaya tersebut, 50,2 dihabiskan untuk membayar pungutan, baik pungutan legal maupun ilegal. Jelas bahwa pungutan sangat berpengaruh terhadap harga jual juga terhadap pendapatan usaha peternak dan pedagang. Jika biaya ini dapat dikurangi, maka daya saing sapi lokal terhadap sapi impor dipastikan akan meningkat. Tabel 6. Kontribusi Biaya Pungutan terhadap Total Biaya Pemasaran Sapi Potong yang Diperdagangkan dari NTB ke Daerah Konsumen DKI Jakarta Kabupaten Jumlah Komponen Biaya Rpekor Biaya Asal Ternak Pos Biaya Biaya Total Pungutan Pungutan Pemasaran Pungutan thd. Total Lombok Barat Bima 24 24 82483 91858 83936 91752 166422 183610 50.4 50.0 Rata-rata 24 87171 87845 175016 50.2 Sumber : Survei CPIS, 1997

14. Rendahnya daya saing sapi lokal terhadap sapi

impor sebagai akibat dari tingginya pungutan dapat mematikan usaha kecil ternak sapi potong Di pelabuhan tujuan yaitu di Jakarta, yang merupakan daerah konsumen terbesar daging sapi di Indonesia sekaligus merupakan propinsi tujuan akhir sapi potong dari NTB, sapi potong asal lokal bersaing dengan sapi asal impor. Hal ini sebenarnya tidak akan terjadi jika para importir ternak sapi potong konsisten dengan tujuannya bahwa sapi impor tersebut adalah untuk penggemukan. Namun yang terjadi adalah bahwa sebagian sapi impor dijual untuk dipotong sehingga suplai di daerah konsumen meningkat. Akibatnya, permintaan ter-hadap sapi lokal, yang harga-nya relatif lebih mahal, dibanding sapi impor menjadi berkurang. Bahkan sapi impor yang masuk ke pasar Jakarta meningkat. Tingginya pungut-an tampaknya sangat ber-pengaruh terhadap rendahnya daya saing sapi lokal terhadap sapi impor dan pada akhirnya hal tersebut menyebabkan menurunnya alokasi jatah pengiriman sapi