35
merumuskannya dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Tahap
ini disebut dengan tahap kebijakan legislatif.
2. Tahap Aplikasi Tahap penegakan hukum pidana tahap penerapan hukum pidana oleh
aparat penegak hukum, mulai dari kepolisian sampai ke pengadilan. Dengan demikian aparat penegak hukum bertugas menegakkan serta
menerapkan peraturan- peraturan perundang-undangan pidana yang telah dibuat oleh pembuat undang- undang, dalam melaksanakan tugas
ini aparat penegak hukum harus berpegang teguh pada nilai-nilai keadilan dan daya guna. Tahap ini disebut sebagai tahap yudikatif.
3. Tahap Eksekusi Tahap penegakan pelaksanaan hukum serta secara konkret oleh aparat-
aparat pelaksana pidana. Pada tahap ini aparat-aparat pelaksana pidana bertugas menegakkan peraturan perundang-undangan yang telah dibuat
oleh pembuat undang-undang melalui penerapan pidana yang telah diterapkan dalam putusan pengadilan. Dengan demikian, proses
pelaksanaan pemidanaan yang telah ditetapkan dalam pengadilan, aparat-aparat pelaksana pidana itu dalam pelaksanaan tugasnya harus
berpedoman pada peraturan perundang-undangan pidana yang telah dibuat oleh pembuat undang-undang dan undang-undang daya guna.
52
Sementara itu, proses penegakan hukum dalam pandangan Soerjono Soekanto dipengaruhi oleh 5 lima faktor, yaitu:
1. Faktor hukumnya sendiri, yaitu berupa undang-undang.
2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun
menerapkan hukum. 3.
Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. 4.
Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
53
Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum juga merupakan tolak ukur daripada efektivitas
penegakan hukum.
2.3 Korban Penyalahgunaan Narkotika
52
Sudarto. 1986, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, h. 25-26.
53
Soerjono Soekanto, 1983, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali, Jakarta, h. 4-5.
36
Secara umum yang dimaksud dengan korban adalah mereka yang
menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan
dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita.
54
Menurut Black’s Law Dictionary, victims adalah The person who is the object of a crime or tort, as the
victim of robbery is the person robbed.
55
Menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban menyatakan korban adalah seseorang yang
mengalami penderitaan fisik, mental, danatau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.
Dalam Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyatakan bahwa penyalah guna adalah orang yang menggunakan
narkotika tanpa hak atau melawan hukum. Penyalahgunaan narkotika dapat diartikan sebagai tindakan atau perbuatan yang tidak sebagaimana mestinya
menyimpang atau bertentangan dengan yang seharusnya yang mempergunakan narkotika secara berlebihan overdosis sehingga membahayakan diri sendiri,
baik secara fisik maupun psikis.
56
Pengertian korban penyalahgunaan narkotika menurut Penjelasan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyatakan bahwa
korban penyalahgunaan narkotika adalah seseorang yang tidak sengaja
54
Arif Gosita, 1993, Masalah Korban Kejahatan, Akademika Pressindo, Jakarta, h. 6.
55
Henry Campbell Black, 1979, Black’s Law Dictionary, West Publishing Company, St. Paul Minn.
56
A. W. Widjaya,1985, Masalah kenakalan Remaja dan Penyalahgunaan Narkotika, Amirco, Bandung, h. 13.
37
menggunakan narkotika karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa, danatau diancam untuk menggunakan narkotika.
Ditinjau dari perspektif tingkat keterlibatan korban dalam terjadinya kejahatan, Ezzat Abdel Fattah menyebutkan beberapa tipologi korban, yaitu:
1. Nonparticipating victims adalah mereka yang menyangkal atau
menolak kejahatan dan penjahat tetapi tidak turut berpartisipasi dalam penanggulangan kejahatan;
2. Latent or predisposed victims adalah mereka yang mempunyai karakter
tertentu cenderung menjadi korban pelanggaran tertentu; 3.
Propocative victims adalah mereka yang menimbulkan kejahatan atau pemicu kejahatan;
4. Participating victims adalah mereka yang tidak menyadari atau
memiliki perilaku lain sehingga memudahkan dirinya menjadi korban; 5.
False victims adalah mereka yang menjadi korban karena dirinya sendiri.
57
Apabila ditinjau dari perspektif tanggung jawab korban itu sendiri maka Stephen Schafer mengemukakan tipologi korban itu menjadi tujuh bentuk, yaitu:
1. Unrelated victims adalah mereka yang tidak ada hubungan dengan si
pelaku dan menjadi korban karena memang potensial. Untuk itu, dari aspek tanggung jawab sepenuhnya ada di pihak korban.
2. Proactive victims merupakan korban yang disebabkan peranan korban
untuk memicu terjadinya kejahatan. Karena itu, dari aspek tanggung jawab terletak pada diri korban dan pelaku secara bersama-sama.
3. Participating victims hakikatnya perbuatan korban tidak disadari dapat
mendorong pelaku melakukan kejahatan. Misalnya, mengambil uang di bank dalam jumlah besar yan tanpa pengawalan, kemudian dibungkus
dengan tas plastik sehingga mendorong orang untuk merampasnya. Aspek ini pertanggungjawaban sepenuhnya ada pada pelaku.
4. Biologically weak victims adalah kejahatan disebabkan adanya keadaan
fisik korban seperti wanita, anak-anak, dan manusia lanjut usia manula merupakan potensial korban kejahatan. Ditinjau dari
pertanggungjawabannya terletak pada masyarakat atau pemerintah setempat karena tidak dapat memberi perlindunga kepada korban yang
tidak berdaya.
5. Socially weak adalah korban yang tidak diperhatikan oleh masyarakat
bersangkutan seperti gelandangan dengan kedudukan sosial yang lemah. Untuk itu, pertanggungjawabannya secara penuh terletak pada
penjahat atau masyarakat.
57
Lilik Mulyadi, 2003, Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi dan Viktimologi, Djambatan, Denpasar, h. 124.
38
6. Self victimizing victims adalah korban kejahatan yang dilakukan sendiri
korban semu
atau kejahatan
tanpa korban.
Untuk itu
pertanggungjawabannya sepenuhnya terletak pada korban sekaligus sebagai pelaku kejahatan.
7. Political victims adalah korban karena lawan polotiknya. Secara
sosiologis, korban ini tidak dapat dipertnggungjawabkan kecuali adanya perubahan konstelasi politik.
58
Selain dari prespektif yang dikemukakan kedua tokoh tersebut, sebagai suatu perbandingan perlu pula dikemukakan beberapa tipologi yang
dikemukakan oleh Sellin dan Wolfgang sebagai berikut: 1.
Primary victimization adalah korban individual. Jadi korbannya adalah orang perorangan bukan kelompok;
2. Secondary victimization, yang menjadi korban adalah kelompok,
misalnya badan hukum; 3.
Tertiary victimization, yang menjadi korban adalah masyarakat luas; 4.
Mutual victimization, yang menjadi korban adalah si pelaku sendiri, misalnya pelacuran, perzinahan, dan narkotika;
5. No victimization, yang dimaksud bukan berarti tidak ada
korbanmelainkan korban tidak segera dapat diketahui. Misalnya konsumen yang tertipu dalam menggunakan suatu hasil produksi.
59
Berdasarkan tingkat keterlibatan korban dalam terjadinya kejahatan,
korban penyalahgunaan narkotika termasuk dalam tipologi false victims, yaitu pelaku yang menjadi korban karena dirinya sendiri. Merujuk perspektif
tanggung jawab korban, Stephen Schafer menyatakan adanya self victimizing victims, yakni pelaku yang menjadi korban karena kejahatan yang dilakukannya
sendiri. Untuk itu pertanggungjawabannya sepenuhnya terletak pada korban sekaligus sebagai pelaku kejahatan. Sedangkan menurut Sellin dan Wolfgang
korban penyalahgunaan narkotika merupakan mutual victimization, yaitu pelaku
58
Ibid, h. 123.
59
Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatri Gultom, 2006, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan Antara Norma Dan Realita, Raja Grafindo, Jakarta, selanjutnya disingkat Dikdik M. Arief Mansur dan
Elisatris Gultom II, h. 49.
39
yang menjadi korban adalah si pelaku sendiri. Seperti halnya pelacuran, dan perzinahan.
Selain itu, penyalah guna narkotika juga dapat dikategorikan sebagai kejahatan tanpa korban crime without victim. Pengertian kejahatan tanpa korban
berarti kejahatan ini tidak menimbulkan korban sama sekali akan tetapi si pelaku sebagai korban. Sementara dalam kategori kejahatan, suatu perbuatan jahat haruslah
menimbulkan korban dan korban itu adalah orang lain an act must take place that involves harm inflicted on someone by the actor. Artinya, apabila hanya diri sendiri
yang menjadi korban, maka hal tersebut tidak dapat dikatakan sebagai kejahatan.
60
3.1 Pengguna Narkotika Berdasarkan Perundang-Undangan