GEOSPATIAL ANALYSIS OF LAND USE AND LAND COVER CHANGE FOR DISCHARGE AT WAY KUALAGARUNTANG WATERSHED IN BANDAR LAMPUNG
GEOSPATIAL ANALYSIS OF LAND USE AND LAND COVER CHANGE FOR DISCHARGE AT WAY KUALAGARUNTANG WATERSHED IN
BANDAR LAMPUNG
BY
FIENI YUNIARTI
Land use and land cover change in a watershed might drive some impacts, such as high amounts of discharge fluctuations. Way Kuala Garuntang Watersheed is one of watershed in Bandar Lampung that has changed significantly. This study analyzed land use and land cover change to determine how much its influence on discharce fluctuations based on Geographics Information System. The method used in this study comprised of hidrology, spatial and sensitivity analysis. Hidrology analysis based on daily rainfall data. Spatial data analysis aims to present geospatial data related effects of land use and land cover change on the value of discharge. Sensitivity analysis is done by creating a land use and land cover simulation scenarios and sees its effect on the peak discharge events.
The results of hidrology analysis in this study showed that the rainfall data obtained from the rainfall stations around the watershed were inconsistent and it needs to be repaired. It was found that the pattern of rainfall distribution in Bandar Lampung for 4 hours consists of 40%, 40%, 15% and 5% pattern. The results of spatial analysis in this study showed that there are 11 types of land cover on the existing condition and only has a protected area covering 4.72% of the total watershed. From the results of the sensitivity analysis showed that land use scenario with availability less than 30% of the area of green open space watershed may cause an increase in the value of the peak discharge. Instead, the scenario to maintain a 30% green open spaces of wide watershed did not make a significant change in peak discharge. This action is necessary to provide enough space for the infiltration of rain water on a particular area for the purpose of supplying the needs of ground water and flood control.
(2)
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang sedang melaksanakan pembangunan di berbagai sektor. Seperti yang diketahui selama ini, pembangunan memberikan banyak sekali manfaat terutama penyediaan lapangan kerja bagi masyarakat, tetapi di samping itu pembangunan juga membutuhkan pengorbanan-pengorbanan lingkungan seperti perubahan tata guna lahan, dari semula merupakan ruang hijau menjadi gedung-gedung bertingkat atau permukiman, pertanian ataupun industri.
Perubahan tata guna lahan yang paling besar pengaruhnya terhadap peningkatan nilai koefisien aliran permukaan yang berdampak pada peningkatan debit adalah penggunaan kawasan hutan menjadi penggunaan lainnya seperti pertanian, pemukiman ataupun industri. Kegiatan industri, peternakan, pertanian dan permukiman di sepanjang aliran sungai (bantaran sungai) menghasilkan bermacam limbah, baik padat maupun cair, ke dalam sungai. Kondisi ini terjadi semakin parah ketika aliran sungai mencapai kota-kota besar di Indonesia.
(3)
Lampung merupakan salah satu kota besar di Indonesia dan menjadi gerbang utama Pulau Sumatera menuju ke Pulau Jawa. Secara otomatis kegiatan yang mengarah ke perubahan tata guna lahan tidak dapat dielakkan lagi.Yang kemudian pada prakteknya sering terjadi ketidaksesuaian antara fungsi dan kondisi wilayah sehingga mengakibatkan kerusakan sumber daya alam dalam DAS.
DAS Way Kuala Garuntang merupakan salah satu DAS di Kota Bandar Lampung yang arah alirannya melalui kawasan perkotaan dan telah mengalami kondisi perubahan tata guna lahan yang cukup signifikan. Menurut Megawati (2005), pada DAS Way Kuala Garuntang telah terjadi kegiatan penggundulan hutan dan berkembangnya daerah pemukiman pada daerah hulu sungai serta aktivitas masyarakat maupun industri di sekitar sungai dan saluran drainase yang membuang limbah rumah tangga (sampah) dan limbah industri ke dalamnya. Diketahui pula bahwa sungai-sungai di DAS Way Kuala Garuntang masih mampu menampung debit rencana yang telah diperhitungkan. Namun, inetensitas hujan dan koefisien aliran yang tidak sama ataupun lebih besar saat ini maupun masa mendatang karena terjadinya perubahan tata guna lahan yang terjadi dalam suatu aliran sungai akan menyebabkan semakin besar nilai debit banjir yang melewatinya.
Perubahan tata guna lahan yang mengarah pada perubahan sifat tanah pada daerah sempadan sungai maupun daerah resapan menjadi kawasan terbangun atau budidaya dapat menimbulkan debit sungai naik. Ini disebabkan adanya kapasitas infiltrasi berkurang dan terjadi aliran permukaan yang membawa
(4)
material-material tanah ke dalam sungai kemudian mengendap (Revino, 2010). Selain itu, perubahan tata guna lahan dari lahan hijau menjadi lahan terbangun akan mengakibatkan perubahan siklus hidrologi, yaitu saat air hujan yang jatuh sebagian besar tidak dapat tertahan dalam vegetasi-vegetasi dan tidak dapat meresap ke dalam tanah sehingga air hujan tersebut sebagian besar akan menjadi aliran permukaan. Aliran permukaan dalam DAS akan mengalir, mengumpul pada alur-alur sungai sehingga debit aliran yang mengalir pada sistem drainase akan meningkat (Raharjo, 2009).
Mengingat begitu pentingnya kapasitas air maksimal yang dapat tertampung dalam sistem drainase DAS Way Kuala Garuntang, maka dirasa perlu untuk dilakukan analisis perubahan terhadap tata guna lahan untuk mengetahui seberapa besar pengaruhnya terhadap fluktuasi debit yang terjadi. Untuk dapat mengetahui kondisi tersebut dilakukan analisis hidrologi berdasarkan dari data hidrologi dan data parameter DASnya.
Pengidentifikasian perubahan tata guna lahan dan pengukuran fungsi hidrologi DAS di lapangan memerlukan pemahaman tentang banyak proses yang terlibat sehingga membutuhkan tenaga, waktu dan biaya yang banyak. Dengan demikian ketersediaan sebuah sistem dalam bidang penyajian data geospasial yang didukung oleh kemajuan teknologi jaringan komputer sangat diperlukan. Kemampuan teknologi komputer yang semakin berkembang membuat komputer saat ini dapat digunakan untuk berbagai bidang, salah satunya adalah bidang geografi, yaitu untuk membuat sistem informasi geografis (SIG). SIG adalah suatu sistem yang men-capture, mengecek, mengintegrasikan,
(5)
memanipulasi, menganalisa, dan menampilkan data yang secara spasial (keruangan) mereferensikan kepada kondisi bumi. Teknologi SIG mengintegrasikan operasi operasi umum database, seperti query dan analisa statistik, dengan kemampuan visualisasi dan analisa yang unik yang dimiliki oleh pemetaan. Kemampuan inilah yang membedakan SIG dengan Sistem Informasi lainnya yang membuatnya menjadi berguna bidang penyajian data geospasial guna membantu kita dalam mempelajari proses perubahan debit sungai akibat perubahan tata guna lahan pada suatu DAS.
B. Tujuan Penelitian
Penelitian tentang Analisis Geospasial Perubahan Tata Guna Lahan Terhadap Debit Sungai DAS Way Kuala Garuntang ini bertujuan untuk menganalisis perubahan tata guna lahan yang berpengaruh terhadap nilai debit dengan memanfaatkan Sistem Informasi Geografis. Sehingga melalui interpretasi data geospasial diharapkan dapat digunakan untuk memperkirakan nilai debit berdasarkan parameter fisik lahan.
C. Batasan Masalah
Dalam penelitian tentang Analisis Geospasial Perubahan Tata Guna Lahan Terhadap Debit Sungai DAS Way Kuala Garuntang lingkup dan batasan masalah yang digunakan adalah :
1. Lokasi penelitian terletak di Daerah Aliran Sungai (DAS) Way Kuala Garuntang, Bandar Lampung.
(6)
2. Perubahan tata guna lahan Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan perbandingan antara tata guna lahan berdasarkan RTRW 2010 dengan skenario tata guna lahan.
3. Skenario tata guna lahan dibuat untuk menghitung nilai debit Daerah Aliran Sungai (DAS) yang dihitung menggunakan metode rasional.
D. Manfaat Penelitian
Memberikan masukan kepada pembuat kebijakan bagi penyusunan strategi pengembangan dan pembangunan di sepanjang DAS Way Kuala Garuntang serta dapat bermanfaat bagi perencana dan pengelola DAS di kota Bandar Lampung khususnya dan pengelola DAS di Indonesia pada umumnya.
(7)
A. Daerah Aliran Sungai (DAS)
Daerah Aliran Sungai (Watershed) didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan
yang menerima air hujan, menampung dan mengalirkannya melalui satu sungai
utama ke laut dan atau ke danau. Satu DAS, biasanya dipisahkan dari wilayah
lain di sekitarnya (DAS-DAS lain) oleh pemisah alam topografi (seperti
punggung bukit dan gunung. Suatu DAS terbagi lagi ke dalam sub DAS yang
merupakan bagian DAS yang menerima air hujan dan mengalirkannya melalui
anak sungai ke sungai utamanya (Dirjen Reboisasi & Rehabilitasi Lahan,
1998).
Asdak (2002) dalam Arini (2005) menyatakan pengertian DAS sebagai suatu
wilayah daratan yang secara topografik dibatasi oleh punggung-punggung
gunung yang menampung dan menyimpan air hujan untuk kemudian
menyalurkannya ke laut melalui sungai utama. Wilayah daratan tersebut
dinamakan Daerah Tangkapan Air (DTA) atau Water Catchment Area yang
merupakan suatu ekosistem dengan unsur utamanya terdiri atas sumberdaya
alam (tanah, air, dan vegetasi) dan sumberdaya manusia sebagai pemanfaat
(8)
DAS merupakan suatu wilayah tertentu yang bentuk dan sifat alamnya
merupakan satu kesatuan ekosistem, termasuk didalamnya hidrologi dengan
sungai dan anak-anak sungainya yang berfungsi sebagai penerima, penampung
dan penyimpan air yang berasal dari hujan dan sumber lainnya. Sungai atau
aliran sungai sebagai komponen utama DAS didefinisikan sebagai suatu
jumlah air yang mengalir sepanjang lintasan di darat menuju ke laut sehingga
sungai merupakan suatu lintasan dimana air yang berasal dari hulu bergabung
menuju ke satu arah yaitu hilir (muara). Sungai merupakan bagian dari siklus
hidrologi yang terdiri dari beberapa proses yaitu evaporasi atau penguapan air,
kondensasi dan presipitasi (Haslam 1992 dalam Arini 2005).
Daerah Aliran Sungai (DAS) memiliki beberapa karakteristik yang dapat
menggambarkan kondisi spesifik antara DAS yang satu dengan DAS yang
lainnya. Karakteristik itu dicirikan oleh parameter yang terdiri atas (Dephutbun
1998):
1. Morfometri DAS yang meliputi relief DAS, bentuk DAS, kepadatan
drainase, gradien sungai, lebar DAS dan lain-lain.
2. Hidrologi DAS, mencakup curah hujan, debit dan sedimen.
3. Tanah.
4. Geologi dan geomorfologi.
5. Penggunaan lahan.
(9)
Dalam mempelajari ekosistem DAS, biasanya terbagi atas daerah hulu, tengah
dan hilir. Secara biogeofisik, daerah hulu, tengah dan hilir dicirikan oleh
hal-hal sebagai berikut (Asdak 2002 dalam Arini 2005):
1. Daerah hulu dicirikan sebagai daerah konservasi, memiliki kerapatan
drainase tinggi, kemiringan lereng besar (> 15%), bukan merupakan daerah
banjir, pemakaian air ditentukan oleh pola drainase dan jenis vegetasi
umumnya merupakan tegakan hutan.
2. Daerah hilir dicirikan sebagai daerah pemanfaatan, memiliki kerapatan
drainase kecil, kemiringan lereng sangat kecil (< 8%), di beberapa tempat
merupakan daerah banjir (genangan), pemakaian air ditentukan oleh
bangunan irigasi, jenis vegetasi didominasi oleh tanaman pertanian kecuali
daerah estuaria yang didominasi oleh hutan bakau atau gambut.
3. Daerah tengah merupakan daerah transisi dari kedua karakteristik
biogeofisik DAS yang berbeda antara hulu dan hilir.
Mengacu pada pengertian DAS dalam uraian tersebut, maka di dalam suatu
DAS, terdapat berbagai komponen sumberdaya, yaitu sumberdaya alam
(natural capital) (terdiri dari udara/atmosphere, tanah dan batuan
penyusunnya, vegetasi, satwa), sumberdaya manusia/human capital (beserta
pranata institusi formal maupun informal masyarakat/social capital)) dan
sumberdaya buatan/man made capital yang satu sama lainnya saling
berinteraksi (interaction) (Putro et al., 2003).
Dalam pengelolaannya, suatu DAS memerlukan konsep pengelolaan yang
(10)
melainkan berdasarkan pada batasan wilayah ekologi. Namun dalam
kenyataannya, kegiatan pengelolaan DAS seringkali dibatasi oleh
batasan-batasan politis atau administrasi (negara, provinsi, kabupaten) dan kurang
dimanfaatkannya batas-batas ekosistem alamiah. Asdak (2002) dalam Pradityo
(2011) menyatakan bahwa beberapa aktivitas pengelolaan DAS yang
diselenggarakan di daerah hulu seperti kegiatan pengelolaan lahan yang
mendorong terjadinya erosi, pada gilirannya akan menimbulkan dampak di
daerah hilir (dalam bentuk pendangkalan sungai atau saluran irigasi karena
pengendapan sedimen yang berasal dari erosi di daerah hulu). Peristiwa
degradasi lingkungan seperti di atas jelas akan mengabaikan penetapan
batas-batas politis sebagai batas-batas pengelolaan sumberdaya alam.
B. Konsep Dasar Hidrologi
Hidrologi didefinisikan sebagai ilmu yang berkaitan dengan air bumi,
terjadinya peredaran dan agihannya, sifat-sifat kimia dan fisikanya, dan
reaksinya dengan lingkungannya termasuk hubungannya dengan makhluk
hidup (International Glossary of Hydrology dalam Seyhan, 1990).
Konsep dasar mengenai ilmu hidrologi sangat berkaitan dengan siklus
hidrologi. Daur atau siklus hidrologi diberikan batasan sebagai suksesi
tahapan-tahapan yang dilalui air dari atmosfer ke bumi dan kembali lagi ke
atmosfer. Presipitasi dalam segala bentuk (salju, hujan batu es, hujan dan
lain-lain) jatuh ke atas vegetasi, batuan gundul, permukaan tanah, permukaan air
dan saluran-saluran sungai (presipitasi saluran). Air yang jatuh pada vegetasi
(11)
permukaan tanah dengan menetes saja maupun sebagai aliran batang) selama
suatu waktu atau secara langsung jatuh pada tanah (through fall) khususnya
pada kasus hujan dengan intensitas tinggi dan lama. Sebagian besar presipitasi
berevaporasi selama perjalanannya dari atmosfer dan sebagian pada permukaan
tanah. Sebagian dari presipitasi yang membasahi permukaan tanah akan
berinfiltrasi ke dalam tanah dan bergerak menurun sebagai perkolasi ke dalam
mintakat jenuh di bawah muka air tanah. air ini secara perlahan berpindah
melalui akifer ke saluran-saluran sungai. Beberapa air yang berinfiltrasi
bergerak menuju dasar sungai tanpa mencapai muka air tanah sebagai aliran
bawah permukaan. Air yang berinfiltrasi juga memberikan kehidupan pada
vegetasi sebagai lengas tanah. Beberapa dari lengas ini diambil oleh vegetasi
dan transpirasi berlangsung dari stomata daun.
Setelah bagian presipitasi yang pertama yang membasahi permukaan tanah dan
berinfiltrasi, suatu selaput air yang tipis dibentuk permukaan tanah yang
disebut detensi permukaan/lapis air. Selanjutnya detensi permukaan menjadi
lebih tebal (lebih dalam) dan aliran air mulai dalam bentuk laminer. Dengan
bertambahnya kecepatan aliran, aliran air menjadi turbulen (deras). Air yang
mengalir disebut sebagai limpasan permukaan. Selama perjalanannya menuju
dasar sungai, bagian dari limpasan permukaan akan disimpan pada depresi
permukaan yang disebut sebagai cadangan depresi. Akhirnya limpasan
permukaan mencapai saluran sungai dan menambah debit sungai.
Air pada sungai mungkin berevaporasi secara langsung ke atmosfer atau
mengalir kembali ke dalam laut dan selanjutnya berevaporasi. Kemudian air ini
(12)
C. Penutupan dan Penggunaan Lahan
Selama ini pengertian lahan sering diartikan sama dengan istilah tanah, dalam
kenyataannya lahan memiliki pengertian yang jauh lebih luas dibandingkan
dengan tanah. Tanah merupakan benda alami yang heterogen dan dinamis,
merupakan interaksi hasil kerja antara iklim dan jasad hidup terhadap suatu
bahan induk yang dipengaruhi oleh relief dan waktu (Arsyad, 1989).
Menurut Aldrich dalam Arini (2005) menyatakan lahan sebagai material dasar
dari suatu lingkungan (situs) yang diartikan berkaitan dengan sejumlah
karakteristik alami yaitu iklim, geologi, tanah, topografi, hidrologi dan biologi.
Lebih lanjut dijelaskan, lahan adalah suatu lingkungan fisik yang meliputi
tanah, iklim, relief, hidrologi dan vegetasi, dimana faktor-faktor tersebut
mempengaruhi potensi penggunaannya, termasuk di dalamnya adalah
akibat-akibat kegiatan manusia baik masa lalu maupun sekarang seperti reklamasi di
daerah pantai, penebangan hutan, dan akibat-akibat lain yang merugikan
seperti erosi dan akumulasi garam (Harjdjowigeno dalam Ismail, 2004).
Pengetahuan mengenai penggunaan dan penutupan lahan sangat dibutuhkan
terutama dalam kegiatan perencanaan dan pengelolaan yang melibatkan
sumberdaya alam. Istilah penutupan lahan (land cover) berkaitan erat dengan
jenis kenampakan yang ada di permukaan bumi sedangkan penggunaan lahan
(land use) lebih berkaitan erat dengan kegiatan manusia pada bidang lahan
tertentu. Hal yang sama dikemukakan oleh Jamulya & Soenarto dalam
(13)
intervensi (campur tangan) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi
kebutuhan hidupnya baik material dan spiritual.
Burley dalam Lo (1995) menjelaskan penutupan lahan sebagai konstruksi
vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan. Konstruksi tersebut
seluruhnya tampak secara langsung dari citra penginderaan jauh. Terdapat tiga
kelas yang tercakup dalam penutupan lahan yaitu :
1. struktur fisik yang dibangun oleh manusia;
2. fenomena biotik seperti vegetasi alami, tanaman pertanian dan kehidupan
binatang;
3. tipe pembangunan.
Lillesand & Kiefer (1990) dalam Pradityo (2011) menyatakan bahwa yang
menjadi dasar dalam membedakan antara penutupan lahan dan penggunaan
lahan adalah bahwa Informasi penutupan lahan dapat dikenal secara langsung
dengan menggunakan penginderaan jauh yang tepat, informasi tentang
kegiatan manusia pada lahan (penggunaan lahan) tidak selalu dapat ditafsir
secara langsung dari penutupan lahannya. Ukuran minimum suatu daerah yang
dapat dipetakan dalam kelas penggunaan lahan atau penutupan lahan
tergantung pada solusi dan resolusi foto udara atau citra satelit. Data mengenai
penutupan lahan dapat diperoleh dengan melakukan klasifikasi citra, dimana
masing-masing kenampakan yang terdapat didalam citra dapat diklasifikasikan
menjadi kelas-kelas penutupan lahan. Klasifikasi lahan merupakan penyusunan
lahan ke dalam kelas-kelas yang dipengaruhi oleh faktor karakteristik lahan,
(14)
penggunaan lahan, kelayakan penggunaan lahan. Contoh pengelompokan tipe
penggunaan atau penutupan lahan adalah sebagai berikut:
1. Lahan perkotaan atau bangunan, terbentuk oleh daerah yang digunakan
secara intensif dan banyak lahan yang tertutup oleh struktur. Apabila obyek
mempunyai lebih dari satu kategori, maka harus diambil kategori yang
utama.
2. Lahan pertanian, dapat diartikan sebagai lahan yang penggunaannya
terutama untuk menghasilkan makanan dan serabut.
3. Lahan hutan, daerah yang kepadatan tajuk pohonnya (persentase penutup
tajuk) 10% atau lebih, batang pohonnya dapat menghasilkan kayu atau
produksi kayu lainnya dan mempengaruhi iklim atau tata air lokal.
4. Air, terdiri dari sungai, kanal, danau, waduk, teluk, muara.
5. Lahan basah, daerah yang permukaan air tanahnya padat, dekat atau di atas
permukaan lahan hampir sepanjang tahun.
6. Lahan gundul, lahan yang kemampuannya terbatas untuk mendukung
kehidupan dan vegetasi atau penutup lainnya kurang dari sepertiga luas
daerahnya.
Lo (1995) menjelaskan bahwa salah satu faktor penting dalam menentukan
kesuksesan pemetaan penggunaan lahan dan penutupan lahan terletak pada
pemilihan skema klasifikasi yang tepat dirancang untuk suatu tujuan tertentu.
Skema klasifikasi yang baik harus sederhana didalam menjelaskan setiap
kategori penggunaan lahan dan penutupan lahan. Selanjutnya, pemetaan
(15)
dibuat dan peta hasil tidak dapat dihindari mengandung beberapa derajat
informasi yang digeneralisasi menurut skala dan tujan aplikasinya.
D. Analisis Hidrologi
Analisis hidrologi adalah kumpulan keterangan atau fakta mengenai fenomena
hidrologi. Fenomena hidrologi sebagai mana telah dijelaskan di bagian
sebelumnya adalah kumpulan keterangan atau fakta mengenai fenomena
hidrologi. Fenomena hirologi seperti besarnya curah hujan, temperatur,
penguapan, lama penyinaran matahari, kecepatan angin, debit sungai, tinggi
muka air, akan selalu berubah menurut waktu. Untuk suatu tujuan tertentu
data-data hidrologi dapat dikumpulkan, dihitung, disajikan, dan ditafsirkan
dengan menggunkan prosedur tertentu (Yuliana., 2002 dalam Nirmala & Zaky
2008).
Tujuan dari analisis frekuensi data hidrologi adalah mencari hubungan antara
besarnya kejadian ekstrim terhadap frekuensi kejadian dengan menggunakan
disribusi probabilitas. Analisis frekuensi dapat diterapkan untuk data debit
sungai atau data hujan. Data yang digunakan adalah data debit atau hujan
maksimum tahunan, yaitu data terbesar yang terjadi selama satu tahun yang
(16)
Data yang digunakan untuk analisis frekuensi dapat dibedakan menjadi dua
tipe berikut
1. Partial Duration Series
Metode ini digunakan apabila jumlah data kurang dari 10 tahun data runtut
waktu. Partial duration series adalah rangkaian data debit banjir/hujan
yang besarnya di atas suatu nilai bawah tertentu. Dengan demikian dalam
satu tahun bisa terdapat lebih dari satu data yang digunakan dalam analisis.
2. Annual Maximum Series
Metode ini digunakan apabila tersedia data debit atau hujan minimal 10
tahun data runtut waktu. Tipe ini adalah dengan memilih satu data
maksimum setiap tahun. Dengan cara ini, data terbesar kedua dalam satu
tahun yang mungkin lebih besar dari data maksimum pada tahun yang lain
tidak diperhitungan.
Dalam analisis data hidrologi diperlukan ukuran-ukuran numerik yang
menjadi ciri data tersebut. Sembarang nilai yang menjelaskan ciri susunan data
disebut parameter. Parameter yang digunakan dalam analisis susunan data dari
suatu variabel disebut parameter statistik seperti nilai rerata,deviasi dsb.
1. Melengkapi Data Curah Hujan
Data curah hujan yang akan dianalisis merupakan kumpulan data atau
array data tinggi curah hujan maksimum dalam 30 tahun berturut-turut
dinyatakan dalam mm/24 jam, sampel tersebut dianggap cukup mewakili.
Di dalam pengukuran hujan sering terjadi beberapa masalah seperti tidak
(17)
masalah tersebut perlu diselesaikan dengan koreksi berdasarkan data dari
beberapa stasiun di sekitarnya.
Apabila terdapat data yang kosong atau hilang, maka diperlukan perkiraan
bagi stasiun yang kosong. Perkiraan curah hujan yang kosong dihitung
dari pengamatan minimal tiga stasiun terdekat, dan sebisa mungkin stasiun
yang berada mengelilingi stasiun yang datanya hilang tersebut.
Data yang hilang diperkirakan dengan menggunakan metode perbandingan
normal dengan rumus sebagai berikut :
Px Nx
=
1 n
P1 N1
+
P2 N2
+
P3
N3
+ ……
PnNn ... (((2.1)
Px : hujan yang hilang stasiun x
P1,P2,Pn : data hujan di stasiun sekitarnya pada periode yang sama
Nx : hujan tahunan di stasiun x
N1,N2,Nn : hujan tahunan di stasiun x
n : jumlah stasiun hujan di sekitar x
2. Tes Konsistensi
Data curah hujan akan memiliki kecenderungan untuk menuju suatu titik
tertentu yang biasa disebut dengan pola atau trend. Data yang
menunjukkan adanya perubahan pola atau trend tidak disarankan untuk
digunakan. Analisa hidrologi harus mengikuti trend, dan jika terdapat
perubahan harus dilakukan koreksi. Untuk melakukan pengecekan pola
atau trend tersebut dilakukan dengan menggunakan teknik kurva massa
ganda yang berdasarkan prinsip setiap pencatatan data yang berasal dari
(18)
Perubahan pola atau trend bisa disebabkan antara oleh perpindahan lokasi
stasiun pengukur hujan, perubahan ekosistem terhadap iklim secara
drastis, misal karena kebakaran, kesalahan ekosistem observasi pada
sekumpulan data akibat posisi atau cara pemasangan alat ukur yang tidak
baik.
Konsistensi dari pencatatan hujan diperiksa dengan menggunakan metode
kurva massa ganda (double mass curve). Metode ini menbandingkan hujan
tahunan kumulatif di stasiun y terhadap stasiun referensi x, Stasiun
referensi biasanya adalah nilai rerata dari beberapa stasiun di dekatnya.
Nilai kumulatif tersebut digambarkan pada sistem koordinat kartesian x –
y, dan kurva yang terbentuk diperiksa untuk melihat perubahan
kemiringan (trend). Apabila garis yang terbentuk lurus berarti pencatatan
di stasiun y adalah konsisten. Apabila kemiringan kurva patah/berubah,
berarti pencatatan di stasiun y tak konsisten dan perlu dikoreksi. Koreksi
dilakukan dengan mengalikan data setelah kurva berubah dengan
perbandingan kemiringan setelah dan sebelum kurva
patah.(Triatmodjo,2008)
Pengukuran parameter statistik yang sering digunakan dalam analisis data
hidroligi meliputi pengukuran tendensi sentral dan dispersi.
1. Tendensi Sentral
Nilai rerata merupakan nilai yang cukup representatif dalam suatu
distribusi. Nilai rerata dapat digunakan untuk pengukuran suatu distribusi
(19)
x
rerata 1n∑
nx
ii 1 (( (2.2)
Dengan :
xrerata = rerata
xi = variabel random
n = jumlah data
2. Dispersi
Tidak semua variat dari variabel hidrologi sama dengan nilai reratanya,
tetapi ada yang lebih besar atau lebih kecil. Penyebaran data dapat diukur
dengan deviasi standar dan varian.
Varian dapat dihitung dengan menggunakan persamaan :
S
n1-1∑
ni 1(x
i-
x
rerata)
2 (( (2.3) Koefisien varian adalah nilai perbandingan antara deviasi satandar dannilai rerata yang mempunyai bentuk :
C
v=
Sx((
(2.4)Kemencengan (skewness) dapat digunakan untuk mengetahui derajad
ketidaksimetrisan dari suatu bentuk distribusi dan mempunyai bentuk :
C
s=
n ∑ii 1(xi- x)3n-1 (n-2)S3
((
(2.5)Koefisien kurtosis diberikan oleh persamaan berikut :
C
k n2∑ii 1(xi-x)4(20)
Tabel 1. Parameter Statistik Untuk Menentukan Jenis Distribusi (Triadmojo,2008)
No Jenis Distribusi Persyaratan
1 Normal Cs≈ 0
Ck≈ 3
2 Log Normal Cs= Cv
3 + 3Cv
Ck = Cv3+ 6Cv6+ 15Cv4+ 16Cv2+3
3 Gumbel Cs= 1.14
Ck= 5.4
4 Log Pearson III Cs≠ 0
Ada beberapa bentuk fungsi distribusi kontinyu (teoritis) yang sering
digunakan dalam analisis frekuensi untuk hidrologi, antara lain :
1. Distribusi Normal
Distribusi normal adalah simetris terhadap sumbu vertikal dan berbentuk
lonceng yang juga disebut distribusi Gauss. Fungsi distribusi normal
mempunyai bentuk :
P X = σ√2π1 e-(X-μ)2 2σ2 (2.7) Dengan
P(X) = fungsi densitas peluang normal
X = variable acak kontinyu
µ = rata – rata nilai X
σ = simpangan baku dari X
2. Distribusi Log Normal
Jika variabel acak Y = Log x terdistribusi secara normal, maka x dikatakan
mengikuti distribusi Log Normal. Ini dapat dinyatakan dengan model
(21)
YT Y+ KTS (2.8) Dengan :
YT = besarnya nilai perkiraan yang diharapkan terjadi dengan periode
T = T tahunan
Y = nilai rata –rata hitung sampel
KT = faktor frekuensi
S = standar deviasi nilai sampel
3. Distribusi Gumbel
Menurut Triadmojo (2008), analisis frekuensi dengan menggunakan
metode Gumbel juga sering dilakukan dengan persamaan berikut ini :
x xrerata+ Ks (2.9)
Dengan K adalah frekuensi faktor yang bisa dihitung dengan persamaan
berikut :
= + (2.10)
Dengan :
x = besarnya curah hujan dengan periode ulang t
xrerata = curah hujan harian maksimum rata-rata K = faktor frekuensi
S = standar deviasi
Yn = nilai rerata
σn = deviasi standar dari variat gumbel 4. Distribusi Log Pearson Tipe III
Bentuk kumulatif dari distribusi log pearson III dengan nilai variat X
(22)
membentuk persamaan garis lurus. Persamaan tersebut mempunyai bentuk
sebagai berikut :
= + (2.11)
Dengan :
yT = nilai logaritmik dari x dengan periode ulang T yrerata = nilai rerata dari yi
Sy = deviasi standar dari yi KT = faktor frekuensi
Dalam pemakaian sebaran log pearson III harus dikonversikan rangkaian
data menjadi bentuk logaritma, yaitu :
= + (2.12)
LogXrerata ∑Log Xn (2.13)
S
x=
∑(Log Xi-LogXrerata)2n-1 (2.14)
C
s n∑(LogXi-LogXrerata) 3 ((n-1)(n-2)(SLogX))3(2.15)
Dengan :
XT = besarnya curah hujan dengan periode ulang t(mm)
LogXrerata = curah hujan maksimum rata-rata dalam harga logaritmik
Sx = Standar deeviasi dari rangkaian data dalam harga
logaritmik =logaritmik
Cs = koefisien skewness
n = jumlah tahun pengamatan
(23)
Ada dua cara yang dapat dlakukan untuk menguji apakah jenis distribusi yang
dipilih sesuai dengan data yang ada, yaitu chi kuadrat dan smirnov
kolmogorov (Sri Harto, 1993)
1. Uji Chi Kuadrat
Uji ini digunakan untuk menguji simpangan secara vertikal yang
ditentukan dengan rumus berikut :
X2= ∑ (Of-Ef) 2 Ef t
t 1 (2.16)
Dengan :
X2 = parameter chi kuadrat terhitung
Ef = frekuensi teoritis kelas j
Of = frekuensi pengamatan kelas j
Jumlah kelas distribusi dan batas kelas dihitung dengan rumus :
= + . (2.17)
Dengan :
K = jumlah kelas distribusi
N = banyaknya data
Besarnya nilai derajat kebebasan (DK) dihitung degan rumus :
= − + (2.18)
Dengan :
Dk = derajat kebebasan
K = banyaknya kelas
P = banyaknya keterkaitan untuk sebaran chi kuadrat = 2
Nilai X2 yang diperoleh harus lebih kecil dari nilai Xcr2 (Chi Kuadrat Kritik) untuk suatu derajat nyata tertentu, yang sering diambil 5%.
(24)
2. Uji Smirnov Kolmogorv
Pengujian ini dilakukan dengan menggambarkan probabilitas untuk tiap
data, yaitu dari peredaan distribusi empiris dan distribusi teoritis yang
disebut dengan Δ. Dalam bentuk persamaan ditulis sebagai berikut : Δ = maksimum [P(Xm) – P’(Xm)] < Δcr (2.19) Dengan :
Δ = selisih antara peluang teoritis dan empiris
Δcr = simpangan kritis
P(Xm) = peluang teoritis
P’(Xm) = peluang empiris
Perhitungan peluang empiris dan teoritis dengan persamaan Weibull
(Soemarto 1986 dalam Kastamto 2010) :
P = m/(n +1) (2.20)
P’= m/(n – 1) (2.21)
M = nomor urut data
N = jumlah data
E. Intensitas Hujan
Perhitungan debit banjir dengan metode rasional memerlukan data intensitas
curah hujan. Intensitas curah hujan adalah ketinggian curah hujan yang
terjadi pada suatu kurun waktu di mana air tersebut terkonsentrasi (Loebis
1992). Intensitas curah hujan dinotasikan dengan huruf I dengan satuan
mm/jam. Durasi adalah lamanya suatu kejadian hujan. Intensitas hujan yang
tinggi pada umumnya berlangsung dengan durasi pendek dan meliputi daerah
(25)
intensitas tinggi, tetapi dapat berlangsung dengan durasi cukup panjang.
Kombinasi dari intensitas hujan yang tinggi dengan durasi panjang jarang
terjadi, tetapi apabila terjadi berarti sejumlah besar volume air bagaikan
ditumpahkan dari langit. Sri Harto (1993) menyebutkan bahwa analisis IDF
memerlukan analisis frekuensi dengan menggunakan seri data yang diperoleh
dari rekaman data hujan. Jika tidak tersedia waktu untuk mengamati besarnya
intensitas hujan atau disebabkan oleh karena alatnya tidak ada, dapat ditempuh
cara-cara empiris dengan mempergunakan rumus-rumus eksperimental seperti
rumus Mononobe (Suyono dan Takeda 1993). Intensitas hujan adalah volume
rata-rata curah hujan yang terjadiselamasatu unit waktu (mm/jam). Intensitas
hujan juga bisa diekspresikan sebagai intensitas sesaat atau intensitas rata-rata
selama kejadian hujan.
Untuk mendapatkan intensitas hujan selama waktu t digunakan rumus
Mononobe sebagai berikut
I=
R24 2424 t
2 3
(2.22)
I = Intensitas Hujan (mm/jam)
R24 = Curah hujan maksimum dalam 24 jam (mm)
t = Lama waktu hujan (jam)
F. Debit Air
Debit adalah volume aliran yang mengalir melalui sungai per satuan waktu.
Besarnya biasanya dinyatakan dalam satuan meter kubik per detik (m3/detik) (Soewarno 1991 dalam Pradityo 2011). Data debit air sungai berfungsi
(26)
memberikan informasi mengenai jumlah air yang mengalir pada waktu
tertentu. Oleh karena itu, data debit air berguna untuk mengetahui cukup
tidaknya penyediaan air untuk berbagai keperluan (domestik, irigasi, pelayaran,
tenaga listrik, dan industri) pengelolaan DAS (Daerah Aliran Sungai),
pengendalian sedimen, prediksi kekeringan, dan penilaian beban pencemaran
air.
Dilihat dari segi fisik DAS, Asdak (1995) dalam Pradityo (2011) menyebutkan
bahwa indikator normal tidaknya suatu DAS ditentukan diantaranya oleh
nisbah debit maksimum (Qmax) dan debit minimum (Qmin). Kondisi fisik
DAS dianggap baik apabila nisbah Qmax/Qmin relatif stabil dari tahun ke
tahun, sedangkan kondisi DAS dianggap mulai terganggu apabila nisbah
Qmax/Qminterus naik dari tahun ke tahun.
Tutupan hutan berpengaruh terhadap tinggi-rendahnya debit air. Asdak (1995)
dalam Pradityo (2011)menyatakan bahwa tutupan hutan dapat menghasilkan
debit yang rendah disebabkan oleh meningkatnya stabilitas tanah karena
tingginya kapasitas infiltrasi, adanya perlindungan dari tutupan tajuk pohon,
tingginya konsumsi air tanah oleh akar pohon. Hal-hal tersebut memberikan
keuntungan bagi daerah yang memiliki tutupan hutan, yakni perlindungan
terhadap bahaya banjir pada saat musim hujan.
Chow (1964) dalam Raharjo (2009) menyatakan bahwa salah satu metode yang
digunakan dalam menetukan nilai debit berdasarkan pada faktor-faktor fisik
lahan dikenal dengan metode rasional. Dalam metode rasional
(27)
Q = 0,278 C I A (2.23)
Q : Debit rancangan (m3/det) C : Koefisien aliran
I : Intensitas hujan (mm/jam)
A : Luas DAS (km2)
G. Koefisien Aliran Permukaan
Dalam penghitungan debit banjir menggunakan Metode Rasional diperlukan
data koefisien limpasan (run off coeffisien) . Koefisien limpasan adalah
rasio jumlah limpasan terhadap jumlah curah hujan, dimana nilainya
tergantung pada tekstur tanah, kemiringan lahan, dan jenis penutupan lahan.
Koefisien pengaliran (C) adalah perbandingan antara jumlah air yang mengalir
di suatu daerah akibat turunnya hujan dengan jumlah hujan yang turun di
daerah tersebut. Besarnya koefisien pengaliran antara lain dipengaruhi oleh
keadaan hujan, luas dan bentuk daerah pengaliran, kemiringan DAS, daya
infiltrasi dan perkolasi tanah.( Permana, dkk, 2004)
Tabel 2. Koefisien Limpasan (Adryana dan Subarkah, 2006 dalam Permana 2004)
Tata Guna Lahan C
Tegalan/ ladang/ tanah kososng Perekebunan
Sawah Irigasi Sawah Tadah Hujan Semak Belukar Pemukiman
0,0719 0,0256 0,40 0,35 0,0005
(28)
Tabel 3. Koefisien Limpasan (Triadmojo,2008)
Deskripsi Lahan Koefisien Limpasan
Business Perkotaan Pinggiran
0,70 – 0,95 0,50 -0,70 Perumahan
Rumah tunggal Perkampungan Apartemen
0,30 – 0,50 0,25 – 0,40 0,50 – 0,70 Perkerasan
Aspal dan Beton Batu Bata, paving
0,70 – 0,95 0,50 – 0,70
Atap 0,75 – 0,95
Halaman Dasar 2% Rata-rata 2 – 7% Curam 7%
0,13 – 0,17 0,18 – 0,22 0,25 – 0,35
Halaman Kereta Api 0,10 – 0,35
Tempat bermain 0,20 – 0,35
Taman, Perkuburan 0,10 – 0,25
Hutan
Datar 0 – 5%
Bergelombang 5 – 10% Berbukit 10 – 30%
0,10 – 0,40 0,25 – 0,50 0,30 – 0,60
H. Pola Distribusi Hujan
Dalam perhitungan banjir rancangan, diperlukan masukan berupa hujan
rancangan yang didistribusikan ke daam hujan jam-jaman. Untuk dapat
mengubah hujan rancangan ke dalam besaran hujan jam-jaman perlu
didapatkan terlebih dahulu suatu pola distribusi hujan jam-jaman. Pola
distribusi untuk keperluan perancangan bisa didapat dengan melakukan
pengamatan dari kejadian-kejadian hujan besar. Dengan mereratakan pola
distribusi hujan hasil pengamatan tersebut, kemudian didapatkan pola distribusi
(29)
pola untuk mendistribusikan hujan rancangan menjadi besaran hujan
jam-jaman.
I. Simulasi Skenario Penggunaan Lahan
Simulasi merupakan suatu proses pemilihan dengan cara coba-coba yang
menghasilan suat rangkaian skenario untuk dapat dijadikan plihan terbaik suatu
pengambilan keputusan sesuai dengan tujuan pengelolaan DAS yang
diterapkan (Balai RKT Wilayah V,1999 dalam Ridwan 2001).
Dalam upaya memprediksi besarnya debit puncak, maka untuk penggunaan
lahan tertentu perlu dilakukan simulasi dalam berbagai skenario.
J. Sistem Informasi Geografis
Pada hakekatnya Sistem Informasi Geografis adalah suatu rangkaian kegiatan
yang dilakukan untuk mendapatkan gambaran situasi ruang muka bumi atau
informasi tentang ruang muka bumi yang diperlukan untuk dapat menjawab
atau menyelesaikan suatu masalah yang terdapat dalam ruang muka bumi yang
bersangkutan. Rangkaian kegiatan tersebut meliputi pengumpulan, penataan,
pengolahan, penganalisisan dan penyajian data/fakta-fakta yang ada atau
terdapat dalam ruang muka bumi tertentu. Data/fakta yang ada atau terdapat
dalam ruang muka bumi tersebut, sering juga disebut sebagai data/fakta
geografis atau data/fakta spatial. Hasil analisisnya disebut Informasi geografis
atau Informasi spatial. Jadi SIG adalah rangkaian kegiatan pengumpulan,
(30)
informasi spasial untuk dapat menjawab atau menyelesaikan suatu masalah
dalam ruang muka bumi tertentu.
Alasan SIG dibutuhkan adalah karena untuk data spasial penanganannya sangat
sulit terutama karena peta dan data statistik cepat kadaluarsa sehingga tidak ada
pelayanan penyediaan data dan informasi yang diberikan menjadi tidak akurat.
Dengan demikian, SIG diharapkan mampu memberikan
kemudahan-kemudahan yang diinginkan yaitu:
1) penanganan data geospasial menjadi lebih baik dalam format baku
2) revisi dan pemutakhiran data menjadi lebih mudah
3) data geospasial dan informasi menjadi lebih mudah dicari, dianalisis dan
direpresentasikan
4) menjadi produk yang mempunyai nilai tambah
5) penghematan waktu dan biaya
6) keputusan yang diambil menjadi lebih baik.
Aplikasi SIG dapat digunakan untuk berbagai kepentingan selama data yang
diolah memiliki refrensi geografi, maksudnya data tersebut terdiri dari
fenomena atau objek yang dapat disajikan dalam bentuk fisik serta memiliki
lokasi keruangan (Sugito, 2010). Teknologi Sistem Informasi Geografis dapat
digunakan untuk investigasi ilmiah, pengelolaan sumber daya, perencanaan
pembangunan, kartografi dan perencanaan rute. Misalnya, SIG bisa membantu
perencana untuk secara cepat menghitung waktu tanggap darurat saat terjadi
(31)
yang membutuhkan perlindungan dari polusi. Berikut ini merupakan beberapa
contoh pemanfaatan SIG :
a. Aplikasi SIG di bidang sumber daya alam (inventarisasi, manajemen, dan
kesesuaian lahan untuk pertanian, perkebunan, kehutanan, perencanaan
tataguna lahan, analisis daerah rawan bencana alam, dan sebagainya),
b. Aplikasi SIG di bidang perencanaan (perencanaan pemukiman transmigrasi,
perencanaan tata ruang wilayah, perencanaan kota, perencanaan lokasi dan
relokasi industri, pasar pemukiman, dan sebagainya),
c. Aplikasi SIG di bidang lingkungan berikut pemantauannya (pencemaran
sungai, danau, laut; evaluasi pengendapan lumpur/sedimen baik di sekitar
danau, sungai, atau pantai; pemodelan pencemaran udara, limbah berbahaya,
dan sebagainya),
d. Aplikasi SIG di bidang pertanahan (manajemen pertanahan, sistem
informasi pertanahan, dan sejenisnya),
e. Utility (inventarisasi dan manajemen informasi jaringan pipa air minum,
sistem informasi pelanggan perusahaan air minum, perencanaan
pemeliharaan dan perluasan jaringan pipa air minum, dan sebagainya).
f. Aplikasi SIG dalam penelitian mengenai pengaruh tata guna lahan terhadap
debit banjir, analisis yang dilakukan antara lain adalah penghitungan luas
tata guna lahan yang menggunakan bantuan GIS, penghitungan curah hujan
rancanan, waktu konsentrasi, serta nilai koefisien aliran yang disesuaikan
dengan deskripsi masing-masing lahan yang kemudian dimasukkan dalam
(32)
ANALISIS GEOSPASIAL PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN TERHADAP DEBIT DAS WAY KUALA GARUNTANG
BANDAR LAMPUNG
OLEH FIENI YUNIARTI
Perubahan tata guna lahan di suatu daerah aliran sungai dapat menimbulkan berbagai macam dampak, diantaranya tingginya fluktuasi debit. DAS Way Kuala Garuntang yang terletak di Kota Bandar Lampung yang mengalami perubahan tata guna lahan yang signifikan. Penelitian ini menganalisis perubahan tata guna lahan untuk mengetahui seberapa besar pengaruhnya terhadap fluktuasi debit yang terjadi dengan memanfaatkan Sistem Informasi Geografis. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis hidrologi, analisis data spasial dan analisis sensitivitas. Analisis hidrologi yang dilakukan berdasarkan data curah hujan harian. Analisis data spasial bertujuan untuk menyajikan data geospasial terkait pengaruh perubahan tata guna lahan terhadap nilai debit. Analisis sensitivitas dilakukan dengan membuat simulasi skenario tata guna lahan dan dilihat pengaruhnya terhadap debit puncak yang terjadi.
Hasil analisis hirologi pada penelitian ini menunjukkan bahwa data curah hujan yang didapat dari stasiun curah hujan sekitar DAS tidak konsisten dan perlu dilakukan perbaikan data. Pola distribusi hujan di Bandar Lampung terdistribusi selama 4 jam dengan pola 40%, 40%, 15% dan 5%. Hasil analisis spasial pada penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat 11 jenis tutupan lahan pada kondisi eksisting dan hanya memiliki kawasan lindung seluas 4,72% dari luas DAS. Dari hasil analisis sensitivitas tata guna lahan menunjukkan bahwa tindakan yang tidak lagi menyediakan 30% ruang terbuka hijau dari luas DAS dapat menyebabkan kenaikan nilai debit puncak. Sebaliknya, tindakan yang mempertahankan adanya 30% ruang terbuka hijau dari luas DAS tidak menyebabkan perubahan debit puncak yang signifikan. Tindakan ini sangat diperlukan untuk memberikan ruang yang cukup bagi peresapan air hujan pada suatu daerah tertentu guna keperluan penyediaan kebutuhan air tanah serta penanggulangan banjir.
(33)
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
(Tesis)
Oleh
FIENI YUNIARTI
PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER TEKNIK SIPIL
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS LAMPUNG
2013
(34)
A. Lokasi penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Way Kuala Garuntang di Kota Bandar Lampung.
(35)
B. Bahan Dan Alat
1. Bahan
a. Peta dasar Kota Bandar Lampung skala 1 : 25000 b. Peta sungai Way Kuala Garuntang skala 1 : 25000 c. Peta Tata Guna Lahan skala 1 : 25000
d. Data curah hujan
2. Alat
a. GPS Garmin Csx 60
b. Software Ms.Excel, Quantum GIS 1.7.4
C. Metode Pelaksanaan Penelitian
1. Tahap pengumpulan Data
a. Data primer
Data primer antara lain adalah GCP (Ground Control Point) dari stasiun curah hujan dengan terlebih dahulu mensurvey titik stasiun curah hujan menggunakan GPS (global positioning system) untuk diplotkan pada koordinat peta.
b. Data Sekunder
Data sekunder antara lain adalah peta sungai yang bersal dari hasil digitasi dari google earth dan informasi data sungai dari Balai Besar Wilayah Sungai Mesuji Sekampung, Peta tata guna lahan merupakan peta RTRW 2010 yang berasal dari BAPEDA Lampung, dan data curah hujan yang berasal dari Balai Besar Wilayah Sungai Mesuji Sekampung.
(36)
2. Analisis Hidrologi
a. Penyiapan data curah hujan yaitu menentukan stasiun hujan dengan mengunakan poligon thiessen
b. Melengkapi data curah hujan c. Melakukan tes konsistensi
d. Melakukan analisis frekuensi curah hujan dengan menggunakan statistika yang bertujuan untuk memprediksi suatu besaran hujan atau debit dengan masa ulang tertentu. dan distribusi dengan metode gumbel, log pearson type III, dan log normal. Dari ketiga metode tersebut dipilih metode yang paling sesuai dengan metode chi kuadrat (chi square)
e. Menentukan Distribusi Hujan Jam-jaman dan mengubah data curah hujan menjadi intensitas hujan
f. Menetapkan persamaan intensitas hujan.
3. Analisis Data Spasial
a. Pembentukan Sungai Way Kuala Garuntang.
Pembentukan data sungai DAS Way Kuala Garuntang dibuat dengan berdasarkan citra google earth yang kemudian didigitasi untuk mendapatkan data-data sungai itu sendiri.
b. Membentuk DAS Way Kuala Garuntang.
Pembentukan DAS Way Kuala Garuntang dilakukan dengan menggunakan data RSTM yang di generate interval 1 meter.
c. Plotting Stasiun Curah Hujan. d. Pembuatan Poligon Thiessen
(37)
4. Analisis Sensivitas Dan Skenario Penggunaan Lahan
Simulasi skenario perubahan tata guna lahan dilakukan dengan mengadakan penambahan atau pengurangan terhadap luas hutan dan tata guna lahan lainnya. Simulasi tersebut dilakukan dengan jalan mengubah perkebunan, ladang, pemukiman, aau kawasan lain menjadi hutan ataupun
sebaliknya kemudian dilihat pengaruhnya terhadap kehilangan
tanah,limpasan dan debit puncak yang terjadi, hingga mencapai besaran angka yang tidak melebihi batas arahan yang ditetapkan
Setelah proses simulasi skenario skenario selesai dengan hasil keluaran yang diharapkan maka perlu ditetapkan batasan penggunaan lahan berdasarkan hasil analisis tersebut yang merupakan konsep tata guna lahan yang seharusnya diterapkan.
Analisa sensivitas dimaksudkan untuk mengetahui parameter yang paling berpengaruh terhadap hasil keluaran yang akan digunakan sebgai pedoman terhadap pengelolaan DAS.
5. Overlay
Menyusun (overlay) peta peta tematik hasil digitasi menggunakan program Quantum GIS 1.7.4 seperti peta tata guna lahan yang harus diidentifikasi nilai koefisien alirannya (C) sesuai dengan tata guna lahan masing-masing daerah serta dihitung luas masing-masing tata guna lahan (A) untuk mendapatkan nilai debit (Q) yang dihitung menggunakan metode rasional.
(38)
A. Kesimpulan
Dari hasil analisis dan pembahasan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. DAS Way Kuala Garuntang merupakan salah satu dari DAS besar di
Bandar Lampung dengan luas 60,39 km2dengan 11 anak sungai.
2. Sesuai dengan RTRW 2010, DAS Way Kuala Garuntang memiliki 11 jenis tutupan lahan selain dari jalan dan jalur kereta api dengan kawasan lindung seluas 4,72% dari luas DAS.
3. Setelah dilakukan pelengkapan data hujan yang hilang dan uji konsistensi, data hujan pada tahun 2000 untuk keempat stasiun tetap tidak dapat menunjukkan kekonsistensian data dikarenakan tidak adanya data hujan dari keempat stasiun pada tahun tersebut.
4. Pola hujan di Bandar Lampung terdistribusi menjadi 40% di jam pertama, 40% di jam kedua, 15% di jam ketiga dan 5% di jam keempat.
5. Sesuai dengan RTRW 2010, DAS Way Kuala Garuntang memiliki nilai koefisien aliran permukaan (C) sebesar 0,56.
6. Tindakan yang mempertahankan adanya ruang terbuka hijau untuk DAS Way Kuala Garuntang sangat diperlukan untuk memberikan ruang yang
(39)
cukup bagi peresapan air hujan pada suatu daerah tertentu guna keperluan penyediaan kebutuhan air tanah serta penanggulangan banjir.
7. Berdasarkan hasil simulasi dengan menggunakan skenario I, II dan III tata guna lahan dengan mempertahankan 30% dari luas DAS adalah ruang terbuka hijau, terlihat adanya penurunan debit puncak dan tidak terjadi perubahan debit puncak yang signifikan.
8. Dari hasil perhitungan debit dengan menggunakan luas tata guna lahan skenario IV, V, VI dan VII yang tidak lagi mempertahankan luas ruang terbuka hijau sebanyak 30% dari luas DAS, terlihat adanya kenaikan nilai debit puncak.
9. Perubahan debit yang paling ekstrim terlihat pada skenario V yang merubah sebagian lahan kosong menjadi kawasan pemukiman dan sebagian lahan pemukiman menjadi kawasan perdagangan dan jasa.
10. Semakin sedikit luas ruang terbuka hijau dan kawasan lindung pada suatu DAS maka perubahan nilai debit puncak akan semakin besar.
11. Penggunaan sistem informasi geografis dalam analisis perubahan tata guna lahan terhadap debit suatu DAS sangat bermanfaat dan membuat sistem proses analisis menjadi lebih efisien.
B. SARAN
1. Perlu diadakan penelitian tersendiri mengenai analisis hidrologi dan penelitian menyendiri mengenai analisis spasial pada DAS Way Kuala Garuntang secara mendalam dan terinci sehingga saat kedua analisis dioverlaykan didapat hasil yang lebih optimal.
(40)
2. Berdasarkan hasil analisis sensitivitas , perlu diadakan penyediaan Ruang Terbuka Hijau Pada DAS Way Kuala Garuntang sebaanyak 30% dari luas DAS.
3. Arahan perencanaan pembangunan sebaiknya tetap memperhatikan fungsi dan kondisi wilayah Sehingga tidak menyebabkan kerusakan sumber daya alam dalam DAS.
(41)
Fieni Yuniarti ABSTRACT
Land use and land cover change in a watershed might drive some impacts, such as high amounts of discharge fluctuations. Way Kuala Garuntang Watersheed is one of watershed in Bandar Lampung that has changed significantly. This study analyzed land use and land cover change to determine how much its influence on discharce fluctuations based on Geographics Information System. The method used in this study comprised of hidrology, spatial and sensitivity analysis. Hidrology analysis based on daily rainfall data. Spatial data analysis aims to present geospatial data related effects of land use and land cover change on the value of discharge. Sensitivity analysis is done by creating a land use and land cover simulation scenarios and sees its effect on the peak discharge events. The results of hidrology analysis in this study showed that the rainfall data obtained from the rainfall stations around the watershed were inconsistent and it needs to be repaired. It was found that the pattern of rainfall distribution in Bandar Lampung for 4 hours consists of 40%, 40%, 15% and 5% pattern. The results of spatial analysis in this study showed that there are 11 types of land cover on the existing condition and only has a protected area covering 4.72% of the total watershed. From the results of the sensitivity analysis showed that land use scenario with availability less than 30% of the area of green open space watershed may cause an increase in the value of the peak discharge. Instead, the scenario to maintain a 30% green open spaces of wide watershed did not make a significant change in peak discharge. This action is necessary to provide enough space for the infiltration of rain water on a particular area for the purpose of supplying the needs of ground water and flood control.
Keywords: land use and land cover change, discharge, Way Kuala Garuntang
ABSTRAK
Perubahan tata guna lahan di suatu daerah aliran sungai dapat menimbulkan berbagai macam dampak, diantaranya tingginya jumlah limbah dan fluktuasi debit. DAS Way Kuala Garuntang merupakan salah satu DAS di Kota Bandar Lampung yang telah mengalami perubahan tata guna lahan yang signifikan.Penelitian ini menganalisis perubahan tata guna lahan untuk mengetahui seberapa besar pengaruhnya terhadap fluktuasi debit yang terjadi dengan memanfaatkan Sistem Informasi Geografis. Lokasi penelitian ini terletak di DAS Way Kuala Garuntang Bandar Lampung. Dalam penelitian ini dilakukan analisis hidrologi, analisis data spasial dan analisis sensitivitas. Analisis hidrologi yang dilakukan berdasarkan dari data hidrologi dan dan parameter DAS lainnya. Analisis data spasial bertujuan untuk menyajikan data geospasial terkait pengaruh perubahan tata guna lahan terhadap nilai debit. Analisis sensitivitas dilakukan dengan membuat simulasi skenario tata guna lahan dan
(42)
data . Pola distribusi hujan di Bandar Lampung terdistribusi selama 4 jam dengan pola 40%, 40%, 15% dan 5%. Hasil analisis spasial pada penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat 11 jenis tutupan lahan pada kondisi eksisting dan hanya memiliki kawasan lindung seluas 4,72% dari luas DAS. DAS Way Kuala Garuntang memiliki nilai koefisien aliran permukaan sebesar 0,56. Dari hasil analisis sensitivitas tata guna lahan menunjukkan bahwa tindakan yang tidak lagi menyediakan 30% ruang terbuka hijau dari luas DAS dapat menyebabkan kenaikan nilai debit puncak. Sebaliknya, tindakan yang mempertahankan adanya 30% ruang terbuka hijau dari luas DAS tidak menyebabkan perubahan debit puncak yang signifikan. Tindakan ini sangat diperlukan untuk memberikan ruang yang cukup bagi peresapan air hujan pada suatu daerah tertentu guna keperluan penyediaan kebutuhan air tanah serta penanggulangan banjir.
Kata Kunci: tata guna lahan, debit puncak, DAS Way Kuala Garuntang
I. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang sedang melaksanakan pembangunan di berbagai sektor. Seperti yang diketahui selama ini, pembangunan memberikan banyak sekali manfaat terutama penyediaan lapangan kerja bagi masyarakat, tetapi di samping itu pembangunan juga membutuhkan pengorbanan-pengorbanan lingkungan seperti perubahan tata guna lahan, dari semula merupakan ruang hijau menjadi gedung-gedung bertingkat atau permukiman, pertanian ataupun industri.
Perubahan tata guna lahan yang paling besar pengaruhnya terhadap peningkatan nilai koefisien aliran permukaan yang berdampak pada peningkatan debit adalah penggunaan kawasan hutan menjadi penggunaan lainnya seperti pertanian, pemukiman ataupun industri. Kegiatan industri, peternakan, pertanian dan permukiman di sepanjang aliran sungai (bantaran sungai) menghasilkan bermacam limbah, baik padat maupun cair, ke dalam sungai. Kondisi ini terjadi semakin parah ketika aliran sungai mencapai kota-kota besar di Indonesia..
DAS Way Kuala Garuntang merupakan salah satu DAS di Kota Bandar Lampung yang arah alirannya melalui kawasan perkotaan dan telah mengalami kondisi perubahan tata guna lahan yang cukup signifikan. Menurut Megawati (2005), pada DAS Way Kuala Garuntang telah terjadi kegiatan penggundulan hutan dan berkembangnya daerah pemukiman pada daerah hulu sungai serta aktivitas masyarakat maupun industri di sekitar sungai dan saluran drainase yang membuang limbah rumah tangga (sampah) dan limbah industri ke dalamnya. Diketahui pula bahwa sungai-sungai di DAS Way Kuala Garuntang masih mampu menampung debit rencana yang telah diperhitungkan. Namun, inetensitas hujan dan koefisien aliran yang tidak sama ataupun lebih besar saat ini maupun masa mendatang karena terjadinya perubahan tata guna lahan yang terjadi dalam suatu aliran sungai akan menyebabkan semakin besar nilai debit banjir yang melewatinya.
Mengingat begitu pentingnya kapasitas air maksimal yang dapat tertampung dalam sistem drainase DAS Way Kuala Garuntang, maka dirasa perlu
(43)
hidrologi dan data parameter DASnya.
Pengidentifikasian perubahan tata guna lahan dan pengukuran fungsi hidrologi DAS di lapangan memerlukan pemahaman tentang banyak proses yang terlibat sehingga membutuhkan tenaga, waktu dan biaya yang banyak. Dengan demikian ketersediaan sebuah sistem dalam bidang penyajian data geospasial yang didukung oleh kemajuan teknologi jaringan komputer sangat diperlukan. Kemampuan teknologi komputer yang semakin berkembang membuat komputer saat ini dapat digunakan untuk berbagai bidang, salah satunya adalah bidang geografi, yaitu untuk membuat sistem informasi geografis (SIG). SIG adalah suatu sistem yang men-capture, mengecek, mengintegrasikan, memanipulasi, menganalisa, dan menampilkan data yang secara spasial (keruangan) mereferensikan kepada kondisi bumi. Teknologi SIG mengintegrasikan operasi operasi umum database, seperti query dan analisa statistik, dengan kemampuan visualisasi dan analisa yang unik yang dimiliki oleh pemetaan. Kemampuan inilah yang membedakan SIG dengan Sistem Informasi lainnya yang membuatnya menjadi berguna bidang penyajian data geospasial guna membantu kita dalam mempelajari proses perubahan debit sungai akibat perubahan tata guna lahan pada suatu DAS.
II. METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Way Kuala Garuntang di Kota Bandar Lampung.
Data primer pada penelitian ini antara lain adalah GCP (Ground Control Point) dari stasiun curah hujan dengan terlebih dahulu mensurvey titik stasiun curah hujan menggunakan GPS (global positioning system) untuk diplotkan pada koordinat peta.
Data sekunder pada penelitian antara lain adalah peta sungai yang bersal dari hasil digitasi dari google earth dan informasi data sungai dari Balai Besar Wilayah Sungai Mesuji Sekampung, Peta topografi (peta tata guna lahan, peta kemiringan, peta permeabilitas tanah) merupakan peta RTRW 2010 yang berasal dari BAPEDA Lampung, dan data curah hujan yang berasal dari Dinas PU Pengairan Provinsi Lampung.
Pada penelitian ini dilakukan tiga jenis analisis, yaitu analisis gidrologi, analisis data spasial dan analisis sensitivitas tata guna lahan serta Menyusun (overlay) peta peta tematik hasil digitasi menggunakan program Quantum GIS 1.7.4 seperti peta tata guna lahan yang harus diidentifikasi nilai koefisien alirannya (C) sesuai dengan tata guna lahan masing-masing daerah serta dihitung luas masing-masing tata guna lahan (A) untuk mendapatkan nilai debit (Q) yang dihitung menggunakan metode rasional.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari hasil pembentukan sungai Way Kuala Garuntang diketahui bahwa DAS Way Kuala Garuntang Memiliki 11 anak sungai yaitu Way Kemiling, Way Langkapura, Way Pemanggilan, Way Balau, Way Kedaton, Way Penengahan,
(44)
kecamatan teluk betung selatan. Dari hasil pembentukan DAS Way Kuala Garuntang dapat diketahui bahwa luas DAS Way Kuala Garuntang adalah 60,39 km2. Data Tutupan Lahan DAS Way Kuala Garuntang dibuat berdasarkan data RTRW Bandar Lampung tahun 2010. Setelah menampilkan layer tutupan lahan dan layer DAS Way kuala garuntang, dilakukan pemotongan pada layer tutupan lahan, sehingga didapatkan tutupan lahan sesuai dengan luas DAS Way Kuala Garuntang. Dari tahap pembentukan data tutupan lahan ini didapatkan 11 jenis tutupan lahan pada DAS Way Kuala Garuntang yang dapat dilihat pada lampiran Peta Tata Guna Lahan DAS Way Kuala Garuntang, dengan 0,4% pertambangan, 54,14% pemukiman, 4,10% peruntukan industri, 31,22% lahan kosong, 1,79% daerah perdagangan dan jasa, 0,23% perkantoran pemerintahan, 0,04% kawasan pariwisata, 0,38% kawasan industri, 0,46% kawasan lindung, 4,72% lahan pertanian , 1,26% merupakan kawasan pelayanan umum, 1,16% areal jalan dan 0,07% merupakan jalur kereta api ganda dari luas DAS Way Kuala Garuntang sebesar 60,392 km2.
Penentuan stasiun curah hujan yang datanya akan dipakai utuk menentukan curah hujan rata-rata DAS dengan terlebih dahulu mensurvey titik stasiun curah hujan menggunakan GPS (global positioning system) untuk diplotkan pada koordinat peta. Dari hasil yang diperoleh dapat dilihat pada tabel berikut. Dari data diatas setelah diplot kedalam peta dasar , daerah penelitian tepat berada di antara stasiun curah hujan dan sepenuhnya dipengaruhi oleh stasiun tersebut, sehingga dengan ini maka data curah hujan dari 4stasiun tersebut yang akan dipakai dalam penelitian ini.
Penentuan Luas Pengaruh Stasiun Hujan dalam penelitian ini dihitung menggunakan metode Poygon Thiessen. Peta Poligon Thiessen dibuat dengan menggunakan create polygon thiessen pada ArcMap9.3, yaitu dengan melakukan tumpang susun antara Peta Wilayah DAS dengan letak stasiun pengamatan hujan . Dengan demikian, akan diketahui persentase pengaruh luasan wilayah curah hujan tertentu terhadap luasan wilayah masing-masing DAS.
(45)
= ∑ ∑
Jarak antar stasiun dapat dilihat pada Lampiran Peta Jarak Antar Stasiun DAS Way Kuala Garuntang. Perhitungan Melengkapi data curah hujan terdapat pada lampiran B. Data curah hujan yang sudah dilengkapi selanjutnya akan dilakukan uji konsistensi untuk mendapatkan faktor koreksi.
Analisis curah hujan area dimaksudkan untuk mengetahui curah hujan rata-rata yang terjadi pada daerah tangkapan (catchment area) tersebut, yaitu dengan menganalisis data curah hujan maksimum yang didapat dari empat stasiun hujan. Metode yang digunakan dalam analisis ini adalah Metode Poligon Thiessen seperti Persamaan berikut i ini (Triatmodjo, 2008) :
= + + + … . + + … . . +
Untuk dapat mengubah hujan rancangan ke dalam besaran hujan jam-jaman perlu didapatkan terlebih dahulu suatu pola distribusi hujan jam-jam-jaman. Pola distribusi untuk DAS Way Kuala Garuntang didapat dengan melakukan pengamatan dari kejadian-kejadian hujan besar. Dengan mereratakan pola distribusi hujan hasil pengamatan tersebut, kemudian didapatkan pola distribusi rerata yang selanjutnya dianggap mewakili kondisi hujan dan dipakai sebagai pola untuk mendistribusikan hujan rancangan menjadi besaran hujan jam-jaman.
Analisa pola distribusi hujan dihitung menggunakan data curah hujan kotabaru dan panjang. Dari hasil perhitungan didapatkan pola distribusi hujan yang 90% hujan di Bandar Lampung terjadi pada 3 jam, 4 jam, 5 jam, 6 jam, 7 jam, 8 jam, 9 jam dan 13 jam (Lampiran B). Namun, kejadian terbanyak 90% hujan terjadi pada 3 jam, 4 jam dan 5 jam. Pada tabel 12, 13 dan 14 diperlihatkan hasil dari perhitungan persentase curah hujan jam-jaman untuk 3 jam, 4 jam dan 5 jam. Dari tahap ini diketahui bahwa 90% hujan di Bandar Lampung terjadi dalam waktu 4 jam dengan pola distribusi 40% di jam pertama, 40% di jam kedua, 15% di jam ketiga dan 5% di jam keempat. Perhitungan intensitas curah hujan ini menggunakan pola distribusi hujan yang telah didapatkan dan hasil perhitungan intensitas curah hujan disajikan pada tabel berikut :
Tabel 1. Hasil perhitungan Intensitas Hujan
T R 90%.R Intensitas Hujan
Jam ke-1 Jam ke-2 jam ke-3 jam ke-4
2 68,52 61,67 24,67 24,67 9,25 3,08
5 76,96 69,27 27,71 27,71 10,39 3,46
10 81,12 73,01 29,20 29,20 10,95 3,65
25 85,30 76,77 30,71 30,71 11,52 3,84
50 87,84 79,06 31,62 31,62 11,86 3,95
100 90,02 81,02 32,41 32,41 12,15 4,05
(46)
Skenario yang dilakukan adalah 1. Pembuatan Skenario I
menjadi ruang terbuka 2. Pembuatan Skenario
eksisting menjadi ruang te
yang ada pada skenario eksisting menja 3. Pembuatan Skenario
50% lahan pertanian
tersisa menjadi kawasan pemukiman. 4. Pembuatan Skenario
eksisting menjadi daerah pemukiman. 5. Pembuatan Skenario
eksisting menjadi kawasan
pemukiman pada kondisi eksisting menjadi daerah perda 6. Pembuatan Skenario
eksisting menjadi
pemukiman pada kondisi eksisting menjasi kawa 7. Pembuatan Skenario
eksisting menjadi kawasan menjadi kawasan industri
Nilai koefisien aliran dari suatu DAS. Dari nilai bahwa DAS Way Kuala sesuai dengan pernyataan menyatakan bahwa koefisien untuk menentukan kondisi f = 0 menunjukkan bahwa tanah, sebaliknya untuk sebagai aliran permukaan. Pa
rusak suatu DAS maka harga C semakin mende
Gambar 2. Tata Guna Lahan DAS Wa Kuala Garuntang Kondisi Eksisting Skenario yang dilakukan adalah
Skenario I : mengubah 30 % penutupan lahan yang lahan menjadi ruang terbuka hijau.
Skenario II : mengubah 30% luas lahan kosong pada
menjadi ruang terbuka hijau dan mengubah 50% luas lahan pertanian skenario eksisting menjadi daerah pemukiman
Skenario III : 30 % lahan kosong menjadi ruang terbuka pertanian menjadi kawasan pemukiman dan lahan kosong
kawasan pemukiman.
Skenario IV : mengubah semua lahan kosong pada njadi daerah pemukiman.
Skenario V : mengubah semua lahan kosong pada menjadi kawasan pemukiman dan mengubah semua pemukiman pada kondisi eksisting menjadi daerah perdagangan dan jasa.
Skenario VI : mengubah semua lahan kosong pada menjadi kawasan pemukiman dan mengubah 50% pemukiman pada kondisi eksisting menjasi kawasan industri.
Skenario VII : mengubah semua lahan pertanian pada menjadi kawasan pemukiman dan mengubah sebagian lahan
n industri
koefisien aliran dapat juga digunakan untuk mennetuan kondisi fisik Dari nilai koefisien aliran sebesar 0.561, maka dapat dinyatakan
Kuala Garuntang memiliki kondisi yang kurang baik. pernyataan (Kodoatie dan Syarief,2005 dalam Girsang 2008 bahwa koefisien lairan permukaan itu merupakan salah satu
kondisi fisik suatu DAS. Nilai C berkisanr antara 0 -bahwa semua air hujan terinfiltrasi dan terintersepsi untuk nilai C = 1 menunjukkan bahwa air hujan
ukaan. Pada DAS yang baik harga C mendekati 0 dan s DAS maka harga C semakin mendekati 1.
Lahan DAS Way Gambar 3. Skenario I Tata Guna Lahan ng Kondisi Eksisting DAS Way Kuala Garunta
lahan kosong kosong pada kondisi luas lahan pertanian ruang terbuka hijau, lahan kosong yang kosong pada kondisi kosong pada kondisi semua kawasan gangan dan jasa. kosong pada kondisi
50% kawasan pertanian pada kondisi n lahan kosong
ennetuan kondisi fisik dapat dinyatakan kurang baik. Hal ini Girsang 2008) yang salah satu indikator -1 . Nilai C terintersepsi ke dalam hujan mengalir ndekati 0 dan semakin
Guna Lahan a Garuntang
(47)
Gambar 6. Skenario IV Tata Guna Laha DAS Kuala Garuntang
Gambar 8. Skenario VI Tata Guna Laha DAS Kuala Garuntang
o IV Tata Guna Lahan Gambar 7. Skenario V Tata Guna Lahan Garuntang DAS Way Kuala Garunta
o VI Tata Guna Lahan Gambar 9. Skenario VII Tata Guna Garuntang DAS Way Kuala Garunta
Tata Guna Lahan Kuala Garuntang
Tata Guna Lahan Kuala Garuntang
(48)
Ulang Kondisi Eksisting Skenario I Skenario II Skenario III Skenario IV Skenario V Skenario VI Skenario VII 2 232,30 207,45 215,48 216,12 264,63 298,26 286,40 265,12 5 260,93 233,02 242,04 242,75 297,24 335,01 321,69 297,79 10 275,01 245,59 255,10 255,85 313,28 353,09 339,05 313,86 25 289,18 258,25 268,24 269,03 329,42 371,29 356,52 330,03 50 297,81 265,95 276,25 277,06 339,25 382,37 367,16 339,88 100 305,19 272,55 283,10 283,93 347,66 391,85 376,26 348,31 200 311,61 278,28 289,05 289,90 354,98 400,09 384,18 355,64
Tabel 2. Rekapitulasi Pengaruh Perubahan Tata Guna Lahan Terhadap Persentase Perubahan Nilai Debit
Kala Ulang
Kondisi
Eksisting Perubahan Nilai Debit (%) Q Skenario I Skenario II Skenario III Skenario IV Skenario V Skenario VI Skenario VII 2 232,42
-10,697 -7,239 -6,967 13,916 28,394 23,287 14,128 5 260,86 10 274,82 25 288,85 50 297,39 100 304,68 200 311,02
Dari hasil simulasi tersebut dapat dilihat bahwa rasio debt terkecil terjadi pada skenario I yaitu kondisi dimana dilakukan perubahan lahan kosong menjadi runag terbuka hijau. Dengan dilakukannya simulasi menggunakan skenario I ini dapat dilihat bahwa fluktuasi debit menjadi lebih kecil karena menurunnya nilai koefisien aliran (C) sehingga makin banyak air yang dapat terifiltrasi oleh tanah. Simulasi lain yang dilakukan dengan mempertahankan ruang terbuka hijau adalah skenario II dan III. Namun, dengan dilakukannya skenario ini tidak menunjukkan pengaruh yang besar. Rasio debit yang dihasilkan tidak jauh berbeda dengan kondisi I, dimana rasio debitnya berturut-turut adalah -10,69%, -7,23% dan 6,96%. Hal ini dikarenakan luas ruang terbuka hijau yang masih tetap 30% besarnya dari luas DAS. Selain itu, pola tata guna lahan pada skenario II dan III tidak jauh berbeda dengan kondisi I. Ruang terbuka hijau merupakan areal lahan di sekitar kota yang keberadaannya harus ditetapkan secara permanen dan didukung peraturan yang kuat sebagai kawasan hijau dan bebas dari bentuk struktur bangunan. Dari hasil simulasi skenario tersebut dapat disimpulkan bahwa tindakan yang mempertahankan adanya ruang terbuka hijau untuk DAS Way Kuala Garuntang sangat diperlukan. Tindakan ini perlu dilakukan dengan tujuan untuk memberikan ruang yang cukup bagi peresapan air hujan pada suatu daerah
(49)
dapat diartikan bahwa pada kondisi ini debit mencapai fluktuasi yang tidak merata. Pada kondisi ini keberadaan 30% ruang terbuka hijau tidak dipertahankan karena pada kondisi ini terjadi konversi semua lahan kosong menjadi kawasan pemukiman.
Alternatif skenario tata guna lahan yang menunjukkan rasio debit yang besar terjadi pada skenario V dan VI, dimana rasio yang dihasilkan berturut-turut adalah 28,38% dan 23,287%. Pada kondisi ini tindakan yang dilakukan adalah sama-sama merubah sebagian kawasan pemukiman menjadi daerah perdagangan dan jasa serta kawasan industri,di samping merubah sebagian lahan kosong menjadi pemukiman. Selain itu, tidak ada ruang terbuka hijau yang dipertahankan pada skenario ini. Tindakan tersebut berakibat pada semakin sedikit air yang dapat diretensi oleh tanah sehingga semakin besar curah hujan yang langsung menjadi debit. Debit akan semakin tinggi di musim hujan dan semakin rendah di musim kemarau karena berkurangnya pengisian air bawah tanah. Hal ini membuktikan bagaimana kontribusi ruang terbuka hijau dalam konservasi air, terutama berkaitan dengan persediaan simpanan air.
Skenario VI dan skenario VII yang tidak melakukan perubahan lahan kosong menjadi ruang terbuka hijau ini menunjukkan kondisi yang tidak terlalu berbeda walaupun tetap terjadi peningkatan rasio dibandingkan dengan skenario I, II dan III yang tetap mempertahankan keberadaan ruang terbuka hijau sebanyak 30% dari luas DAS. Hal ini dapat diartikan bahwa perubahan lahan pertanian menjadi kawasan pemukiman ataupun perubahan lahan kosong menjadi pemukiman menujukkan pengaruh yang tidak jauh berbeda terhadap fluktuasi debit sungai.
IV. KESIMPULAN
DAS Way Kuala Garuntang merupakan salah satu dari DAS besar di Bandar Lampung dengan luas 60,39 km2dengan 11 anak sungai
Sesuai dengan RTRW 2010, DAS Way Kuala Garuntang memiliki 11 jenis tutupan lahan selain dari jalan dan jalur kereta api dengan kawasan lindung seluas 4,72% dari luas DAS.
Setelah dilakukan pelengkapan data hujan yang hilang dan uji konsistensi, data hujan pada tahun 2000 untuk keempat stasiun tetap tidak dapat menunjukkan kekonsistensian data dikarenakan tidak adanya data hujan dari keempat stasiun pada tahun tersebut.
Pola hujan di Bandar Lampung terdistribusi menjadi 40% di jam pertama, 40% di jam kedua, 15% di jam ketiga dan 5% di jam keempat.
Sesuai dengan RTRW 2010, DAS Way Kuala Garuntang memiliki nilai koefisien aliran (C) sebesar 0,56.
Tindakan yang mempertahankan adanya ruang terbuka hijau untuk DAS Way Kuala Garuntang sangat diperlukan untuk memberikan ruang yang cukup bagi peresapan air hujan pada suatu daerah tertentu guna keperluan penyediaan kebutuhan air tanah serta penanggulangan banjir.
Berdasarkan hasil simulasi dengan menggunakan skenario I, II dan III tata guna lahan dengan mempertahankan 30% dari luas DAS adalah ruang terbuka
(50)
skenario IV, V, VI dan VII yang tidak lagi mempertahankan luas ruang terbuka hijau sebanyak 30% dari luas DAS, terlihat adanya kenaikan nilai debit puncak.
Perubahan debit yang paling ekstrim terlihat pada skenario V yang merubah sebagian lahan kosong menjadi kawasan pemukiman dan sebagian lahan pemukiman menjadi kawasan perdagangan dan jasa.
Semakin sedikit luas ruang terbuka hijau dan kawasan lindung pada suatu DAS maka perubahan nilai debit puncak akan semakin besar.
Penggunaan sistem informasi geografis dalam analisis perubahan tata guna lahan terhadap debit suatu DAS sangat bermanfaat dan membuat sistem proses analisis menjadi lebih efisien
DAFTAR PUSTAKA
Arini,Diah Dwi. 2005. Aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG) dan Penginderaan Jauh untuk Model Hidrologi Answer dalam Memprediksi Erosi dan Sedimentasi, Studi Kasus: DTA Cipopokol Sub DAS Cisadane Hulu, Kabupaten Bogor [Tesis]. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan. Institut pertanian Bogor. Bogor
Arsyad, S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. Bogor: IPB Press.
[BAPPEDA] Pemerintah Kota Bandar Lampung. 2010. Rencana Tata Ruang Wilayah Bandar Lampung 2010 – 2030. Bandar Lampung
Burhanita. 1995. Simulasi Pola Penggunaan Lahan Pada Sistem Hidrologi DAS Ciliwung Hulu. Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Candrabrata,R. 2010. Alih Fungsi Lahan menjadi Penyebab Perubahan Debit Air Pada Daerah Aliran Sungai. http://www.Revino_soil10.blogspot.com . Diakses pada Tanggal : 17 Februari 2012.
[Dirjen BRLKT] Direktorat Jendral Reboisasi & Rehabilitasi Lahan. 1998. Pedoman Penyusunan Rencana Teknik Lapangan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Daerah Aliran Sungai. Departemen Kehutanan. Jakarta. Girsang, Febrina. 2008. Analisis Curah Hujan untuk Pendugaan Debit Puncak
dengan Metode Rasional Pada DAS Belawan Kabupaten Deli Serdang. Universitas Sumatera Utara. Sumatera Utara
Harto,Sri.. 1993. Analisis Hidrologi.Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Indriatmoko, Haryoto.R. 1995. Perhitungan Besarnya Koefisien Aliran Menggunakan SIG Studi Kasus DAS progo Hulu.
Ismail, A.Y. 2004. Evalusi Pola Perubahan Lahan pada Daerah Aliran Sungai Cimanuk Hulu dengan Menggunakan Citra Landsat TM Tahun 1990 dan 2001 [tesis]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor
Kastamto. 2010. Prediksi Morfologi Dasar Sungai Akibat Variasi Tutupan Vegetasi Tebing Sungai Way Sekampung [Tesis]. Program Pasca Sarjana Magister Teknik Sipil Universitas Lampung. Bandar Lampung.
Lo, C.P. Penginderaan Jauh Terapan. B. Purbowaseso. Universitas Indonesia. Jakarta
Loebis,J. 1992. Banjir Rencana untuk Bangunan Air. Yayasan Badan Penerbit Pekerjaan Umum. Jakarta
(51)
Lampung. Bandar Lampung.
Nirmala, Ina., Asy’ari, A.Zaky. 2008. Identifikasi Fenomena Banjir Tahunan Menggunakan SIG dan Perencanaan Drainase di KecamatanPanjatan Kulon Progo [Tugas Akhir]. Jurusan Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan. Universitas Islam Indonesia. Yogyakarta
Pradityo, Teguh. 2011. Pengaruh Perubahan Tata Guna Lahand Aktivitas Manusia terhadap Kualitas Air Sub DAS Saluran Tarum Barat. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Permana,G.I., Yekti, M.I., Dharma,IGB Sila. 2004. Pengaruh Perubahan Tata Guna Lahan Terhadap Debit Banjir. Jurnal Berkala Ilmiah Teknik Keairan Universitas Udayana. Bali
Putro,H.R.,Hendrayanto,Ichwadi.I.,Sudaryanto,M.Buce. 2003. Sistem Intensif Rehabilitasi Lahan dalam Rangka Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Raharjo,P,D. 2009. Perubahan Penggunaan Lahan DAS Kreo Terhadap Debit Puncak Dengan Aplikasi Penginderaan Jauh. Jurnal Riset Geologi dan Pertambangan Jilid 19 No.2 69-84.
Ridwan,M.Hamim. 2001. Analisis pengaruh Tata Guna Lahan Terhadap Erosi dan Puncak Banjir Pada Sub DAS Garang dengan Pendekatan Model ANSWER [Tesis]. Magister Teknik Sipil Universitas Diponegoro. Semarang
Seyhan, E. 1990. Dasar-Dasar Hidrologi. S. Subagyo, penerjemah; Yogyakarta; Gadjah Mada University Press.
Sosrodarsono,S dan Takeda,K. 2006. Hidrologi untuk Pengairan. Pradnya Paramita. Jakarta
Sugandi,Dede dan Sugito, N.T. 2010. Urgensi Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk Mendukung Data Geospasial. Jurusan Pendidikan Geografi. Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung
Trenggono. 1999. Pengaruh Perubahan Lahan Terhadap Karakteristik Debit Sedimen dan Debit Banjir Sungai Wirokoro di Daerah pengaliran Sungai Wirokoro Bengawan Sungai Hulu [Catatan penelitian]. Litbang pengairan Triatmodjo,Bambang. 2008. Hidrologi Terapan. Beta Offset. Yogyakarta.
(52)
A. Analisa Data Spasial
Dari hasil pembentukan sungai Way Kuala Garuntang diketahui bahwa DAS Way Kuala Garuntang Memiliki 11 anak sungai yaitu Way Kemiling, Way Langkapura, Way Pemanggilan, Way Balau, Way Kedaton, Way Penengahan, Way Awi, Way Simpur, Way Halim, Way Kedamaian, dan Way Kuala. Dan Setelah menambahkan dengan layer batas administrasi pada peta diketahui bahwa hulu sungai berada pada kecamatan kemiling dan hilir sungai berada pada kecamatan teluk betung selatan. Gambar peta sungai Way Kuala Garuntang merupakan hasil spasial dari tahap pembentukan sungai ini
Dari hasil pembentukan DAS Way Kuala Garuntang dapat diketahui bahwa luas DAS Way Kuala Garuntang adalah 60,39 km2. Hasil dari pembentukan sungai dan DAS Way Kuala Garuntang dapat dilihat pada Gambar 5.
Data Tutupan Lahan DAS Way Kuala Garuntang dibuat berdasarkan data RTRW Bandar Lampung tahun 2010. Setelah menampilkan layer tutupan lahan dan layer DAS Way kuala garuntang, dilakukan pemotongan pada layer
(1)
Untuk DAS yang terdiri dari beberapa jenis tata guna lahan, maka nilai C pada DAS dihitung menggunakan rumus :
=∑∑= ∗ = Dengan :
Ai = luas lahan dengan jenis penutup tanah i
Ci = koefisien aliran permukaan jenis penutup tanah i n = jumlah jenis penutup lahan.
Tabel 18. Nilai Koefisien Aliran DAS Way Kuala Garuntang Kondisi Eksisting
TGL C A C x A
Kawasan Pertambangan 0,95 238630,13 226698,6 pemukiman 0,65 32696595,47 21252787 peruntukan industri 0,55 2479064,49 1363485 lahan kosong 0,4 18856469,02 7542588 perdagangan&jasa 0,8 1083636,49 866909,2 perkantoran pemerintahan 0,75 137310,74 102983,1 kawasan pariwisata 0,7 25005,39 17503,77 kawasan industri 0,85 231886,70 197103,7 kawasan lindung 0,3 277339,95 83201,98 pertanian 0,35 2849774,52 997421,1 kawasan pelayanan umum 0,75 773459,17 580094,4 Jalan 0,9 699392,37 629453,1 Jalur KA Ganda 0,35 43043,08 15065,08 60391607,51 33875294 0,561
Nilai koefisien aliran dapat juga digunakan untuk mennetuan kondisi fisik dari suatu DAS. Dari nilai koefisien aliran sebesar 0.561, maka dapat dinyatakan bahwa DAS Way Kuala Garuntang memiliki kondisi yang kurang baik. Hal ini sesuai dengan pernyataan (Kodoatie dan Syarief,2005 dalam Girsang 2008) yang menyatakan bahwa koefisien lairan permukaan itu merupakan salah satu
(2)
indikator untuk menentukan kondisi fisik suatu DAS. Nilai C berkisanr antara 0 -1 . Nilai C = 0 menunjukkan bahwa semua air hujan terinfiltrasi dan terintersepsi ke dalam tanah, sebaliknya untuk nilai C = 1 menunjukkan bahwa air hujan mengalir sebagai aliran permukaan. Pada DAS yang baik harga C mendekati 0 dan semakin rusak suatu DAS maka harga C semakin mendekati 1.
Tabel 19. Nilai Koefisien Aliran DAS Way Kuala Garuntang
Kondisi C
Kondisi Eksisting 0,56 Skenario I 0,50 Skenario II 0,52 Skenario III 0,52 Skenario IV 0,64 Skenario V 0,72 Skenario VI 0,69 Skenario VII 0,64
E. Debit Puncak
Seperti diuraikan apada metode, estimasi debit puncak dilakukan dengan menggunakan rumus rasional, yang menggunakan masukan variabel berupa koefisien aliran permukaan, intensitas hujan dan luas DAS.
Dari hasil simulasi 7 skenario tata guna lahan serta dan kondisi eksisting, diperoleh hasil perhitungan debit untuk masig-masing kondisi.
(3)
Tabel 20. Rekapitulasi Pengaruh Tata Guna Lahan Terhadap Nilai Debit Kala Ulang Debit (m3/det) Kondisi Eksisting Skenario I Skenario II Skenario III Skenario IV Skenario V Skenario VI Skenario VII 2 232,30 207,45 215,48 216,12 264,63 298,26 286,40 265,12 5 260,93 233,02 242,04 242,75 297,24 335,01 321,69 297,79 10 275,01 245,59 255,10 255,85 313,28 353,09 339,05 313,86 25 289,18 258,25 268,24 269,03 329,42 371,29 356,52 330,03 50 297,81 265,95 276,25 277,06 339,25 382,37 367,16 339,88 100 305,19 272,55 283,10 283,93 347,66 391,85 376,26 348,31 200 311,61 278,28 289,05 289,90 354,98 400,09 384,18 355,64
Tabel 21. Rekapitulasi Pengaruh Perubahan Tata Guna Lahan Terhadap Persentase Perubahan Nilai Debit
Kala Ulang
Kondisi
Eksisting Perubahan Nilai Debit (%) Q Skenario I Skenario II Skenario III Skenario IV Skenario V Skenario VI Skenario VII 2 232,42
-10,697 -7,239 -6,967 13,916 28,394 23,287 14,128 5 260,86 10 274,82 25 288,85 50 297,39 100 304,68 200 311,02
Dari hasil simulasi tersebut dapat dilihat bahwa rasio debt terkecil terjadi pada skenario I yaitu kondisi dimana dilakukan perubahan lahan kosong menjadi runag terbuka hijau. Dengan dilakukannya simulasi menggunakan skenario I ini dapat dilihat bahwa fluktuasi debit menjadi lebih kecil karena menurunnya nilai koefisien aliran (C) sehingga makin banyak air yang dapat terifiltrasi oleh tanah.
(4)
Simulasi lain yang dilakukan dengan mempertahankan ruang terbuka hijau adalah skenario II dan III. Namun, dengan dilakukannya skenario ini tidak menunjukkan pengaruh yang besar. Rasio debit yang dihasilkan tidak jauh berbeda dengan kondisi I, dimana rasio debitnya berturut-turut adalah -10,69%, -7,23% dan 6,96%. Hal ini dikarenakan luas ruang terbuka hijau yang masih tetap 30% besarnya dari luas DAS. Selain itu, pola tata guna lahan pada skenario II dan III tidak jauh berbeda dengan kondisi I. Ruang terbuka hijau merupakan areal lahan di sekitar kota yang keberadaannya harus ditetapkan secara permanen dan didukung peraturan yang kuat sebagai kawasan hijau dan bebas dari bentuk struktur bangunan. Dari hasil simulasi skenario tersebut dapat disimpulkan bahwa tindakan yang mempertahankan adanya ruang terbuka hijau untuk DAS Way Kuala Garuntang sangat diperlukan. Tindakan ini perlu dilakukan dengan tujuan untuk memberikan ruang yang cukup bagi peresapan air hujan pada suatu daerah tertentu guna keperluan penyediaan kebutuhan air tanah serta penanggulangan banjir, baik kawasan bawahnya maupun kawasan yang bersangkutan.
Pada kondisi skenario IV, rasio debit mencapai nilai 13,91%. Hal ini dapat diartikan bahwa pada kondisi ini debit mencapai fluktuasi yang tidak merata. Pada kondisi ini keberadaan 30% ruang terbuka hijau tidak dipertahankan karena pada kondisi ini terjadi konversi semua lahan kosong menjadi kawasan pemukiman.
Alternatif skenario tata guna lahan yang menunjukkan rasio debit yang besar terjadi pada skenario V dan VI, dimana rasio yang dihasilkan berturut-turut adalah 28,38% dan 23,287%. Pada kondisi ini tindakan yang dilakukan adalah
(5)
sama-sama merubah sebagian kawasan pemukiman menjadi daerah perdagangan dan jasa serta kawasan industri,di samping merubah sebagian lahan kosong menjadi pemukiman. Selain itu, tidak ada ruang terbuka hijau yang dipertahankan pada skenario ini. Tindakan tersebut berakibat pada semakin sedikit air yang dapat diretensi oleh tanah sehingga semakin besar curah hujan yang langsung menjadi debit. Debit akan semakin tinggi di musim hujan dan semakin rendah di musim kemarau karena berkurangnya pengisian air bawah tanah. Hal ini membuktikan bagaimana kontribusi ruang terbuka hijau dalam konservasi air, terutama berkaitan dengan persediaan simpanan air.
Skenario VI dan skenario VII yang tidak melakukan perubahan lahan kosong menjadi ruang terbuka hijau ini menunjukkan kondisi yang tidak terlalu berbeda walaupun tetap terjadi peningkatan rasio dibandingkan dengan skenario I, II dan III yang tetap mempertahankan keberadaan ruang terbuka hijau sebanyak 30% dari luas DAS. Hal ini dapat diartikan bahwa perubahan lahan pertanian menjadi kawasan pemukiman ataupun perubahan lahan kosong menjadi pemukiman menujukkan pengaruh yang tidak jauh berbeda terhadap fluktuasi debit sungai.
(6)