Jumlah yang aktual di- bayarkan untuk pungutan

Analisis Sosial 52 c. Rata-rata 19189 87845 68656 Sumber : Survey CPIS, 1997

6. Sebagian besar dari nilai

pungutan yang dikenakan pada komoditas sapi potong dibayar oleh pedagang Dalam nilai aktual, besar pungutan yang dibayarkan pedagang lokal dan antar-pulau mencapai hampir 90 dari total nilai pungutan yang dibayarkan seluruh pelaku usaha komoditas sapi potong di NTB. Hal ini berbeda dengan distribusi pungutan jika dilihat dari tarif normatifnya. Tabel 4 menunjukkan bahwa distribusi pungutan normatif pada peternak, pedagang lokal dan pedagang antarpulau masing- masing sebesar 35, 9 dan 57. Perbedaan ini disebabkan oleh adanya pungutan ilegal dan tidak adanya pembayaran pungutan resmi oleh peternak untuk kartu pemilikan ternak dan biaya APPKD di tingkat desa. 7. Pungutan ilegal relatif lebih banyak terjadi pada simpul- simpul tata niaga daripada di usaha peternakan. Akibatnya, akan menekan harga jual di tingkat peternak Pungutan illegal pada usaha sapi potong lebih banyak dikenakan kepada pedagang daripada peternak Tabel 4. Hal ini terjadi karena pedagang melakukan fungsi tata niaga yang lebih banyak dibanding peternak juga karena sebagian besar lokasi pungutan berada di jalan, pasar, atau lokasi publik lainnya yang biasa digunakan sebagai area transaksi, pemeriksaan produk, dan bongkar muat oleh para pedagang semisal pos check point, pelabuhan, dan terminal. Pungutan illegal ini jumlahnya bisa sangat besar dan melebihi jumlah pungutan resmi, terutama pada komoditas yang bernilai jual tinggi. Kasus pada komoditas sapi di NTB cukup untuk meyakinkan betapa pungutan illegal dapat merugi-kan usaha di sektor pertanian. Para pedagang sapi potong antarpulau di NTB terpaksa mengeluarkan biaya Rp4.100 kor untuk membayar semua pungutan ilegal selama sapi berada di karantina dan di pelabuhan. Sementara peter-nak dan pedagang lokal mengeluh karena harus membayar Rp5.000-7.500ekor untuk pungutan tidak resmi di pasar ternak dan sejumlah pungutan di tingkat desa kecamatan yang mereka sendiri tidak tahu digunakan untuk apa. Contoh kasus lain terjadi di Sulawesi Selatan. Untuk membawa sapi dalam satu truk dari daerah produsen Kab.Bone ke daerah BAHASAN UTAMA Edisi 6November 1997 53 tujuan Ujung-pandang, pedagang antar-daerah harus berhenti di 21 ³SRV´ SXQJXWDQ WLGDN UHVPL seringkali tidak dalam bentuk pos yang sebenarnya dan biaya harus dikeluarkan rata-rata Rp6.150ekor sapi. Tabel 4 Besar Pungutan Resmi dan Ilegal yang Dikenakan pada Tiap Pelaku Usaha Komoditas Sapi Potong di NTB Pelaku Besar Pungutan Besar Pungutan Aktual Rpekor Usaha Normatif Pungutan Resmi Pungutan Ilegal Total Peternak Pedagang lokal Pedagang antarpulau 7000 1750 10439 1500 21744 7500 57101 7500 8,5 1500 1,7 78845 89,8 Total 19189 23244 64601 87845 100 Keterangan : termasuk pungutan di propinsi lain Sumber : Survei CPIS, 1997

8. Pembayaran pungutan

ilegal oleh pedagang merupakan upaya untuk menghindari kerugian bisnis yang lebih besar Situasi buruk yang sering terjadi adalah menggejalanya pungutan ilegal yang menyertai pungutan resmi. Gejala ini tampak jelas pada pelaksanaan karantina hewan di Pusat Karantina Hewan, sebelum ternak diantarpulaukan ke luar daerah. Walaupun tidak dipungut secara terang-terangan, pungutan seperti ini secara otomatis akan dibayar oleh para pedagang antarpulau demi kelancaran proses karantina komoditas dagangan-nya dan mengurangi risiko kerugian usahanya. Menurut mereka, risiko pada usaha perdagangan komoditas sapi potong cukup besar yaitu mulai dari pemeliharaan di tingkat peternak sampai pada saat pengapalan untuk di antar- pulaukan. Risiko yang paling sering terjadi adalah turunnya bobot sapi selama di perjalanan dan selama berada di karantina. Waktu yang dihabiskan untuk kedua kegiatan tersebut sekitar 4-5 hari dan selama periode tersebut bobot sapi dapat berkurang antara 8-12. Untuk mengurangi risiko ter- sebut, para pedagang berusaha memperpendek waktu yang dihabiskan di karantina, sekaligus untuk menghindari ketinggalan jadwal pengapalan sapi ke luar propinsi.