Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
Muhammad Alfi Syahrin, 2015 STUDY ETHNOMATHEMATICS PADA KALENDER ABOGE ALIF, REBO, WAGE SEBAGAI PENENTU
WAKTU HARI
– HARI BESAR ISLAM DAN UPACARA ADAT DI KERATON KASEPUHAN CIREBON
Universitas Pendidikan Indonesia |
repository.upi.edu |
perpustakaan.upi.edu
sukar dipahami ”. Dampak buruk dari hal itu adalah motivasi belajar siswa menurun
khususnya di bidang matematika. Pandangan siswa tentang matematika tersebut bisa muncul juga karena
pengaruh dari guru dalam pembelajaran. Sumardyono 2004, hlm. 1 menyebutkan bahwa
“
banyak penelitian yang menunjukkan bahwa persepsi atau sikap guru terhadap matematika mempengaruhi persepsi atau sikapnya terhadap pembelajaran
matematika ”. Jadi ketika guru dalam membelajarkan matematika tidak mendoktrin
siswa untuk menghafal kumpulan rumus, tidak sebatas proses berpikir maka sikap yang samalah yang akan ditunjukkan oleh siswa, begitupun sebaliknya. Dengan pemahaman
guru yang baik dalam pembelajaran matematika maka akan terselenggara pembelajaran yang baik.
Munculnya paradigma masyarakat tentang tidak ada kaitannya antara matematika dan kebudayaan merupakan bentuk dari pandangan bahwa matematika
tidak ada kaitannya dengan kehidupan sehari – hari. Turmudi dalam Ulum, 2013,
hlm. 2 menyebut bahwa “paradigma tersebut sebagai paradigma absolut dalam
memandang matematika. Paradigma absolut ialah paradigma yang memandang bahwa matematika adalah ilmu pengetahuan yang sempurna dan kebenaran yang
objektif, jauh dari urusan kehidupan manusia. Paradigma tersebut muncul dan berkembang lebih dari 2000 tahun
”. Matematika secara tidak langsung sejatinya telah berada dalam kehidupan
manusia sejak dulu. Disadari ataupun tidak manusia telah banyak menggunakan matematika untuk menyelesaikan permasalahannya. Dalam kehidupan sehari
– hari matematika hadir dalam kegiatan kebudayaan yang dilakukan tiap etnik manusia,
maka tidak dapat dipungkiri akan ada ide – ide matematis yang terkandung dalam
kebudayaan tersebut. Menurut Turmudi 2012, konteks matematika dalam kehidupan sehari
– hari yang berkaitan dengan sifat
– sifat utama dan pengetahuan antara lain: 1
Matematika sebagai objek yang ditemukan dan diciptakan manusia. 2
Matematika itu diciptakan bukan jatuh dengan sendirinya, namun muncul dari aktivitas yang objeknya telah tersedia, serta dari keperluan sains dan
kehidupan keseharian.
Muhammad Alfi Syahrin, 2015 STUDY ETHNOMATHEMATICS PADA KALENDER ABOGE ALIF, REBO, WAGE SEBAGAI PENENTU
WAKTU HARI
– HARI BESAR ISLAM DAN UPACARA ADAT DI KERATON KASEPUHAN CIREBON
Universitas Pendidikan Indonesia |
repository.upi.edu |
perpustakaan.upi.edu
3 Sekali diciptakan objek matematika memiliki sifat-sifat yang ditentukan
secara baik. Kalimat pada poin 2 membuktikan bahwa adanya keterkaitan antara matematika
dan aktivitas kesehairan atau kebudayaan. Sejalan dengan pendapat sebelumnya, deskripsi matematika dalam Buku
Panduan Lawrence University menyebutkan bahwa: Lahir dari dorongan primitif manusia untuk menyelidiki keteraturan
dalam alam semesta, matematika merupakan suatu bahasa yang terus menerus berkembang untuk mempelajari struktur dan pola. Berakar dalam
dan dipengaruhi oleh realitas dunia, serta didorong oleh keingintahuan intelektual manusiawi, matematika menjulang tinggi menggapai alam
abstraksi dan generalitas, tempat terungkapnya hubungan-hubungan dan pola-pola yang tak terduga, menakjubkan sekaligus amat bermanfaat bagi
kehidupan manusia. Matematika adalah rumah alami baik bagi pemikiran- pemikiran yang abstrak maupun bagi hukum-hukum alam semesta yang
konkret. Matematika sekaligus merupakan logika yang murni dan seni yang kreatif Sumardyono, 2004, hlm. 29.
Para ahli mulai memunculkan gagasan – gagasannya tentang kaitan erat
antara kebudayaan masyarakat dengan matematika. Hadi dalam Karnilah, 2013, hlm. 3 menjelaskan bahwa “matematika adalah kegiatan manusia. Matematika
dikembangkan melalui penjelajahan berbagai persoalan dunia nyata. Dunia nyata diartikan sebagai segala sesuatu yang berada di luar matematika, seperti kehidupan
sehari-hari, lingkungan sekitar, bahkan mata pelajaran lain. Dunia nyata digunakan sebagai titik awal pembelajaran
”. Sedangkan menurut Clements 1996, hlm. 824 “belajar dan pembelajaran matematika, termasuk semua bentuk-bentuk pendidikan
matematika, mau tidak mau akan dikelilingi oleh permasalahan yang terkait dengan budaya.
” Jadi kesimpulannya, paradigma yang mengatakan bahwa matematika tidak ada kaitannya dengan kebudayaan adalah tidak benar.
“Mathematics is a social and cultural product” Alangui, 2010, hlm. 1.
Ide - ide matematis dalam kebudayaan masyarakat telah menarik perhatian para ahli matematika karena dipandang merupakan hal yang penting dalam
pembelajaran. Paradigma yang mengatakan bahwa matematika sama sekali tidak ada kaitannya dengan kebudayaan dan kegiatan masyarakat mulai terkikis. Semakin
banyak para peneliti yang mulai mengkaji tentang interaksi matematis dalam
Muhammad Alfi Syahrin, 2015 STUDY ETHNOMATHEMATICS PADA KALENDER ABOGE ALIF, REBO, WAGE SEBAGAI PENENTU
WAKTU HARI
– HARI BESAR ISLAM DAN UPACARA ADAT DI KERATON KASEPUHAN CIREBON
Universitas Pendidikan Indonesia |
repository.upi.edu |
perpustakaan.upi.edu
kebudayaan masyarakat. Muncul berbagai studi yang dilakukan untuk mencari interaksi
– interaksi tersebut yang dikenal dengan ethnomathematics. Pada tahun 1984 ethnomathematics dipelopori oleh tokoh bernama
D’Ambrosio. D’Ambrosio 2001a, hlm. 1 menjelaskan “ide dari ethnomathematics muncul sebagai pandangan yang lebih luas tentang bagaimana matematika
berhubungan dengan dunia nyata. Matematika merupakan instrumen intelektual yang dibuat oleh manusia untuk menjelaskan dunia nyata dan untuk membantu
memecahkan masalah yang terkait dengan kehidupan sehari- hari.” Barton 1996,
hlm. 196 dalam tesisnya menyebutkan bahwa “Ethnomathematics is a field of study which examines the way people from other culture understand, articulate and
use concepts and practices which are from their culture and which the researcher describe as mathematical
”. Bahwa ethnomathematics adalah suatu kajian lapangan yang meneliti cara masyarakat memahami kebudayaan, mengekspresikan, dan
menggunakan konsep serta praktik yang berasal dari kebudayaan mereka yang oleh para peneliti dideskripsikan sebagai sesuatu yang matematis.
D’ambrosio 2001b, hlm. 17 menjelaskan berbagai macam dimensi dari kajian ethnomathematics: yakni:
1. Dimensi konseptual. Ethnomathematics merupakan program penelitian
tentang sejarah dan filsofi dari matematika, dengan implikasi yang jelas terhadap pembelajaran.
2. Dimensi sejarah. Bergantung pada sejarah interpretasi dari pengetahuan
tentang Mesir, Babilonia, dan lain – lain , yang merupakan asal dari
pengetahuan modern. 3.
Dimensi kognitif. Ide-ide matematika khususnya seperti membandingkan, mengelompokkan, mengukur, menjelaskan, generalisasi, menyimpulkan,
dan mengarah ke mana, mengevaluasi, adalah bentuk-bentuk pemikiran sekarang yang muncul di seluruh spesies manusia.
4. Dimensi tantangan kehidupan sehari – hari. Budaya, yang merupakan
bentuk perilaku yang sesuai dan pengetahuan bersama, termasuk nilai- nilai.
Muhammad Alfi Syahrin, 2015 STUDY ETHNOMATHEMATICS PADA KALENDER ABOGE ALIF, REBO, WAGE SEBAGAI PENENTU
WAKTU HARI
– HARI BESAR ISLAM DAN UPACARA ADAT DI KERATON KASEPUHAN CIREBON
Universitas Pendidikan Indonesia |
repository.upi.edu |
perpustakaan.upi.edu
5. Dimensi epistimologi. Berfokus pada pengetahuan yang sudah ditetapkan,
sesuai dengan paradigma yang diterima dari waktu dan saat itu. 6.
Dimensi politik. Ethnomathematics cocok dengan refleksi tentang de- kolonisasi dan mencari kemungkinan nyata akses untuk subordinasi, yang
terpinggirkan, dan terbuang, atau dikecualikan. 7.
Dimensi pendidikan. D’Ambrosio melihat ethnomathematics sebagai jalan untuk renovasi pendidikan, mampu menyiapkan generasi mendatang
untuk membangun peradaban yang lebih bahagia. Matematika erat kaitan dengan kebudayaan, sedangkan masing
– masing kebudayaan dari sekelompok masyarakat cenderung unik, artinya mempunyai
keragaman masing – masing. Tidak menutup kemungkinan sama halnya dengan
konsep matematika yang terkandung didalamnya. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang kaitan matematika dan budaya.
Penelitian ethnomathematics di Departemen Pendidikan Matematatika UPI telah memasuki tahun ke
– 3. Tahun pertama di Kampung Baduy Banten dan tahun kedua di Kampung Naga Kabupaten Tasikmalaya dan Kampung kuta di Kabupaten
Ciamis Jawa Barat. Ketiga lokasi tersebut notabene penduduknya merupakan suku sunda, maka untuk tahun ketiga ini peneliti tertarik melakukan peneltitan
ethnomathematics di daerah suku Jawa. Keraton Kasepuhan Cirebon yang merupakan keraton Jawa menjadi tempat observasi penelitian ethnomathematics
kali ini. Peneliti melakukan pengamatan pendahuluan di Keraton Kasepuhan Cirebon. Pengamatan dilakukan tanggal 15 Januari 2015. Peneliti melukan survey
lapangan terlebih dahulu untuk membuka kemungkinan melaksanakan penelitian di Keraton Kasepuhan Cirebon. Peneliti kemudian berbincang dengan salah
seorang abdi dalem keraton, hasil perbincangan mengisyaratkan kemungkinan untuk melakukan penelitian di Keraton Kasepuhan Cirebon, penelitian terkait
dengan sistem penanggalan yang digunakan di Keraton Kasepuhan Cirebon sebagai penentu hari
– hari besar keislaman dan upacara keraton. Sistem penanggalan di Keraton Kasepuhan Cirebon menggunakan kalender Aboge Alif, Rebo, Wage
yang merupakan salah satu kalender jawa islam dan juga kebudayaan di keraton Kasepuhan Cirebon digunakan untuk menentukan waktu hari
– hari besar islam dan
Muhammad Alfi Syahrin, 2015 STUDY ETHNOMATHEMATICS PADA KALENDER ABOGE ALIF, REBO, WAGE SEBAGAI PENENTU
WAKTU HARI
– HARI BESAR ISLAM DAN UPACARA ADAT DI KERATON KASEPUHAN CIREBON
Universitas Pendidikan Indonesia |
repository.upi.edu |
perpustakaan.upi.edu
upacara adat keraton memiliki perbedaan hitungan dengan kalender masehi dan hijriyah. Ini merupakan modal awal untuk dilaksanakannya penelitian di Keraton
Kasepuhan Cirebon. Salah satu fokus penelitian ethnomathematics yakni unsur traditional. Gerdes
1996, hlm. 14 menyebutkan bahwa “Uncovering latent mathematical content
‘hidden’ or ‘frozen’”. Konten matematika tersembunyi ini bisa berupa artefak tradisional. traditional artefak memiliki cakupan luas meliputi kebudayaan,
penanggalan dan lain - lain. D’Ambrosio 2001b, hlm. 12 “the construction of
calendars, i.e. the counting and recording of time, is an excellent example of ethnomathematics
”. Sistem penanggalan merupakan potensi pokok permasalahan yang dapat digali untuk menemukan konsep matematika yang terdapat di dalamnya.
Dikarenakan terbukanya peluang untuk melakukan penelitian tentang sistem penanggalan yang digunakan di Keraton Kasepuhan Cirebon dan berdasarkan latar
belakang di atas maka penulis tertarik untuk melakukan study ethnomathematics dengan judul “Study Ethnomathematics Pada Kalender Aboge Alif, Rebo, Wage
Sebagai Penentu Waktu Hari – Hari Besar Islam Dan Upacara Adat Di Keraton
Kasepuhan Cirebon ”.