BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Hak – hak asasi manusia HAM adalah hak – hak dasar atau hak – hak pokok yang dibawa manusia sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Hak – hak
asasi ini menjadi dasar dari hak – hak dan kewajiban – kewajiban yang lain.
1
Yang seharusnya melindungi HAM sepenuhnya adalah negara, dalam hal ini adalah
pemerintah. Dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, maka kita akan melihat penjelasan dalam komentar umum menyatakan bahwa perwujudan HAM sepenuhnya
adalah kewajiban negara. Negara harus menjalankan kewajiban pemenuhan HAM dalam bentuk antara lain penghormatan to respect, melindungi to protect, dan
memenuhi to fullfil.
2
Semua aturan dan ketentuan mengenai HAM pada akhirnya selalu mengacu pada Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Salah seorang penggagas Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia asal Lebanon, Rene Cassin, menyatakan bahwa isi Deklarasi tersebut sebetulnya bisa dibagi menjadi lima hal, yaitu hak sipil Pasal 1-11,
hak sosial Pasal 12-17, hak politik Pasal 18-21, hak ekonomi dan budaya Pasal 22- 27, serta tanggungjawab negara Pasal 28-30. Rene Cassin juga menyatakan bahwa
ada beberapa kata kunci yang memayungi pasal-pasal dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, yaitu “biarkan saya menjadi diri saya sendiri” untuk pasal hak sipil,
Hak asasi manusia pada dasarnya ada sejak manusia dilahirkan, karena hak tersebut melekat sejak keberadaan manusia itu sendiri. Akan tetapi,
persoalan hak asasi baru mendapat perhatian ketika mengimplementasikannya dalam kehidupan bersama manusia. Ia mulai menjadi perhatian manakala ada hubungan dan
ketertarikan antara individu dan masyarakat.
1
Zaenuddin HM, Sekitar Hak Asasi Manusia Dewasa Ini, Jakarta ;Raja Grafindo Persada, 2001, hlm. 11.
2
Yosep Adi Prasetyo, Hak – Hak Sipil dan Politik, Yogyakarta : PUSHAM UII, 2010, hlm. 3.
Universitas Sumatera Utara
“jangan campuri urusan kami” untuk pasal hak sosial, “biarkan kami turut berpartisipasi” untuk pasal hak politik, “beri kami mata pencaharian” untuk pasal hak
ekonomi dan budaya.
3
Hak sipil dan politik merupakan salah satu hak dasar warga negara dalam sebuah negara yang menganut paham demokrasi. Demokrasi yang bertumpu pada kedaulatan
warga, dengan alasan apapun tidak bisa menghilangkan hak sipil dan politik warga negara. Apalagi bersangkutan dengan persoalan mekanisme atau prosedur demokrasi.
Selain itu, hak sipil dan politik warga negara merupakan bagian hak konstitusi yang harus di laksanakan, tanpa kecuali. Hak-hak sipil dan politik adalah hak yang bersumber
dari martabat dan melekat pada setiap manusia yang dijamin dan dihormati keberadaannya oleh negara agar manusia bebas menikmati hak-hak dan kebebasannya
dalam bidang politik yang pemenuhannya menjadi tanggung jawab negara. Hak sipil dan politik merupakan hak yang dimiliki warga negara ketika berhadapan dengan
entitas negara yang memiliki kedaulatan. Hak – hak yang dimiliki warga negara sebagai warga sipil dalam sebuah negara, dan juga hak politik warga, yang memiliki kedudukan
yang sama dalam pandangan negara, tidak ada diskriminasi dan sebagainya dalam kedudukannya sebagai warga negara maupun sebagai subjek hukum. Vierdag
mengkategorikan hak sipil politik ini sebagai hak negative negative right, karena untuk merealisasikannya negara harus diam, tidak melakukan tindakan pasif, sehingga
perumusannya menggunakan freedom from bebas dari.
4
Hak sipil dan politik yang paling mendasar adalah hak kebebasan untuk berpikir dan berkeyakinan, tanpa adanya intervensi dari siapapun, sekalipun itu otoritas negara.
Maka inilah yang disebut sebagai freedom of religion and believe hak kebebasan atas agama dan kepercayaan. Terkait pula dengan hak-hak sipil dan politik adalah hak
untuk diperlakukan sama di depan hukum, dan hak untuk tidak dibunuh atau disiksa. Ini disebut pula sebagai hak dasar, atau non-derogable rights yang artinya hak-hak dasar
3
Yosep Adi Prasetyo, op.cit.; hlm. 3.
4
Mahrus Ali dan Syarif Nurhidayat, Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat : In Court System and Out Court System; Jakarta, Gramata Publishing; 2011, hlm. 9.
Universitas Sumatera Utara
manusia yang tidak bisa ditunda dan tidak bisa dicabut dalam situasi apapun.
5
Hak sipil dan politik dikemukakan dalam kovenan internasional pada tahun 1966 oleh PBB yaitu International Covenant on Civil and Political Rights – ICCPR
Kovenan Internasional tentang Hak – hak Sipil dan Politik. Kovenan tersebut kemudian diratifikasi oleh Indonesia dan dituangkan dalam Undang – Undang Nomor
12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights Kovenan Internasional tentang Hak – Hak Sipil dan Politik. Kovenan ini
mengukuhkan pokok-pokok hak asasi manusia di bidang sipil dan politik yang tercantum dalam Universal Declaration of Human Rights sehingga menjadi ketentuan-
ketentuan yang mengikat secara hukum. Kovenan tersebut terdiri dari pembukaan dan pasal-pasal yang mencakup 6 bab dan 53 pasal. Kovenan ini merupakan hasil tarik
menarik antara kepentingan Blok Timur dan Blok Barat pasca perang dingin. Blok Timur yang didukung oleh negara – negara berkembang menginginkan kovenan hak
sipil politik digabung dengan hak ekonomi sosial dan budaya, karena hak ekonomi sosial budaya merupakan hak yang tidak dapat dipisahkan dengan kepentingan manusia
akan sebuah kebebasan, namun Blok Barat menolak, sehingga terjadilah pemisahan kovenan hak sipil politik dan kovenan tentang hak ekonomi sosial dan budaya.
Baik itu dalam keadaan perang, maupun dalam situasi darurat, negara harus tetap
melindunginya.
6
Dalam hak - hak sipil dan politik, ada batas antara hak - hak yang tak dapat ditangguhkan non - derogable rights dengan hak - hak yang dapat ditangguhkan. Yang
termasuk dalam kategori hak - hak yang tidak dapat ditangguhkan adalah hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk tidak diperbudak, hak atas kebebasan berpikir
dan beragama serta berkeyakinan, hak untuk diperlakukan sama di muka hukum, hak untuk tidak dipenjara karena kegagalan memenuhi kewajiban kontraktual, serta hak
5
M. Lutfi Chakim. 2011, Ruang Lingkup Hak Sipil Dan Politik Dalam Konstitusi, ICCPR, DUHAM Dan UU No 39 Tahun 1999 Tentang HAM
http:lutfichakim.blogspot.com201108ruang-lingkup-hak-sipil- dan-politik.html diakses pada 10 April 2013 pukul 17.00 Wib
6
Mahrus Ali dan Syarif Nurhidayat, op.cit; hlm 9.
Universitas Sumatera Utara
untuk tidak dipidana berdasarkan hukum yang berlaku surut retroactive.
7
Namun dalam perjalanannya, banyaknya pelanggaran hak-hak sipil di Indonesia, baik dilakukan oleh Pemerintah, aparat keamanan maupun oleh masyarakat. Namun ada
kecenderungan pihak Pemerintah lebih dominan, karena sebagai pemegang kekuasaan dapat secara leluasa untuk memenuhi kepentingan yang seringkali dilakukan dengan
cara-cara manipulasi sehingga mengorbankan hak-hak pihak lain. Salah satunya adalah kasus penghilangan secara paksa 23 aktivis pro demokrasi periode 1997 – 1998. Kasus
ini yang akan peneliti angkat dalam penelitian ini. Adapun alasan peneliti mengangkat kasus ini dikarenakan kasus penculikan yang menimpa para aktivis pemuda dan
mahasiswa yang ingin menegakkan keadilan dan demokrasi di masa pemerintahan Orde Baru, dimana mereka yang kritis dalam menyikapi kebijakan pemerintah dianggap
sebagai kelompok yang membahayakan dan merongrong negara. Gagasan-gagasan dan pemikiran mereka dipandang sebagai ancaman yang dapat menghambat jalannya roda
Negara tak boleh melakukan intervensi dalam rangka menghormati hak – hak setiap orang,
terutama hak – hak yang tak dapat ditangguhkan. Karena campur tangan negara justru mengakibatkan terjadinya pelanggaran atas hak – hak individukelompok.
Hak sipil dan politik membuka jalan bagi terpenuhinya empat kebebasan dasar yang mencakup hak atas kebebasan berekspresi dan berkomunikasi, hak atas kebebasan
berkumpul, hak atas kebebasan berorganisasi, dan hak untuk turut serta dalam pemerintahan. Saat ini rakyat Indonesia telah menikmati juga kebebasan hak sipil
politik. Rakyat tidak hanya bebas mendirikan partai-partai politik sebagai wahana untuk memperjuangkan aspirasi politiknya. Rakyat bebas pula untuk mendirikan perkumpulan
masyarakat adat, dan lain sebagainya. Perwujudan hak atas kebebasan berorganisasi ini sangat vital bagi upaya rakyat untuk memperjuangkan kepentingan bersama. Selain itu,
tumbuhnya organisasi-organisasi rakyat dari bawah ini akan memperkuat masyarakat sipil yang diperlukan bagi berlangsungnya sistem politik dan pemerintahan yang
demokratis.
7
Yosep Adi Prasetyo, op.cit.; hlm 3
Universitas Sumatera Utara
pemerintahan, aktivitas politik yang mereka jalankan dianggap mampu membangkitkan pemikiran dan memprovokasi masyarakat untuk bangkit dan melawan pemerintahan
pada masa itu. Dua puluh tiga aktivis tersebut melakukan pergerakan di bidangnya masing – masing memantau dan mengkritik setiap kebijakan pemerintah dan perlahan
dianggap memprovokasi masyarakat. Peneliti ingin mengangkat kasus ini untuk melihat sejauh mana masa Orde Baru mampu mengekang kebebasan berpolitik masyarakat,
dimana 23 aktivis yang mengalami penghilangan secara paksa tersebut adalah aktivis yang sangat keras menyuarakan perlawanan terhadap pemerintah pada saat itu.
Sementara pada saat itu, demokrasi belum sepenuhnya dijalankan, corong kebijakan berpusat hanya pada penguasa, oposisi dan siapa saja yang menganggu jalannya
kestabilan politik negara akan disingkirkan. Penculikan Pius Lustrilanang, Desmon J Mahesa, Haryanto Taslam, Mugiyanto,
Aan Rusdianto, Faisal Reza, Rahardja W Jati dan Nezar Patria mendorong gerakan masyarakat sipil untuk mendesak pertanggungjawaban militer yang dianggap pelaku.
Satu persatu korban dikembalikan, namun hingga 2004 masih ada 13 orang yang masih hilang, yaitu Suyat, Yani Afri, Sonny, Noval Alkatiri, Dedy Hamdun, Ismail, Bimo
Petrus, Abdun Naser, Hendra Hambali, Ucok Siahaan, Yadin Muhidin dan Wiji Thukul. Dimana dalam kronologis kejadiannya ada 23 aktivis pro demokrasi yang hilang, dan
dalam perkembangannya ada 9 orang yang dikembalikan dan 1 orang yang meninggal, sedangkan 13 orang sisanya masih belum ditemukan hingga saat ini.
8
Sembilan aktivis yang dikembalikan tersebut, antara lain : Satu orang yang
meninggal tersebut bernama Leonardus Nugroho, atau biasa dipanggil Gilang, seorang aktivis di Solo, yang hilang dan ditemukan meninggal pada 23 Mei 1998 di Magetan.
9
No Nama Korban
Tanggal Hilang
Keterangan
1 Aan Rusdiyanto
13 Maret 1998 Diambil paksa dirumah susun
klender Jakarta Timur 2
Andi Arief 28 Maret 1998
Diambil paksa di Lampung
8
KontraS, 2010, “Kertas Posisi Singkat Penculikan 1998 – 2009” Divisi Pemantauan Impunitas dan Pemenuhan Hak Korban Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan KontraS, hlm. 1
9 KontraS, “Kronik Kasus Penculikan dan Penghilangan Paksa Aktivis 1997 – 1998”, op.cit; hlm. 2.
Universitas Sumatera Utara
No Nama Korban
Tanggal Hilang
Keterangan
3 Desmon J Mahesa
4 Februari 1998 Diambil paksa di Jakarta 4
Faisol Reza 12 Maret 1998
Dikejar dan ditangkap di RS Ciptomangunkusumo Jakarta Pusat
5 Haryanto Taslam
2 Maret 1998 Saat mengendarai mobil dikejar dan
diambil paksa di depan pintu Taman Mini Indonesia Indah
6 Mugiyanto
13 Maret 1998 Diambil paksa dirumah susun
Klender Jakarta Timur 7
Nezar Patria 13 Maret 1998
Diambil paksa dirumah susun Klender Jakarta Timur
8 Pius Lustrilanang
4 Februari 1998 Diambil paksa di Jakarta 9
Raharja Waluya Jati 12 Maret 1998
Dikejar dan ditangkap di RS Ciptomangunkusumo Jakarta Pusat
Tabel 1.1. Nama 9 Aktivis yang Dikembalikan Dan 13 aktivis yang belum kembali hingga saat ini, antara lain :
10
No Nama Korban
Tanggal Hilang Keterangan
1 Dedy Hamdun
29 Mei 1998 Diambil paksa di Jakarta
2 Herman Hendrawan
12 Maret 19 98 Diambil paksa di Jakarta
3 Hendra Hambali
14 Mei 1998 Diambil paksa di Jakarta
4 Ismail
29 Mei 1997 Diambil paksa di Jakarta
5 Abdun Nasser
14 Mei 1998 Diambil paksa di Jakarta
6 Noval Al Katiri
29 Mei 1997 Diambil paksa di Jakarta
7 Petrus Bima Anugrah
Minggu ke III bulan Maret 1998 Diambil paksa di Jakarta
8 Sony
26 April 1997 Diambil paksa di Jakarta
9 Suyat
Februari 1997 Diambil paksa di Jakarta
10 Ucok Munandar Siahaan 14 Mei 1998
Diambil paksa di Jakarta 11
Yadin Muhidin 14 Mei 1998
Diambil paksa di Jakarta 12
Yani Afri 26 April 1997
Diambil paksa di Jakarta 13
Wiji Thukul Mei 1998
Diambil paksa di Jakarta
Tabel 1.2. Nama 13 Aktivis yang Dinyatakan Hilang Hingga Saat Ini Menurut Deklarasi Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Secara Paksa
yang ditetapkan oleh Majelis Umum PBB dalam Resolusi No. 47133, tanggal 18 Desember 1992, penghilangan orang secara paksa terjadi ketika, ”orang-orang
ditangkap, ditahan, atau diculik secara paksa, atau dirampas kebebasannya oleh petugas pemerintah di berbagai cabang atau tingkatan, atau oleh kelompok yang terorganisir,
10
Ibid, hlm 2.
Universitas Sumatera Utara
maupun pribadi-pribadi yang bertindak atas nama kelompok tersebut, atau dengan dukungan persetujuan atau pembiaran oleh Pemerintah, baik secara langsung maupun
tidak langsung, yang diikuti dengan penolakan untuk mengungkapkan nasib orang- orang yang terlibat atau penolakan untuk mengakui terjadinya perampasan
kemerdekaan, yang menempatkan orang-orang tersebut di luar perlindungan hukum.
11
Menurut Joseph Adi Prasetyo, mengacu UU Pengadilan HAM, kejahatan penghilangan orang secara paksa dapat dituntut surut sebelum diberlakukannya UU
Pengadilan HAM. Mengacu aturan itu maka di Indonesia tak sedikit kasus penghilangan paksa yang harus diungkap kebenarannya untuk mewujudkan keadilan bagi para korban
dan keluarganya. Menurutnya, menyebut gejolak politik yang memicu maraknya kejahatan penghilangan orang secara paksa di Indonesia. Dia mencatat, sejak Indonesia
merdeka, berbagai macam kasus penghilangan paksa terjadi, puncaknya berlangsung sekitar tahun 1965 ketika rezim orde baru mulai berkuasa.
Serta diikuti dengan penolakan untuk mengakui perampasan kemerdekaan tersebut.
12
Penghilangan orang secara paksa atau ‘penculikan’ dalam istilah yang lebih populer, merupakan praktek politik yang sering terjadi di negara-negara otoriter di
dunia. Praktek politik kekerasan seperti ini digunakan sebagai bentuk respon dalam meredam ekspresi politik masyarakat yang coba menggunakan hak-hak dan kebebasan
dasarnya sebagai seorang warga negara. Bahkan hak-haknya sebagai manusia-pun turut
dirampas. Penghilangan paksa merupakan salah satu dari sekian banyak bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi.
13
11
Tim Kampanye Dunia Untuk Hak Asasi Manusia, 2012, Lembar Fakta Penghilangan Orang Secara Paksa Atau Tidak Dengan Sukarela, hlm 2.
Mulai dari tahun 1965 pembantaian massal PKI, 1984 Tanjung Priok, 1989 Talangsari, Lampung, hingga 1997-1998
penculikan aktifis pro-demokrasi. Semua bentuk penghilangan paksa tersebut belum
12
Ady, 2013, Gejolak Politik Picu Terjadinya Pelanggaran HAM, http:www.hukumonline.comberitabacalt51127a20d6379gejolak-politik-picu-terjadinya-pelanggaran-ham,
diakses pada 10 April 2013 pukul 19.00 Wib
13
Usman Hamid dan Sri Suparyati, 2007, Penghilangan Orang Secara Paksa, http:www.kontras.orgindex.php?hal=opiniid=27 diakses pada 15 April 2013 pukul 15.30 Wib
Universitas Sumatera Utara
juga memperoleh pertanggungjawaban negara yang adil. Bahkan sebagian besar dari mereka belum diketahui keberadaannya.
Isu “penghilangan orang secara paksa” mulai sering diperbincangkan masyarakat pasca mundurnya Presiden Soeharto tanggal 21 Mei 1998 yang kemudian
disebut sebagai era “reformasi”. Di masa-masa itu istilah yang lebih dikenal bukan “penghilangan orang secara paksa”, melainkan “penculikan”, bahkan mungkin istilah
lain yang juga akrab terdengar saat itu adalah istilah “orang hilang”. Istilah ini mencuat ke permukaan publik setelah sejumlah aktivis dilaporkan hilang dalam kurun waktu
April 1997 sampai Maret-Mei 1998. Banyak dari mereka yang dihilangkan adalah para aktivis, pemuda dan mahasiswa, yang saat itu dianggap penguasa sebagai kelompok
yang membahayakan serta merongrong negara. Upaya untuk mempersoalkan masalah ini kemudian memperoleh perhatian dari
dalam maupun luar negeri. Pemerintah melalui Panglima TNI telah melakukan upaya untuk mengungkap dan menuntaskan kasus ini membentuk Dewan Kehormatan Perwira
DKP yang kemudian membuktikan bahwa penculikan dan penghilangan paksa itu dilakukan oleh Kopassus yang melibatkan beberapa instansi militer dan polri.
Berdasarkan hasil pemeriksaan DKP, Letjen TNI Prabowo Subianto mengakui bahwa ia memberikan perintah untuk menculik dan juga mengaku salah dalam menganalisis
perintah Bawah Kendali Operasi BKO serta menyatakan bersedia bertanggungjawab. Hasil pemeriksaan DKP memutuskan bahwa Letjen. TNI Prabowo, Mayjen TNI
Muchdi PR dan Kolonel Inf. Chairwan terbukti terlibat dalam kasus penculikan dan terbukti melakukan pelanggaran HAM. Untuk itu kepada ketiga perwira itu diberikan
sanksi administratif dan bila ternyata memenuhi unsur pidana maka terhadap mereka akan diberikan pula sanksi pidana. Letjen TNI Prabowo diberhentikan dari dinas
kemiliteran, sementara Mayjen TNI Muchdi PR dan Kolonel Inf. Chairawan dibebastugaskan.
14
14
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Dalam kasus penghilangan orang penculikan di Jakarta, hampir seluruh korbannya adalah individu yang memiliki keterlibatan langsung dengan aktivitas-
aktivitas yang menentang rejim politik yang ada: Andi Arief, Faisal Reza, serta Herman Hendrawan, adalah sebagian dari aktvis Partai Rakyat Demokratik; sementara Desmond
Mahesa adalah aktivis LBHN; Haryanto Taslam adalah pimpinan teras PDI-Megawati. Dengan fakta semacam ini maka pada dasarnya kekerasan dan penghilangan orang di
Indonesia sebenarnya telah mencapai tahap dua sisi yang sangat membahayakan yakni di sisi pertama dimana aparat militer secara “naluriah” dan tanpa alasan apapun bisa
melakukan tindakan kekerasan dan penghilangan orang seperti yang terjadi dalam kasus Aceh, di mana para korban banyak yang warga sipil biasa, petani, pegawai negeri
rendahan, sampai warga yang sedang duduk-duduk yang sama sekali tidak terlibat dalam aktivitas politik apapun. Dan sisi kedua adalah, penghilangan orang sebagai
bagian dari proyek sistematis-terencana untuk memuluskan kekuasaan dan membungkam oposisi. Khusus untuk 23 orang yang hilang beberapa bulan sebelum
kemunduran Presiden Soeharto, 9 orang aktivis yang hilang dikembalikan, 1 orang ditemukan tewas, sementara 13 orang lainnya belum jelas nasib dan keberadaannya
hingga kini. Sembilan orang aktivis yang dilepaskan memberi kesaksian bahwa mereka telah disiksa selama berada dalam penyekapan.
Deklarasi PBB tentang Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa menyebutkan bahwa praktek-praktek sistematik penghilangan paksa merupakan
kejahatan terhadap kemanusiaan dan dinyatakan sebagai pelanggaran atas hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak disiksa. Penghilangan
paksa juga merupakan pelanggaran atas hak untuk hidup, sehingga negara harus bertanggungjawab untuk mengambil tindakan yang efektif dalam bidang legislatif,
administratif, peradilan perbuatan penghilangan paksa di setiap wilayah yang berada dibawah kekuasaannya atau bidang lainnya, untuk mencegah dan menghentikan. Setiap
perbuatan penghilangan paksa merupakan kejahatan terhadap martabat manusia. Perbuatan ini dikutuk karena merupakan pelanggaran berat dan menyolok atas hak asasi
manusia dan kebebasan dasar yang diumumkan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi
Universitas Sumatera Utara
Manusia dan ditegaskan kembali dan dikembangkan dalam instrumen – instrumen internasional dalam bidang ini.
15
sarana lain menurut pilihannya sendiri. Setiap orang berhak untuk menyatakan pendapat tanpa
mengalami gangguan, dalam hal ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberi informasi keterangan dan segala macam gagasan tanpa memperhatikan
pembatasan-pembatasan, baik secara lisan maupun tulisan atau tercetak, dalam bentuk seni, atau
Tujuan dari penghilangan orang adalah agar yang bersangkutan, baik korban dan kelompoknya, menjadi kapok dan tidak melakukan hal yang sama, menentang
penguasa. Ini adalah salah satu senjata ampuh yang digunakan. Selain motif mempertahankan kekuasaan, juga ada motif lainnya yaitu penghilangan saksi mata dan
teror. Penghilangan saksi mata merupakan sebuah upaya menghilangkan saksi atas sebuah peristiwa politik yang cukup keras atau pelanggaran HAM yang berat.
Penghilangan saksi mata biasanya terjadi di suatu tempat dimana telah terjadi kekerasan antara negara dan masyarakat yang begitu meluas sehingga negara merasa perlu
melindungi dirinya dengan melakukan praktek penghilangan orang secara paksa. Penghilangan merupakan sebuah upaya yang dilakukan oleh sebuah kekuatan
rezim kekuasaan terhadap “ancaman” yang tidak mempunyai celah untuk dikriminalisasikan. Ketidakmampuan secara yuridis biasanya memaksa sebuah rezim
untuk melakukan tindakan-tindakan untuk meminimalisir ancaman terhadap kekuasaannya. Maka penghilangan orang secara paksa menjadi sebuah “logika
kekuasaan” yang patut dilakukan. Berdasarkan kepada hal tersebut peneliti kemudian tertarik melakukan penelitian dengan judul “Pelanggaran Hak Sipil dan Politik Warga
Negara Studi Kasus Penghilangan Orang Secara Paksa Periode 1997 – 1998.
15
IKOHI, 2007, Kasus Penghilangan Paksa : Kasus Yang Belum Selesai, http:www.ikohi.or.id201008kasus- penghilangan-paksa-kasus-yang-belum-selesai diakses pada 10 April 2013 pukul 15.00 Wib
Universitas Sumatera Utara
2. Perumusan Masalah