BAB 2 KONSTRUKSI NEGARA KESULTANAN SERDANG, 1723-1946

BAB 2
DESKRIPSI NEGARA KESULTANAN SERDANG

1. Keadaan Geografis
Luas wilayah Negara KeSultanan Serdang meliputi kira-kira sekitar 1.900 km² (kilometer persegi)
atau luas seluruh daerah kabupaten Serdang Bedagai.1 Wilayah Negara KeSultanan Serdang dibatasi
oleh KeSultanan Deli dan Kerajaan Bedagai. Dalam tahun 1723-1820, wilayah Negara KeSultanan
Serdang dibatasi Lubuk Pakam, Batang Kuis dan Percut Sei Tuan di selatan Sungai Ular sampai ke
pantai selatan Selat Malaka dengan melalui Namu Rambe di Hulu.

2. Embrio KeSultanan : Perebutan Tahta di KeSultanan Deli Tahun 1720
Berdirinya Negara KeSultanan Serdang diawali dari perang suksesi dalam perebutan tahta di Deli
disekitar tahun 1720, dimulai ketika terjadi perebutan tahta keSultanan Deli setelah Tuanku Panglima
Paderap (pendiri keSultanan Deli) mangkat pada tahun 1723. Tuanku Gandar Wahid, anak kedua Tuanku
Panglima Paderap mengambil alih tahta dengan tidak memperdulikan abangnya Tuanku Jalaludin dan
adiknya Tuanku Umar. Tuanku Jalaludin tidak bisa berbuat banyak karena cacat fisik, sementara Tuanku
Umar terpaksa mengungsi ke wilayah Serdang.
Melihat hal ini beberapa petinggi wilayah yakni Datuk Sunggal Serbanyaman, Raja Urung Sinembah,
Raja Ulung Tanjong Morawa dan Kejuruan Lumu sebagai wakil Aceh menabalkan Tuanku Umar Johan
Pahlawan Alam Shah Kejuruan Junjungan sebagai Sultan Serdang pertama pada tahun 1728. Wilayah
keSultanan ini berpusat di Kampung Besar tempat dimana ibunya, Tuanku Ampunan Sampali

tinggal.Tuanku Umar atau Raja Osman akhirnya tewas saat pasukan kerajaan Siak ingin menaklukan
kerajaan-kerajaan Melayu di pesisir Sumatera Timur di tahun 1782. Makam Tuanku Umar sampai kini
masih ada di tengah-tengah perkebunan Sampali.
Perang suksesi ini merupakan sebagai embrio terbentuknya bangsawan Melayu Serdang sekaligus
telah mewujudkan Negara KeSultanan Serdang. Dua orang Datuk Urung yaitu Urung Sunggal Merga
Surbakti dan Urung Senembah merga Barus beserta Raja Tanjong Morawa dari Merga Saragih (Batak
Timur) dan utusan Aceh yaitu Uleebalang Lumu, segera membawa Tuanku Umar beserta ibundanya
Permaisuri Puan Sampali ke muara sungai Serdang dan merajakan Tuanku Umar sebagai Sultan Serdang
yang pertama (1723 M). Mereka membawa Sarakata dengan Cap Sikureung dari Sultan Aceh untuk
pesan penobatan Tuanku Umar yaitu sebagai berikut:
“Memerintah Negara Kesultanan Serdang dengan peringgannya, yang termadzkur dan
menghukumkan atas sekalian rakyatnya, dan mengambil wadsil, dan adat serta derajat, seperti yang
kanun oleh paduka mahkota alam Iskandar muda, dan hendaklah menjunjungkan yang titah Allah, dan
sabda Rasul dan menyarankan sekalian Raja-raja dan menyarankan kami, serta menjauhkan larangannya
Liqaulihi Ta‟ala Amarabil ma‟rufi, wanaha‟anilmunkari dan lagi firmanNya „athiaulaha wa‟athi aul
Rasuli wa‟ulul amriminkum, dan hendaklah memeliharakan segala hamba Allah, jangan teraniaya, dan
1

Pemda DATI I Sumatera Utara. Sumatera Utara Membangun (Medan : PEMDA DATI I Sumatera Utara, 1982),
hal. 20. Lihat juga Sejarah Kabupaten Serdang Bedagai (Sei Rampah : www.serdangbedagaikab.go.id; 2000 )


12

mencurahkan sekalian rakyat pada perintah jalan syariah dini Muhammadin, karena firman Allah Ta‟ala
wa‟aqimursalata wa‟atuzakata watsumu ramdhana watahiyul baita kanistatha illahi sabila, lagi pula
hendaklah dikuatkan atas sekalian rakyat sembahyang Jum‟at pada tiap-tiap mesjid dan sembahyang
berjamaah pada tiap-tiap waktu adanya. Waba‟dahu apabila memutuskan barang diperhukuman
hendaklah dengan mau dengan periksanya sehabis-habis ijtihad, karena firman Allah Ta‟ala Innallaha
ja‟murukum bil‟adil walihsin, dan lagi firmanNya, fahkum bainakum bima anzalallahu
walatattabi‟ilhawa, dan lagi firmanNya yaadauda tahakamta binan nasi antahkumabil adli fihadizil kudsi,
sebagai lagi wilayah nikah, fasah, fitrah anak yatim dan menerima harta baitalmal yang dalam daerah
segala peringgannya. Maka barang siapa yang berkehendak kamu sekalian datanglah kepada kami.” Raja
itu adalah zillullah fi‟l alam.
Setelah dibacakan oleh utusan Aceh itu, dipukullah gendang dan naubat. Maka oleh Raja Urung
Senembah dinyatakanlah bahwa:
“Ada Raja Adat Berdiri, Tiada Raja Adat Mati.” “Raja Adil Raja Disembah, Raja Zalim Raja
Disanggah”. (Tidak durhaka tetapi, negeri ditinggalkan seperti di dalam hikayat lama, negeri itu
akan lengang ibarat disambar garuda. Raja akan kehilangan daulatnya, menjadi miskin dan
turunlah derajatnya).
Oleh Kadhi Malikul Adil berbicara:

Di dalam Surat an-Nisa’ Ayat 59 diterakan: “Wahai orang yang beriman, taatlah kamu kepada
Allah dan taatlah kamu kepada Rasulullah dan kepada Ulil Amri (orang yang berkuasa) dari
kalangan kamu”.
Dari Anas ibn Malik r.a. bahwa Nabi bersabda:
“Dengar oleh kamu kata raja kamu dan ikut oleh kamu akan dia, jikalau ada ia sahaya yang
Habshi sekalipun.”
Dari Sheikh Abdullah dalam “Bayan al Asma”:
“Raja itu ibarat zat, dan menteri itu ibarat sifat. Maka zat dan sifat itu tiada ia bercerai
keduanya”.
Dari kitab “Bustanussalatin” (III):
“Barangsiapa mati itu dan tiada diketahuinya dan tiada dikenalnya akan raja pada masanya
itu maka ia akan mati dengan kematiannya yang durhaka.”
Maka oleh Raja Urung Sunggal (Serbanyaman) dinyatakanlah petuah:
“Dua sifat penting yang harus dimiliki oleh raja yakni sifat pemurah (kepada rakyat) dan
berani. Sifat pemurah syarat penting kepada raja yang ingin melaksanakan keadilan. Keadilan
jalan menuju taqwa. Raja ibarat kayu besar di tengah padang. Akarnya ialah rakyat, batangnya
ialah Orang Besar, tempat berteduh di hari hujan tempat bernaung di hari panas. Akarnya
tempat duduk, batangnya tempat bersandar”.
Setelah berbagai ucapan taat setia yang tiada berubah dari utusan penghulu adat di kampungkampung, maka diserukanlah 3x dipimpin oleh Raja Urung Sunggal: “Daulat Tuanku!” (Daulat hanya
ada pada diri Raja). Sejak itu terjalinlah suasana harmonisasi diantara Sultan dan rakyat Serdang itu

bukanlah merupakan tujuan semata–mata, melainkan hanyalah alat untuk mencapai cita – cita bangsa
dan tujuan negara yakni membentuk masyarakat adil dan makmur berdasarkan raja adil raja disembah
raja zalim raja disanggah.
Dikenang oleh cerita rakyat akan Tuanku Umar Baginda Junjungan itu sebagai: “Raja yang
memegang adat yang kanun adat pusaka turun-temurun adil, arif, bijak bersusun, pandai meneliti zaman
beralun.” Masa pemerintahan Tuanku Umar Baginda Junjungan dipenuhi dengan pembangunan
kampung-kampung di sepanjang arah ke hulu sungai Serdang dan Sungai Ular dan Denai. Pada tahun
1787 M, Baginda mangkat digantikan puteranya Tuanku Sultan Johan Alamshah.

13

Negara KeSultanan Serdang merupakan perkawinan antara kerajaan Perbaungan asal Minangkabau,
Denai 21, Lubuk Pakam, Batang Kuis, Percut Sei Tuan sampai Selatan, sampai kebatas Sungai Ular
melalui Namu Rambe dari Hulu sampai ke pantai Selat Malaka.32 Nama Negara KeSultanan Serdang
berasal dari nama pohon Serdang sejenis Palm yang daunnya dapat dijadikan atap rumah.4
Adapun arti daripada suksesi 1720 itu dalam garis–garis besarnya ialah :
1) Lahirnya bangsawan Melayu Serdang ;
2) Puncak perjuangan Tengku Umar Johan Perkasa Alamsyah untuk memperebutkan tahta kerajaan
Deli namun gagal;
3) Titik tolak untuk membentuk masyarakat adil dan makmur berdasarkan raja adil raja disembah

raja jalim raja disanggah.
Semenjak suksesi 1720 itu sejarah bangsa Melayu Serdang merupakan daripada suatu bangsa yang
merdeka dan bernegara; sejarah bangsa Melayu Serdang yang menyusun pemerintahannya.

3. Kondisi Ekonomi-Politik
Di awal abad ke-19 penggerak utama dari perekonomian Negara KeSultanan Serdang berorientasi
pada sektor perdagangan impor dan ekspor. Dalam abad ini perdagangan dapat maju dan berkembang
pesat oleh karena adanya pengutan di bidang perpajakan yang menelola di Sungai Serdang. Orang Batak
dari negeri Dolok dan Alas dari Singkel banyak berdagang ke Serdang. Adapun barang-barang yang
diperdagangkan oleh orang-orang Batak dan Alas tersebut ialah kapur Barus dan emas yang dibarter
dengan pakaian dan barang-barang lainnya.
Di tahun 1822 – lada diekspor ke Penang dan Malaka kira-kira berjumlah sekitar 8000 pikul. Lada
dijual seharga $20 per 100 gantang. Lada di KeSultanan ini berfungsi sebagai pemasukan atas devisa
bagi Negara. Jadi dengan demikian dapat diperumpamakan bahwa lada itu fungsinya semacam patokan
barter dan ukuran cukai untuk menetapkan “nilai mata uang” dalam perdagangan impor dan ekspor - $1
per gantang sebagai patokan untuk cukai dan inpor dan ekpor tersebut.
Disamping lada yang dipakai sebagai patokan barter; bijan, tembakau dan kacang putih juga dipakai
untuk hal yang sama. Masing-masing $10 per 100 gantang untuk bijan; $10 per pikul untuk tembakau
dan $100 gantang kacang putih. Selain jenis tumbuh-tumbuhan yang dipakai sebagai patokan barter –
“HET (harga eceran tertinggi)”, budak (hamba) juga dijadikan hal serupa sebagai patokan - $1 per

hamba.
Kain produksi sendiri dengan merek Berkampong yang kualitasnya kira-kira seperti kain Bugis dan
Serawal seperti kain celana Aceh merupakan hasil industri dari KeSultanan ini. Tidak ketinggalan juga
beberapa buah perahu besar juga merupakan bagian industri dari KeSultanan ini. Industri lainnya berupa
timah yang terdapat di dekat Kampung Perungit dalam kapasitas besar tetapi belum sepenuhnya
ditetapkan sebagai komoditi utama untuk KeSultanan ini.
Hasil seperti kegiatan perdagangan, perindustrian dan cukai – mengakibatkan pemasukan devisa
Negara sulit untuk diperkirakan. Namun dapatlah ditaksirkan bahwa pendapatan dari devisa tersebut
diserahkan ke kas Negara dan masuk ke Sultan pribadi sekitar $1200 ditambah dengan usaha-usaha
Sultan berupa keuntungan dari hasil perdagangan Sultan dan Kerabat Sultan di Istana serta cukai yang
dikutip dari kampong-kampung seperti Kampung Besar, Durian dan Klambir untuk lada, padi dan garam.
Dipertengahan abad ke-20, motor penggerak daripada perekonomian Negara KeSultanan Serdang
mengarah kepada ekonomi perkebunan yang menimbulkan perubahan drastis pada Negara ini. Sistem
perekonomian ini telah meningkatkan kesejahteraan hampir semua bangsawan dan rakyat KeSultanan
1

Wawancara dengan Tuanku Luckman Sinar Basarshah II, SH; dirumah : JL. Abdulla Lubis No. 42/47 Medan,
tanggal 31 Maret 2001.
2
Luckman. Sari Sejarah Serdang (Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1970) hal.18.

4
Ibid., hal. 20

14

(penduduk Melayu). Imbalan honorarium dari perusahaan perkebunan terus mengalir ke kantong pribadi
para Sultan dan Datuk yang berkuasa – sejumlah 51,9% dari pajak. Keuntungan dari pajak itu masih
ditambah lagi dengan gaji resmi dan Honorarium Sultan Sulaiman sebesar f103.346.
Sejalan dengan kekayaan yang luar biasa ini memunculkan perubahan gaya hidup Sultan dan Kerabat
Istana. Kaum Istana sebelum kedatangan Belanda berada dalam keadaan melarat. Setelah hadirnya
system ekonomi perkebunan – mereka telah mampu membangun istana yang megah, membeli mobil
mewah – menurut Budi Agustono : Sultan Serdang memiliki 10 unit dan pesiar ke Eropa. Gaya hidup
mewah pada gilirannya mewarnai kehidupan mereka sehari-hari. Sultan kerap kali mengadakan pestapesta untuk menyambut tamu-tamu penting (orang Eropa). Untuk membentuk kebesaran dinastinya,
mereka membentuk pasukan yang terdiri dari para keluarga bangsawan.
Dampak daripada perkembangan ekonomi-perkebunan ini juga telah mengubah demografis. Hal ini
diakibatkan olah masuknya buruh-buruh dan kaum pendatang – maka penduduk asli (orang Melayu)
menjadi minoritas di negerinya sendiri. Disamping itu perlakuan yang sewenang-wenang terhadap buruh
perkebunan oleh majikan sudah sering terjadi5. Prosedur pengadilan yang terjadi diperkebunanperkebunan adalah :
1) Priode pertama antara tahun 1863-1872; Sultan menyetujui para manager-maneger perkebunan
untuk menghukum kuli-kuli mereka tanpa meminta izin pada Sultan – izin ini diberikan oleh

Sultan;
2) Priode sejak tahun 1880-1931; saat Poenali Sancti diberlakukan – pada saat itu kuli-kuli tetap
menjalani berbagai hukuman yang dilakuakan oleh manager perkebunan atau Asisten Kebun.6
Pada masa pendudukan Jepang, kondisi sosial-ekonomi hancur sama sekali.7 Pemerintah Jepang
kurang berminat untuk membangun kembaliprasarana transportasi yang telah hancur akibat pertempuran
singkat pada bulan Maret 1942. Bersamaan dengan itu muncul kecendrungan untuk membangun
kebutuhan mereka sendiri secara semi otonomi – keadaan ini akhirnya menyebabkan surplus produksi.
Menghadapi situasi seperti itu, pemerintah Jepang segera mengambil tindakan. Jepang memutuskan
bahwa seluruh tanah perkebunan adalah dibawah control langsung pemerintah Jepang. Ini berarti bahwa
hak istimewa yang dimiliki penguasa tradisional dan hak sewa tanah dihapuskan.8
Kebijakan Jepang ini tentu saja mendapat sambutan hangat dari buruh-buruh perkebunan, petani Karo
dan Batak Toba. Mereka segera berdatangan untuk membuka tanah-tanah kosong dan hutan-hutan lebat
untuk dijadikan persawahan. Sebagian Etnis Jawa, Batak Toba dan Karo bahkan Tionghowa menduduki
tanah-tanah perkebunan itu dan menganggap sebagai miliknya sendiri. Tindakan ini akhirnya
memberikan kontribusi berat bagi petani Etnis Melayu dan pihak KeSultanan. Mereka mengamati
dengan perasaan cemas – karena tidak hanya kehilangan tanah tetapi juga menyaksikan sendiri
bagaimana tanah-tanah leluhur mereka diambil alih oleh sejumlah besar kaum “pendatang”. Lebih parah
lagi – pemerintah Jepang masih membolehkan para pemimpin pergerakan mempropagandakan dan
mengindoktrinasikan kaum “pendatang” dengan sentiment anti KeSultanan.9
Memasuki bulan Maret 1946 – ketegangan golongan dan kesukuan yang sudah terbentuk sejak awal

tahun 1920-an meledak ketika para pendudukung Republik melakukan aksi balas dendam terhadap kaum
Bangsawan. Alasan utama mereka adalah karena Etnis Melayu dan Bangsawan yang memiliki hak-hak
istimewa.10
Ibid., hal. 24-28. Mengenai tindakan sewenang-wenang terhadap Buruh, Lihat juga Anthony Reid – The Blood of
The People : Revolution and The End of Traditional Rule In Northeren Sumatra, atau Perjuangan Rakyat : Revolusi
dan Hancurnya Kerajaan di Sumatera, terj. Team PHS (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1987), hal. 79-85.
6
Ibid., hal. 28
7
Ibid., hal. 45.
8
Ibid., hal. 46.
9
Ibid., hal. 47.
10
Ibid., hal. 74-75.
5

15


4. Kependudukan
Di tahun 1823 dalam misinya – Anderson terutama ke Negara KeSultanan Serdang , menurutnya
penduduk di KeSultanan ini merupakan suatu penduduk yang rajin meskipun disana – disni ada diantara
beberapa penduduk yang suka menghisap candu dan berjudi walaupun tidak separah penduduk di
KeSultanan Deli. Beberapa dari penduduk mempunyai sifat harga diri yang tinggi dan mereka tidak
dapat menerima sembarang penghinaan – malah sedikit ketidakpedulian mendatangkan perasaan tidak
senang pada mereka yang yang menghina satu-satu penduduk tersebut (pendendam). Sebaliknya jika
mereka diper lakukan dengan baik, maka mereka akan membalas kebaikan itu lebih daripada kebaikan
yang diberikan kepada mereka.11
Ada beberapa penduduk dari KeSultanan ini yang mempunyai karakter jahat dan kejam. Hal ini
disebabkan oleh karena pengaruh menhgisap candu. Menurut beberapa orang yang pernah datang ke
KeSultanan ini dibagian tepi pantai – penduduknya berprofesi sebagai lanun, tetapi selama kunjungan
Anderson ke daerah tepi pantai ini dia tidak pernah menemukan adanya hal yang demikian.12
Dalam suratnya yang tertanggal 28 Januari 1823 di kapal Yessy – Anderson menceritakan bahwa
rumah-rumah penduduk di Serdang dibuat lebih kokoh dibandingkan dengan rumah-rumah penduduk
lain di lauar Negara KeSultanan Serdang yang pernah dikunjungi oleh Anderson dalam misinya tersebut.
Dia melihat bahwa penduduknya mempunyai sifat sangat percaya diri yang berlebihan.
Penduduk Serdang sangat menyukai hewan-hewan seperi burung dan monyet. Mereka sangat senang
menunggui burung dan monyet yang berjatuhan dari pohon lalu mengejarnya ke dalam semak-semak.
Dapat dilihat juga bahwa penduduk Serdang sangat suka akan puyu yang harga per ekornya ini bisa

mencapai seharga $8.13
Berbeda dengan kehidupan bangsawan sebelum dan sesudah datangnya pengaruh asing. Sebelum
datangnya pengaruh asing – bangsawan Serdang sudah memperlihatkan perbedaan kehidupan
dibandingkan dengan penduduk biasa. Hal ini dapat terlihat dari bentuk bangunan kediaman yang
dimiliki para bangsawan tersebut seperti bangunan rumah yang lebih besar dibandingkan dengan rumahrumah penduduk biasa dan apabila dilihat dari segi bahan-bahan bangunannya–bangunan diukir dari
kayu yang terukir dengan sangat baik.14
Penduduk di Negara KeSultanan Serdang dapat dikatakan subur dibandingkan dengan penduduk
KeSultanan Deli yang jauh lebih sedikit jumlahnya dikarenakan banyak penduduk KeSultanan Deli
menjadi pecandu candu. Di Negara KeSultanan Serdang banyak juga dijumpai anak-anak dan kaum
Wanita mandi di sungai bertelanjang tanpa memakai kain basahan15.
Di Kampung Besar – penduduknya mayoritas dari suku Batak Ketaren. Ciri-ciri fisik mereka –
bertubuh tegap, cakap, berkulit cerah, mukanya lebih bulat dan bibirnya tidak begitu tebal jika
dibandingkan dengan orang Melayu lainnya dan mereka ini berasal dari Dolok. Disini juga bnayak
terdapat orang-orang dari Alas yaitu mereka yang datang dari pedalaman Singkel dengan membawa
emas, kamfer dan lain-lain serta membarternya untuk mendapatkan kain. Mereka ini beragama Islam
dengan cirri-ciri fissik – berkulit hitam, be\radab, pandai bicara, tidak kasar dan umumnya suka
memakan buah-buahan. Para Kepala Suku mereka sangat melarang penduduknya menghisap candu.16
11

Ibid., hal. 38
Ibid.,
13
Ibid., hal. 49
14
Ibid.,
12

15

Ibid.,
Ibid., hal. 50

16

16

Seiring dengan evolusi yang terjadi secara terus menerus dan bertahap – menurut Anderson lagi –
penduduk Serdang pada tahun 1823 berjumlah sekitar 5550 jiwa17, yang terdiri dari 300 orang penduduk
ada di Percut, Sungai Tuan ada sekitar 100 orang, Sungai Pantai Labu ada 50 orang. Sungai Paluh
Nibung atau Denai ada 150 orang, Kuala Air Hitam ada 600 orang. Di Sungai Bedagai ada 200 orang
penduduk Melayu dan 2000 orang penduduk dari suku Batak Ketaren; Sungai Bedagai Mati ada 50
orang, Bandar Kalipah ada 500 orang, Bandar Alam ada 600 orang (Melayu), Sungai Pare-Pare ada 100
orang dan Sungai Tanjung ada 400 orang penduduk.
Di tahun 1849 jumlah penduduk diperkirakan sekitar 500.000 jiwa.18 Di tahun 1920 penduduk Negara
KeSultanan Serdang diperkirakan sekitar 13.000 jiwa.19 Di tahun 1929 jumlah penduduk diperkirakan
sekitar 901.936 jiwa20. Pada tahun 1930 jumlah penduduk diperkirakan sekitar 200.925. Di tahun 1943
jumlah penduduk diperkirakan sekitar 275.000 jiwa dan di tahun 1950 jumlah penduduk Negara
KeSultanan Serdang diperkirakan 180.000 jiwa.
Negara KeSultanan Serdang merupakan salah satu Negara Melayu dari Negara-negara Melayu yang
terdapat di “benua” Sumatera Timur – di KeSultanan ini penduduknya terbagi atas beberapa suku,
diantaranya Kejuruan Mater, Ujung dan Santun. Yang berasal dari Kejuruan Mater diantaranya Indra
Muda dari Percut, Tuanku Maha dari Sunggal, Sultan Muda dari Batubara dan Medan; yang berasal dari
Kejuruan Ujung diantaranya Sultan Besar dari Serdang, Tuanku Usma dari Kampung Klambir, Tuanku
Tunggal dari Kampung Durian, Tuanku Uda dari Kampung Paku dan Tuanku Andang dari Kampung
Besar. Yang berasal dari Kejuruan Santun diantaranya Raja Graha, Pulau Brayan, Darat serta dari Denai
Serbajadi dan Raja Wahidin dari Sunggal Nibung.
17

Lihat Jhon Anderson, Mission to The East Coast Of Sumatra in 1823 (New York : Oxford University Press
1971), hal. 315-320.
18
Didasarkan atas hasil wawancara dengan Tengku Syahrial di Belawan, tanggal 5 April 2001, dan hasil karya dari
Suprayitno; Mencoba (Lagi) Menjadi Indonesia, (Yogyakarta : Yayasan Untuk Indonesia, 2001), hal. 24
19
Didasarkan atas hasil wawancara dengan Tengku Syahrial di Belawan, tanggal 5 April 2001, dan hasil karya dari
Tuanku Luckman Sinar Basarshah II, SH – Sejarah Medan Tempoe Doeloe (rev.ed. ; Medan : Lembaga
Penelitian dan Pengembangan Seni Budaya Melayu – MABMI, 1994 hal. 70
20
Didasarkan atas wawancara dengan Tuanku Luckman Sinar Basarshah II, SH di Medan, tanggal 31 Maret
2001 dan hasil karya dari Karl J. Pelzer – Planter And Peasant, Colonial Policy And The Agrarian Strunggle In East
Sumatra 1863-1947 atau Toen Keboen dan Petani : Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria di Sumatera Timur,
1863-1947, Terj. J. Rumbo (Jakarta : Sinar Harapan, 1985); hal. 156 dan karyadari Suprayitno; Mencoba (Lagi)
Menjadi Indonesia, (Yogyakarta : Yayasan Untuk Indonesia, 2001), hal. 24.

17