BNN dalam Pencegahan Tindak Pidana Narkotika

21 menggugah dan mendorong kesadaran masyarakat, kepedulian san peran serta aktif masyarakat. Pemerintah juga mengupayakan kerjasama bilateral, regional, multilateral dengan negara lain danatau badan internasional guna mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika sesuai dengan kepentingan nasional. Pemerintah membentuk sebuah badan koordinasi narkotika tingkat nasional yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Badan ini mempunyai tugas melakukan koordiansi dalam rangka ketersediaan, pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Di dalam penjelasan Keputusan Presiden no 17 Tahun 2002 dinyataka bahwa Badan Narkotika Nasional BNN dalam kegiatan Pencegahan, Pemberantasan, Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika melaksanakan beberapa peran yaitu sebagai berikut : 1. Bidang Pencegahan, 2. Bidang Rehabilitasi, 3. Bidang Penegakan Hukum, Pada masa ini merupakan perkembangan ketiga dari Badan Narkotika Nasional, akan tetapi badan narkotika nasional pada masa itu dianggap kurang begitu efektif dikarenakan lembaga tersebut hanya bersifat koordinatif dan administratif. Masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan serta dalam membantu upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Masyarakat wajib melaporkan kepada pejabat yang berwenang apabila mengetahui adanya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.

B. BNN dalam Pencegahan Tindak Pidana Narkotika

Peran Badan Narkotika Nasional jika dikaitkan dengan pencegahan tindak pidana narkotika adalah suatu realitas yang tidak mungkin dilepaskan, sesuai dengan Pasal 3, Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007 tentang Badan Narkotika Nasional. Seiring dengan perkembangannya, pemerintah telah memberlakukan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Dalam Undang-Undang ini disebutkan bahwa setiap pengguna Narkoba yang setelah vonis pengadilan terbukti tidak mengedarkan atau memproduksi narkotika, dalam hal ini mereka hanya sebatas pengguna saja, maka mereka berhak mengajukan untuk mendapatkan pelayanan 22 rehabilitasi. Melihat hal tersebut, Undang-Undang ini memberikan kesempatan bagi para pecandu yang sudah terjerumus dalam penyalahgunaan narkotika agar dapat terbebas dari kondisi tersebut dan dapat kembali melanjutkan hidupnya secara sehat dan normal. Kuratif disebut juga program pengobatan. Program kuratif ditujukan kepada pemakai Narkoba. Tujuannya adalah mengobati ketergantungan dan menyembuhkan penyakit sebagai akibat dari pemakaian Narkoba, sekaligus menghentikan pemakaian Narkoba. Tidak sembarang orang boleh mengobati pemakai Narkoba. Pemakaian Narkoba sering diikuti oleh masuknya penyakit-penyakit berbahaya serta gangguan mental dan moral. Pengobatannya harus dilakukan oleh dokter yang mempelajari Narkoba secara khusus. Pengobatan terhadap pemakai Narkoba sangat rumit dan membutuhkan kesabaran luar biasa dari dokter, keluarga, dan penderita. Inilah sebabnya mengapa pengobatan pemakai Narkoba memerlukan biaya besar tetapi hasilnya banyak yang gagal. Kunci sukses pengobatan adalah kerjasama yang baik antara dokter, keluarga dan penderita. Rehabilitasi adalah upaya pemulihan kesehatan jiwa dan raga yang ditujukan kepada pemakai Narkoba yang sudah menjalani program kuratif. Tujuannya agar ia tidak memakai lagi dan bebas dari penyakit ikutan yang disebabkan oleh bekas pemakaian Narkoba. Seperti kerusakan fisik syaraf, otak, darah, jantung, paru-paru, ginjal, dati dan lain-lain, kerusakan mental, perubahan karakter ke arah negatif, asocial dan penyakit-penyakit ikutan HIVAIDS, hepatitis, sifili dan lain-lain. Itulah sebabnya mengapa pengobatan Narkoba tanpa upaya pemulihan rehabilitasi tidak bermanfaat. Setelah sembuh, masih banyak masalah lain yang akan timbul. Semua dampak negatif tersebut sangat sulit diatasi. Karenanya, banyak pemakai Narkoba yang ketika ”sudah sadar” malah mengalami putus asa, kemudian bunuh diri. Program represif adalah program penindakan terhadap produsen, bandar, pengedar dan pemakai berdasar hukum. Program ini merupakan instansi pemerintah yang berkewajiban mengawasi dan mengendalikan produksi maupun distribusi semua zat yang tergolong Narkoba.Selain mengendalikan produksi dan distribusi, program represif berupa penindakan juga dilakukan terhadap pemakai sebagai pelanggar undang- undang tentang Narkoba. Instansi yang bertanggung jawab terhadap distribusi, produksi, penyimpanan, dan penyalahgunaan Narkoba adalah : Badan Obat dan Makanan POM, Departemen Kesehatan, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, 23 Direktorat Jenderal Imigrasi, Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksaan Agung Kejaksaan Tinggi Kejaksaan Negeri, Mahkamah Agung Pengadilan Tinggi Pengadilan Negeri. BNN dalam operasionalnya ditingkat provinsi dilaksanakan oleh Badan Narkotika Provinsi BNP dan pada tingkat kabupaten Kota oleh Badan narkotika KabupatenKota BNK. Sampai saat ini telah terbentuk 31 BNP dari 33 provinsi dan baru terbentuk 270 BNK dari 460 Kabupaten Kota di seluruh Indonesia. 33 Program kegiatan upaya Pencegahan, Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika atau P4GN terhadap tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh Badan Narkotika Nasional didasari oleh kebijakan dan strategi nasional. 34 Strategi Nasional P4GN berupa : Peningkatan kampanye anti Narkotika di lingkungan kerja, sekolah dan keluarga, untuk mengurangi tingkat prevalensi penyalahguna Narkotika yang saat ini berjumlah 1,99 dari total populasi penduduk indonesia. Mengupayakan agar korban yang sembuh meningkat dan korban yang relapse berkurang. Pengungkapan jaringan sindikat meningkat. Adapun Kebijakan nasional P4GN yaitu menjadikan masyarakat imun terhadap penyalahgunaan Narkotika, menyembuhkan korban penyalahguna Narkotika melalui proram terapi dan rehabilitasi dan terus menerus memberantas jaringan sindikat Narkotika. Analisis mengenai penanggulangan penyalahgunaan narkotika sesuai Undang– undang Nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika berdasarkan pada teori kebijakan. Teori efektivitas hukum, teori kepatuhan dan ketaatan hukum serta teori sistem hukum digunakan untuk menganalisis hambatan-hambatan dalam menanggulangi dan memberantas tindak pidana narkotika. Tindak pidana narkotika begitu membahayakan kelangsungan generasi muda, oleh sebab itu tindak pidana ini perlu ditanggulangi dan diberantas. Marjono Reksodiputro merumuskan penanggulangan sebagai untuk mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat. Selanjutnya Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa: Kebijakan penanggulangan dalam hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum khususnya hukum pidana. Kebijakan penanggulangan kejahatan lewat pembuatan undang-undang pidana merupakan bagian 33 Pedoman P4GN Handbook Badan Narkotika Nasional , 2007 , hlm:70-73 34 http:www.bnn.go.idportalbaruportalkonten.php?nama=PressReleaseop=detail_press_relea seid=68mn=2smn=e, Jakarta, 31 Peb 2013 24 integral dari kebijakan perlindungan masyarakat serta merupakan bagian integral dari politik sosial. Politik sosial tersebut dapat diartikan sebagai segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup perlindungan masyarakat. 35 Pemberantasan tindak pidana narkotika merupakan usaha-usaha yang dilakukan penegak hukum dalam pemberantasan tindak pidana penyalahgunaan narkotika, serta konsekuensi yuridis terhadap pelanggaran Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Pemberantasan tindak pidana narkotika dihubung dengan fakta–fakta sosial. Pound sangat menekankan efektif bekerjanya dan untuk itu ia sangat mementingkan beroperasinya hukum di dalam masyarakat. Oleh karena itu Pound membedakan pengertian Law in hook’s di satu pihak dan law in action di pihak lain. Pembedaan ini dapat diterapkan pada seluruh bidang hukum. Ajaran itu menonjolkan masalah apakah hukum yang diterapkan sesuai dengan pola -pola prikelakuan. Pada dasarnya, pemerintah telah berupaya keras untuk mengatasi masalah pecandu yang masih minim direhabilitasi. Turunnya Peraturan Pemerintah PP No.25 Tahun 2011 Tentang Wajib Lapor Bagi Penyalahguna Narkoba, merupakan wujud komitmen negara untuk mengakomodir hak pecandu dalam mendapatkan layanan terapi dan rehabililtasi termasuk didalamnya dapat diketahui kepribadiannya dengan pemeriksaan MMPI yang dapat menetapkan kepribadian yang akan terganggu fungsi berpikirnya, perilaku dan emosi. 35 Arief Amrullah, 2010, Politik Hukum Pidana Dalam Perlindungan Korban kejahatan Ekonomi di Bidang Perbankan, Bayumedia, Jakarta, hal. 22. 25

BAB 3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN