Pelanggaran Hak Sipil dan Politik Warga Negara (Studi Kasus Penghilangan Orang Secara Paksa Periode 1997 – 1998)

(1)

PELANGGARAN HAK SIPIL DAN POLITIK WARGA NEGARA

(Studi Kasus Penghilangan Orang Secara Paksa Periode 1997 - 1998)

SKRIPSI

Elisa Laura Munthe

090906060

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK

ELISA LAURA MUNTHE (090906060)

PELANGGARAN HAK SIPIL HAK POLITIK WARGA NEGARA (Studi Kasus Penghilangan Orang Secara Paksa Periode 1997 – 1998)

ABSTRAK

Penelitian ini mencoba menguraikan tentang kasus penghilangan secara paksa periode 1997 – 1998. Tujuan dari penelitian ini untuk mengungkap kasus yang melakukan penghilangan terhadap 23 aktivis pro demokrasi yang dilakukan oleh pemerintahan yang berkuasa saat itu. Oleh sebab itu interaksi politik dalam hal ini berkaitan antara pemerintah sebagai pembuat serta yang menjalankan Undang – undang dan 23 aktivis pro demokrasi sebagai objek penelitian. Peneliti juga melihat adanya bentuk pelanggaran hak – hak sipil dan politik yang dialami oleh 23 aktivis pro demokrasi sebagai warga negara Indonesia. Oleh karena itu peneliti menggunakan desain studi kasus dan metode studi pustaka dan wawancara sebagai teknik pengumpulan data dan penelitian ini mengandalkan hasil analisis dari data pustaka dan fakta yang diperoleh dari wawancara dan relevansinya dengan Undang – undang yang berlaku maupun dengan teori yang digunakan.

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah bersumber dari buku – buku, surat kabar, arsip-arsip, jurnal – jurnal, dan internet. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif dengan membuat, menggambarkan, meringkaskan, dan menjelaskan dari berbagai kondisi dengan berbagai variabel yang timbul dalam objek penelitian ini dan mengungkapkan


(3)

fakta melalui pengumpulan data – data untuk kemudian dipelajari, diolah, dianalisa dan kemudian ditafsirkan yang disajikan secara deskriptif.

Teori yang digunakan untuk menjelaskan permasalahan tersebut adalah teori hak sipil politik yang dijamin dan dihormati keberadaannya oleh negara. Hak sipil dan politik pada masa orde baru dijamin dalam UUD 1945 pasal 28, kebebasan berserikat, berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan serta pasal 29, hak untuk beragama dan berkepercayaan. Dimana dalam kasus ini 23 aktivis pro demokrasi yang diculik dan dihilangkan secara paksa telah dilanggar hak sipil dan politiknya oleh negara, yang seharusnya menjamin menghargai hak sipil dan hak politik warga negaranya


(4)

UNIVERSITY OF NORTH SUMATRA

FACULTY OF SOCIAL SCIENCE POLITICAL SCIENCE DEPARTMENT OF POLITICAL SCIENCE

ELISA LAURA MUNTHE (090906060)

POLITICAL RIGHTS VIOLATION OF CIVIL RIGHTS CITIZENS (Case Study of Involuntary Disappearance Period 1997-1998)

ABSTRACT

This study tried to describe the cases of forced disappearances period 1997-1998. The purpose of this study was to uncover cases that did disappearance of 23 pro-democracy activists by the government in power at that time. Therefore political interaction in this regard the government as well as the run-makers Act - legislation and 23 pro-democracy activists as the research object. Researchers also identified a violation of rights - civil and political rights suffered by the 23 pro-democracy activists as Indonesian citizens. Therefore, researchers using the case study design and methods of library research and interviews as data collection techniques and the study relies on the analysis of the data library and facts obtained from interviews and relevance to Act - legislation in force, nor the theories used.

The data used in this study is based on the book - books, newspapers, archives, journals - journals, and the internet. The method of analysis used in this study is a qualitative research method is descriptive with making, describe, summarize, and explain from a variety of conditions with a variety of variables that arise in the object of this study and revealed the facts through collection of data - the data for later learned, processed, analyzed and then interpreted descriptively presented.


(5)

Theory is used to explain these problems is the theory that civil rights are guaranteed and respected political existence by the state. Civil and political rights in the new order is guaranteed in the 1945 Constitution, article 28, freedom of association, of assembly, of expression with oral and written as well as article 29, the right to religion and belief. Where in this case 23 pro-democracy activists who were abducted and forcibly disappeared had violated civil and political rights by the state, which should guarantee the respect of civil and political rights of its citizens


(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus karena atas berkat dan anugerah-Nya, skripsi ini yang berjudul “Pelanggaran Hak Sipil dan Politik Warga Negara (Studi Kasus Penghilangan Orang Secara Paksa Periode 1997 – 1998)” ini dapat diselesaikan tepat waktu. Skripsi ini ditujukan untuk memenuhi syarat menempuh ujian akhir Strata – I, jurusan Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara Medan.

Ucapan terima kasih juga tidak lupa penulis hanturkan kepada :

1. Terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik (FISIP) USU

2. Terima Kasih kepada Ibu Dra. T. Irmayani, M.Si selaku Ketua Departemen Ilmu Politik FISIP USU yang telah memberikan banyak masukan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.

3. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Warjio, M.A, Ph.D selaku dosen pembimbing, untuk segala saran, kritik, dan motivasi yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini dan juga Bapak Drs. Tonny Situmorang, M.Si selaku dosen pembaca saya yang begitu banyak memberikan masukan dan gagasan kepada saya dalam penyusunan skripsi ini.

4. Kedua orang tua saya, Bapak Eden Munthe dan Ibu Ester Sinuraya, S.E. yang selalu memberikan saya semangat baik secara moril maupun materi, dan tidak bosan –bosannya mengawasi perkembangan skripsi saya dari awal sampai akhir, meskipun saya dalam kondisi paling bawah sekalipun. Apa yang sudah saya raih sampai pada hari ini,semua karena doa dan dukungan kalian berikan. Saya bukan anak terbaik di dunia, tapi saya beruntung mempunyai orangtua yang terbaik di dunia.


(7)

Amsal 1 : 8 – 9 “ Hai anakku, dengarkanlah didikan ayahmu, dan jangan menyia-nyiakan ajaran ibumu. Sebab karangan bunga yang indah itu bagi kepalamu, dan suatu kalung bagi lehermu.”

5. Ketiga adik – adik saya, Endaria Stephanie Munthe (semoga secepatnya S.Sos), Elia Endo Munthe (semoga semakin menjadi berkat buat sekitar), dan Edward Gilbert Munthe (sukses semua kegiatannya tapi sekolahnya tidak ketinggalan ya dek) yang selalu setia mdengarkan ocehan – ocehan saya. I love u more than u know, guys.. Semoga kita tetap bisa bersatu dan selalu saling menguatkan.  Efesus 1 : 16 “Aku pun tidak berhenti mengucap syukur karena kamu. Dan aku selalu mengingat kamu dalam doaku.”

Juga untuk semua keluarga besar Munthe dan Sinuraya yang tidak henti – hentinya memberikan perhatian, semangat, dan dukungan yang luar biasa kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Kiranya ketulusan tetap menaungi keluarga besar kita ini.

6. IKOHI Sumatera Utara, yang telah memberikan banyak data yang sangat saya perlukan dalam penyusunan skripsi saya ini. Maaf kalau saya sedikit merepotkan.  Juga kepada Pak Mugiyanto, salah satu aktivis 1998 yang selamat juga selaku Ketua IKOHI dan bersedia menjadi responden saya yang saya wawancarai melalui email. Terima kasih sudah bersedia meluangkan waktu untuk membantu saya, pak. Semoga perjuangan ini akan berakhir indah pak. Keadilan untuk seluruh rakyat Indonesia. #MENOLAK LUPA!

7. Untuk 23 aktivis pro demokrasi, baik yang sudah kembali, maupun yang masih belum diketahui dimana keberadaannya.. Skripsi ini untuk Anda, bapak – bapak yang luar biasa. Pemikiran dan idealisme kalian akan tetap hidup di hati kami. Perjuangan belum usai, keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Hanya satu kata : LAWAN!

8. Untuk keluarga besar Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, terutama angkatan 2009, Utari, Evi, Rita, (terima kasih untuk selalu rela saya repotkan, I love u…) Edo, Novi, Chastry, (nonton lagi kita? Makan? Jalan?) Kafi, Dea, Yudith, Andi, Leni, Indah Sartika, Jul, Ben,


(8)

(semoga secepatnya sidang, saya menunggu…), Sarah, Ira, Indah, Nining, Azhary, Alex (ayok yok semangat perjuangannya).

9. Untuk sahabat – sahabat terbaik saya, Yenci Wulandari Manik, S.Tp, (semangat trainingnya nang, pasti sanggup..), Ignatia Oktavia Simorangkir, S.H. (I love u… terimakasih semua bantuannya..), Frisca Winati Sianturi, S.Sos (malam mingguan lagi? Gereja bareng?), Ny. Tarihoran, Yosefina Mutiara Siburian, S.E. (secepatnya berikan kami momongan), Dahliana Purba, S. Kg. (yang terbaik pasti akan datang, trust me..), Astri Natalia Situmorang, S.T. (sukses karirnya sahabat dari SMP saya…), Helen Marpaung, A,md, (semoga secepatnya nikah), Grace Aritonang, A.Md (semoga semakin eksis di facebook), Wilprido Haloho,S.Ds dan Ir. Yoga Ardimas, (sukses ya teman IPA 1 aku dan teman latian di saat” mau UN). Amsal 17 : 17 “Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu, dan menjadi seorang saudara dalam kesukaran.”

10.Untuk Keluarga Besar Alumni Paduan Suara Koinonia, terima kasih untuk semuanya… Terima kasih sudah hadir dalam kehidupan saya, menjadi keluarga saya yang memberi banyak pelajaran hidup, memberi banyak kehebohan, banyak pengalaman, banyak kegilaan, banyak kemarahan, banyak emosi yang positif maupun negatif, banyak kosakata baru, banyak kerandoman dalam hidup… ahaha.. Kalian akan selalu mempunyai tempat istimewa di hati saya.. Selalu, sampai kapanpun, mata saya akan terus bersinar membicarakan kalian…

Filipi 1 : 3 – 4 “Aku mengucap syukur kepada Allahku setiap kali aku mengingat kamu. Dan setiap kali aku berdoa untuk kamu semua, aku selalu berdoa dengan sukacita.”

11.Untuk idola yang selalu menginspirasi saya, Pandji Pragiwaksono. Terima kasih untuk selalu menjadi sosok yang selalu bisa saya banggakan dan menginspirasi saya dalam mencintai negara ini, Indonesia. Bukan cinta buta, tapi Nasionalisme yang seharusnya, Nasional.Is.Me. Mungkin anda tidak membaca ini, tapi saya yakin anda tetap bisa menginspirasi semua pemuda – pemudi Indonesia,


(9)

sehingga setiap insan muda dengan lantang mampu menjawab, “KAMI BUKAN PEMUDA BODOH..!”

12.Untuk semua pihak yang telah membantu penulis baik dari segi moril maupun materi dalam penyusunan skripsi ini, penulis mengucapkan terima kasih setulusnya, maaf kalau tidak saya sebutkan nama satu persatu karena keterbatasan saya, tapi hormat dan ucapan terima kasih saya ucapkan dengan setulusnya.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan baik dalam pengumpulan data, pengolahan data, serta penyajiaannya. Penulis berharap penelitian ini dapat bermanfaat bagi para pembaca walaupun terdapat banyak kekurangan dalam penulisan. Oleh karena itu, penulis sangat terbuka untuk menerima kritik dan saran demi perbaikan skripsi ini.

Akhir kata, penulis mengucapkan banyak terima kasih bagi semua pihak yang telah memberi bimbingan, masukan, bantuan, dan dukungan selama proses pengerjaan sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

Medan, 5 September 2013


(10)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ……….

ABSTRACT ………

HALAMAN PERSETUJUAN ……….…..

KATA PENGANTAR ……….

DAFTAR ISI ……….

DAFTAR TABEL ………

BAB 1 PENDAHULUAN ………

1.1. Latar Belakang ………..………..

1.2. Perumusan Masalah ………..

1.3. Pembatasan Masalah ………

1.4. Tujuan Penelitian ……….

1.5. Siginifikansi Penelitian ……….

1.6. Kerangka Teori ……….

1.6.1. Hak Asasi Manusia ……….

1.6.2. Hak Sipil dan Hak Politik ………..……

1.6.3. Kekuasaan ………..

1.6.4. Penghilangan Orang Secara Paksa ………..……

1.7. Metodologi Penelitian ………...

1.7.1. Jenis Penelitian ………

1.7.2. Teknik Pengumpulan Data ……….

1.7.3. Teknik Analisa Data ………..

1.8. Sistematika Penulisan ………

BAB 2 PELANGGARAN HAK SIPIL DAN POLITIK ……...………

2.1. Sejarah dan Perkembangan Hak Sipil dan Hak Politik ……….

2.2. Profil Korban Kasus Penghilangan Orang Secara Paksa Periode

1997 – 1998 ………..…… 2.3. Tim Mawar ……….... BAB 3 PENGHILANGAN ORANG SECARA PAKSA SEBAGAI


(11)

3.1. Perjalanan Kasus Penghilangan Orang Secara Paksa Periode 1997 – 1998 3.2. Anasis Kasus ……….

BAB IV PENUTUP ………

4.1. Kesimpulan ……… 4.2. Saran ………...


(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1. Nama 9 Aktivis Yang Dikembalikan ... Tabel 1.2. Nama 13 Aktivis Yang Dinyatakan Hilang Hingga Saat Ini ... Tabel 1.3. Rincian Pasal Hak Sipil dan Politik ...


(13)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK

ELISA LAURA MUNTHE (090906060)

PELANGGARAN HAK SIPIL HAK POLITIK WARGA NEGARA (Studi Kasus Penghilangan Orang Secara Paksa Periode 1997 – 1998)

ABSTRAK

Penelitian ini mencoba menguraikan tentang kasus penghilangan secara paksa periode 1997 – 1998. Tujuan dari penelitian ini untuk mengungkap kasus yang melakukan penghilangan terhadap 23 aktivis pro demokrasi yang dilakukan oleh pemerintahan yang berkuasa saat itu. Oleh sebab itu interaksi politik dalam hal ini berkaitan antara pemerintah sebagai pembuat serta yang menjalankan Undang – undang dan 23 aktivis pro demokrasi sebagai objek penelitian. Peneliti juga melihat adanya bentuk pelanggaran hak – hak sipil dan politik yang dialami oleh 23 aktivis pro demokrasi sebagai warga negara Indonesia. Oleh karena itu peneliti menggunakan desain studi kasus dan metode studi pustaka dan wawancara sebagai teknik pengumpulan data dan penelitian ini mengandalkan hasil analisis dari data pustaka dan fakta yang diperoleh dari wawancara dan relevansinya dengan Undang – undang yang berlaku maupun dengan teori yang digunakan.

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah bersumber dari buku – buku, surat kabar, arsip-arsip, jurnal – jurnal, dan internet. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif dengan membuat, menggambarkan, meringkaskan, dan menjelaskan dari berbagai kondisi dengan berbagai variabel yang timbul dalam objek penelitian ini dan mengungkapkan


(14)

fakta melalui pengumpulan data – data untuk kemudian dipelajari, diolah, dianalisa dan kemudian ditafsirkan yang disajikan secara deskriptif.

Teori yang digunakan untuk menjelaskan permasalahan tersebut adalah teori hak sipil politik yang dijamin dan dihormati keberadaannya oleh negara. Hak sipil dan politik pada masa orde baru dijamin dalam UUD 1945 pasal 28, kebebasan berserikat, berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan serta pasal 29, hak untuk beragama dan berkepercayaan. Dimana dalam kasus ini 23 aktivis pro demokrasi yang diculik dan dihilangkan secara paksa telah dilanggar hak sipil dan politiknya oleh negara, yang seharusnya menjamin menghargai hak sipil dan hak politik warga negaranya


(15)

UNIVERSITY OF NORTH SUMATRA

FACULTY OF SOCIAL SCIENCE POLITICAL SCIENCE DEPARTMENT OF POLITICAL SCIENCE

ELISA LAURA MUNTHE (090906060)

POLITICAL RIGHTS VIOLATION OF CIVIL RIGHTS CITIZENS (Case Study of Involuntary Disappearance Period 1997-1998)

ABSTRACT

This study tried to describe the cases of forced disappearances period 1997-1998. The purpose of this study was to uncover cases that did disappearance of 23 pro-democracy activists by the government in power at that time. Therefore political interaction in this regard the government as well as the run-makers Act - legislation and 23 pro-democracy activists as the research object. Researchers also identified a violation of rights - civil and political rights suffered by the 23 pro-democracy activists as Indonesian citizens. Therefore, researchers using the case study design and methods of library research and interviews as data collection techniques and the study relies on the analysis of the data library and facts obtained from interviews and relevance to Act - legislation in force, nor the theories used.

The data used in this study is based on the book - books, newspapers, archives, journals - journals, and the internet. The method of analysis used in this study is a qualitative research method is descriptive with making, describe, summarize, and explain from a variety of conditions with a variety of variables that arise in the object of this study and revealed the facts through collection of data - the data for later learned, processed, analyzed and then interpreted descriptively presented.


(16)

Theory is used to explain these problems is the theory that civil rights are guaranteed and respected political existence by the state. Civil and political rights in the new order is guaranteed in the 1945 Constitution, article 28, freedom of association, of assembly, of expression with oral and written as well as article 29, the right to religion and belief. Where in this case 23 pro-democracy activists who were abducted and forcibly disappeared had violated civil and political rights by the state, which should guarantee the respect of civil and political rights of its citizens


(17)

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Hak – hak asasi manusia (HAM) adalah hak – hak dasar atau hak – hak pokok yang dibawa manusia sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Hak – hak asasi ini menjadi dasar dari hak – hak dan kewajiban – kewajiban yang lain.1 Yang seharusnya melindungi HAM sepenuhnya adalah negara, dalam hal ini adalah pemerintah. Dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, maka kita akan melihat penjelasan dalam komentar umum menyatakan bahwa perwujudan HAM sepenuhnya adalah kewajiban negara. Negara harus menjalankan kewajiban pemenuhan HAM dalam bentuk antara lain penghormatan (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhi (to fullfil).2

Semua aturan dan ketentuan mengenai HAM pada akhirnya selalu mengacu pada Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Salah seorang penggagas Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia asal Lebanon, Rene Cassin, menyatakan bahwa isi Deklarasi tersebut sebetulnya bisa dibagi menjadi lima hal, yaitu hak sipil (Pasal 1-11), hak sosial (Pasal 12-17), hak politik (Pasal 18-21), hak ekonomi dan budaya (Pasal 22-27), serta tanggungjawab negara (Pasal 28-30). Rene Cassin juga menyatakan bahwa ada beberapa kata kunci yang memayungi pasal-pasal dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, yaitu “biarkan saya menjadi diri saya sendiri” untuk pasal hak sipil, Hak asasi manusia pada dasarnya ada sejak manusia dilahirkan, karena hak tersebut melekat sejak keberadaan manusia itu sendiri. Akan tetapi, persoalan hak asasi baru mendapat perhatian ketika mengimplementasikannya dalam kehidupan bersama manusia. Ia mulai menjadi perhatian manakala ada hubungan dan ketertarikan antara individu dan masyarakat.

1

Zaenuddin HM, Sekitar Hak Asasi Manusia Dewasa Ini, Jakarta ;Raja Grafindo Persada, 2001, hlm. 11. 2


(18)

“jangan campuri urusan kami” untuk pasal hak sosial, “biarkan kami turut berpartisipasi” untuk pasal hak politik, “beri kami mata pencaharian” untuk pasal hak ekonomi dan budaya.3

Hak sipil dan politik merupakan salah satu hak dasar warga negara dalam sebuah negara yang menganut paham demokrasi. Demokrasi yang bertumpu pada kedaulatan warga, dengan alasan apapun tidak bisa menghilangkan hak sipil dan politik warga negara. Apalagi bersangkutan dengan persoalan mekanisme atau prosedur demokrasi. Selain itu, hak sipil dan politik warga negara merupakan bagian hak konstitusi yang harus di laksanakan, tanpa kecuali. Hak-hak sipil dan politik adalah hak yang bersumber dari martabat dan melekat pada setiap manusia yang dijamin dan dihormati keberadaannya oleh negara agar manusia bebas menikmati hak-hak dan kebebasannya dalam bidang politik yang pemenuhannya menjadi tanggung jawab negara. Hak sipil dan politik merupakan hak yang dimiliki warga negara ketika berhadapan dengan entitas negara yang memiliki kedaulatan. Hak – hak yang dimiliki warga negara sebagai warga sipil dalam sebuah negara, dan juga hak politik warga, yang memiliki kedudukan yang sama dalam pandangan negara, tidak ada diskriminasi dan sebagainya dalam kedudukannya sebagai warga negara maupun sebagai subjek hukum. Vierdag mengkategorikan hak sipil politik ini sebagai hak negative (negative right), karena untuk merealisasikannya negara harus diam, tidak melakukan tindakan (pasif), sehingga perumusannya menggunakan freedom from (bebas dari).4

Hak sipil dan politik yang paling mendasar adalah hak kebebasan untuk berpikir dan berkeyakinan, tanpa adanya intervensi dari siapapun, sekalipun itu otoritas negara. Maka inilah yang disebut sebagai freedom of religion and believe (hak kebebasan atas agama dan kepercayaan). Terkait pula dengan hak-hak sipil dan politik adalah hak untuk diperlakukan sama di depan hukum, dan hak untuk tidak dibunuh atau disiksa. Ini disebut pula sebagai hak dasar, atau non-derogable rights yang artinya hak-hak dasar

3

Yosep Adi Prasetyo, op.cit.; hlm. 3. 4

Mahrus Ali dan Syarif Nurhidayat, Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat : In Court System and Out Court System;


(19)

manusia yang tidak bisa ditunda dan tidak bisa dicabut dalam situasi apapun.5

Hak sipil dan politik dikemukakan dalam kovenan internasional pada tahun 1966 oleh PBB yaitu International Covenant on Civil and Political Rights – ICCPR (Kovenan Internasional tentang Hak – hak Sipil dan Politik). Kovenan tersebut kemudian diratifikasi oleh Indonesia dan dituangkan dalam Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak – Hak Sipil dan Politik). Kovenan ini mengukuhkan pokok-pokok hak asasi manusia di bidang sipil dan politik yang tercantum dalam Universal Declaration of Human Rights sehingga menjadi ketentuan-ketentuan yang mengikat secara hukum. Kovenan tersebut terdiri dari pembukaan dan pasal-pasal yang mencakup 6 bab dan 53 pasal. Kovenan ini merupakan hasil tarik menarik antara kepentingan Blok Timur dan Blok Barat pasca perang dingin. Blok Timur yang didukung oleh negara – negara berkembang menginginkan kovenan hak sipil politik digabung dengan hak ekonomi sosial dan budaya, karena hak ekonomi sosial budaya merupakan hak yang tidak dapat dipisahkan dengan kepentingan manusia akan sebuah kebebasan, namun Blok Barat menolak, sehingga terjadilah pemisahan kovenan hak sipil politik dan kovenan tentang hak ekonomi sosial dan budaya.

Baik itu dalam keadaan perang, maupun dalam situasi darurat, negara harus tetap melindunginya.

6

Dalam hak - hak sipil dan politik, ada batas antara hak - hak yang tak dapat ditangguhkan (non - derogable rights) dengan hak - hak yang dapat ditangguhkan. Yang termasuk dalam kategori hak - hak yang tidak dapat ditangguhkan adalah hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk tidak diperbudak, hak atas kebebasan berpikir dan beragama serta berkeyakinan, hak untuk diperlakukan sama di muka hukum, hak untuk tidak dipenjara karena kegagalan memenuhi kewajiban kontraktual, serta hak

5 M. Lutfi Chakim. 2011,

Ruang Lingkup Hak Sipil Dan Politik Dalam Konstitusi, ICCPR, DUHAM Dan UU

No 39 Tahun 1999 Tentang HAM

6


(20)

untuk tidak dipidana berdasarkan hukum yang berlaku surut (retroactive).7

Namun dalam perjalanannya, banyaknya pelanggaran hak-hak sipil di Indonesia, baik dilakukan oleh Pemerintah, aparat keamanan maupun oleh masyarakat. Namun ada kecenderungan pihak Pemerintah lebih dominan, karena sebagai pemegang kekuasaan dapat secara leluasa untuk memenuhi kepentingan yang seringkali dilakukan dengan cara-cara manipulasi sehingga mengorbankan hak-hak pihak lain. Salah satunya adalah kasus penghilangan secara paksa 23 aktivis pro demokrasi periode 1997 – 1998. Kasus ini yang akan peneliti angkat dalam penelitian ini. Adapun alasan peneliti mengangkat kasus ini dikarenakan kasus penculikan yang menimpa para aktivis pemuda dan mahasiswa yang ingin menegakkan keadilan dan demokrasi di masa pemerintahan Orde Baru, dimana mereka yang kritis dalam menyikapi kebijakan pemerintah dianggap sebagai kelompok yang membahayakan dan merongrong negara. Gagasan-gagasan dan pemikiran mereka dipandang sebagai ancaman yang dapat menghambat jalannya roda Negara tak boleh melakukan intervensi dalam rangka menghormati hak – hak setiap orang, terutama hak – hak yang tak dapat ditangguhkan. Karena campur tangan negara justru mengakibatkan terjadinya pelanggaran atas hak – hak individu/kelompok.

Hak sipil dan politik membuka jalan bagi terpenuhinya empat kebebasan dasar yang mencakup hak atas kebebasan berekspresi dan berkomunikasi, hak atas kebebasan berkumpul, hak atas kebebasan berorganisasi, dan hak untuk turut serta dalam pemerintahan. Saat ini rakyat Indonesia telah menikmati juga kebebasan hak sipil politik. Rakyat tidak hanya bebas mendirikan partai-partai politik sebagai wahana untuk memperjuangkan aspirasi politiknya. Rakyat bebas pula untuk mendirikan perkumpulan masyarakat adat, dan lain sebagainya. Perwujudan hak atas kebebasan berorganisasi ini sangat vital bagi upaya rakyat untuk memperjuangkan kepentingan bersama. Selain itu, tumbuhnya organisasi-organisasi rakyat dari bawah ini akan memperkuat masyarakat sipil yang diperlukan bagi berlangsungnya sistem politik dan pemerintahan yang demokratis.

7


(21)

pemerintahan, aktivitas politik yang mereka jalankan dianggap mampu membangkitkan pemikiran dan memprovokasi masyarakat untuk bangkit dan melawan pemerintahan pada masa itu. Dua puluh tiga aktivis tersebut melakukan pergerakan di bidangnya masing – masing memantau dan mengkritik setiap kebijakan pemerintah dan perlahan dianggap memprovokasi masyarakat. Peneliti ingin mengangkat kasus ini untuk melihat sejauh mana masa Orde Baru mampu mengekang kebebasan berpolitik masyarakat, dimana 23 aktivis yang mengalami penghilangan secara paksa tersebut adalah aktivis yang sangat keras menyuarakan perlawanan terhadap pemerintah pada saat itu. Sementara pada saat itu, demokrasi belum sepenuhnya dijalankan, corong kebijakan berpusat hanya pada penguasa, oposisi dan siapa saja yang menganggu jalannya kestabilan politik negara akan disingkirkan.

Penculikan Pius Lustrilanang, Desmon J Mahesa, Haryanto Taslam, Mugiyanto, Aan Rusdianto, Faisal Reza, Rahardja W Jati dan Nezar Patria mendorong gerakan masyarakat sipil untuk mendesak pertanggungjawaban militer yang dianggap pelaku. Satu persatu korban dikembalikan, namun hingga 2004 masih ada 13 orang yang masih hilang, yaitu Suyat, Yani Afri, Sonny, Noval Alkatiri, Dedy Hamdun, Ismail, Bimo Petrus, Abdun Naser, Hendra Hambali, Ucok Siahaan, Yadin Muhidin dan Wiji Thukul. Dimana dalam kronologis kejadiannya ada 23 aktivis pro demokrasi yang hilang, dan dalam perkembangannya ada 9 orang yang dikembalikan dan 1 orang yang meninggal, sedangkan 13 orang sisanya masih belum ditemukan hingga saat ini.8

Sembilan aktivis yang dikembalikan tersebut, antara lain :

Satu orang yang meninggal tersebut bernama Leonardus Nugroho, atau biasa dipanggil Gilang, seorang aktivis di Solo, yang hilang dan ditemukan meninggal pada 23 Mei 1998 di Magetan.

9

No

Nama Korban Tanggal

Hilang

Keterangan

1 Aan Rusdiyanto 13 Maret 1998 Diambil paksa dirumah susun

klender Jakarta Timur 2 Andi Arief 28 Maret 1998 Diambil paksa di Lampung

8

KontraS, 2010, “Kertas Posisi Singkat Penculikan 1998 – 2009” Divisi Pemantauan Impunitas dan Pemenuhan Hak Korban Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), hlm. 1


(22)

No Nama Korban Tanggal Hilang

Keterangan

3 Desmon J Mahesa 4 Februari 1998 Diambil paksa di Jakarta

4 Faisol Reza 12 Maret 1998 Dikejar dan ditangkap di RS

Ciptomangunkusumo Jakarta Pusat 5 Haryanto Taslam 2 Maret 1998 Saat mengendarai mobil dikejar dan

diambil paksa di depan pintu Taman Mini Indonesia Indah

6 Mugiyanto 13 Maret 1998 Diambil paksa dirumah susun

Klender Jakarta Timur

7 Nezar Patria 13 Maret 1998 Diambil paksa dirumah susun

Klender Jakarta Timur 8 Pius Lustrilanang 4 Februari 1998 Diambil paksa di Jakarta

9 Raharja Waluya Jati 12 Maret 1998 Dikejar dan ditangkap di RS Ciptomangunkusumo Jakarta Pusat

Tabel 1.1. Nama 9 Aktivis yang Dikembalikan

Dan 13 aktivis yang belum kembali hingga saat ini, antara lain :10

No Nama Korban Tanggal Hilang Keterangan

1 Dedy Hamdun 29 Mei 1998 Diambil paksa di Jakarta

2 Herman Hendrawan 12 Maret 19 98 Diambil paksa di Jakarta

3 Hendra Hambali 14 Mei 1998 Diambil paksa di Jakarta

4 Ismail 29 Mei 1997 Diambil paksa di Jakarta

5 Abdun Nasser 14 Mei 1998 Diambil paksa di Jakarta

6 Noval Al Katiri 29 Mei 1997 Diambil paksa di Jakarta

7 Petrus Bima Anugrah Minggu ke III bulan Maret 1998 Diambil paksa di Jakarta

8 Sony 26 April 1997 Diambil paksa di Jakarta

9 Suyat Februari 1997 Diambil paksa di Jakarta

10 Ucok Munandar Siahaan 14 Mei 1998 Diambil paksa di Jakarta

11 Yadin Muhidin 14 Mei 1998 Diambil paksa di Jakarta

12 Yani Afri 26 April 1997 Diambil paksa di Jakarta

13 Wiji Thukul Mei 1998 Diambil paksa di Jakarta

Tabel 1.2. Nama 13 Aktivis yang Dinyatakan Hilang Hingga Saat Ini

Menurut Deklarasi Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Secara Paksa yang ditetapkan oleh Majelis Umum PBB dalam Resolusi No. 47/133, tanggal 18 Desember 1992, penghilangan orang secara paksa terjadi ketika, ”orang-orang ditangkap, ditahan, atau diculik secara paksa, atau dirampas kebebasannya oleh petugas pemerintah di berbagai cabang atau tingkatan, atau oleh kelompok yang terorganisir,

10


(23)

maupun pribadi-pribadi yang bertindak atas nama kelompok tersebut, atau dengan dukungan persetujuan atau pembiaran oleh Pemerintah, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang diikuti dengan penolakan untuk mengungkapkan nasib orang-orang yang terlibat atau penolakan untuk mengakui terjadinya perampasan kemerdekaan, yang menempatkan orang-orang tersebut di luar perlindungan hukum.11

Menurut Joseph Adi Prasetyo, mengacu UU Pengadilan HAM, kejahatan penghilangan orang secara paksa dapat dituntut surut sebelum diberlakukannya UU Pengadilan HAM. Mengacu aturan itu maka di Indonesia tak sedikit kasus penghilangan paksa yang harus diungkap kebenarannya untuk mewujudkan keadilan bagi para korban dan keluarganya. Menurutnya, menyebut gejolak politik yang memicu maraknya kejahatan penghilangan orang secara paksa di Indonesia. Dia mencatat, sejak Indonesia merdeka, berbagai macam kasus penghilangan paksa terjadi, puncaknya berlangsung sekitar tahun 1965 ketika rezim orde baru mulai berkuasa.

Serta diikuti dengan penolakan untuk mengakui perampasan kemerdekaan tersebut.

12

Penghilangan orang secara paksa atau ‘penculikan’ dalam istilah yang lebih populer, merupakan praktek politik yang sering terjadi di negara-negara otoriter di dunia. Praktek politik kekerasan seperti ini digunakan sebagai bentuk respon dalam meredam ekspresi politik masyarakat yang coba menggunakan hak-hak dan kebebasan

dasarnya sebagai seorang warga negar

pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi.13

11

Tim Kampanye Dunia Untuk Hak Asasi Manusia, 2012, Lembar Fakta Penghilangan Orang Secara Paksa Atau Tidak Dengan Sukarela, hlm 2.

Mulai dari tahun 1965 (pembantaian massal PKI), 1984 (Tanjung Priok), 1989 (Talangsari, Lampung), hingga 1997-1998 (penculikan aktifis pro-demokrasi). Semua bentuk penghilangan paksa tersebut belum

12

Ady, 2013, Gejolak Politik Picu Terjadinya Pelanggaran HAM,

diakses pada 10 April 2013 pukul 19.00 Wib

13

Usman Hamid dan Sri Suparyati, 2007, Penghilangan Orang Secara Paksa,


(24)

juga memperoleh pertanggungjawaban negara yang adil. Bahkan sebagian besar dari mereka belum diketahui keberadaannya.

Isu “penghilangan orang secara paksa” mulai sering diperbincangkan masyarakat pasca mundurnya Presiden Soeharto tanggal 21 Mei 1998 yang kemudian disebut sebagai era “reformasi”. Di masa-masa itu istilah yang lebih dikenal bukan “penghilangan orang secara paksa”, melainkan “penculikan”, bahkan mungkin istilah lain yang juga akrab terdengar saat itu adalah istilah “orang hilang”. Istilah ini mencuat ke permukaan publik setelah sejumlah aktivis dilaporkan hilang dalam kurun waktu April 1997 sampai Maret-Mei 1998. Banyak dari mereka yang dihilangkan adalah para aktivis, pemuda dan mahasiswa, yang saat itu dianggap penguasa sebagai kelompok yang membahayakan serta merongrong negara.

Upaya untuk mempersoalkan masalah ini kemudian memperoleh perhatian dari dalam maupun luar negeri. Pemerintah melalui Panglima TNI telah melakukan upaya untuk mengungkap dan menuntaskan kasus ini membentuk Dewan Kehormatan Perwira (DKP) yang kemudian membuktikan bahwa penculikan dan penghilangan paksa itu dilakukan oleh Kopassus yang melibatkan beberapa instansi militer dan polri. Berdasarkan hasil pemeriksaan DKP, Letjen TNI Prabowo Subianto mengakui bahwa ia memberikan perintah untuk menculik dan juga mengaku salah dalam menganalisis perintah Bawah Kendali Operasi (BKO) serta menyatakan bersedia bertanggungjawab. Hasil pemeriksaan DKP memutuskan bahwa Letjen. TNI Prabowo, Mayjen TNI Muchdi PR dan Kolonel Inf. Chairwan terbukti terlibat dalam kasus penculikan dan terbukti melakukan pelanggaran HAM. Untuk itu kepada ketiga perwira itu diberikan sanksi administratif dan bila ternyata memenuhi unsur pidana maka terhadap mereka akan diberikan pula sanksi pidana. Letjen TNI Prabowo diberhentikan dari dinas kemiliteran, sementara Mayjen TNI Muchdi PR dan Kolonel Inf. Chairawan dibebastugaskan.14

14


(25)

Dalam kasus penghilangan orang / penculikan di Jakarta, hampir seluruh korbannya adalah individu yang memiliki keterlibatan langsung dengan aktivitas-aktivitas yang menentang rejim politik yang ada: Andi Arief, Faisal Reza, serta Herman Hendrawan, adalah sebagian dari aktvis Partai Rakyat Demokratik; sementara Desmond Mahesa adalah aktivis LBHN; Haryanto Taslam adalah pimpinan teras PDI-Megawati. Dengan fakta semacam ini maka pada dasarnya kekerasan dan penghilangan orang di Indonesia sebenarnya telah mencapai tahap dua sisi yang sangat membahayakan yakni di sisi pertama dimana aparat militer secara “naluriah” dan tanpa alasan apapun bisa melakukan tindakan kekerasan dan penghilangan orang seperti yang terjadi dalam kasus Aceh, di mana para korban banyak yang warga sipil biasa, petani, pegawai negeri rendahan, sampai warga yang sedang duduk-duduk yang sama sekali tidak terlibat dalam aktivitas politik apapun. Dan sisi kedua adalah, penghilangan orang sebagai bagian dari proyek sistematis-terencana untuk memuluskan kekuasaan dan membungkam oposisi. Khusus untuk 23 orang yang hilang beberapa bulan sebelum kemunduran Presiden Soeharto, 9 orang aktivis yang hilang dikembalikan, 1 orang ditemukan tewas, sementara 13 orang lainnya belum jelas nasib dan keberadaannya hingga kini. Sembilan orang aktivis yang dilepaskan memberi kesaksian bahwa mereka telah disiksa selama berada dalam penyekapan.

Deklarasi PBB tentang Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa menyebutkan bahwa praktek-praktek sistematik penghilangan paksa merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan dinyatakan sebagai pelanggaran atas hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum paksa juga merupakan pelanggaran atas hak untuk hidup, sehingga negara harus bertanggungjawab untuk mengambil tindakan yang efektif dalam bidang legislatif, administratif, peradil perbuatan penghilangan paksa merupakan kejahatan terhadap martabat manusia. Perbuatan ini dikutuk karena merupakan pelanggaran berat dan menyolok atas hak asasi manusia dan kebebasan dasar yang diumumkan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi


(26)

Manusia dan ditegaskan kembali dan dikembangkan dalam instrumen – instrumen internasional dalam bidang ini.15

Setiap orang berhak untuk menyatakan pendapat tanpa mengalami gangguan, dalam hal ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberi informasi / keterangan dan segala macam gagasan tanpa memperhatikan pembatasan-pembatasan, baik secara lisan maupun tulisan atau tercetak, dalam bentuk

seni, at

Tujuan dari penghilangan orang adalah agar yang bersangkutan, baik korban dan kelompoknya, menjadi kapok dan tidak melakukan hal yang sama, menentang penguasa. Ini adalah salah satu senjata ampuh yang digunakan. Selain motif mempertahankan kekuasaan, juga ada motif lainnya yaitu penghilangan saksi mata dan teror. Penghilangan saksi mata merupakan sebuah upaya menghilangkan saksi atas sebuah peristiwa politik yang cukup keras atau pelanggaran HAM yang berat. Penghilangan saksi mata biasanya terjadi di suatu tempat dimana telah terjadi kekerasan antara negara dan masyarakat yang begitu meluas sehingga negara merasa perlu melindungi dirinya dengan melakukan praktek penghilangan orang secara paksa.

Penghilangan merupakan sebuah upaya yang dilakukan oleh sebuah kekuatan / rezim kekuasaan terhadap “ancaman” yang tidak mempunyai celah untuk dikriminalisasikan. Ketidakmampuan secara yuridis biasanya memaksa sebuah rezim untuk melakukan tindakan-tindakan untuk meminimalisir ancaman terhadap kekuasaannya. Maka penghilangan orang secara paksa menjadi sebuah “logika kekuasaan” yang patut dilakukan. Berdasarkan kepada hal tersebut peneliti kemudian tertarik melakukan penelitian dengan judul “Pelanggaran Hak Sipil dan Politik Warga Negara (Studi Kasus Penghilangan Orang Secara Paksa Periode 1997 – 1998).

15

IKOHI, 2007, Kasus Penghilangan Paksa : Kasus Yang Belum Selesai,


(27)

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, adapun perumusan masalah dalam penelitian ini yaitu “Bagaimana penghilangan orang secara paksa periode 1997 – 1998 mengekang kebebasan hak berpolitik warga negara di masa orde baru?”

3. Pembatasan Masalah

Pembatasan masalah merupakan usaha – usaha bagaimana menetapkan masalah dalam batasan penelitian yang hendak diteliti. Batasan masalah ini berguna untuk mengidentifikasi faktor mana saja yang termasuk ke dalam masalah penelitian dan faktor mana saja yang tidak masuk ke dalam ruang penelitian. Adapun pembatasan masalah yang akan diteliti oleh peneliti adalah sebagai berikut :

1. Penelitian ini mengkaji tentang implementasi hak sipil dan politik warga negara Indonesia di masa Orde Baru.

2. Penelitian ini mengkaji tentang penghilangan orang secara paksa dalam lingkup penghilangan secara paksa 23 aktivis periode 1997 – 1998.

4. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Mengetahui sejauh mana implementasi hak sipil dan politik warga negara Indonesia.

2. Memahami dan menganalisis penyebab penghilangan orang secara paksa periode 1997 – 1998.

5. Signifikansi Penelitian

1. Penelitian ini dapat dijadikan sebagai karya ilmiah dalam upaya

mengembangkan kompetensi peneliti serta untuk memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan studi program strata satu (S1) Departemen Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.


(28)

2. Secara teoritis, penelitian ini merupakan kajian ilmu politik yang diharapkan mampu memberikan kontribusi pemikiran mengenai konsep hak sipil dan politik.

3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi atau

sumbangsih bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan menambah khazanah ilmu pengetahuan dalam Ilmu Politik serta menjadi referensi atau kepustakaan bagi Departemen Ilmu Politik FISIP USU.

6. Kerangka Teori

Salah satu unsur penting dalam sebuah penelitian adalah kerangka teori, karena teori berfungsi sebagai landasan berpikir untuk menggambarkan dari mana peneliti melihat objek yang di teliti sehingga penelitian dapat lebih sistematis. Teori adalah rangkaian asumsi, konsep, konstruksi, defenisi, dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep.16

6.1. Hak Asasi Manusia

Menurut Teaching Human Rights yang diterbitkan Perserikatan Bangsa – Bangsa (PBB), Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak – hak yang melekat pada setiap manusia, yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia.17 Hak asasi artinya hak yang bersifat mendasar (grounded), pokok atau prinsipil. HAM menyatakan bahwa manusia memiliki hak yang bersifat mendasar. Adanya hak pada seseorang berarti bahwa ia mempunyai suatu “keistimewaan” yang membuka kemungkinan baginya untuk diperlakukan sesuai dengan “keistimewaan” yang dimilikinya.18

16

Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survei, (Jakarta : LP3ES,1989), Hlm. 37 17

A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, Demokrasi : Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, Prenada Media Group, Jakarta : 2009; hlm 110.

18

Mahrus Ali dan Syarif Nurhidayat, op.cit hlm 5

Bangsa Indonesia memiliki rumusan HAM yang dirasa sebagai rumusan yang sesuai dengan kondisi sosiologis bangsa Indonesia, meskipun masih banyak mengadopsi aturan HAM dari dunia barat. Rumusan HAM dapat ditemukan dalam beberapa aturan hukum yang


(29)

dihasilkan badan legislatif, diantaranya dalam Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan dalam Undang – Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak-hak dasar yang dimiliki oleh setiap manusia yang bersifat kodrati, universal, dan berkelanjutan sejak ia masih berada di dalam kandungan, dan dilahirkan hingga sepanjang hayatnya. Dan secara demokratis, setiap manusia harus menghormati hak-hak asasi manusia lainnya tanpa terkecuali. Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan seperangkat hak yang menjamin derajatnya sebagai manusia. Hak-hak inilah yang kemudian disebut dengan Hak Asasi Manusia, yaitu hak yang diperoleh sejak kelahirannya sebagai manusia yang merupakan karunia Sang Pencipta. Karena setiap manusia diciptakan sederajat kedudukannya, dengan hak-hak yang sama, maka prinsip persamaan dan kesederajatan merupakan hal utama dalam interaksi sosial.19

Hak asasi manusia merupakan suatu hak yang melekat dalam diri manusia karena nilai humanitasnya. Menurut Krisdyatmiko, hak asasi manusia pada dasarnya dapat dibagi menjadi tiga, yaitu hak klasik berupa hak sipil – politik, hak ekonomi, dan hak sosial budaya. Ketiga klasifikasi tersebut dapat dipadatkan menjadi dua saja, yaitu hak sipil – politik dan hak sosial - budaya. Satjipto Rahardjo membagi generasi HAM menjadi tiga, yaitu generasi pertama yang meliputi hak sipil dan politik, generasi kedua yang meliputi hak sosial, ekonomi, dan budaya, dan generasi ketiga yang memuat sejumlah hak – hak kolektif.20

19

Abdul Hakim Garuda Nusantara; Keadaan Hak Sipil dan Politik Indonesia Satu Dasa Warsa Reformasi;

HAM, Apapun jenisnya, memiliki kedudukan yang sama, harus dihormati dan dilindungi oleh semua pihak terutama oleh negara sebagai entitas yang memiliki otoritas yang besar.

20


(30)

Beberapa ciri pokok hakikat HAM, yaitu:21

1. HAM tidak perlu diberikan, dibeli, ataupun di warisi, HAM adalah bagian dari manusia secara otomatis.

2. HAM berlaku untuk semua orang tanpa memandang jenis kelamin, ras, agama, etnis, pandangan politik atau asal usul sosial, dan bangsa.

3. HAM tidak bisa dilanggar, tidak seorangpun mempunyai hak untuk membatasi atau melanggar hak orang lain. Orang tetap mempunyai HAM walaupun sebuah negara membuat hukum yang tidak melindungi atau melanggar HAM.

6.2.Hak Sipil dan Politik

Secara jelas undang-undang tidak menyebutkan pengertian tentang hak sipil dan politik, namun dapat di simpulkan bahwa hak-hak sipil dan politik adalah hak yang bersumber dari martabat dan melekat pada setiap manusia yang dijamin dan dihormati keberadaannya oleh negara agar manusia bebas menikmati hak-hak dan kebebasannya dalam bidang sipil dan politik yang pemenuhannya menjadi tanggung jawab negara.22 Dengan kata lain, hak sipil dan politik adalah hak asasi dan kebebasan dasar manusia yg pemenuhan, penghormatan dan perlindungannya sangat ditentukan ada atau tidaknya hukum yg menjamin dan kekuasaan yang taat hukum serta memberikan kepastian hukum menjamin penegakannya jika ada pelanggaran.23

1. Setiap manusia berhak atas hak untuk hidup yang melekat pada dirinya. Hak ini wajib dilindungi oleh hukum. Tidak seorang pun dapat dirampas hak hidupnya secara sewenang – wenang.

Secara rinci hak – hak sipil dan politik antara lain sebagai berikut :

21

Subandi Al Mursadi, Pancasila dan UUD 1945 dalam Paradigma Reformasi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003, hlm 97.

22

KontraS, Hak Sipil dan Hak Politik, 2010, op.cit; hlm 1. 23


(31)

2. Tidak seorang pun yang dapat dikenakan penyiksaan atau perlakuan hukuman yang keji, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat. Pada khususnya, tidak seorangpun dapat dijadikan obyek eksperimen medis atau ilmiah tanpa persetujuan yang diberikan secara bebas;

3. Tidak seorangpun dapat diperbudak; perbudakan dan perdagangan budak dalam segala bentuknya harus dilarang;

4. Setiap orang berhak atas kebebasan dan keamanan pribadi;

5. Setiap orang yang secara sah berada dalam wilayah suatu negara, berhak atas kebebasan untuk bergerak dan kebebasan untuk memilih tempat tinggalnya dalam wilayah tersebut;

6. Semua orang mempunyai kedudukan yang sama di hadapan pengadilan dan badan peradilan;

7. Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan

beragama;

8. Setiap orang berhak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat; 9. Dilarang adanya setiap bentuk diskriminasi.24

Hak – hak sipil dan politik, meliputi :25 1. Hak hidup

2. Hak bebas dari penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi 3. Hak bebas dari perbudakan dan kerja paksa

4. Hak atas kebebasan dan keamanan pribadi 5. Hak atas kebebasan bergerak dan berpindah

6. Hak atas pengakuan dan perlakuan yang sama dihadapan hukum 7. Hak untuk bebas berfikir, berkeyakinan dan beragama

8. Hak untuk bebas berpendapat dan berekspresi 9. Hak untuk berkumpul dan berserikat

10. Hak untuk turut serta dalam pemerintahan

24

Lebih lengkap dapat dibaca dalam Konvensi Internasional Hak – Hak Sipil dan Politik, bagian II Pasal 6 – Pasal 27. 25


(32)

Karakteristik hak sipil dan politik :26 1. Negara bersifat pasif

2. Dapat diajukan ke pengadilan 3. Tidak bergantung pada sumber daya 4. Non-ideologis

Di dalam perlindungannya peran negara harus dibatasi karena hak-hak sipil dan politik merupakan Negative Right (hak dan kebebasan akan terjamin dan terpenuhi apabila peran negara dibatasi). Sebelum amandemen, ada dua pasal dalam UUD 1945 yang menjamin hak sipil dan politik di Indonesia, yaitu pada pasal 28 dan pasal 29, yaitu kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, dan hak untuk beragama dan berkepercayaan. Dua pasal tersebut dimasukkan ke dalam UUD 1945 setelah melalui perdebatan panjang antara Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta.27

Indonesia pada 30 September 2005 meratifikasi dua perjanjian internasional tentang hak – hak manusia, yaitu Kovenan Internasional tentang Hak – hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights – ICESCR) dan Kovenan Internasional tentang Hak – hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights – ICCPR).

28

26

Ibid, hlm 5. 27

Suparman Marzuki, op.cit; hlm 6. 28

Yosep Adi Prasetyo, op.cit.; hlm 4.

Ratifikasi ini menimbulkan konsekuensi terhadap pelaksanaan hak – hak manusia, karena negara Indonesia telah mengikatkan diri secara hukum. Antara lain pemerintah telah melakukan kewajiban untuk mengadopsi perjanjian yang telah diratifikasi ini ke dalam perundang – undangan, baik yang dirancang maupun yang telah diberlakukan sebagai UU. Yang lain adalah pemerintah memiliki kewajiban mengikat untuk mengambil berbagai langkah dan kebijakan dalam melaksanakan kewajiban untuk menghormati (to respect), melindungi (to protect) dan memenuhi (to fullfil) hak – hak manusia. Kewajiban ini juga diikuti


(33)

dengan kewajiban pemerintah yang lain, yaitu untuk membuat laporan yang bertalian dengan penyesuaian hukum, langkah, kebijakan dan tindakan yang dilakukan.

Berikut adalah rincian hak – hak sipil dan politik sebagaimana tercantum dalam UU No 12 Tahun 2005 yang merupakan ratifikasi terhadap Kovenan Internasional tentang hak sipil dan politik. 29

No Pasal Hak - Hak Sipil dan Politik

1 Pasal 6 Hak untuk hidup (tidak dibunuh/dihukum mati setidaknya bagi anak di bawah 18 tahun)

2 Pasal 7 Hak untuk tidak disiksa, diperlakukan atau dihukum secara keji, tak manusiawi atau merendahkan martabat manusia (termasuk tidak diculik/dihilangkan secara paksa, diperkosa)

3 Pasal 8 Hak untuk tidak diperbudak (larangan segala bentuk

perbudakan, perdagangan orang, dan kerja paksa,)

4 Pasal 9 Hak atas kebebasan dan keamanan pribadi (tidak ditangkap atau ditahan dengan sewenang-wenang, didasarkan pada ketentuan hukum acara pidana)

5 Pasal 10 Hak sebagai tersangka dan terdakwa (diperlakukan manusiawi, anak dipisahkan dari orang dewasa, sistem penjara bertujuan reformasi dan rehabilitasi)

6 Pasal 11 Hak untuk tidak dipenjara atas kegagalan memenuhi kewajiban kontraktual (utang atau perjanjian lainnya)

7 Pasal 12 Hak atas kebebasan bergerak dan berdomisili (termasuk

meninggalkan dan kembali ke negerinya sendiri)

8 Pasal 13 Hak sebagai orang asing (dapat diusir hanya sesuai hukum atau alasan yang meyakinkan mengenai kepentingan keamanan nasional)

9 Pasal 14 Hak atas kedudukan yang sama di muka hukum (dibuktikan

kesalahannya oleh pengadilan yang berwenang dan tidak memihak, jaminan minimal, dapat ditinjau kembali, tidak diadili dua kali dalam perkara yang sama)

29


(34)

No Pasal Hak - Hak Sipil dan Politik

10 Pasal 15 Hak untuk tidak dipidana berdasarkan hukum yang berlaku surut (jika keluar ketentuan hukum sebelum tindak pidana, si pelaku harus mendapatkan keringanannya)

11 Pasal 16 Hak sebagai subyek hukum (hak perdata setiap orang seperti kewarganegaraan)

12 Pasal 17 Hak pribadi (tidak dicampuri atau diganggu urusan pribadi seperti kerahasiaan, keluarga atau rumah tangga, kehormatan, surat-menyurat atau komunikasi pribadi)

13 Pasal 18 Hak atas kebebasan berpikir, beragama dan berkeyakinan (menganut ideologi atau orientasi politik, memeluk agama dan kepercayaan)

14 Pasal 19 Hak atas kebebasan berpendapat (termasuk mencari, menerima dan menyebarkan informasi, dalam bentuk karya seni/ekspresi atau melalui sarana lainnya)

15 Pasal 20 Hak untuk bebas dari propaganda perang dan hasutan rasial (kebencian atas dasar kebangsaan, ras, agama atau golongan) 16 Pasal 21 Hak atas kebebasan berkumpul (mengadakan pertemuan,

arak-arakan atau keramaian)

17 Pasal 22 Hak atas kebebasan berserikat (bergabung dalam perkumpulan, partai politik atau serikat buruh)

18 Pasal 23 Hak untuk menikah dan membentuk keluarga (tidak dipaksa, termasuk tanggung jawab atas anak)

19 Pasal 24 Hak anak untuk mendapatkan perlindungan dan jaminan (setiap kelahiran anak didaftarkan dan memperoleh kewarganegaraan tanpa diskriminasi)

20 Pasal 25 Hak untuk berpartisipasi dalam politik (termasuk memilih, dipilih dan tidak memilih)

21 Pasal 26 Hak untuk bebas dari diskriminasi dalam hukum (semua orang dilindungi hukum tanpa diskriminasi)

22 Pasal 27 Hak kelompok minoritas (mendapatkan perlindungan khusus) Tabel 1.3. Rincian Pasal Hak Sipil dan Politik


(35)

6.3. Kekuasaan

Kekuasaan merupakan suatu kondisi yang memunculkan dua pemahaman. Pertama, pemahaman tentang orang yang memperoleh kekuasaan dan kedua pemahaman tentang orang yang dikuasai atau tunduk pada kekuasaan. Pemahaman sentral yang berkenaan dengan ini berkisar pada sumber kekuasaan sebagai legitimasi atas kekuasaan itu pada satu sisi dan kemauan seseorang untuk tunduk pada kekuasaan yang maknanya adalah pembatasan dan bahkan menerima tekanan pada sisi yang lain. Keabsahan atau kekuasaan merupakan satu legitimasi untuk melakukan tindakan yang dalam tataran objektif tidak bisa seperti itu. Artinya, tanpa adanya legitimasi kekuasaan, tindakan seseorang baik secara pribadi apalagi secara kelembagaan tidak akan dilaksanakan. Legitimasi ini begitu penting maknanya sebagai dasar dari kekuasaan. 30

Menurut Harold D. Laswell dan Abraham Kaplan, kekuasaan adalah suatu hubungan di mana seseorang atau sekelompok orang dapat menentukan tindakan seseorang atau kelompok lain ke arah tujuan dari pihak pertama. Esensi dari kekuasaan adalah hak mengadakan sanksi. Upaya mengadakan kekuasaan berbeda – beda, di antaranya : 31

1. Kekerasan fisik (force)

2. Koersi (coercion) yaitu melalui ancaman akan diadakannya sanksi

3. Persuasi (persuasion) yaitu proses meyakinkan, berargumentasi dan merujuk kepada pendapat seorang ahli.

4. Memberikan ganjaran (reward) memberikan intensif, imbalan atau

kompensasi.

Sumber kekuasaan adalah berupa kedudukan, kekayaan, dan kepercayaan. Bagaimana seseorang yang mempunyai kedudukan yang tinggi pasti akan mempunyai kuasa atas bawahannya, dan bagaimana orang yang mempunyai kekayaan yang berlimpah mempunyai kuasa untuk membuat orang melakukan apa yang dia mau

30

Samsul Wahidin, Dimensi Kekuasaan Negara Indonesia, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2007, hlm 1.

31


(36)

dengan imbalan akan diberikan uang, begitu juga dengan manusia yang memiliki kepercayaan dari banyak manusia lainnya yang pada akhirnya membuat manusia tersebut mempunyai kuasa untuk mengambil keputusan untuk banyak hal. 32

6.4.Penghilangan Orang Secara Paksa

Penjelasan Pasal 9 huruf i unsur – unsur tindak pidana Statuta Roma menyatakan, bahwa yang dimaksud dengan penghilangan orang secara paksa yakni penangkapan, penahanan, atau penculikan seseorang oleh atau dengan kuasa, dukungan, atau persetujuan dari negara atau kebijakan organisasi, diikuti oleh penolakan untuk mengakui perampasan kemerdekaan tersebut atau untuk memberikan informasi tentang nasib atau keberadaan orang tersebut, dengan maksud untuk melepaskan dari perlindungan hukum dalam jangka waktu yang panjang.33 Unsur – unsur berupa penghilangan secara paksa sebagai berikut :34

1. Pelaku menangkap, menahan, atau menculik satu orang atau lebih, atau pelaku menolak untuk mengakui penangkapan, penahanan, atau penculikan, atau menolak untuk memberikan informasi menyangkut nasib atau keberadaan orang – orang,

2. Penangkapan, penahanan, atau penculikan tersebut diikuti dengan suatu penolakan untuk mengakui pencabutan kebebasan atau menolak memberikan informasi tentang nasib atau keberadaan orang atau orang – orang itu, atau penolakan semacam itu dilakukan atau disertai dengan pencabutan kebebasan yang dimaksud;

3. Pelaku menyadari bahwa penangkapan, penahanan atau penculikan tersebut akan diikuti dengan suatu rangkaian tindakan yang biasanya dilakukan dengan penolakan untuk mengakui adanya pencabutan kebebasan semacam itu atau untuk memberikan informasi tentang nasib atau keberadaan orang – orang itu,

32

Ibid; hlm 62.

33

Mahrus Ali dan Syarif Nurhidayat,op.cit; hlm 169 34


(37)

4. Penangkapan, penahanan atau penculikan tersebut dilakukan dengan atau melalui pengesahan, dukungan atau bantuan dari suatu negara organisasi politik;

5. Penolakan untuk mengakui dicabutnya kebebasan tersebut untuk

memberikan informasi tentang nasib atau keberadaan orang itu yang dilakukan melalui pengesahan, dukungan, atau bantuan dari negara atau organisasi politik;

6. Pelaku bermaksud untuk menghilangkan perlindungan hukum orang atau

orang – orang itu untuk suatu jangka waktu yang tak tentu;

Dalam Statuta Roma unsur – unsur penghilangan secara paksa sama dengan unsur – unsur sebagaimana disebutkan di atas ditambah dengan dua unsur lagi, berupa tindakan tersebut dilakukan sebagai bagian dari serangan meluas atau sistematik yang ditujukan terhadap suatu kelompok penduduk sipil dan pelaku mengetahui bahwa tindakan tersebut merupakan bagian dari atau memaksudkan tindakan itu menjadi bagian dari serangan meluas atau sistematik terhadap suatu kelompok penduduk sipil.35

7. Metodologi Penelitian

Metodologi penelitian merupakan ilmu yang mempelajari cara yang digunakan untuk menyelidiki masalah yang memerlukan pemecahan. Implisit dalam defenisi metodologi adalah satu set prinsip – prinsip atau kriteria – kriteria yang dengannya para peneliti dapat meneliti kebenaran dari prosedur – prosedur penelitian. Metode penelitian menuntun dan mengarahkan pelaksanaan penelitian agar hasilnya sesuai realitas. 36

7.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif, yaitu penelitian yang mengacu pada identifikasi sifat – sifat yang membedakan atau karakteristik sekelompok manusia, benda atau peristiwa. Pada dasarnya, deskripsi

35

Ibid, hlm 170. 36


(38)

kualitatif melibatkan proses konseptualisasi dan menghasilkan pembentukan skema – skema klasifikasi37

7.2. Teknik Pengumpulan Data .

Data primer adalah data yang diambil dari sumber data pertama. Data primer didapatkan dari wawancara. Pada penelitian ini key informan adalah Pak Mugiyanto, salah satu korban penghilangan orang secara paksa sekaligus Ketua IKOHI (Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia), yang akan diwawancarai untuk memberikan data dan informasi terkait kasus penghilangan orang secara paksa periode 1997 - 1998. Data sekunder, dimana data yang diperoleh atau dikumpulkan peneliti dari berbagai sumber yang telah ada (peneliti sebagai tangan kedua). Data sekunder dapat diperoleh melalui buku, makalah, laporan, jurnal, dan lain – lain. Nantinya teori dan referensi dari sumber – sumber data sekunder tersebut dapat dijadikan panduan dalam melakukan penelitian ini.

7.3.Teknik Analisa Data

Metode penelitian kualitatif lebih berorientasi kepada eksplorasi dan penemuan (discovery oriented). Oleh karena itu peneliti akan mencoba memahami fenomenanya atau gejala yang dilihat sebagaimana adanya dengan teknik analisa induktif yang dimulai dengan melakukan observasi – obsevasi untuk menemukan pola atau hubungan daripada judul penelitian.38

37

Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya, Jakarta, Prenada Media Group, hlm 6.

38


(39)

8. Sistematika Penulisan

Untuk lebih terarah dan mempermudah dalam pembahasan skripsi ini, maka penyusun akan mensistematiskan pembahasan sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini berisikan mengenai Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Kerangka Teori, Metodologi Penelitian dan Sistematika Penelitian.

BAB II : DESKRIPSI KASUS

Dalam bab ini akan menggambarkan sejarah dan perkembangan hak sipil dan hak sipil politik serta profil ke 23 aktivis pro demokrasi periode 1997 – 1998 yang dinyatakan hilang.

BAB III : ANALISIS DATA

Bab ini nantinya akan berisikan tentang kronologis kasus serta penyajian data dan juga fakta yang diperoleh dari buku – buku, majalah, koran, dan juga akan menyajikan pembahasan dan analisis data dan fakta tersebut.

BAB IV : PENUTUP

Bab ini merupakan bab terakhir yang berisi kumpulan yang diperoleh dari hasil analisis data pada bab – bab sebelumnya serta berisi kemungkinan adanya saran – saran yang peneliti peroleh setelah melakukan penelitian.


(40)

BAB II

PELANGGARAN HAK SIPIL DAN POLITIK

Pada bab ini peneliti akan mencoba mendeskripsikan sejarah dan perkembangan hak sipil dan politik dari awal dan perkembangannya sampai di Indonesia. Dan untuk menjelaskan adanya pelanggaran hak sipil hak politik peneliti akan mencoba memberikan gambaran atau profil ke 23 aktivis pro demokrasi, baik yang sempat dinyatakan hilang dan sudah kembali maupun yang sampai saat ini masih dinyatakan hilang. Bagaimana aktivitas politik para aktivis tersebut dan selama dalam penyekapan apa yang terjadi kepada mereka.

Di akhir bab ini peneliti juga akan mencoba menjelaskan profil Tim Mawar, anggota Kopassus yang terbukti melakukan penculikan terhadap terhadap aktivis pro demokrasi 1997 – 1998. Meskipun dalam persidangan Tim Mawar hanya terbukti melakukan penculikan terhadap 9 aktivis yang sudah dikembalikan. Dalam bab ini akan didapatkan gambaran bagaimana pemerintahan pada masa orde baru rentan terhadap pelanggaran hak sipil dan politik warga negara.

2.1 Sejarah dan Perkembangan Hak Sipil dan Politik

Hak sipil dan politik merupakan konsep asli dari International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) atau Kovenan Internasional Hak - Hak Sipil dan Politik (KIHS). Konsep ini berdampingan dengan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (International Covenant of Economic, Social, and Cultural Rights) (ICESCR). Kovenan ini merupakan hasil dari kompromi politik antara Blok Barat dengan Blok Timur, yang ditetapkan oleh PBB pada 16 Desember 1966, dan baru mulai berlaku 23 Maret 1976. Gagasan yang mendorong kovenan ini adalah demokrasi, kebebasan, dan persamaan.


(41)

International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) atau Kovenan Internasional Hak - Hak Sipil dan Politik (KIHS) telah diratifikasi oleh Indonesia pada tahun 2005. Oleh karena itu produk hukum internasional tentang Hak Asasi Manusia tersebut telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari hukum nasional Indonesia. Sehingga dengan demikian, negara yakni pemerintah harus menjalankan kewajiban-kewajibannya menurut Kovenan Internasional Hak – Hak Sipil dan Politik.

Di sisi lain, setiap orang yang hidup dan tinggal di wilayah dan yurisdiksi Indonesia berhak untuk memperoleh penghormatan, kesempatan dan perlindungan yang sebesar-besarnya untuk dapat menikmati hak-hak asasinya, sebagaimana tertuang dalam Kovenan Internasional Hak – Hak Sipil dan Politik.39

Setelah ditemukan, pengakuan HAM harus melalui berbagai tahapan untuk kemudian dimodifikasi. Modifikasi pertama HAM adalah Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tahun 1948. Jika Magna Charta, tahun 1215 dianggap sebagai tonggak kelahiran HAM (yang diyakini oleh pakar Eropa), maka betapa panjang dan lama proses perjalanan HAM dari mulai ditemukan sampai dimodifikasi oleh Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tahun 1948.

Penghormatan, kesempatan, dan perlindungan ini wajib diberikan oleh negara, tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, pandangan politik ataupun pandangan lainnya, asal-usul kebangsaan atau sosial, hak milik, status kelahiran ataupun status lainnya. HAM terbentuk dari rangkaian panjang kehidupan umat manusia, dan perkembangannya belum berakhir, bahkan terus berputar dan bergulir seiring dengan dinamika perkembangan zaman serta peradaban manusia itu sendiri. Terjadinya penindasan, penjajahan dan kesewenang-wenangan merupakan awal pembuka kesadaran manusia tentang konsep HAM. Sehingga patutlah jika dikatakan, sejarah HAM adalah sejarah korban. Pada awal mulanya para korban-korban itulah yang menemukan dan memperjuangkan hak-haknya.

40

39

40

Idhal Kashim, Hak – Hak Sipil dan Politik : Esai – Esai Pilihan, Jakarta, 2001, Elsam, hlm 1


(42)

secara sederhana dibagi menjadi 4 periode waktu, yakni; zaman penjajahan (1908-1945), masa pemerintahan orde lama (1946-1966), masa orde baru (1966-1998), dan masa reformasi (1998-sekarang). Fokus perjuangan penegakan HAM di zaman penjajahan adalah mewujudkan kemerdekaan agar terbebas dari imperialisme dan kolonialisme, pada masa orde lama adalah mewujudkan demokrasi, masa orde baru adalah perjuangan hak sipil dan politik, dan masa reformasi perjuangan mulai menjangkau aspek lebih luas terutama hak ekonomi, sosial dan budaya. 41

Pada masa rezim Orde Baru, selama sepuluh tahun, paling tidak ada 4 (empat) produk hukum yang menunjukkan kepedulian negara pada Hak Sipil dan Politik yaitu, UU Pokok Kekuasaan Kehakiman (UU No. 14 Tahun 1970), UU Hukum Acara Pidana (UU No. 8 Tahun 1981), UU Ratifikasi Kovenan Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskrikminasi terhadap Perempuan, Keputusan Presiden pengesahan Konvensi Hak Anak. Di luar 4 (empat) produk hukum ini, rezim Orde Baru terus memproduksi berbagai UU dan peraturan perundangan yang melanggar Hak Sipil dan Politik, misalnya, UU Pemilu, UU Partai Politik, UU Kemasyarakatan, Kebijakan Litsus (Penelitian khusus) untuk menyingkirkan orang-orang yang dituduh mempunyai hubungan dengan PKI, dan sebagainya, di samping itu pemerintah tetap mempertahankan dan secara intensif dan ekstensif menggunakan UU Anti Subversif, pasal-pasal anti Hak Sipil dan Politik yang termuat dalam KUHP untuk melemahkan para aktivis pro-demokrasi.42

Akan tetapi setelah lebih dari satu dasawarsa, nuansa demokratisasi dan perlindungan HAM mulai hilang, ditandai dengan maraknya praktek KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) serta berbagai rekayasa untuk kepentingan politik dan penguasa. Pemerintahan di Orde Baru seringkali melakukan tindakan – tindakan yang melanggar HAM, termasuk penghilangan orang secara paksa, sekalipun pada tahun 1993 pemerintah sudah mendirikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas

41

Muladi, Hak Asasi Manusia : Hakekat, Konsep & Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, Bandung, Refika Aditama, 2005, hlm 49.

42


(43)

HAM), tapi dalam realisasinya Komnas HAM tidak memiliki kekuatan dalam melaksanakan tugasnya, hanya terbatas pada pemantauan dan penyelidikan semata.43

Sejak Orde Reformasi yang resmi ditandai dengan lengsernya Soeharto dari kekuasaan otoriternya selama 32 tahun pada bulan Mei tahun 1998, lahirlah berbagai produk hukum yang dimaksudkan untuk memperbaiki kondisi Hak-hak Sipil dan Politik Indonesia, antara lain, Tap MPR tentang HAM, UU Pers, UU tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat (UU Unjukrasa), UU HAM (UU No. 39 Tahun 1999), UU Pemilu, UU Parpol, UU Otonomi Daerah, UU Ratifikasi Konvensi PBB Menentang Penyiksaan, atau perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat, UU Ratifikasi Konvensi Anti Diskriminasi Rasial. Pada tahun 2000, ketika memasuki Amandemen ke II UUD 1945, suatu daftar panjang HAM dimasukkan kedalam Konstitusi, yaitu pasal 28 A sampai dengan pasal 28 J UUD 1945.

Hal tersebut juga otomatis melemahkan hak sipil dan politik masyarakat.

44

Dapat kita lihat pada masa pemerintahan B. J. Habibie, dimana tahanan politik dibebaskan, dipercepatnya diadakan pemilihan umum, dan sebagainya yang membuat perlindungan hak sipil politik mendapat tempat yang cukup baik. Pada masa pemerintahan Gus Dur, adanya juga pembebasan tahanan politik, reformasi TNI – Polri, dan adanya pengusutan kasus HAM masa lalu membuat perlindungan hak sipil politik mengalami kemajuan. Memasuki pemerintahan Megawati adanya pembentukan lembaga negara yang independen seperti KPU, MK, dan KPK. Dan pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, tidak ada kemajuan yang berarti dalam perlindungan hak sipil politik. Belum adanya kepastian hukum dan belum adanya keadilan bagi korban terhadap kasus – kasus pelanggaran hak sipil politik masa lalu.

Dengan demikian HAM tidak lagi semata-mata hak moral dan hak atas dasar UU. Tapi HAM sudah merupakan bagian dari hak-hak Konstitusional yang mesti di patuhi oleh pembuat UU (pemerintah dan DPR) dan jajaran aparat yudisial.

43

Muladi, op.cit; hlm 50. 44


(44)

Tidak adanya perhatian khusus dari pemerintah untuk menyelesaikan kasus pelanggaran hak sipil politik di masa lalu.

2.2. Profil Korban Kasus Penghilangan Orang Secara Paksa Periode 1997 – 1998

Berikut ini adalah profil dan gambaran aktifitas politik masing – masing korban kasus penghilangan orang secara paksa periode 1997 – 1998 :

2.2.1. Yani Afri (Ryan)

Yani Afri atau biasa dipanggil Ryan, hilang sejak 26 Mei 1997. Pemuda yang dilahirkan pada tanggal 27 April 1971 itu adalah sopir angkutan umum yang juga anggota PDI pro –Megawati. Saat kampanye pemilu 1997, ia menunjukkan keberpihakkannya pada Megawati. Pada tanggal 23 April 1997, sejumlah aparat berseragam dari Komando Distrik Jakarta Utara mendatangi tempat tinggalnya di Rumah Susun Tanah Abang, Blok 36, Lantai 3. Mereka lalu membawa Ryan bersama rekannya, Sony ke kantor Kodim tersebut. Ryan ditahan disana dan hingga hari ini Ryan belum juga pulang. Sebelum hilang, ia bertempat tinggal di Rumah Susun Tanah Abang, Blok 36 lantai 3 Jakarta.45

2.2.2. Dedy Hamdun

Dedy Umar Hamdun, dengan sapaan akrab Hamdun, pria kelahiran Jakarta 29 Juli 1954, suami dari artis Eva Arnas. Selain berprofesi sebagai pengusaha yang beralamat di Jalan Kebon Nanas Selatan Jakarta Timur, dia aktif di Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Dedy Hamdun aktif dalam aksi-aksi Mega Bintang Rakyat (MBR) menjelang Pemilu 1997. Dedi Hamdun dilaporkan hilang sejak tanggal 29 Mei 1998, bersama rekannya Noval Alkatiri dan Ismail, supir Dedi Hamdun dan mereka belum kembali sampai sekarang.46

45

Wawancara dengan Adi, Ketua IKOHI Sumatera Utara yang dilakukan pada 10 Juni 2013 46


(45)

Dedy Hamdun ketika itu baru menghantarkan isterinya, Eva Arnas ke Rumah Sakit Bersalin Bunda di Jakarta Pusat. Diduga Dedy Hamdun diculik karena aktivitasnya mendukung kampanye PPP dalam pemilu 1997. Namun ada yang menduga juga dia dihabisi oleh saingan bisnisnya karena saingan masalah tanah. Tetapi dugaan tersebut dapat dibantah, karena ternyata Dedy Hamdun disekap bersama aktivis lainnya.

2.2.3. Ismail

Ismail, sopir dari Dedy hamdun yang lahir di Jakarta, dia diculik karena saat itu korban mengetahui tentang penculikan Dedy Hamdun dan Noval Alkatiri. Hal ini berdasarkan aktivitas korban yang sama sekali tidak bersentuhan dengan konteks politik saat itu. Ia dilaporkan hilang sejak tanggal 29 Mei 1998 dan belum kembali sampai sekarang.47

2.2.4. Noval Alkatiri

Noval Alkatiri, pengusaha kelahiran 25 Mei 1967 akrab dengan panggilan Noval yang bertempat tinggal di Kebon Baru Tebet, Jakarta Selatan adalah pendukung berat Megawati pada kampanye Pemilihan Umum (Pemilu) 1997. Dia diculik bersama dengan Dedy Hamdun dan Ismail, sopirnya ketika baru saja menghantarkan Dedy Hamdun bersama istrinya ke Rumah Sakit Bersalin Bunda di Jakarta Pusat. Noval pun sempat bertemu dengan Sony dan Yani Afri di tempat penyekapan. Kemudian hal tersebut diceritakan oleh Sony kepada Pius (salah satu korban penculikan yang telah dibebaskan). Ia dilaporkan hilang sejak tanggal 29 Mei 1998 dan belum kembali sampai sekarang.48

2.2.5. Sonny49

Sonny adalah rekan Yani Afri sebagai sesama sopir dan pendukung PDI Megawati. Di PDI, ia termasuk fungsionaris Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Jakarta Utara. Sonny ditangkap bersama dengan Yani Afri. Pius Lustrilanang, aktivis yang juga diculik namun sudah dilepaskan, mengatakan bahwa dalam penyekapan ia sempat

47

Ibid;

48

Ibid;

49


(46)

berkomunikasi antar sel dengan Sonny walaupun tidak bisa bertatap muka. Dari komunikasi tersebut terungkap bahwa Sonny ditangkap oleh aparat bersama dengan Yani Afri dan mereka sempat di tahan di Kodim Priok kemudian dibebaskan oleh aparat Kodim, kemudian beberapa saat ditangkap lagi oleh sekelompok orang .

Sonny, menurut pengakuannya kepada Pius, sempat melawan dan berpegangan kepada Kodim. Tetapi kemudian dia tidak dapat menahan pegangannya sehingga berhasil diculik. Sewaktu Pius masih disekap, Sony dan Yani dilepas. Itulah informasi terakhir tentang Sonny sebelum ia menghilang. Sonny dilaporkan hilang pada tanggal 26 Mei 1997 dan hingga kini Sonny belum kembali.

2.2.6. Petrus Bima Anugrah50

Petrus Bima Anugerah, biasa dipanggil Bimpet, lahir di Malang 24 September 1973. Ia tercatat sebagai mahasiswa di Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyakarya Jakarta, juga aktif dalam beberapa kegiatan politik seperti di Solidaritas Mahasiswa Indonesia Untuk Demokrasi (SMID) sebagai pengurus pusat dan Partai Rakyat Demokratik (PRD).

Petrus sejak belia memang sudah terasah untuk berpihak kepada orang miskin. Diapun aktif berorganisasi semenjak SMA dan gemar membaca buku-buku politik. Maka tidak mengherankan, jika tak lama kemudian ia memutuskan untuk bergabung dengan KBM (kelompok Belajar Mentari) yang salah seorang pendirinya adalah Herman Hendrawan. Di KBM, ketajaman analisisnya makin terasah dengan banyak mengkaji teori kiri. Ia belajar tentang ekonomi politik dunia ke III, filsafat dan teori gerakan buruh dan mahasiswa. KBM pun kemudian bertransformasi lebih lanjut menjadi KMUA (Keluarga Mahasiswa Universitas Airlangga), yang kemudian memperlebar sayap dengan melakukan aksi turun ke jalan.

Pada tengah malam di bulan Maret 1997, Petrus di tangkap bersama Herni Sualang dan Ilhamsyah. Polisi mendapati segepok selebaran didalam tas mereka. Saat

50


(47)

itu memang sedang maraknya aksi-aksi Mega Bintang. Selama 4 bulan mereka bertiga harus mendekam di penjara Polda Metro Jaya. Setelah keluar dari Polda, pada bulan Juni, ia pulang sebentar ke Malang dan tak lama kemudian kembali lagi ke Jakarta untuk menjalani aktivitas politiknya.

Kegelisahan karena ditangkapnya kawan – kawan Petrus pada peristiwa 27 Juli, mendorongnya kembali lagi ke Jakarta. Pada November 1997, Petrus sempat berkirim surat kepada orang tuanya dan mengatakan bahwa ia akan pulang ke Malang pada natal 1997. Namun sekitar seminggu atau dua minggu, kemudian dia mengatakan tidak jadi pulang karena sedang sibuk. Kemudian dia mengatakan akan pulang pada paskah 1998, yang jatuh pada bulan April 1998, namun hal itu pun tidak pernah terlaksana. Pada tanggal 28 Maret 1998, Petrus menelepon dan itu adalah telepon terakhir darinya yang diterima oleh orang tuanya. Menurut pengakuan Jati dan Reza, selama dalam penyekapan, pertanyaan –pertanyaan tentang Petrus cukup sering mencecar. Masuk akal kalau kemudian disimpulkan, Petrus menjadi salah satu target penculikan berikutnya. Hingga saat ini Petrus belum kembali.

2.2.7. Herman Hendrawan51

Herman Hendrawan, pria kelahiran Pangkal Pinang 29 Mei 1971 adalah mahasiswa Universitas Negeri di Surabaya (UNAIR). Herman tercatat sebagai mahasiswa jurusan politik di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP), Universitas Alangga Surabaya tahun 1990. Jurusan politik diambilnya karena dia sangat dipengaruhi perjuangan Soekarno yang menjadikan politik sebagai alat pembebasan, persatuan, persaudaraan dan menentang segala jenis penindasan.

Ia kemudian bergabung ke dalam SMID (Solidaritas mahasiswa Indonesia Untuk Demokrasi) dan PRD. Dalam berbagai aksi SMID, Herman tidak hanya piawai dalam persiapan teknis. Ia juga merupakan orator utama dalam propaganda. Keahliannya berorasi dan juga ditunjukan di panggung demokrasi di kantor DPP PDI Megawati sebelum penyerbuan 27 Juli 1996. Beberapa kali ia naik kepanggung untuk

51


(48)

berorasi menjelaskan bahwa persoalan PDI bukan konflik internal, tapi perlawanan terhadap kekuatan Militer dan Orde Baru. Ia menyerukan perlunya aksi masa untuk melawannya. Ketika SMID secara organisasi mulai melakukan pengorganisiran terhadap mahasiswa untuk merespon dinamika perlawanan kaum buruh, Herman menunjukkan perhatiannya pada perjuangan kaum buruh.

Pada 28 Juli 1996, satu hari setelah penyerbuan kantor DPP PDI Megawati, di Jalan Diponegoro Jakarta, Herman memimpin aksi masa yang diikuti oleh ribuan masa PDI Megawati dan rakyat Surabaya. Ini adalah aksi terakhir Herman di Surabaya bersama pendukung Megawati, karena keesokan harinya PRD, resmi dituduh sebagai dalang kerusuhan oleh Menkopolkam Soesilo Soedirman, dan Herman memenuhi instruksi Partai untuk masuk ke Jakarta. Di Surabaya sendiri ia menjadi buronan nomor satu saat itu, karena posisinya sebagai ketua PRD, cabang Surabaya, dan memang sudah lama diincar oleh aparat Militer. Para aktivis PRD Surabaya dan ormas-ormasnya yang ditangkapi dan di siksa oleh Bakorstanasda Kodam Brawijaya, selalu ditanyai dimana Herman dan apa hubungan PRD dengan Sucipto, ketua PDI Pro Mega di Jawa Timur. Pius Lustrilanang sempat berkomunikasi dengan Herman ditempat penyekapan. Kepada Pius, Herman mengaku diculik di RSCM pada 12 Maret 1998, hingga sekarang Herman belum kembali.

2.2.8. Suyat52

Suyat terlahir 1 Oktober 1975 di Sragen Jawa Tengah. Terakhir, selain tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik di Universitas Slamet Riadi (UNSRI) Solo, dia aktif dalam kegiatan PRD dan juga merupakan anggota SMID cabang Solo. Suyat diculik pada tanggal 12 Februari 1998, dan sampai saat ini tidak diketahui keberadaannya. Usai pemilu 1997, Suyat bersama kawan-kawan PRD dan simpatisan PDI Megawati berinisiatif membentuk Komite Nasional Pemuda Untuk Demokrasi (KNPD ) dan duduk sebagai salah seorang pengurus bersama beberapa korban penculikan lainnya seperti Herman dan Petrus Bima Anugrah. Selain melakukan

52


(49)

propaganda anti kediktatoran, KNPD juga menjadi alat menggalang kekuatan persatuan antara mahasiswa, buruh, kaum miskin kota dan petani. Menjelang sidang umum MPR, Maret 1998, KNPD membentuk Dewan Penyelamat Kedaulatan Rakyat DPKR yang dideklarasikan di YLBHI, Jakarta. Suyat masih terlihat hadir dalam deklarasi ini bersama Herman yang kemudian juga di culik.

Pada 12 Februari 1998, sekitar pukul 02.00 dini hari, puluhan Polisi dan Intel yang mengaku dari Polres Sragen mendatangi rumah Suyat di desa Banjar sari. Mereka menanyakan keberadaan Suyat dan memeriksa semua ruangan didalam rumah. Tetapi Suyat tidak mereka temukan di dalam rumah. Karena memang Suyat jarang pulang ke rumah. Apalagi sejak peristiwa 27 Juli 1996, dimana PRD dan SMID dituduh sebagai dalang kerusuhan dan resmi menjadi organisasi terlarang, justru Suyatno, kakak Suyat yang ditangkap karena wajahnya mirip Suyat.

2.2.9. Wiji Thukul

Dikenal sebagai penulis puisi revolusioner karena hampir semua puisinya berisi protes dan kritikan tajam terhadap kediktatoran rejim orba. Wiji Thukul lahir di Surakarta pada 3 November 1967 juga menciptakan lukisan cukil kayu dan merupakan seorang organizer rakyat yang militan. Aktivitasnya sebagai aktivis anti kediktatoran menghantarkannya untuk membangun Jakker (Jaringan Kerja Kesenian Rakyat) yang berafiliasi kepada PRD dan melakukan pengorganisasian rakyat.

Aksi Wiji Thukul jika membaca puisinya di tengah buruh dan mahasiswa dianggap menganggu ketenangan aparat. Dia dianggap menghasut masyarakat. Selebaran, poster, dan buletin propaganda yang dia buat tersebar luas di kalangan buruh dan petani. Kegiatannya mendidik anak – anak kampung juga dianggap menggerakkan kebencian terhadap Orde Baru. Melalui karya – karyanya sebagai seorang seniman, ia berusaha membangkitkan semangat masyarakat sekitarnya, terkenal dengan puisi – puisi yang menentang penguasa dengan kritik – kritik tajamnya saat itu. Hingga saat ini satu potongan puisi nya yang amat terkenal “Hanya satu kata : LAWAN!”


(1)

sudah kembali dan memberikan vonis kepada 11 anggota Kopassus dengan masa hukuman yang berbeda – beda dan tidak semuanya diberhentikan. Sama sekali tidak menyentuh otak pelaku penculikan, atasan mereka.

Setelah pemerintah pada akhirnya membentuk Dewan Kehormatan Perwira, pada akhirnya membuktikan bahwa penghilangan orang secara paksa ini melibatkan instansi militer dan polri, Danjen Kopassus Prabowo, Mayjen TNI Muchdi PR dan Kolonel Inf. Chairawan. Namun dalam penyelidikan lebih lanjut, tidak ada hukuman kurungan penjara yang diputuskan kepada mereka, hanya diberhentikan atau dibebastugaskan dikarenakan hasil penyelidikan memutuskan ini kesalahan dalam menjalankan instruksi dari atasan yang sampai sekarang pun tidak dijelaskan darimanakah instruksi untuk menculik aktivis tersebut. Dijelaskan hanya sebuah kesalahan teknis dalam menjalankan instruksi tanpa dijelaskan kronologis operasi penculikan secara lengkap. Untuk pengusutan lebih lanjut lagi kepada 13 aktivis yang belum kembali pun, Komnas HAM membentuk panitia khusus (pansus) untuk menyelesaikan kasus ini dan dalam laporan pansus ada 4 rekomendasi yang diberikan kepada negara untuk menyelesaikan kasus ini, yang hingga saat ini pun belum ada langkah dari negara untuk menjalankan 4 rekomendasi itu untuk menyelesaikan kasus ini.

Republik Indonesia yang memproklamasikan dirinya sebagai negara hukum dan demokratis jelas-jelas telah mengakui dan memberikan kebebasan setiap warga negaranya untuk mendapatkan Hak-hak Sipil dan Politiknya, kesemuanya tersirat dan tersurat secara jelas dalam Pembukaan UUD 1945 maupun dalam semua Undang Undang dan peraturan pendukungnya tentang HAM khususnya tentang hak-hak sipil dan politik. Dalam implementasinya, kebebasan hak sipil dan politik warga negara di Indonesia pada masa orde baru masih sangat lemah. Masyarakat masih belum bisa menyampaikan aspirasi politik dan menjadi pengawas pemerintah dalam menjalankan pemerintahan. Adanya indikasi menganggu stabilitas politik negara akan dijadikan alasan untuk pemerintah menghilangkan warga negaranya sendiri. Adanya pasal 28 dan 29 dalam UUD 1945 tentang hak sipil dan politik warga negara tampaknya kurang


(2)

berpengaruh dalam implikasinya. Kasus 23 aktivis pro demokrasi yang dihilangkan secara paksa ini hanya satu dari beberapa kasus pelanggaran hak sipil politik yang dilakukan negara kepada warga negaranya.

Akan tetapi dengan berbagai macam kasus pelanggaran-pelanggaran hak sipil dan politik yang masih banyak terjadi di wilayah dan yurisdiksi Indonesia terhadap pengakuan dan implementasi dari hak-hak sipil dan politik yang banyak dilakukan oleh oknum-oknum pejabat penyelenggara negara, aparat penegak hukum, maupun antar masyarakat sipil umum Indonesia sendiripun, semua hal dan kondisi tersebut masih menyisakan sebuah pertanyaan besar bagi kita semua. Saat ini yang kita butuhkan adalah ketaatan pemerintah untuk menegakkannya sehingga pemenuhan, penghormatan dan perlindungan menjadi kenyataan sosial dan bukan sekadar kenyataan normatif pemenuhan, dapat dimulai dengan menjalankan 4 rekomendasi dari Panitia Khusus Penghilangan Orang Secara Paksa.

4.2. Saran

1. Sangat diharapkan kepada pemerintah untuk dapat menyelesaikan kasus penghilangan orang secara paksa periode 1997 – 1998 ini. Dimana dapat dimulai dari menjalankan 4 rekomendasi yang diberikan Tim Khusus yang dibentuk Komnas HAM agar keluarga korban juga mendapat kejelasan dimana sebenarnya aktivis yang hilang tersebut dan pelakunya juga segera mendapatkan hukuman yang pantas.

2. Adanya ketaatan pemerintah untuk menegakkan hak sipil dan politik warga negara sehingga pemenuhan, penghormatan dan perlindungan menjadi kenyataan sosial dan bukan sekadar kenyataan normatif.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Ali, Mahrus, dan Syarif Nurhidayat, Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat : In Court System & Out Court System, Gramata Publishing, Jakarta, 2011.

Arinanto, Satya. Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara, Jakarta, 2003.

Budiarjo, Miriam, Dasar – Dasar Ilmu Politik, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2008. Bungin, Burhan, Penelitian Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan

Ilmu Sosial Lainnya, Jakarta, Prenada Media Group,

Djarot Erros, dkk. Prabowo Sang Kontroversi : Kisah Penculikan, Isu Kudeta, dan Tumbangnya Seorang Bintang, Media Kita, Tangerang, 2007.

Kasim, Ifhdal, (Editor) Hak Sipil dan Politik : Esai – Esai Pilihan, Elsam, Jakarta, 2001.

Kansil, C. S. T. (Editor). Sekitar Hak Asasi Manusia Dewasa Ini, Djambatan, Jakarta, 2003.

Margiyono dan Kurniawan Tri Yunanto, Neraka Rezim Soeharto : Misteri Tempat Penyiksaan Orde Baru, Buku Kita, Jakarta, 2008.

Muladi, (Editor). Hak Asasi Manusia Hakikat, Konsep dan Implikasinya dalam Persepektif Hukum dan Masyarakat, Refika Aditama, Bandung, 2005.

Pragiwaksono, Pandji, Berani Mengubah, Mizan, Jakarta, 2012.

Prinst, Darwan. Sosialisasi & Diseminasi Penegakan Hak Asasi Manusia,Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001.


(4)

Siagian, Sihol. Pius Lustrilanang Menolak Bungkam, Grasindo, Jakarta, 1999.

Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survei, (Jakarta : LP3ES,1989)

Suyanto, Bagong, dkk. Metode Penelitian Sosial. Jakarta. Kencana, 2008.

Ubaedillah A. dan Abdul Rozak, Demokrasi : Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, Kencana, Jakarta, 2009.

Ulber Silalahi, Metode Penelitian Sosial, PT. Refika Aditama, Bandung, 2009.

Wahidin, Samsul, Dimensi Kekuasaan Negara Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007.

Jurnal :

- IKOHI Sumatera Utara, 2013, Newsletter Internal.

- KontraS, 2009, “Kasus Penculikan dan Penghilangan Paksa, Riwayatmu Kini?”

Divisi Pemantauan Impunitas dan Pemenuhan Hak Korban Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS).

- KontraS, 2009, “Kronik Kasus Penculikan dan Penghilangan Paksa Aktivis 1997 – 1998”, Jakarta.

- KontraS, 2010, “Kertas Posisi Singkat Penculikan 1998 – 2009” Divisi Pemantauan Impunitas dan Pemenuhan Hak Korban Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Jakarta.

- Suparman Marzuki, 2010, Hak Sipil dan Politik, Pusham UII, Yogyakarta

- Tim Kampanye Dunia Untuk Hak Asasi Manusia, 2012, Lembar Fakta Penghilangan Orang Secara Paksa Atau Tidak Dengan Sukarela.

- Yosep Adi Prasetyo, 2010, Hak – Hak Sipil dan Politik, Pusham UIi, Yogyakarta.


(5)

Internet :

- IKOHI, 2006, Stop Impunitas Dan Kekerasan Negara, Tegakkan Hak – Hak

Korban Sekarang Juga

- IKOHI, 2007, Kasus Penghilangan Paksa : Kasus Yang Belum Selesai,

diakses pada 20 Juni pukul 15.00 Wib

- Kompas, 1998, Terkait Politik, Hilangnya Haryanto Taslam;

Juni 2013 pukul 11.00 Wib

- M. Lutfi Chakim. 2011, Ruang Lingkup Hak Sipil Dan Politik Dalam Konstitusi, ICCPR, DUHAM Dan UU No 39 Tahun 1999 Tentang Ham

- Plasa Msn, 2012, Pernah Diculik Lalu Terjun Ke Politik, diakses pada 10 April 2013 pukul 17.00 Wib

diakses pada 12 Juli 2013 pukul 14.10 Wib

- Plasa Msn, 2012, Pernah Diculik Lalu Terjun Ke Politik,

http://berita.plasa.msn.com/foto-pernah-diculik-lalu-terjun-ke-politik?page=6#image=4

- Tempo, 1998, Kesaksian Desmond J. Mahesa : “Hanya Allah Yang Menjamin Saya”;

diakses pada 13 Juli 2013 pukul 14.20 Wib

pukul 15.10 wib

Sumber Lainnya :

- Majalah Tempo : Teka – Teki Wiji Thukul (Edisi 13 – 19 Mei 2013), PT Tempo Inti Media, 2013.


(6)

Sumber Undang – Undang :

- Undang – Undang Dasar 1945

- UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

- UU No. 11 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, Budaya

- UU No. 11 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak Sipil Politik

Sumber Wawancara :

- Wawancara dengan Adi Ketua IKOHI Sumatera Utara pada 10 Juni 2013

- Wawancara dengan Mugiyanto, Ketua IKOHI sekaligus salah satu korban yang selamat via surat elektronik