BATAS BERLAKUNYA HUKUM PIDANA MENURUT WAKTU 

Maksudnya “waktu menunggu” dalam pasal 34 KUHPerdata ialah untuk mencegah adanya keragu- raguan mengenal kedudukan sang anak, berhubung dengan kemungkinan bahwa seorang perempuan sedang mengandung setelah perkawinannya diputuskan. Jika dilahirkan anak setelah perkawinan yang berikutnya, maka menurut UU anak itu adalah anaknya suaminya yang terdahulu jika anak itu lahir sebelum liwat 300 hari setelah putusnya perkawinan teahulu. Ditetapkan waktu 300 hari ialah karena waktu itu dianggap sebagai waktu kandungan yang paling lama. Diatas telah dikemukakan beberapa metode penafsiran interpretasi, yang mana yang harus dipilih ? Peraturan umum mengenai pertanyaan metode interpretasi yang mana, dalam peristiwa konkrit yang mana, yang harus digunakan oleh hakim tidak ada. Pembentuk UU tidak memberi prioritas kepada salah satu metode dalam menemukan hukum. Hakim hanya akhirnya akan menjatuhkan pilihannya berdasarkan petimbangan metode manakah yang paling meyakinkan dan yang hasilnya paling memuaskan. Pemilihan mengenai metode interpretasi merupakan otonomi hakim dalam penemuan hukum. Motivasi pemilihan metode interpretasi itu tidak pernah kita jumpai dalam yurisprudensi : mengapa hakim memilih metode interpretasi yang ini dan bukan yang itu tidak pernah disebut dalam yurisprudensi. Di dalam putusan-putusannnya hakim tidak pernah menegaskan argumen atau alasan apakah yang menentukan untuk memilih metode tertentu. Metode interpretasi itu sering digunakan bersama-sama atau campur aduk. Dapatlah dikatakan bahwa dalam tiap interpretasi atau penjelasan UU terdapat unsur2 gramatikal, historis, sistematis dan teleologis.

BAB II RUANG LINGKUP BERLAKUNYA HUKUM PIDANA

 Hukum Pidana disusun dan dibentuk dengan maksud untuk diberlakukan dalam masyarakat agar dapat dipertahankan segala kepentingan hukum yang dilindungi dan terjaminnya kedamaian dan ketertiban.  Dalam hal diberlakukannya hukum pidana ini, dibatasi oleh hal yang sangat penting, yaitu : 1. Batas waktu diatur dlm buku pertama, Bab I pasal 1 KUHP 2. Batas tempat dan orang diatur dlm buku Pertama Bab I Pasal 2 – 9 KUHP

A. BATAS BERLAKUNYA HUKUM PIDANA MENURUT WAKTU 

Prinsipasas legalitas telah diperjuangkan sejak abad XVIII di Eropa Barat sebagai reaksi atas berlakunya hukum pidana zaman monarki absolut dengan menjalankan hukum pidana secara sewenang-wenang, sekehendak dan menurut kebutuhan Raja sendiri.  Ahli hukum yang memperjuangkan dan memperkenalkan asas legalitas ini yang terkenal adalah Montesquieu 1689-1755 dengan teori Trias Politicanya yang disempurnakan oleh Von Feurbach 1755-1833.  Trias Politica : 1. Kekuasaan legislatif atau membuat perundang-undangan yang dipegang leh parlemen. 2. Kekuasaan eksekutif yang menjalankan pemerintahan yang dipegang oleh pemerintah dan 3. Kekuasaan yudikatif atau kehakiman, yakni badan yang menjalankan hukum yang telah dibuat oleh parlemen. Badan kehakiman ini tidak bertugas menentukan tentang perbuatan apa yang dilarang dan diancam pidana, melainkan hanya semata-mata bertugas untuk memeriksa dan memutus apakah suatu perbuatan tertentu telah bertentangan dengan ketentuan undang- undang.  Dengan adanya ajaran Trias Politica itu, untuk memidana seseorang atas perbuatan yang dilakukannya, disyaratkan agar terlebih dulu harus ada ketentuan hukum yang menyatakan perbuatan itu sebagai dilarang dan dapat dipidana dibuat dulu aturan oleh legislatif.  Anselm Von Feuerbach Belanda melakukan upaya yang lebih konkret dalam memperkenalkan asas legalitas yang terkenal dengan ucapannya dalam bahasa latin dalam bukunya yang berjudul “Lehrbuch des peinlichen Recht”, 1801 yaitu “Nullum delictum nulla poena sina praevia lege” yang artinya tidak ada pidana tanpa adanya ketentuan hukum yang lebih dulu menentukan demikian. Ucapannya ini secara jelas mengandung pengertian sebagaimana yang dimaksud dengan asas legalitas  Selanjutnya menurut Anselm Von Feuerbach beliau mengajarkan bahwa untuk menjamin dan mempertahankan ketertiban masyarkat, pidana harus berfungsi menakut-nakuti orang-orang agar tidak berbuat jahat, dan agar orang takut berbuat jahat, terlebih dulu ia harus mengetahui tentang ancaman pidana terhadap perbuatan jahat tersebut.  Agar orang mengetahui perihal ancaman pidana itu, hal-hal yang dilarang beserta ancaman pidananya itu harus ditetapkan terlebih dulu dalam UU. 13 | P a g e  Asas legalitas yang juga dikenal dengan asas “asas nulla poena” pertamakali dimuat dalam pasal 8 “Declaration des droits de L’hommeet du Citoyen” 1789, semacam Undang-Undang Dasar yang pertama dibentuk pada masa revolusi Prancis, yang bunyinya “tidak ada sesuatu yang boleh dipidana selain karena suatu wet yang ditetapkan dalam undang-undang dan diundangkan secara sah Moeljatno, 1983 : 24. Kemudian asas ini dimuat dalam Pasal 4 Code Penal Prancis tahun 1810.  Ketika Belanda lepas dari pemerintahan Prancis tahun 1813, Code Penal ini tetap diberlakukan di Belanda sampai digantinya WvS Nederland 1881.  Code Penal 1810 ini berlaku 75 tahun di Belanda walaupun sifatnya sementara  Dalam WvS Nederland disusun tahun 1881 dan mulai berlaku tahun 1886 yang baru ini asas legalitas dari Code Penal Prancis itu masuk didalamnya Pasal 1 ayat 1.  Berdasarkan asas konkordansi WvS Nederland diberlakukan di Hindia Belanda pada 1 Januari 1918 menjadi Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie yakni kini KUHP, dimana juga asas legalitas ini tetap tercantum di dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP Indonesia.  Pasal 1 ayat 1 KUHP merumuskan “suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada terlebih dulu “Geen feit is strafbaar dan uit kracht van eene daaraan vooragegane wettelike strafbepaling.  Asas ini dalam bahasa latinnya adalah Nullum delictum nulla poena sine praevia legi poenali”.  Dalam ketentuan Pasal 1 ayat 1 KUHP tersebut, ada tiga pengertian dasar dalam asas legalitas itu yaitu : 1 Ketentuan hukum pidana itu harus ditetapkan lebih dahulu secara tertulis. 2 Dalam hal untuk menentukan suatu perbuatan apakah berupa tindak pidana ataukah bukan tidak boleh menggunakan penafsiran analogi. 3 Ketentuan hukum pidana tidak berlaku surut terugwerkend atau retroaktif.  Dari tiga pengertian dasar diatas, tampak betul bahwa asas legalitas ini berlatarbelakang pada kepastian hukum yang berkaitan dengan perlindungan yang lebih konkret terhadap hak- hak warga yang berhadapan dengan kekuasaan pemerintahan negara  Dengan asas legalitas terhindar dan dapat mencegah sewenang-wenangan penguasa dalam bidang peradilan pidana. Asas legalitas adalah ajaran kepastian hukum  Dapat disimpulkan hukum pidana harus tertulis, tidak boleh ada penafsiran analogi dan tidak boleh berlaku surut. 1 Hukum pidana harus tertulis :  Peraturan perundangan haruslah tertulis karena tertulis berarti harus ditetapkan terlebih dulu, baru kemudian diberlakukan.  Ketentuan pidana harus tertulis bukan saja dalam bentuk undang-undang, tetapi juga tertulis dalam bentuk peraturan-peraturan lainnya yang tingkatannya dibawah undang-undang.  Jadi, sumber hukum pidana itu bukan saja UU dalam arti formil tetapi juga dalam arti materiil termasuk peraturan pemerintah,peraturan daerah kabupaten atau kota, peraturan menteri, keputusan presiden dan lain sebagainya yang mengandung aspek hukum pidana. Kelemahan :  Hukum pidana yang harus dibuat tertulis mempunyai kelemahan yaitu hukum pidana kaku, tidak dapat dengan cepat mengikuti perkembangan masyarakat dan lagi pula banyak perbuatan-perbuatan dalam masyarakat yang patut dipidana seperti dalam hukum adat pidana yang masih hidup namun tidak dapat dijalankan karena tidak ada bandingannya dalam peraturan tertulis ini.  Untuk peran hukum adat sebagaimana tertuang dalam Pasal 5 ayat 3b UU No. 1 drt 1951 sangatlah penting. 2 Larangan Menggunakan Penafsiran Analogi Dalam Hukum Pidfana  Salah satu pekerjaan hakim adalah melakukan penafisran hukum, terutama terhadap norma tindak pidana dalam hukum tertulis ketika norma tersebut diterapkan dalam suatu peristiwa konkret tertentu.  Norma-orma hukum pidana mengenai rumusan tindak pidana ketika diterapkan pada kejadian atau peristiwa-peristiwa konkret tertentu tidak jarang memerlukan penafsiran  Hal ini dapat terjadi pada peristiwa tertentu yang tidak sama persis dengan apa yang dirumuskan dalam UU, mengenai salah satu atau beberapa unsur tindak pidananya.  Ada beberapa macam penafsiran yang telah dikenal dalam doktrin hukum pidana yaitu penafisran autentik, penafsiran gramatikal, penafsiran logis, penafsiran sistematis, penafisran 14 | P a g e historis, penafisran ekstensif, penafsiran a kontrario, penafsiran terbatas dan penafisran analogis.  Dari sekian penafsiran diatas penafsiran analogi oleh berbagai kalangan ahli hukum tidak boleh digunakan dalam hukum pidana, mengingat pasal 1 1 KUHP walaupun ada sebagian pakar hukum membolehkan seperti Tavarne, Pompe, Jonkers, di Indonesia Wirjono Prodjodikoro.  Alasan mengapa analogi dilarang dalam hukum pidana berpokok pangkal untuk menjamin kepastian hukum. Dirasakan sebagai penyerangan dan pelanggaran atas kepastian berlakunya hukum apabila analogi itu dipergunakan, sebagaimana dasar dibentuknya rumusan Pasal 1 1 KUHP ialah pada latar belakang kepastian hukum dalam rangka melindungi rakyat dari upaya kesewenang-wenangan penguasa melalui para hakim.  Akan tetapi, terlepas dari adanya kelemahan dari larangan menggunakan analogi, perluasan berlakunya hukum yang demikian ini mempunyai mamfaat dalam upaya mencapai keadilan, dimana menurut masyarakat sesuatu perbuatan yang tidak secara tepat dapat dipidana melalui aturan pidana tertentu, namun dengan menggunakan analogi bagi pelaku perbuatan itu menjadi dapat dipidana.  Diakui bahwa analogi mengurangi kepastian hukum dan dapat disalahgunakan oleh penguasa melalui para hakimnya atau oleh hakim yang tidak bijaksana, namun begitu analogi amat berguna dan dapat dipakai dalam hal untuk mengisi kekosongan dalam peraturan perundang-undangan.  Analogi adalah penafsiran terhadap suatu ketentuan hukum pidana dengan cara memperluas berlakunya aturan hukum tersebut dengan mengabstraksikan rasio ketentuan itu sedemikian rupa luasnya pada kejadian konkret tertentu sehingga kejadian yang sesungguhnya tidak masuk ke dalam ketentuan itu menjadi masuk ke dalam isi atau pengertian ketentuan hukum tersebut.  Dengan kata lain, analogi itu terjadi apabila suatu peraturan hukum menyebut dengan tegas suatu kejadian yang diatur, tetapi peraturan itu dipergunakan juga bagi kejadianperistiwa lain yang tidak termasuk dalam peraturan itu, ada banyak persamaannya dengan kejadian yang disebut tadi.  Contoh kasus : misalnya dari ketentuan pasal 365 2 sub 1 yang antara lain melarang melakukan pencurian dalam kereta api atau trem yang sedang berjalan, berlaku juga pada pencurian dalam sebuah bis yang sedang berjalan. Dalam hal ini bis dianalogikan dengan kereta api atau trem sehingga orang yang mencuri dalam sebuah bis yang sedang berjalan dapat pula diterapkan ketentuan hukum pidana menurut Pasal 365 2 sub 1 ini Wirjono Prodjodikoro.  Mengapa bis dianalogikan dengan trem, rasio larangan mencuri didalam trem yang sedang berjalan yang berlatar belakang pada larangan mencuri dalam kenderaan angkutan yang sedang berjalan pada dasarnya sama dengan rasio melarang mencuri dalam sebuah bis yang sedang berjalan karena kereta api, trem dan bis adalah sama, angkutan umum yang berjalan.  Mengapa tidak disebut bis dalam Pasal 365 ayat 2 sub 1 karena ketika KUHP WvS Belanda 1881 dibentuk, belum ada bis yang dipergunakan sebagai angkutan umum seperti keadaan sat ini. Jadi apa salahnya dengan analogi melarang pula mencuri dalam sebuah bis yang sedang berjalan.  Pengertian seperti ini sesuai dengan pengertian dari perbuatan mengambil sebagai unsur tingkah laku pada pencurian yaitu berupa benda-benda yang dapat diambil, artinya yang dapat dipidahkan kekuasaannya dalam arti yang sebenarnya. Mengambil dalam arti berbuat sesuatu dengan memindahkan kekuasaan atas sesuatu benda ke dalam kekuasaannya ke tangannya menurut akal pikiran orang pada umumnya hanyalah dapat dilakukan pada benda-benda berwjud dan bergerak saja. Aliranenergi dari sudut pandang demikian bukanlah benda. Akan tetapi, untuk menjangkau keadilan, Hoge Raad telah menggunakan analogi dengan memberi arti baru tentang benda, yakni berupa sesuatu bagian dari kekayaan manusia. Dengan dasar pengertian semacam itu, energi listrik dapat pula merupakan benda yang menjadi objek pencurian. Energi listrik adalah bagian kekayaan, karena mempunyai nilai ekonomis. Pemakaian energi itu harus membayar kepada perusahaan si pemilik energi. Dengan alasan seperti itu, maka dapat dimengerti bahwa kemudian pada sebagian ahli hukum memberi arti baru bahwa benda merupakan sesuatu yang bernilai ekonomis dan mempunyai nilai bagi manusia Satochid Kartanegara, 172.  Contoh lain : dalam sejarah praktik hukum, dengan menerapkan analogi yang terkenal dan banyak dimuat dalam berbagai literatur hukum, dalam arrest HR tanggal 23 Mei 1921 yang 15 | P a g e meganalogikan alirantenaga listrik itu dengan pengertian benda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 362 KUHP pencurian. Pengertian benda dalam kejahatan ini menurut keterangan dalam MvT mengenai pembentukan Pasal 310 WvS Belanda 362 KUHP kita terbatas pada benda- benda bergerak roerent goed dan benda-benda berwujud Stoffelijk goed. 3 Hukum pidana tidak berlaku surut  Pernyataan hukum pidana tidak berlaku surut, tepai berlaku ke depan dapat disimpulkan dari kalimat yang menyatakan “…..ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada” Pasal 1 ayat 1 KUHP  Yang artinya adalah ketika perbuatan itu dilakukan telah berlaku aturan hukum pidana yg melarang melakukan perbuatan tsb. Disini perlu ada kepastian hukum rechtszekerheid.  Pernyataan hukum pidana tidak berlaku surut, tetapi berlaku ke depan dapat disimpulkan dari kalimay yg menyatakan “…..ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada” Pasal 1 ayat 1 KUHP. Yang artinya adalah ketika perbuatan itu dilakukan telah berlaku aturan hukum pidana yang melarang melakukan perbuatan tsb. Disini perlu ada kepastian hukum rechtszekerheid.  Selanjutnya pada Pasal 1 ayat 2 KUHP berbunyi “bilamana ada perubahan dalam peraturan perUUan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yg paling menguntungkan”. Disini mengandung keadilan  Pasal 1 ayat 2 KUHP ini asas retroaktif adalah pengecualian pasal 1 ayat 1 KUHP asas legalitas. Disini terjadi hukum boleh diberlakukan surut hukum diberlakukan kebelakang  Ada 3 syarat diberlakukannya hukum berlaku ke belakangsurut menurut pasal 1 ayat 2 KUHP yaitu : 1 Harus ada perubahan perUUan mengenai suatu perbuatan, 2 Perubahan tersebut terjadi setelah perbuatan dilakukan, dan 3 Dimana peraturan yangg baru itu lebih menguntungkan atau meringankan bagi pelaku perbuatan itu.

B. BATAS BERLAKUNYA HUKUM PIDANA MENURUT TEMPAT DAN ORANG 