Model’s Dynamics for Lymphocytes Recovery on the HIV presence with Protease Inhibitor Therapy.

(1)

DINAMIKA MODEL PENYEMBUHAN SEL DARAH PUTIH

KARENA ADANYA VIRUS HIV DENGAN

TERAPI

PROTEASE INHIBITOR

DWI LARA NOLAVIA YUNITA

DEPARTEMEN MATEMATIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(2)

ABSTRACT

DWI LARA NOLAVIA YUNITA. Model’s Dynamics for Lymphocytes Recovery on the HIV presence with Protease Inhibitor Therapy. Supervised by ALI KUSNANTO and JAHARUDDIN.

HIV is a member of retrovirus that especially attacks lymphocytes or white blood cells, known as CD4+ T cells. New T cells created from sources within the body such as the thymusand by proliferation of existing T cells. In this paper, influence of protease inhibitor therapy in HIV dynamics will be analyzed. The influence can be categoried in three models, which are model HIV without drug therapy, model HIV with protease inhibitor and model T cell recovery. In the models, three parameters which are uninfected cells population, infected cells population and virus population are studied.

From HIV without drug therapy model it is obtained two types fixed point which are uninfected fixed point and infected fixed point. The stability of fixed point depends on basic reproduction number which is influenceed by the total number of virus produced by a cell during its lifetime.

From HIV with protease inhibitor therapy model it is obtained two type fixed points. The stability of fixed point depends on basic reproduction number. Other than influenceed by the total number of virus produced by a cell during its lifetime, basic reproduction number of this model also affected by the effectiveness of a protease inhibitor. Basic reproduction number of this model is smaller than that of model HIV without drug therapy.

In the model T cell recovery, new T cells created only from sources within the body, and T cells can be invulnerable to HIV infection after the therapy. From the model it is obtained only one fixed point that is uninfected fixed point. The stability of fixed point depends on basic reproduction number. The total number of virus produced by a cell during its lifetime and the effectiveness of a protease inhibitor determine the basic reproduction number. Basic reproduction number of this model is smallest than that of other models.


(3)

ABSTRAK

DWI LARA NOLAVIA YUNITA. Dinamika Model Penyembuhan Sel Darah Putih karena Adanya Virus HIV dengan Terapi Protease Inhibitor. Dibimbing oleh ALI KUSNANTO dan JAHARUDDIN.

HIV termasuk salah satu retrovirus yang secara khusus menyerang sel darah putih, yang dikenal sebagai sel T CD4+. Selain dihasilkan dari sumber di dalam tubuh, sel T baru juga dihasilkan melalui proliferasi sel T yang ada. Pada tulisan ini, dibahas pengaruh terapi protease inhibitor terhadap infeksi HIV. Dalam model yang akan dikonstruksi terdapat tiga variabel, yaitu sel T tidak terinfeksi, sel T terinfeksi dan virus.

Pengaruh terapi tersebut akan dijelaskan pada tiga model, yaitu model HIV tanpa terapi obat, model HIV dengan terapi protease inhibitor dan model penyembuhan sel darah putih. Pada model HIV tanpa terapi obat diperoleh dua titik tetap, yaitu titik tetap tidak terinfeksi dan titik tetap terinfeksi. Kestabilan titik tetap tersebut bergantung pada bilangan reproduksi dasar. Bilangan reproduksi dasar ini dipengaruhi oleh banyaknya virus yang dihasilkan oleh sel T terinfeksi.

Pada model HIV dengan terapi protease inhibitor juga diperoleh dua titik tetap. Kestabilan titik tetap tersebut bergantung pada bilangan reproduksi dasar. Selain dipengaruhi oleh banyaknya virus yang dihasilkan oleh sel T terinfeksi, bilangan reproduksi dasar model ini juga dipengaruhi oleh besarnya efektifitas protease inhibitor. Bilangan reproduksi dasar model HIV dengan terapi

protease inhibitor lebih kecil dibandingkan dengan model HIV tanpa terapi obat.

Pada model penyembuhan sel darah putih, sel ini hanya dihasilkan oleh sumber di dalam tubuh dan setelah terapi dimulai, sel T menjadi kebal terhadap infeksi HIV. Dari model ini hanya diperoleh satu titik tetap tidak terinfeksi yang kestabilannya juga dipengaruhi oleh bilangan reproduksi dasar. Bilangan reproduksi dasar ini dipengaruhi oleh banyaknya virus yang dihasilkan oleh sel T terinfeksi dan besarnya efektifitas protease inhibitor. Bilangan reproduksi dasar model penyembuhan sel darah putih paling kecil dibandingkan model lainnya.


(4)

DINAMIKA MODEL PENYEMBUHAN SEL DARAH PUTIH

KARENA ADANYA VIRUS HIV DENGAN

TERAPI

PROTEASE INHIBITOR

DWI LARA NOLAVIA YUNITA

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Sains pada

Departemen Matematika

DEPARTEMEN MATEMATIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(5)

Judul Skripsi : Dinamika Model Penyembuhan Sel Darah Putih karena Adanya

Virus HIV dengan Terapi

Protease Inhibitor

Nama

: Dwi Lara Nolavia Yunita

NIM

: G54053462

Disetujui

Pembimbing I

Pembimbing II

Drs. Ali Kusnanto, M.Si.

Dr. Jaharuddin, MS.

NIP. 19650820 199003 1 001

NIP. 19651102 199302 1 001

Diketahui

Dr. Drh. Hasim, DEA.

NIP. 19610328 198601 1 002

Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam


(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang selalu memberikan rahmat dan karunia sehingga penulis dapat menyelesaian karya ilmiah yang berjudul “Dinamika Model Penyembuhan Sel Darah Putih karena Adanya Virus HIV dengan Protease Inhibitor “. Shalawat serta salam tidak lupa penulis panjatkan kepada Nabi Muhammad SAW, sahabat dan keluarga, serta para pengikutnya sampai akhir zaman.

Keterbatasan dan ketidaksempurnaan membuat penulis membutuhkan bantuan, dukungan dan semangat dari orang-orang, baik secara langsung ataupun tidak langsung yang berkontribusi besar dalam pembuatan karya ilmiah ini. Oleh karena itu penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Drs. Ali Kusnanto, M.Si. selaku pembimbing pertama dan Dr. Jaharuddin, MS. selaku pembimbing kedua, terima kasih atas kesabaran dan bimbingannya selama ini.

2. Dr. Siswandi, M.Si. selaku penguji dan moderator seminar.

3. Ayah, Ibu dan keluarga tercinta yang selalu memberikan dukungan serta doa restunya selama penulis menempuh pendidikan. Kakakku Farah, adikku Gilang teruslah berjuang untuk mencapai cita-cita.

4. Sukarya yang selalu setia menemani dan memberikan dukungannya.

5. Sahabat-sahabat yang selalu memberikan dukungannya dan semangatnya serta nasehat-nasehat yang berharga bagi penulis.

6. Teman-teman kosan. Raihana Crew: Mba Mimil, Mba Adis, Mba Diah, Mba Mega, Mba Ipik, Mba way, Mba Rika, Giga, Rya, Kokom, Zizah, Yuli, Tatik, Yeni, Kasih, Rani, Hilda dan Danah. Terima Kasih atas kebersamaannya.

7. Teman-teman angkatan 42 : Hesti, Yusep, Ridwan, Lela, Titi, Siti, Tia, Qnun, Boy, Ricken, Ocoy, Ayu, Dian, Ilyas, Vera, Niken, Vino, Mega, Hikmah, Vita, Jane, dan semuanya yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

8. Warno, Nyoman dan Agnes, terima kasih telah bersedia menjadi pembahas.

9. Teman-teman angkatan 41, 43, 44 dan semuanya yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

10. Seluruh Dosen Departemen Matematika IPB yang telah bersusah payah memberikan ilmunya kepada kami. Staf Departemen Matematika IPB (Ibu Susi, Ibu Ade, Mas Bono, Mas Yono, Mas Denny, Mas Hery dll.) terima kasih atas bantuannya selama ini.

Akhir kata, semoga karya ilmiah ini bemanfaat bagi semua pihak.

Bogor, September 2009

Dwi Lara Nolavia Yunita


(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 25 Juni 1987 sebagai anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Daryo dan Tarwiyah.

Adapun riwayat pendidikan, penulis mengikuti sekolah dasar di SD Negeri 11 Jakarta dari tahun 1993 sampai 1999, sekolah lanjutan tingkat pertama di SLTP Negeri 31 Jakarta dari tahun 1999 sampai 2002, sekolah menengah umum di SMU Negeri 108 Jakarta dari tahun 2002 sampai 2005. Pada tahun 2005 penulis melanjutkan ke perguruan tinggi melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) di Departemen Matematika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor.


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 1

II LANDASAN TEORI ... 2

III PEMBAHASAN ... 5

3.1 Model HIV tanpa terapi obat ... 6

3.1.1 Titik Tetap ... 6

3.1.2 Analisis Kestabilan Titik Tetap ... 7

3.1.3 Dinamika Model HIV tanpa Terapi Obat ... 8

3.2 Model HIV dengan Protease Inhibitor ... 12

3.2.1 Titik Tetap ... 12

3.2.2 Analisis Kestabilan Titik Tetap ... 14

3.2.3 Dinamika Model HIV dengan Terapi Protease Inhibitor ... 17

3.3 Model Penyembuhan Sel Darah Putih ... 20

3.3.1 Titik Tetap ... 22

3.3.2 Kestabilan Titik Tetap ... 23

3.3.3 Dinamika Model Penyembuhan Sel Darah Putih ... 24

IV SIMPULAN ... 28

DAFTAR PUSTAKA ... 29


(9)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Diagram infeksi virus HIV ... 5

2 Bifurkasi transcritical untuk model HIV tanpa terapi obat ... 8

3 Dinamika populasi T, T*dan Vketika N=50 ... 9

4 Dinamika populasi T, T*dan Vketika N=70 ... 9

5 Dinamika populasi T, T*dan Vketika N=80 ... 9

6 Orbit kestabilan di sekitar

(

T T V, *,

)

ketika N=150 ... 9

7 Orbit kestabilan di sekitar

(

T T V, *,

)

ketika N=180 ... 10

8 Orbit kestabilan di sekitar

(

T T V, *,

)

ketika N=240 ... 10

9 Dinamika populasi T, T*dan Vketika N=150dan R0 =1.5 ... 11

10 Dinamika populasi T, T*dan Vketika N=180dan R0 =1.8 ... 11

11 Dinamika populasi T, T*dan Vketika N=240dan R0 =2.4 ... 13

12 Peran protease inhibitor terhadap virus HIV ... 13

13 Bifurkasi Transcritical untuk model HIV Tanpa Terapi Obat ... 16

14 Orbit kestabilan di sekitar

(

T T V, *,

)

ketika ηPI =0.6dan R0=0.96 ... 16

15 Orbit kestabilan di sekitar

(

T T V, *,

)

ketika ηPI =0.7dan R0=0.72 ... 16

16 Orbit kestabilan di sekitar

(

T T V, *,

)

ketika η =PI 0.8dan R0=0.48 ... 16

17 Dinamika populasi T, T*dan V ketika η =PI 0.6dan R0 =0.96 ... 17

18 Dinamika populasi T, T*dan V ketika η =PI 0.7dan R0 =0.72 ... 18

19 Dinamika populasi T, T*dan V ketika η =PI 0.8dan R0=0.48 ... 18

20 Orbit kestabilan di sekitar

(

T T V, *,

)

ketika η =PI 0.2dan R0=1.92 ... 19

21 Orbit kestabilan di sekitar

(

T T V, *,

)

ketika η =PI 0.3dan R0 =1.68 ... 19

22 Orbit kestabilan di sekitar

(

T T V, *,

)

ketika η =PI 0.4dan R0=1.44 ... 20

23 Dinamika populasi T, T*dan V ketika η =PI 0.2dan R0 =1.92 ... 20

24 Dinamika populasi T, T*dan V ketika η =PI 0.3dan R0=1.68 ... 21

25 Dinamika populasi T, T*dan V ketika η =PI 0.4dan R0 =1.44 ... 21

26 Orbit kestabilan di sekitar

(

T T V, *,

)

ketika η =PI 0.6dan R0=0.8 ... 24

27 Orbit kestabilan di sekitar

(

T T V, *,

)

ketika η =PI 0.7dan R0=0.6 ... 24

28 Orbit kestabilan di sekitar

(

T T V, *,

)

ketika η =PI 0.8dan R0 =0.4 ... 24

29 Dinamika populasi T, T*dan V ketika η =PI 0.6dan R0=0.8 ... 25

30 Dinamika populasi T, T*dan V ketika η =PI 0.7dan R0=0.6 ... 25

31 Dinamika populasi T, T*dan V ketika η =PI 0.8dan R0 =0.4 ... 26

32 Dinamika populasi T, T*dan V ketika η =PI 0.2dan R0 =1.6 ... 27

33 Dinamika populasi T, T*dan V ketika η =PI 0.3dan R0=1.4 ... 27


(10)

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Nilai parameter ... 6 2 Kondisi kestabilan titik tetap dari model HIV tanpa terapi obat ... 8 3 Kondisi kestabilan titik tetap dari model HIV dengan protease inhibitor ... 15


(11)

DINAMIKA MODEL PENYEMBUHAN SEL DARAH PUTIH

KARENA ADANYA VIRUS HIV DENGAN

TERAPI

PROTEASE INHIBITOR

DWI LARA NOLAVIA YUNITA

DEPARTEMEN MATEMATIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(12)

ABSTRACT

DWI LARA NOLAVIA YUNITA. Model’s Dynamics for Lymphocytes Recovery on the HIV presence with Protease Inhibitor Therapy. Supervised by ALI KUSNANTO and JAHARUDDIN.

HIV is a member of retrovirus that especially attacks lymphocytes or white blood cells, known as CD4+ T cells. New T cells created from sources within the body such as the thymusand by proliferation of existing T cells. In this paper, influence of protease inhibitor therapy in HIV dynamics will be analyzed. The influence can be categoried in three models, which are model HIV without drug therapy, model HIV with protease inhibitor and model T cell recovery. In the models, three parameters which are uninfected cells population, infected cells population and virus population are studied.

From HIV without drug therapy model it is obtained two types fixed point which are uninfected fixed point and infected fixed point. The stability of fixed point depends on basic reproduction number which is influenceed by the total number of virus produced by a cell during its lifetime.

From HIV with protease inhibitor therapy model it is obtained two type fixed points. The stability of fixed point depends on basic reproduction number. Other than influenceed by the total number of virus produced by a cell during its lifetime, basic reproduction number of this model also affected by the effectiveness of a protease inhibitor. Basic reproduction number of this model is smaller than that of model HIV without drug therapy.

In the model T cell recovery, new T cells created only from sources within the body, and T cells can be invulnerable to HIV infection after the therapy. From the model it is obtained only one fixed point that is uninfected fixed point. The stability of fixed point depends on basic reproduction number. The total number of virus produced by a cell during its lifetime and the effectiveness of a protease inhibitor determine the basic reproduction number. Basic reproduction number of this model is smallest than that of other models.


(13)

ABSTRAK

DWI LARA NOLAVIA YUNITA. Dinamika Model Penyembuhan Sel Darah Putih karena Adanya Virus HIV dengan Terapi Protease Inhibitor. Dibimbing oleh ALI KUSNANTO dan JAHARUDDIN.

HIV termasuk salah satu retrovirus yang secara khusus menyerang sel darah putih, yang dikenal sebagai sel T CD4+. Selain dihasilkan dari sumber di dalam tubuh, sel T baru juga dihasilkan melalui proliferasi sel T yang ada. Pada tulisan ini, dibahas pengaruh terapi protease inhibitor terhadap infeksi HIV. Dalam model yang akan dikonstruksi terdapat tiga variabel, yaitu sel T tidak terinfeksi, sel T terinfeksi dan virus.

Pengaruh terapi tersebut akan dijelaskan pada tiga model, yaitu model HIV tanpa terapi obat, model HIV dengan terapi protease inhibitor dan model penyembuhan sel darah putih. Pada model HIV tanpa terapi obat diperoleh dua titik tetap, yaitu titik tetap tidak terinfeksi dan titik tetap terinfeksi. Kestabilan titik tetap tersebut bergantung pada bilangan reproduksi dasar. Bilangan reproduksi dasar ini dipengaruhi oleh banyaknya virus yang dihasilkan oleh sel T terinfeksi.

Pada model HIV dengan terapi protease inhibitor juga diperoleh dua titik tetap. Kestabilan titik tetap tersebut bergantung pada bilangan reproduksi dasar. Selain dipengaruhi oleh banyaknya virus yang dihasilkan oleh sel T terinfeksi, bilangan reproduksi dasar model ini juga dipengaruhi oleh besarnya efektifitas protease inhibitor. Bilangan reproduksi dasar model HIV dengan terapi

protease inhibitor lebih kecil dibandingkan dengan model HIV tanpa terapi obat.

Pada model penyembuhan sel darah putih, sel ini hanya dihasilkan oleh sumber di dalam tubuh dan setelah terapi dimulai, sel T menjadi kebal terhadap infeksi HIV. Dari model ini hanya diperoleh satu titik tetap tidak terinfeksi yang kestabilannya juga dipengaruhi oleh bilangan reproduksi dasar. Bilangan reproduksi dasar ini dipengaruhi oleh banyaknya virus yang dihasilkan oleh sel T terinfeksi dan besarnya efektifitas protease inhibitor. Bilangan reproduksi dasar model penyembuhan sel darah putih paling kecil dibandingkan model lainnya.


(14)

DINAMIKA MODEL PENYEMBUHAN SEL DARAH PUTIH

KARENA ADANYA VIRUS HIV DENGAN

TERAPI

PROTEASE INHIBITOR

DWI LARA NOLAVIA YUNITA

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Sains pada

Departemen Matematika

DEPARTEMEN MATEMATIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(15)

Judul Skripsi : Dinamika Model Penyembuhan Sel Darah Putih karena Adanya

Virus HIV dengan Terapi

Protease Inhibitor

Nama

: Dwi Lara Nolavia Yunita

NIM

: G54053462

Disetujui

Pembimbing I

Pembimbing II

Drs. Ali Kusnanto, M.Si.

Dr. Jaharuddin, MS.

NIP. 19650820 199003 1 001

NIP. 19651102 199302 1 001

Diketahui

Dr. Drh. Hasim, DEA.

NIP. 19610328 198601 1 002

Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam


(16)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang selalu memberikan rahmat dan karunia sehingga penulis dapat menyelesaian karya ilmiah yang berjudul “Dinamika Model Penyembuhan Sel Darah Putih karena Adanya Virus HIV dengan Protease Inhibitor “. Shalawat serta salam tidak lupa penulis panjatkan kepada Nabi Muhammad SAW, sahabat dan keluarga, serta para pengikutnya sampai akhir zaman.

Keterbatasan dan ketidaksempurnaan membuat penulis membutuhkan bantuan, dukungan dan semangat dari orang-orang, baik secara langsung ataupun tidak langsung yang berkontribusi besar dalam pembuatan karya ilmiah ini. Oleh karena itu penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Drs. Ali Kusnanto, M.Si. selaku pembimbing pertama dan Dr. Jaharuddin, MS. selaku pembimbing kedua, terima kasih atas kesabaran dan bimbingannya selama ini.

2. Dr. Siswandi, M.Si. selaku penguji dan moderator seminar.

3. Ayah, Ibu dan keluarga tercinta yang selalu memberikan dukungan serta doa restunya selama penulis menempuh pendidikan. Kakakku Farah, adikku Gilang teruslah berjuang untuk mencapai cita-cita.

4. Sukarya yang selalu setia menemani dan memberikan dukungannya.

5. Sahabat-sahabat yang selalu memberikan dukungannya dan semangatnya serta nasehat-nasehat yang berharga bagi penulis.

6. Teman-teman kosan. Raihana Crew: Mba Mimil, Mba Adis, Mba Diah, Mba Mega, Mba Ipik, Mba way, Mba Rika, Giga, Rya, Kokom, Zizah, Yuli, Tatik, Yeni, Kasih, Rani, Hilda dan Danah. Terima Kasih atas kebersamaannya.

7. Teman-teman angkatan 42 : Hesti, Yusep, Ridwan, Lela, Titi, Siti, Tia, Qnun, Boy, Ricken, Ocoy, Ayu, Dian, Ilyas, Vera, Niken, Vino, Mega, Hikmah, Vita, Jane, dan semuanya yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

8. Warno, Nyoman dan Agnes, terima kasih telah bersedia menjadi pembahas.

9. Teman-teman angkatan 41, 43, 44 dan semuanya yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

10. Seluruh Dosen Departemen Matematika IPB yang telah bersusah payah memberikan ilmunya kepada kami. Staf Departemen Matematika IPB (Ibu Susi, Ibu Ade, Mas Bono, Mas Yono, Mas Denny, Mas Hery dll.) terima kasih atas bantuannya selama ini.

Akhir kata, semoga karya ilmiah ini bemanfaat bagi semua pihak.

Bogor, September 2009

Dwi Lara Nolavia Yunita


(17)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 25 Juni 1987 sebagai anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Daryo dan Tarwiyah.

Adapun riwayat pendidikan, penulis mengikuti sekolah dasar di SD Negeri 11 Jakarta dari tahun 1993 sampai 1999, sekolah lanjutan tingkat pertama di SLTP Negeri 31 Jakarta dari tahun 1999 sampai 2002, sekolah menengah umum di SMU Negeri 108 Jakarta dari tahun 2002 sampai 2005. Pada tahun 2005 penulis melanjutkan ke perguruan tinggi melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) di Departemen Matematika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor.


(18)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 1

II LANDASAN TEORI ... 2

III PEMBAHASAN ... 5

3.1 Model HIV tanpa terapi obat ... 6

3.1.1 Titik Tetap ... 6

3.1.2 Analisis Kestabilan Titik Tetap ... 7

3.1.3 Dinamika Model HIV tanpa Terapi Obat ... 8

3.2 Model HIV dengan Protease Inhibitor ... 12

3.2.1 Titik Tetap ... 12

3.2.2 Analisis Kestabilan Titik Tetap ... 14

3.2.3 Dinamika Model HIV dengan Terapi Protease Inhibitor ... 17

3.3 Model Penyembuhan Sel Darah Putih ... 20

3.3.1 Titik Tetap ... 22

3.3.2 Kestabilan Titik Tetap ... 23

3.3.3 Dinamika Model Penyembuhan Sel Darah Putih ... 24

IV SIMPULAN ... 28

DAFTAR PUSTAKA ... 29


(19)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Diagram infeksi virus HIV ... 5

2 Bifurkasi transcritical untuk model HIV tanpa terapi obat ... 8

3 Dinamika populasi T, T*dan Vketika N=50 ... 9

4 Dinamika populasi T, T*dan Vketika N=70 ... 9

5 Dinamika populasi T, T*dan Vketika N=80 ... 9

6 Orbit kestabilan di sekitar

(

T T V, *,

)

ketika N=150 ... 9

7 Orbit kestabilan di sekitar

(

T T V, *,

)

ketika N=180 ... 10

8 Orbit kestabilan di sekitar

(

T T V, *,

)

ketika N=240 ... 10

9 Dinamika populasi T, T*dan Vketika N=150dan R0 =1.5 ... 11

10 Dinamika populasi T, T*dan Vketika N=180dan R0 =1.8 ... 11

11 Dinamika populasi T, T*dan Vketika N=240dan R0 =2.4 ... 13

12 Peran protease inhibitor terhadap virus HIV ... 13

13 Bifurkasi Transcritical untuk model HIV Tanpa Terapi Obat ... 16

14 Orbit kestabilan di sekitar

(

T T V, *,

)

ketika ηPI =0.6dan R0=0.96 ... 16

15 Orbit kestabilan di sekitar

(

T T V, *,

)

ketika ηPI =0.7dan R0=0.72 ... 16

16 Orbit kestabilan di sekitar

(

T T V, *,

)

ketika η =PI 0.8dan R0=0.48 ... 16

17 Dinamika populasi T, T*dan V ketika η =PI 0.6dan R0 =0.96 ... 17

18 Dinamika populasi T, T*dan V ketika η =PI 0.7dan R0 =0.72 ... 18

19 Dinamika populasi T, T*dan V ketika η =PI 0.8dan R0=0.48 ... 18

20 Orbit kestabilan di sekitar

(

T T V, *,

)

ketika η =PI 0.2dan R0=1.92 ... 19

21 Orbit kestabilan di sekitar

(

T T V, *,

)

ketika η =PI 0.3dan R0 =1.68 ... 19

22 Orbit kestabilan di sekitar

(

T T V, *,

)

ketika η =PI 0.4dan R0=1.44 ... 20

23 Dinamika populasi T, T*dan V ketika η =PI 0.2dan R0 =1.92 ... 20

24 Dinamika populasi T, T*dan V ketika η =PI 0.3dan R0=1.68 ... 21

25 Dinamika populasi T, T*dan V ketika η =PI 0.4dan R0 =1.44 ... 21

26 Orbit kestabilan di sekitar

(

T T V, *,

)

ketika η =PI 0.6dan R0=0.8 ... 24

27 Orbit kestabilan di sekitar

(

T T V, *,

)

ketika η =PI 0.7dan R0=0.6 ... 24

28 Orbit kestabilan di sekitar

(

T T V, *,

)

ketika η =PI 0.8dan R0 =0.4 ... 24

29 Dinamika populasi T, T*dan V ketika η =PI 0.6dan R0=0.8 ... 25

30 Dinamika populasi T, T*dan V ketika η =PI 0.7dan R0=0.6 ... 25

31 Dinamika populasi T, T*dan V ketika η =PI 0.8dan R0 =0.4 ... 26

32 Dinamika populasi T, T*dan V ketika η =PI 0.2dan R0 =1.6 ... 27

33 Dinamika populasi T, T*dan V ketika η =PI 0.3dan R0=1.4 ... 27


(20)

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Nilai parameter ... 6 2 Kondisi kestabilan titik tetap dari model HIV tanpa terapi obat ... 8 3 Kondisi kestabilan titik tetap dari model HIV dengan protease inhibitor ... 15


(21)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Pembuktian Teorema 2 ... 31

2 Penentuan Titik Tetap Tak Terinfeksi Model HIV tanpa terapi obat ... 31

3 Penentuan Titik Tetap Terinfeksi Model HIV tanpa terapi obat ... 32

4 Penentuan Nilai Eigen Titik Tetap Tak Terinfeksi E1 dengan Mathematica ... 32

5 Penentuan Nilai Eigen Titik Tetap Terinfeksi dengan Mathematica ... 33

6 Dinamika HIV tanpa terapi obat untuk R0<1 ... 34

7 Orbit Kestabilan Sistem Model HIV tanpa terapi obat untuk R0>1 ... 36

8 Dinamika Model HIV tanpa terapi obat untuk R0>1 ... 38

9 Penentuan Titik Tetap Tak Terinfeksi untuk Model HIV dengan ProteaseInhibitor ... 40

10 Penentuan Titik Tetap Terinfeksi untuk Model HIV dengan Protease Inhibitor ... 41

11 Penentuan Nilai Eigen Titik Tetap Tak Terinfeksi dengan F1=

(

Tss1, 0, 0, 0

)

dengan Mathematica ... 41

12 Penentuan Nilai Eigen Titik Tetap Terinfeksi F3=

(

Tss2, *,T V VI, NI

)

dengan Mathematica ... 42

13 Orbit Kestabilan Sistem Model HIV dengan Protease Inhibitor untuk R0<1 ... 43

14 Orbit Kestabilan Sistem Model HIV dengan Protease Inhibitor untuk R0>1 ... 45

15 Dinamika Viral dengan Protease Inhibitor untuk R0<1 ... 46

16 Dinamika Viral dengan Protease Inhibitor untuk R0>1 ... 49

17 Penentuan Titik Tetap Model Penyembuhan Sel Darah Putih ... 51

18 Penentuan nilai eigen titik tetap F=

(

Tss3, 0, 0, 0

)

dengan Mathematica ... 52

19 Orbit Kestabilan Sistem Model Penyembuhan Sel Darah Putih untuk R0<1 ... 52

20 Dinamika Model Akibat dari Penyembuhan Sel Darah Putih untuk R0>1 ... 53


(22)

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Acquired Immunodeficiency Syndrome

(AIDS) adalah sindrom (kumpulan gejala) yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat terinfeksi HIV. Human

Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan

sejenis retrovirus (virus yang dapat menggandakan dirinya sendiri pada sel yang ditumpanginya) yang merusak sistem kekebalan tubuh terutama sel darah putih. Sel darah putih ini berfungsi untuk membantu tubuh melawan berbagai penyakit, kuman, bakteri atau virus yang masuk ke dalam tubuh. HIV hidup di semua cairan tubuh tetapi hanya bisa menular melalui cairan tubuh tertentu yaitu darah, sperma, cairan vagina dan ASI. Penularan dapat terjadi melalui hubungan seksual, transfusi darah, jarum suntik yang terkontaminasi, antara ibu dan bayi selama kehamilan, kelahiran dan masa menyusui.

Dua spesies HIV yang diketahui menginfeksi manusia adalah HIV-1 dan HIV-2. HIV-1 merupakan sumber dari mayoritas infeksi HIV di dunia, HIV-1 lebih mematikan dan lebih mudah masuk ke dalam tubuh. Sementara HIV-2 sulit dimasukkan dan kebanyakan berada di Afrika Barat (Reeves dan Doms, 2002).

Target utama dari infeksi HIV adalah suatu kelas limposit, (sel darah putih), yang dikenal sebagai sel T CD4+. Jumlah sel T CD4+ normal adalah sekitar 1000 mm-3, jika jumlah sel T CD4+ kurang dari 200 mm-3,

maka pada kondisi ini individu diklasifikasikan terkena AIDS. Sel T CD4+ merupakan bagian penting dari sistem kekebalan tubuh, dan jika jumlahnya menyusut, maka sistem tersebut menjadi terlalu lemah untuk melawan infeksi. Infeksi HIV menyebabkan deplesi imunitas sel terutama sel T CD4+ dan juga menyebabkan menurunnya fungsi sel tersebut. Seseorang yang positif mengidap HIV, belum tentu mengidap AIDS. Banyak kasus di mana seseorang positif mengidap HIV, tetapi tidak menjadi sakit dalam waktu yang lama. Namun, HIV yang ada pada tubuh seseorang akan terus merusak sistem kekebalan tubuh. Akibatnya, virus dan bakteri yang biasanya tidak berbahaya menjadi sangat berbahaya karena rusaknya sistem kekebalan tubuh.

Sampai saat ini HIV/AIDS belum dapat disembuhkan secara total, namun berbagai

usaha dilakukan untuk mengembangkan obat-obatan yang dapat mengatasinya. Pengobat-obatan yang berkembang saat ini, targetnya adalah enzim-enzim yang dihasilkan oleh HIV dan diperlukan oleh virus tersebut untuk berkembang. Enzim-enzim ini dihambat dengan menggunakan inhibitor yang akan menghambat kerja enzim-enzim tersebut dan pada akhirnya akan menghambat pertumbuhan virus HIV. Salah satu inhibitor

yang digunakan pada pengobatan HIV yang akan dikaji dalam tulisan ini adalah protease inhibitor.

Beberapa model telah dikembangkan untuk mendeskripsikan sistem kekebalan tubuh, interaksi sistem kekebalan tubuh dengan HIV dan penurunan jumlah sel T CD4+. Baik model stokastik maupun model deterministik telah dikembangkan. Model stokastik, seperti model yang dikembangkan oleh Merrill (1989) bertujuan untuk memperkirakan awal peristiwa suatu penyakit ketika jumlah sel terinfeksi dan virus sedikit. Sementara model deterministik, seperti yang dikembangkan oleh Dolezal dan Hraba (1989), Hraba et al (1990), Anderson dan May (1989), dan Perelson (1989) diterapkan pada analisis dengan populasi berukuran sedang maupun besar. Pada model deterministik dijelaskan dinamika sel T CD4+ dan populasi virus baik tanpa terapi maupun dengan terapi obat-obatan.

Pada tulisan ini akan dibahas tiga model deterministik dari Alan S. Perelson dan Patrick W. Nelson (1998). Pada ketiga model dijelaskan perubahan populasi sel T tidak terinfeksi maupun terinfeksi HIV dan perubahan populasi virus. Model I, yaitu model HIV tanpa terapi obat, model II, yaitu model HIV dengan terapi protease inhibitor

dan model III, yaitu model penyembuhan sel darah putih.

1.2 Tujuan

Tujuan dari penulisan karya ilmiah ini adalah

1. menganalisis kestabilan dan perilaku serta menampilkan grafik solusi numerik dari model I, II dan III;

2. menganalisis pengaruh penggunaan

protease inhibitor dengan efektifitas yang berbeda pada model II dan III.


(23)

II LANDASAN TEORI

Pemodelan matematika dapat digunakan

untuk mengamati pertumbuhan suatu virus, termasuk untuk mengamati pertumbuhan virus HIV di dalam tubuh. Model HIV dari Alan S. perelson dan Patrick W. Nelson adalah sistem persamaan diferensial taklinear. Teori sistem persamaan diferensial, pelinearan, serta kestabilannya akan dirangkum dari buku (Farlow 1994), (Verhulst 1990), (Tu 1994), (Anton 1995) dan (Fisher 1990).

Pertama akan dibahas konsep dari sistem persamaan diferensial linear (SPDL). Misalkan suatu persamaan diferensial orde-1 dinyatakan sebagai berikut

( )

( )

a t g t

+ =

x x (2.1) dengan a t

( )

dan g t

( )

adalah fungsi dari waktu

( )

t . Bila a t

( )

adalah suatu matriks berukuran n×n dengan koefisien konstan dan

( )

g t dinyatakan sebagai vektor konstan b

maka diperoleh bentuk SPDL sebagai berikut

d

A

dt = = +

x

x x b. (2.2) Selanjutnya akan dibahas konsep dari sistem persamaan linear mandiri. Misalkan diberikan suatu sistem persamaan diferensial orde-1 sebagai berikut

(

,

)

dx

x f x y

dt = =

(

,

)

dy

y g x y

dt = =

dengan f dan g fungsi kontinu bernilai real yang dinyatakan dalam x dan y, serta fungsi-fungsi tersebut tidak berubah terhadap waktu, maka sistem (2.3) disebut sistem persamaan diferensial mandiri.

Selanjutnya akan dibahas titik tetap suatu sistem persamaan diferensial dan kestabilannya. Misalkan diberikan sistem persamaan diferensial (SPD) sebagai berikut

( )

x

x f x ,x n

d

R

dt = = ∈ . (2.4)

Titik x* disebut titik tetap atau titik keseimbangan, jika memenuhi f x*

( )

=0. Misalkan titik x* adalah titik tetap SPD (2.4) dan x

( )

t adalah solusi SPD mandiri dengan

nilai awal x

( )

0 =x0 dengan x0≠x*. Titik *

x dikatakan titik tetap stabil, jika untuk sembarang ε>0 terdapat r>0 sedemikian sehingga jika posisi awal x0 memenuhi

r

<

0

x -x* , maka solusi x t

( )

memenuhi

( )

t − *<ε

x x , untuk setiap t>0. Sebaliknya, titik x* dikatakan titik tetap tidak stabil, jika untuk sembarang ε >0 dan

0

r> , terdapat posisi awal yang memenuhi x -x*0 <r, sehingga berakibat

solusi x t

( )

memenuhi x

( )

tx* ≥ε , untuk sedikitnya satu t>0.

Untuk menganalisis kestabilan titik tetap dari suatu SPD taklinear, dapat dilakukan dengan pelinearan pada sistem persamaan diferensialnya. Untuk suatu SPD taklinear, analisis kestabilannya dilakukan melalui pelinearan. Misalkan diberikan SPD taklinear sebagai berikut

( )

x x :x n

f R

= ∈ . (2.5) Dengan menggunakan ekspansi Taylor untuk suatu titik tetap x*, maka persamaan (2.5) dapat ditulis sebagai berikut

( )

ϕ

= +

x Ax x , (2.6) dengan

( )

*

( )

Df x Df

= = x=x*

A x 1 1 1 1 n n n n f f x x f f x x ∂ ∂ ∂ ∂ = ∂ ∂ ∂ ∂ .

Persamaan (2.6) merupakan SPD taklinear, dengan Aadalah matriks Jacobi dan ϕ

( )

x

suku berorde tinggi dengan

( )

0 0 limϕ → = x x . Selanjutnya Ax pada persamaan (2.6) disebut pelinearan dari sistem taklinear persamaan (2.5) sehingga didapat persamaan berikut

=

x Ax. (2.7) Misalkan A adalah matriks n×n, maka suatu vektor taknol x di dalam Rn disebut vektor eigen dari A, jika untuk suatu skalar

λ, yang disebut nilai eigen dari A, berlaku (2.3)


(24)

λ

=

Ax x, (2.8) vektor x disebut vektor eigen yang bersesuaian dengan nilai eigen λ. Untuk mencari nilai eigen dari matriks A yang berukuran n×n, maka persamaan (2.8) dapat dituliskan sebagai berikut

(

A−λI x

)

=0, (2.9) dengan I matriks identitas. Persamaan (2.9) mempunyai solusi taknol jika dan hanya jika

(

)

det A−λI =0. (2.10) Persamaan (2.10) disebut persamaan karakteristik dari A.

Selanjutnya akan dibahas kestabilan suatu titik tetap. Misalkan diberikan SPD mandiri

( )

x

x x ,x n

d

f R

dt = = ∈ . (2.11)

Kemudian ditentukan titik tetap x* yang memenuhi f

( )

x* =0. Selanjutnya, dilakukan pelinearan di sekitar titik tetapnya sesuai dengan persamaan (2.6), sehingga diperoleh persamaan (2.7). Analisis kestabilan SPD (2.11), dilakukan melalui analisis kestabilan SPD (2.7).

Penentuan kestabilan titik tetap didapat dengan melihat nilai-nilai eigennya, yaitu: λi,

1, 2,...,

i= n yang diperoleh dari persamaan karakteristik dari A, yaitu det

(

A−λI

)

=0.

Secara umum kestabilan suatu titik tetap mempunyai 3 perilaku sebagai berikut: 1. Stabil, jika

a. setiap nilai eigen real adalah negatif (λ <i 0 untuk setiap i),

b. setiap komponen nilai eigen kompleks bagian realnya lebih kecil atau sama dengan nol, (Re

( )

λi ≤0 untuk setiap

i).

2. Tidak stabil, jika

a. setiap nilai eigen real adalah positif (λ >i 0 untuk setiap i),

b. setiap komponen nilai eigen kompleks bagian realnya lebih besar dari nol, (Re

( )

λi >0 untuk setiap i).

3. Sadel, jika

Perkalian dua buah nilai eigen real adalah negatif (λ λ <i j 0 untuk setiap i dan j sembarang).

Adapun bentuk umum kestabilan di sekitar titik tetap adalah sebagai berikut:

a. Simpul stabil

b. Simpul tidak stabil

c. Sadel

d. Spiral stabil


(25)

f. Center

Selain itu, penentuan kestabilan titik tetap juga didapat berdasarkan kriteria Routh-Hurwitz berikut ini

Teorema 1: (Routh-Hurwitz Criterion) Misalkan a a1, 2,...,ak merupakan bilangan real. Semua nilai eigen dari persamaan karakteristik

( )

1 2

1 ... 2 1 0

k k

k k k

p λ λ aλ − a λ a λ a

− −

= + + + + + =

mempunyai bagian real yang negatif jika dan hanya jika determinan dari matriks Mi i×

untuk setiap i=1, 2,...,k

adalah positif dengan aj =0 jika j>k. Berdasarkan kriteria Routh-Hurwitz, untuk suatu nilai k, dengan k=2,3, 4. Titik tetap

*

x stabil jika dan hanya jika untuk

1 2

2; 0, 0

k= a > a >

1 3 1 2 3

3; 0, 0, k= a > a > a a >a

2 2

1 3 4 1 2 3 3 1 4

4; 0, 0, 0,

k= a > a > a > a a a >a +a a

untuk kasus k=3 kriteria Routh-Hurwitz disajikan pada Teorema 2.

Teorema 2

Misalkan A B C, , bilangan-bilangan real. Bagian real dari setiap nilai eigen persamaan karakteristik

( )

3 2

0

p λ =λ +Aλ +Bλ+C=

adalah negatif jika dan hanya jika A C, positif dan AB>C.

Bukti (lihat Lampiran 2).

Selanjutnya akan dibahas mengenai bilangan reproduksi dasar, R0. Bilangan reproduksi dasar adalah rata-rata jumlah infeksi sekunder yang disebabkan oleh datangnya individu terinfeksi tunggal ke dalam populasi yang rentan terserang penyakit, atau bisa juga dikatakan R0 merupakan reproduksi dasar virus. Berikut adalah analisis untuk nilai R0:

1. R0<1: virus tidak dapat bertahan hidup di dalam populasi.

2. R0>1: virus dapat bertahan hidup di dalam populasi.

Dalam karya ilmiah ini juga dibahas mengenai bifurkasi. Misalkan suatu sistem dinamik

(

,

)

dx f x

dt = ψ (2.12)

dengan parameter ψ adalah suatu konstanta. Dengan nilai ψ yang bervariasi dan mempunyai suatu nilai kritis ψ0. Sistem dinamik tersebut akan stabil jika ψ0<ψ dan tidak stabil jika ψ0 >ψ , maka pada titik ψ0 terdapat perubahan kestabilan sistem yang disebut bifurkasi. Nilai ψ0 adalah titik bifurkasi.

Salah satu tipe bifurkasi yang dibahas adalah bifurkasi transcritical. Misalkan suatu sistem dinamik

(

,

)

2

dx

f x x x

dt = µ =µ − . (2.13)

Titik x*=(0, )µ merupakan titik tetap yang memenuhi f x

(

)

=0. Ketika µ<0, titik tetap x1* 0= adalah stabil dan titik tetap

2*

x =µ tidak stabil. Sedangkan untuk µ>0, titik tetap x1* 0= tidak stabil dan titik tetap

2*

x =µ stabil. Sehingga pada µ=0 terdapat perubahan kestabilan sistem yang disebut bifurkasi transcritical dengan µ=0 adalah titik bifurkasi. Persamaan (2.13) merupakan bentuk normal dari bifurkasi transcritical.


(26)

III PEMBAHASAN

3.1 Model HIV Tanpa Terapi Obat

Model yang akan disajikan berikut ini dideskripsikan oleh Alan S. Parelson dan Patrick W. Nelson (1999). Pada model dibahas populasi sel target (sel T CD4+ atau sel darah putih) tidak terinfeksi diberi notasi,

populasi sel T terinfeksi diberi notasi dan virus bebas, diberi notasi .

Selanjutnya, diagram infeksi virus HIV dapat dilihat pada Gambar 1 berikut.

Gambar 1 Diagram infeksi virus HIV. Dari Gambar 1 ditunjukkan bahwa sel T

baru dihasilkan dari sumber di dalam tubuh, seperti timus diberi notasi s, yaitu laju sel T baru yang dihasilkan dari sumber di dalam tubuh. Sel T juga dihasilkan melalui proliferasi (perkembangbiakan) sel T yang ada. Pada tulisan ini, proliferasi dinyatakan dengan sebuah fungsi logistik, dengan p

adalah laju proliferasi maksimum yang mengacu pada keberadaan batasan maksimum dari populasi. Bagaimanapun, jumlah total sel T dibatasi oleh kepadatan populasi sel T pada proliferasi yaitu Tmax. Sel T tidak terinfeksi mempunyai laju kematian alami sebesar dT

sehingga tingkat kematian sel tidak terinfeksi pada suatu waktu adalah d TT . Pada kehadiran

HIV, sel T menjadi terinfeksi. Virus ini yaitu

V menginfeksi sel T dengan laju k

menyebabkan jumlah sel T tidak terinfeksi,

T, di dalam tubuh berkurang sebesar kVT. Jumlah populasi sel T terinfeksi pada waktu t dipengaruhi oleh tingkat infeksi virus dan kematian alami sel tersebut. Tingkat infeksi virus adalah kVT, dengan laju kematian sel T terinfeksi, T* adalah δ, maka tingkat kematian sel T terinfeksi pada suatu waktu adalah δT*.

Selanjutnya, penambahan jumlah virus di dalam tubuh ditandai dengan jumlah total virus yang diproduksi oleh sebuah sel T terinfeksi , T*, selama waktu hidupnya, yaitu sebanyak N. Jadi, tingkat produksi virus baru adalah N Tδ *. Virus mempunyai laju kematian alami sebesar c, menyebabkan jumlah virus pada waktu t berkurang sebesar

cV .

Konstruksi model matematika untuk model HIV tanpa terapi obat menggunakan asumsi sebagai berikut:

1. Infeksi terjadi karena virus HIV.

2. Sel T terinfeksi menghasilkan N virus selama waktu hidupnya.

3. Semua parameter dan variabel yang digunakan taknegatif.

Dengan demikian, uraian di atas dapat diekspresikan secara matematika sebagai suatu sistem persamaan diferensial sebagai berikut max 1 * * * , T dT T

s pT d T kVT

dt T

dT

kVT T

dt dV

N T cV

dt δ δ = + − − − = − = − (3.1) Laju infeksi Total virion

Sel darah putih terinfeksi Virus Sel darah putih sehat ! " #$


(27)

dengan

T : banyaknya populasi sel T tidak terinfeksi,

*

T : banyaknya populasi sel T terinfeksi,

V : banyaknya populasi virus,

s : laju sel T baru dihasilkan dari sumber di dalam tubuh, seperti timus,

p : laju proliferasi maksimum,

max

T : populasi maksimum sel T pada proliferasi,

T

d : laju kematian sel T tidak terinfeksi,

k : laju infeksi,

δ : laju kematian sel T terinfeksi,

N : total virus yang diproduksi oleh sel T terinfeksi selama waktu hidupnya, c : laju kematian virus.

Nilai parameter yang digunakan dalam simulasi diperoleh dari Perelson, Kirschner dan De Boer (1993), dengan rincian diberikan pada Tabel 1 berikut ini.

Tabel 1 Nilai parameter

Notasi Nilai

s 10 mm-3 hari-1

p 0.03 hari-1 max

T 1500 mm-3

T

d 0.02 hari-1

k 0.000024 mm-3 hari-1 δ 0.24 hari-1

N bervariasi

c 2.4 hari-1

Selanjutnya akan ditentukan titik tetap untuk sistem persamaan (3.1) yang kemudian akan menganalisis kestabilan di sekitar titik tetap tersebut, orbit serta dinamika populasinya.

3.1.1 Titik Tetap

Titik tetap dari sistem persamaan (3.1) akan diperoleh dari persamaan dT 0

dt = , * 0

dT

dt = dan 0 dV

dt = , yaitu

(

)

2

max 1

max 4

, 0, 0 ,

2 T T

T sp

E p d p d

p T

= − + − +

(

)

2

max 2

max 4

, 0, 0 ,

2 T T

T sp

E p d p d

p T

= − − − +

dan

(

)

3 , *, ,

E = T T V

dengan c T Nk = * cV T N δ =

(

1 max

)

T T T p d s V kT k − − = + .

Asumsikan bahwa tidak terdapat virus di dalam sel tubuh (V =0), maka T*=0 sehingga diperoleh

(

)

2

max 4 2 mx T T T sp

T p d p d

p T

= − ± − + .

Dengan demikian, terdapat dua titik tetap tidak terinfeksi yaitu

(

)

2

max 1

max 4

, 0, 0 ,

2 T T

T sp

E p d p d

p T

= − + − +

dan

(

)

2

max 2

max 4

, 0, 0

2 T T

T sp

E p d p d

p T

= − − − + .

Untuk titik tetap E2 tidak akan dianalisis karena jumlah populasi sel T tidak terinfeksi pada titik tetap E2 bernilai negatif, sehingga

titik tetap yang dianalisis adalah

(

)

1 ss1, 0, 0

E = T dengan

(

)

2

1

max 4 2

mx

ss T T

T sp

T p d p d

p T

= − + − + .

Titik tetap terinfeksi diperoleh dengan menyelesaikan sistem persamaan (3.1) yaitu

(

)

3 , *, ,

E = T T V

dengan c T Nk = * cV T N δ =

(

1 max

)

T T T p d s V kT k − − = + .

Titik tetap terinfeksi ada hanya jika V >0 yang berarti 0< <T Tss1.

3.1.2 Analisis Kestabilan Titik Tetap Untuk melihat perilaku solusi di sekitar titik tetap, maka akan dilakukan pelinearan pada model yang merupakan persamaan diferensial taklinear. Misalkan sistem persamaan (3.1) dituliskan sebagai berikut


(28)

(

)

(

)

(

)

, *, * , *, , *, dT

P T T V dt

dT

Q T T V dt

dV

R T T V dt = = = (3.2)

Dengan melakukan pelinearan pada sistem persamaan (3.2), diperoleh matriks Jacobi

* * *

P P P

T T V

Q Q Q

J

T T V

R R R

T T V

∂ ∂ ∂ ∂ ∂ ∂ ∂ ∂ ∂ = ∂ ∂ ∂ ∂ ∂ ∂ ∂ ∂ ∂ maka max 2 0 0 T pT

p d kV kT

T

J kV kT

N c δ δ − + − − − = − − .

Pelinearan sistem persamaan diferensial pada titik tetap % akan menghasilkan matriks Jacobi sebagai berikut

1 1 max 1 1 2 1 0 0 0 ss T ss ss T

p d kT

T J kT N c δ δ − − − = − − .

Untuk memperoleh nilai eigen digunakan persamaan karakteristik det

(

J1−λI

)

=0 sehingga nilai eigen untuk matriks J1 adalah

1 1 max 2 1 ss T T p d T

λ = − −

(

)

2

2,3 1

1

4 4

2 2 ss

c

c c NkT δ

λ = − + ± +δ − δ+ δ .

Karena semua parameter taknegatif, maka 3 0

λ < sehingga kestabilan titik tetap & tergantung pada nilai eigen λ1 dan λ2. Agar titik tetap bersifat stabil, maka

i. λ <1 0 yang berarti

(

)

max

1

2

T ss

p d T

T

p

>

ii. λ <2 0 yang berarti c>NkTss1 atau

1 ss c N kT < .

Kondisi stabil dipenuhi, ketika

1 ss c N kT < atau ditulis dalam bentuk

1 1 ss

NkT c < .

Besaran NkTss1

c merupakan bilangan

reproduksi dasar virus dalam populasi, diberi notasi R0. Ketika R0<1 yang merupakan kondisi stabil, maka virus tidak dapat bertahan di dalam populasi. Sebaliknya, ketika R0>1, maka populasi tidak stabil, karena virus akan bertahan dalam populasi.

Pelinearan sistem persamaan diferensial pada titik

(

)

3 , *, ,

E = T T V

dengan c T Nk = * cV T N δ =

(

1 max

)

T T T p d s V kT k − − = +

akan menghasilkan matriks Jacobi sebagai berikut max 1 2 1 0 0 T T

p d kV kT

T

J kV kT

N c δ δ − − − − = − − .

Kestabilan titik tetap &' bergantung pada nilai eigen pada matriks J2 yang diperoleh dari persamaan karakteristik det

(

J2−λI

)

=0 atau

3 2

0

A B C

λ + λ + λ+ = dengan

(

)

max 2 T pT

A c p d kV

T δ = + + − − +

(

)

(

)

max 2 T pT

B c p d kV

T

δ

= + − − +


(29)

Berdasarkan kriteria Routh-Hurwitz, titik tetap terinfeksi stabil, jika syarat A>0,

0

C> , dan ABC>0 terpenuhi.

Karena semua parameter taknegatif, maka diperoleh C>0. Pada titik tetap berlaku

(

)

2

max T

pT s p d T kVT

T

+ − − = .

Selama s>0,

(

)

2

max T

pT p d T kVT

T

− − <

atau

(

)

max T

pT

p d kV

T

− < + .

Ini memperlihatkan bahwa A>0. Bentuk A

dan B masing-masing dapat ditulis

(

1

)

A= δ+ +c B dan B=

(

δ+c B

)

1, dengan 1

B memuat kV sehingga dapat ditunjukkan bahwa

(

)

2 2

(

)

1 1

AB=B δ+c +B δ+cckV=C

yang berarti ABC>0 terpenuhi.

Tabel 2 Kondisi kestabilan titik tetap dari model tanpa terapi obat

Kondisi E1 E3

(

)

max

1

2

T ss

p d T

T

p

> ss1

c N

kT

< atau R0 <1

Simpul Stabil Sadel

(

)

max

1

2

T ss

p d T

T

p

> ss1

c N

kT

> atau R0 >1

Sadel Spiral Stabil

Dari Tabel 2 terlihat bahwa terjadi perubahan kestabilan titik tetap. Hal ini menunjukkan adanya bifurkasi trancritical

dengan 1 ss c N kT

= merupakan titik bifurkasi. Berikut ini akan diperlihatkan bifurkasi

transcritical untuk model HIV tanpa terapi obat, titik tetap stabil ditandai dengan garis tebal, sedangkan titik tetap tidak stabil ditandai dengan garis putus-putus pada.

Gambar 2 Bifurkasi transcritical untuk model HIV tanpa terapi obat.

3.1.3 Dinamika Model HIV tanpa Terapi Obat

Berikut ini akan diperlihatkan grafik perubahan dinamika dari populasi sel T tidak terinfeksi, populasi sel T terinfeksi dan populasi virus terhadap waktu

( )

t ketika

0 1

R < . Parameter yang digunakan dipilih dari Tabel 1 dengan nilai awal T

( )

0 =1000,

( )

* 0 0

T = dan V

( )

0 =0.001.

1 ss

T=T c

T Nk =


(30)

Gambar 3 Dinamika populasi T, T* dan V ketika N =50.

Gambar 4 Dinamika populasi T, T* dan V ketika N =70.

Gambar 5 Dinamika populasi T, T* dan V ketika N =80.

Dari Gambar 3, 4 dan 5 terlihat bahwa jumlah populasi sel T tidak terinfeksi tetap, yaitu 1000. Populasi sel T terinfeksi pada awalnya meningkat tajam kemudian mengalami penurunan mencapai kestabilan pada angka 0. Hal ini dikarenakan populasi virus menurun mencapai kestabilan pada angka 0. Penurunan ini terjadi karena pada kondisi ini virus tidak dapat bertahan di dalam populasi dan akhirnya virus akan punah. Selain itu, terlihat bahwa ketika N =80 populasi sel T terinfeksi meningkat lebih besar dibandingkan ketika N =50.

Sebelum melihat dinamika populasi, berikut ini akan digambarkan bidang fase yang menunjukkan orbit kestabilan untuk

0 1

R > dengan memilih parameter pada Tabel 1 dengan nilai awal T

( )

0 =1000, T* 0

( )

=0 dan V

( )

0 =0.001.

(i). Ketika R0 =1.5

Kondisi R0=1.5 dipenuhi ketika 150

N = sehingga diperoleh titik tetap

(

)

1 1000, 0, 0

E = dan E3 =(666.667,32.4074, 486.111). Orbit kestabilannya diberikan pada Gambar 6 berikut.

Gambar 6 Orbit kestabilan di sekitar


(31)

Dari Gambar 6 terlihat bahwa orbit membentuk spiral menuju titik tetap E3, sehingga E3 stabil. Selain itu, titik tetap E1 jauh dari bidang fase sehingga E1 tidak stabil. (ii). Ketika R0 =1.8

Kondisi R0 =1.8 dipenuhi ketika 180

N = sehingga diperoleh titik tetap

(

)

1 1000, 0, 0

E = dan E3=(555.556,39.0947, 703.704). Orbit kestabilannya diberikan pada Gambar 7 berikut.

Gambar 7 Orbit kestabilan di sekitar

(

T T V, *,

)

ketika N=180. Dari Gambar 7 terlihat bahwa orbit membentuk spiral menuju titik tetap E3, sehingga E3 stabil. Selain itu, titik tetap E1 jauh dari bidang fase sehingga E1 tidak stabil.

(iii).Ketika R0 =2.4

Kondisi R0 =2.4 dipenuhi ketika 240

N= sehingga diperoleh titik tetap

(

)

1 1000, 0, 0

E = dan E3=(416.667, 44.5602 1069.44). Orbit kestabilannya diberikan pada Gambar 8 berikut.

Gambar 8 Orbit kestabilan di sekitar

(

T T V, *,

)

ketika N =240. Dari Gambar 8 terlihat bahwa orbit membentuk spiral menuju titik tetap E3, sehingga E3 stabil. Selain itu, titik tetap E1 jauh dari bidang fase sehingga E1 tidak stabil.

Grafik perubahan dinamika dari populasi sel T tidak terinfeksi, populasi sel T terinfeksi dan populasi virus terhadap waktu

( )

t untuk

0 1


(32)

Gambar 9 Dinamika populasi T, T* dan V ketika N=150 dan R0=1.5.


(33)

Gambar 11 Dinamika populasi T, T* dan V ketika N=240 dan R0 =2.4. Berdasarkan Gambar 9, 10 dan 11, setelah

virus menginfeksi sel T. Populasi sel T tidak terinfeksi, populasi sel terinfeksi dan populasi virus berfluktuasi menuju nilai stabil. Saat populasi sel T tidak terinfeksi mengalami penurunan, maka populasi sel T terinfeksi mengalami peningkatan. Peningkatan sel terinfeksi seiring dengan peningkatan populasi virus. Besarnya penurunan populasi sel T tidak terinfeksi dipengaruhi oleh besarnya jumlah total virus yang dihasilkan oleh sebuah sel terinfeksi, N. Ketika N=240 dan

0 2.4

R = , penurunan populasi sel T tidak terinfeksi semakin besar dan semikin cepat dibandingkan ketika N=150 dan R0 =1.5 seiring dengan peningkatan populasi virus yang juga semakin besar dan semakin cepat. Jadi, dapat disimpulkan bahwa semakin besar

N, maka penurunan populasi sel T tidak terinfeksi di dalam tubuh semakin besar dan semakin cepat, sama halnya jika R0 jauh lebih besar dari satu.

3.2 Model HIV dengan Terapi Protease Inhibitor

Pada model ini, terapi protease inhibitor

diharapkan mampu menekan jumlah virus HIV dalam sel darah putih. Karena setelah terinfeksi virus, jumlah sel darah putih atau sel T tidak terinfeksi akan menurun secara drastis dan akan menjadi stabil namun pada tingkat yang lebih rendah dibandingkan dengan jumlah sel darah putih pada individu yang tidak terinfeksi HIV. Hal ini telah diperlihatkan pada model I (model HIV tanpa terapi obat). Penurunan jumlah sel T dapat digunakan sebagai kriteria untuk mendiagnosa perkembangan HIV di dalam tubuh.

Protease inhibitor berperan sebagai

penghambat pembentukkan protein-protein aktif yang akan menjadi virus baru. Gambar 12 berikut ini menjelaskan peran protease inhibitor.


(34)

Gambar 12 Peran protease inhibitor terhadap virus HIV.

Setelah pemberian protease inhibitor

terdapat dua tipe virus yaitu VI yang

menunjukkan populasi virus yang belum dipengaruhi oleh protease inhibitor sehingga poliprotein mereka membelah dan tipe VNI

menunjukkan populasi virus dengan

poliprotein yang tidak membelah dengan

adalah konsentrasi total virus. Penambahan jumlah virus yang dipengaruhi oleh protease inhibitor ditandai dengan jumlah total virus yang diproduksi oleh sel T terinfeksi dengan efektifitas protease inhibitor

sebesar ηPI.

Konstruksi model matematika untuk model HIV dengan terapi protease inhibitor

ini menggunakan asumsi yang sama dengan model sebelumnya. Sehingga diperoleh model matematika sebagai berikut

(

)

max 1 * * 1 * * , T I I I PI I NI PI NI dT T

s pT d T kV T

dt T

dT

kV T T

dt dV

N T cV

dt dV

N T cV

dt δ η δ η δ = + − − − = − = − − = − dengan

T : banyaknya populasi sel T tidak terinfeksi,

*

T : banyaknya populasi sel T terinfeksi,

V : banyaknya populasi virus,

I NI V=V +V I

V : banyaknya populasi virus dengan poliprotein yang membelah,

NI

V : banyaknya populasi virus dengan poliprotein yang tidak membelah,

s : laju sel T baru dihasilkan dari sumber di dalam tubuh, seperti timus,

p : laju proliferasi maksimum,

max

T : populasi maksimum sel T pada proliferasi,

T

d : laju kematian sel T tidak terinfeksi,

k : laju infeksi,

δ : laju kematian sel T terinfeksi,

N : total virus yang diproduksi oleh sel T terinfeksi selama waktu hidupnya,

c : laju kematian virus.

PI

η : efektifitas dari protease inhibitor. Selanjutnya akan ditentukan titik tetap untuk persamaan (3.3) yang kemudian akan menganalisis kestabilan disekitar titik tetap tersebut, orbit serta dinamika populasinya.

3.2.1 Titik Tetap

Titik tetap dari sistem persamaan (3.3) akan diperoleh dari persamaan dT 0

dt = , * 0

dT

dt = , 0 I dV

dt = dan 0 NI dV

dt = , yaitu

(

)

2

max 1

max 4

, 0, 0, 0

2 T T

T sp

F p d p d

p T

= − + − +

(

)

2

max 2

max 4

, 0, 0, 0 ,

2 T T

T sp

F p d p d

p T

= − − − +

dan

(

)

3 ss2, *, I, NI

F = T T V V ,

dengan

(

)

2 1 ss PI c T Nk η = − 1. Virus masuk ke dalam sel darah putih sehat

2. Reverse Transcriptase pada genom RNA virus membuat salinan DNA

3. DNA virus bergabung dengan DNA inang, membentuk RNA virus dalam jumlah banyak 4. RNA virus membentuk protein virus

5. Protease Inhibitor menghalangi protein virus membentuk protease virus 6. Virus mati


(35)

(

)

* 1 I PI cV T N δ η = −

(

2

)

max

2

1 Tss T T I s p d s V kT k − − = + 1 PI I NI PI V V η η = − .

Asumsikan bahwa tidak terdapat virus di dalam sel tubuh (V =0), maka T*=0 sehingga diperoleh

(

)

2

max

max 4

2 T T

T sp

T p d p d

p T

= − ± − + .

Dengan demikian terdapat dua titik tetap tidak terinfeksi, yaitu

(

)

2

max 1

max 4

, 0, 0, 0 ,

2 T T

T sp

F p d p d

p T

= − + − +

dan

(

)

2

max 2

max 4

, 0, 0, 0 .

2 T T

T sp

F p d p d

p T

= − − − +

Untuk titik tetap F2 tidak akan dianalisis karena jumlah populasi sel T tidak terinfeksi pada titik tetap F2 bernilai negatif, sehingga titik tetap yang dianalisis selanjutnya adalah

(

)

1 ss1, 0, 0, 0 ,

F = T

dengan

(

)

2

max 1 max 4 . 2

ss T T

T sp

T p d p d

p T

= − + − +

Titik tetap terinfeksi diperoleh dengan menyelesaikan sistem persamaan (3.3) yaitu

(

)

3 ss2, *, I, NI

F = T T V V ,

dengan

(

)

2 1 ss PI c T Nk η = −

(

)

* 1 I PI cV T N δ η = −

(

2

)

max

2

1 Tss T T I s p d s V kT k − − = + 1 PI I NI PI V V η η = − .

Titik tetap terinfeksi ada hanya jika VI >0 yang berarti 0<Tss2<Tss1.

3.2.4 Analisis Kestabilan Titik Tetap Untuk melihat perilaku solusi di sekitar titik tetap, maka akan dilakukan pelinearan pada model yang merupakan persamaan diferensial taklinear. Misalkan sistem persamaan (3.3) dituliskan sebagai berikut

(

)

(

)

(

)

(

)

, *, , * , *, , , *, , , *, , . I NI I NI I I NI NI I NI dT

P T T V V dt

dT

Q T T V V dt

dV

R T T V V dt

dV

S T T V V dt = = = =

Dengan melakukan pelinearan pada sistem persamaan (3.4), maka diperoleh matriks Jacobi * * * * I NI I NI I NI I NI

P P P P

T T V V

Q Q Q Q

T T V V

J

R R R R

T T V V

S S S S

T T V V

∂ ∂ ∂ ∂ ∂ ∂ ∂ ∂ ∂ ∂ ∂ ∂ ∂ ∂ ∂ ∂ = ∂ ∂ ∂ ∂ ∂ ∂ ∂ ∂ ∂ ∂ ∂ ∂ ∂ ∂ ∂ ∂ atau

(

)

max 2

1 0 0

0

0 1 0

0 0 T I I PI PI T

p d kV kT

T

J kV kT

N c N c δ η δ η δ − − − − = − − − − Pelinearan sistem persamaan diferensial pada titik tetap ( akan menghasilkan matriks Jacobi sebagai berikut

(

)

1 1 max 3 1 2

1 0 0

0 0

0 1 0

0 0 ss T ss ss PI PI T

p d kT

T J kT N c N c δ η δ η δ − − − = − − − −

sehingga diperoleh nilai eigen 1 1 max 2 1 ss T T p d T

λ = − −

(

)

2

(

)

2,3 1

1

4 4 1

2 2 ss PI

c

c c NkT δ

λ = − + ± +δ − δ+ δ −η

4 c. λ = −


(36)

Karena semua parameter taknegatif, maka 3 0

λ < dan λ <4 0, sehingga kestabilan di titik ini tergantung pada nilai eigen λ1 dan

2

λ . Agar titik tetap bersifat stabil, maka

)* λ <1 0 yang berarti

(

)

max

1

2

T ss

p d T

T

p

− >

ii. λ <2 0 yang berarti c>NkTss1

(

1−ηPI

)

atau 1 1 PI ss c NkT

η > − .

Kondisi stabil dipenuhi, ketika

1 1 PI ss c NkT

η > − atau ditulis dalam bentuk

(

)

1 1 1 ss PI NkT c η − < . Besaran NkTss1

(

1 PI

)

c

η −

merupakan bilangan reproduksi dasar virus dalam populasi + untuk model HIV dengan terapi protease inhibitor. Ketika R0<1 yang merupakan kondisi stabil maka virus tidak dapat bertahan di dalam populasi. Sebaliknya, ketika R0>1, maka populasi tidak stabil, karena virus akan bertahan dalam populasi.

Subtitusi Tss2 kedalam VI sehingga

diperoleh

(

)

max

(

)

1 1 1 0 T PI PI I c p d NkT sN V c k η

η − − −

= + >

Pelinearan sistem persamaan diferensial pada titik tetap F3 akan menghasilkan matriks Jacobi sebagai berikut

(

)

max 4

2

1 0 0

0

0 1 0

0 0 T I I PI PI T

p d kV kT

T

J kV kT

N c N c δ η δ η δ − − − − = − − − −

dengan T =Tss2, diperoleh nilai eigen

4 c

λ = − . Nilai eigen lainnya diperoleh dari solusi λ3+Aλ2+Bλ+C=0

dengan

(

)

max 2 T I pT

A c p d kV

T δ = + + − − +

(

)

(

)

max 2 T I pT

B c p d kV

T

δ

= + − − +

I

C=c kVδ .

Berdasarkan kriteria Routh-Hurwitz, titik tetap terinfeksi stabil, jika syarat A>0,

0

C> , dan ABC>0 terpenuhi.

Karena semua parameter taknegatif, maka diperoleh C>0. Pada titik tetap berlaku

(

)

2

max

T I

pT

s p d T kV T T

+ − − = .

Selama s>0,

(

)

2

max

T I

pT

p d T kV T T

− − <

atau

(

)

max

T I

pT p d kV

T

− < + .

Ini memperlihatkan bahwa A>0. Bentuk A

dan B masing-masing dapat ditulis

(

1

)

A= δ+ +c B dan B=

(

δ+c B

)

1, dengan 1

B memuat kV sehingga dapat ditunjukkan bahwa

(

)

2 2

(

)

1 1 I

AB=B δ+c +B δ+cckV =C

yang berarti ABC>0 terpenuhi.

Tabel 3 Kondisi kestabilan titik tetap dari model HIV dengan terapi protease inhibitor

Kondisi F1 F3

(

)

max

1

2

T ss

p d T

T

p

> ss1

(

1 PI

)

c N

kT η

<

− atau R0<1

Simpul Stabil Sadel

(

)

max

1

2

T ss

p d T

T

p

> ss1

(

1 PI

)

c N

kT η

>

− atau R0 >1


(37)

Dari Tabel 3 terlihat bahwa terjadi perubahan kestabilan titik tetap. Hal ini menunjukkan adanya bifurkasi trancritical

dengan

(

)

1 1 PI ss

c N

kT η

=

− merupakan titik bifurkasi.

Berikut ini akan diperlihatkan bifurkasi

transcritical untuk model HIV dengan terapi

protease inhibitor, titik tetap stabil ditandai dengan garis tebal, sedangkan titik tetap tidak stabil dengan garis putus-putus.

Gambar 13 Bifurkasi Transcritical untuk model HIV dengan protease inhibitor.

3.2.3 Dinamika Model HIV dengan Terapi

Protease Inhibitor

Berikut ini akan digambarkan bidang fase yang menunjukkan orbit kestabilan untuk

0 1

R < . Parameter yang digunakan dipilih dari Tabel 1 dengan nilai awal T

( )

0 =416.667,

( )

* 0 44.5602

T = , VI

( )

0 =1069.44 dan

( )

0 0

NI

V = .

(i). Ketika R0 =0.96

Kondisi R0 =0.96 dipenuhi ketika 240

N = dan η =PI 0.6 sehingga diperoleh

titik tetap F1=

(

1000, 0, 0, 0

)

. Orbit kestabilannya diberikan pada Gambar 14 berikut.

Gambar 14 Orbit kestabilan di sekitar

(

T T V, *, I

)

ketika η =PI 0.6 dan 0 0.96

R = .

Dari Gambar 14 terlihat bahwa orbit menuju titik tetap F1 sehingga F1 stabil dengan jenis kestabilan simpul.

(ii). Ketika R0=0.72

Kondisi R0=0.72 dipenuhi ketika 240

N= dan η =PI 0.7 sehingga diperoleh

titik tetap F1=

(

1000, 0, 0, 0

)

. Orbit kestabilannya diberikan pada Gambar 14 berikut.

Gambar 15 Orbit kestabilan di sekitar

(

T T V, *, I

)

ketika η =PI 0.7 dan 0 0.72

R = .

Dari Gambar 15 terlihat bahwa orbit menuju titik tetap F1, sehingga F1 stabil dengan jenis kestabilan simpul.

( ) 2 1 ss PI c T Nk η = − 1 ss


(38)

(iii).Ketika R0 =0.48

Kondisi R0 =0.48 dipenuhi ketika dan η =PI 0.8 sehingga diperoleh

titik tetap F1=

(

1000, 0, 0, 0

)

. Orbit kestabilannya diberikan pada Gambar 14 berikut.

Gambar 16 Orbit kestabilan di sekitar

(

T T V, *, I

)

ketika η =PI 0.8 dan 0 0.48

R = .

Dari Gambar 16 terlihat bahwa orbit menuju titik tetap F1, sehingga F1 stabil dengan jenis kestabilan simpul.

Untuk mengamati pengaruh penggunaan

protease inhibitor dengan efektifitas yang berbeda pada dinamika HIV maka diperlukan grafik perubahan dinamika dari populasi sel T tidak terinfeksi, populasi sel T terinfeksi, populasi virus dengan poliprotein yang membelah dan populasi virus dengan poliprotein yang tidak membelah terhadap waktu

( )

t .

Berikut ini akan diperlihatkan grafik perubahan dinamika populasi. Parameter yang digunakan dipilih dari Tabel 1 dengan nilai awal T

( )

0 =416.667, T* 0

( )

=44.5602,

( )

0 1069.44

I

V = dan VNI

( )

0 =0.


(39)

Gambar 18 Dinamika populasi T, T*, VI dan VNI ketika η =PI 0.7 dan R0 =0.72.


(40)

Dari Gambar 17, 18 dan 19, setelah terapi

protease inhibitor dimulai terlihat bahwa populasi virus dengan poliprotein yang membelah, VI, menurun tajam menuju kestabilan pada angka nol. Penurunan ini terjadi karena pada kondisi ini virus tidak dapat bertahan dalam populasi. Sedangkan populasi virus dengan poliprotein yang tidak membelah, VNI, pada awalnya meningkat

tajam kemudian mengalami penurunan menuju kestabilan pada angka 0. Penurunan populasi virus dengan poliprotein yang membelah menyebabkan populasi sel T tidak terinfeksi, , meningkat dan kemudian stabil pada angka 1000 dan populasi sel T terinfeksi,

*

T , menurun menuju kestabilan pada angka 0.

Kurva dari Gambar 19, yaitu ketika

0.8 PI

η = dan R0=0.48 lebih curam jika dibandingkan dengan kurva pada saat

0.6 PI

η = dan η =PI 0.7. Hal ini menunjukkan

bahwa pada saat η =PI 0.8, kecepatan menuju

kestabilan lebih besar sehingga populasi akan semakin cepat menuju kestabilan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa semakin besar nilai

PI

η dan nilai R0 jauh lebih kecil dari 1 maka populasi virus semakin cepat menurun dan akhirnya virus akan punah.

Berikut ini akan digambarkan bidang fase yang menunjukkan orbit kestabilan untuk

0 1

R > dengan memilih parameter pada Tabel 1 dengan nilai awal T

( )

0 =416.667,

( )

* 0 44.5602

T = , VI

( )

0 =1069.44 dan

( )

0 0

NI

V = . (i).Ketika R0 =1.92

Kondisi R0=1.92 dipenuhi ketika 240

N = dan η =PI 0.2sehingga diperoleh

titik tetap F1=

(

1000, 0, 0, 0

)

dan

(

)

3 520.833, 40.7624, 782.639,195.66

F = .

Orbit kestabilannya diberikan pada Gambar 20 berikut.

Gambar 20 Orbit kestabilan di sekitar

(

T T V, *, I

)

ketika η =PI 0.2 dan 0 1.95

R = .

Dari Gambar 20 terlihat bahwa orbit menuju titik tetap F3 sehingga F3 stabil dengan bentuk kestabilan spiral. Selain itu, titik tetap F1 jauh dari bidang fase sehingga

1

F tidak stabil. (ii). Ketika R0 =1.68

Kondisi R0 =1.68 dipenuhi ketika 240

N= dan η =PI 0.3 sehingga diperoleh

titik tetap F1=

(

1000, 0, 0, 0

)

dan

(

)

3 595.238, 36.9426, 620.635, 265.986

F = .

Orbit kestabilannya diberikan pada Gambar 21 berikut

Gambar 21 Orbit kestabilan di sekitar Orbit kestabilan di sekitar

(

T T V, *, I

)

ketika η =PI 0.3 dan R0=1.68. Dari Gambar 21 terlihat bahwa orbit menuju titik tetap F3 sehingga F3 stabil dengan bentuk kestabilan spiral. Selain itu, titik tetap F1 jauh dari bidang fase sehingga

1


(41)

(iii).Ketika R0 =1.44

Kondisi R0=1.44 dipenuhi ketika 240

N = dan η =PI 0.4sehingga diperoleh

titik tetap F1=

(

1000, 0, 0, 0

)

dan

(

)

3 694.444, 30.4141, 437.963, 291.975

F = .

Orbit kestabilannya diberikan pada Gambar 22 berikut.

Gambar 22 Orbit kestabilan di sekitar

(

T T V, *, I

)

ketika η =PI 0.4 dan 0 1.44

R = .

Dari Gambar 22 terlihat bahwa orbit menuju titik tetap F3 sehingga F3 stabil dengan bentuk kestabilan spiral. Selain itu, titik tetap F1 jauh dari bidang fase sehingga

1

F tidak stabil.

Untuk nilai R0 >1 ini akan dianalisis tiga kondisi, yaitu ketika R0=1.92, R0=1.68 dan R0=1.44. Berikut ini akan diperlihatkan grafik perubahan dinamika populasi. Parameter yang digunakan dipilih dari Tabel 1 dengan nilai awal T

( )

0 =416.667,

( )

* 0 44.5602

T = , VI

( )

0 =1069.44 dan

( )

0 0

NI

V = .


(42)

Gambar 24 Dinamika populasi T, T*, VI dan VNI ketika η =PI 0.3 dan R0=1.68.


(1)

Sehingga diperoleh nilai eigen: 7 ?#$

7 3 ? 9G I G _6 9 8 ? . 9 . NN 6 ? }~-8

7 ?

Karena semua parameter tak negatif, maka 7 ` , 7 ` dan 7 ` , sehingga kestabilan di titik ini tergantung pada nilai eigen 7 . Agar titik tetap bersifat stabil maka 7 ` yang mana kondisi ini akan dipenuhi ketika : NN 6 ? }~-8 atau }~-: ?, $\

aa“.

Lampiran 19

Orbit Kestabilan Sistem Model Penyembuhan Sel Darah Putih untuk st` a. Ketika st t* w


(2)

53

c. Ketika st t* y

Lampiran 20


(3)

(4)

55

Lampiran 21


(5)

(6)