Hubungan Sebab Akibat (Kausalitas) Dalam Hukum Pidana Dan Penerapannya Dalam Praktek (Studi kasus pada Pengadilan Negeri Kabanjahe)

(1)

Abdul ajak Manik : Hubungan Sebab Akibat (Kausalitas) Dalam Hukum Pidana Dan Penerapannya Dalam Praktek (Studi kasus pada Pengadilan Negeri Kabanjahe), 2008.

USU Repository © 2009

i

HUBUNGAN SEBAB AKIBAT (KAUSALITAS) DALAM HUKUM PIDANA DAN PENERAPANNYA DALAM PRAKTEK

(Studi kasus pada Pengadilan Negeri Kabanjahe) S K R I P S I

Disusun Dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan

Oleh

ABDUL RAJAK MANIK NIM : 020200170 Jurusan : Hukum Pidana

Program Kekhususan : Hukum Pidana Disetujui Oleh :

Ketua Bagian

ABUL KHAIR SH, M.HUM NIP. 131 570 461

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

NURMALAWATY SH, M.HUM SYAFRUDDIN SH, MH, DFM

131 803 347 131 842 453

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

Abdul ajak Manik : Hubungan Sebab Akibat (Kausalitas) Dalam Hukum Pidana Dan Penerapannya Dalam Praktek (Studi kasus pada Pengadilan Negeri Kabanjahe), 2008.

USU Repository © 2009

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya ucapkan kepada Allah SWT berkat rahmat dan karunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi.

Skripsi ini berjudu l “HUBUNGAN SEBAB AKIBAT (KAUSALITAS) DALAM HUKUM PIDANAN DAN PENERAPANNYA DALAM PRAKTEK”.

Penulis menyadari bahwa dalam tulisan ini banyak hal-hal yang tidak dapat penulis telaah mendalam dan terperinci, karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman penulis sehingga tulisan ini masih jauh dari apa yang diharapkan.

Penulisan ini tidak terlepas dari bantuan dan pengarahan dari berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Abul Khair SH, M. HUM. selaku Ketua Jurusan Hukum Pidana. 2. Ibu Nurmalawaty SH, M.HUM. sebagai dosen pembimbing I untuk

bantuan dan bimbingan terhadap penulis.

3. Bapak Syafruddin SH, MH, DFM. sebagai dosen pembimbing II untuk bantuannya dan kebaikan terahadap penulis.

4. Seluruh dosen dan staf pengajar Fakultas Hukum yang telah memberikan bimbingan, didikan pada masa perkuliahan penulis.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah turut membantu penulis pada masa studi dan penyelesaian skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.


(3)

Abdul ajak Manik : Hubungan Sebab Akibat (Kausalitas) Dalam Hukum Pidana Dan Penerapannya Dalam Praktek (Studi kasus pada Pengadilan Negeri Kabanjahe), 2008.

USU Repository © 2009

iii

Dan tak lupa juga, penulis mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang telah memberikan bantuan-bantuan dan dukungan yang diberikan kepada penulis

Medan, Desember 2008 Penulis,


(4)

Abdul ajak Manik : Hubungan Sebab Akibat (Kausalitas) Dalam Hukum Pidana Dan Penerapannya Dalam Praktek (Studi kasus pada Pengadilan Negeri Kabanjahe), 2008.

USU Repository © 2009

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 3

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 4

D. Keaslian Penulisan ... 5

E. Tinjauan Pustaka ... 6

1. Pengertian hukum pidana ... 7

2. Pengetian tindak pidana... 8

3. Macam-macam ajaran kausalitas ... 9

4. Sebab akibat dalam delik formil dan materil ... 11

5. Ajaran sebab akibat dengan delik omisi ... 12

6. Pengertian kesalahan ... 13

7. Pengertian kesengajaan ... 17

F. Metode Penelitian ... 18

G. . Sistematika Penulisan ... 18 BAB II AJARAN KAUSALITAS DALAM UNDANG-UNDANG


(5)

Abdul ajak Manik : Hubungan Sebab Akibat (Kausalitas) Dalam Hukum Pidana Dan Penerapannya Dalam Praktek (Studi kasus pada Pengadilan Negeri Kabanjahe), 2008.

USU Repository © 2009

v

A. Ajaran Kausalitas Di Dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana ... 20 B. Hubungan Sebab Akibat, Bersifat Melawan Hukum

dan Kesalahan Dalam Tindak Pidana ... 26 BAB III AJARAN SEBAB AKIBAT DALAM PRAKTEK HUKUM PIDANA

A. Peranan Hakim Dalam Pengambilan Keputusan Dihubungkan Dengan Ajaran Sebab Akibat ... 46 B. Contoh-Contoh Kasus ... 50 BAB IV KASUS DAN ANALISIS

A. Posisi Kasus... 54 B. Analisa Kasus ... 63 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 68 B. Saran ... 70 DAFTAR PUSTAKA ... 72


(6)

Abdul ajak Manik : Hubungan Sebab Akibat (Kausalitas) Dalam Hukum Pidana Dan Penerapannya Dalam Praktek (Studi kasus pada Pengadilan Negeri Kabanjahe), 2008.

USU Repository © 2009

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ajaran kausalitas mempunyai sejarah panjang dalam dunia hukum. Meski sebelumnya ajaran kausalitas lebih populer dalam ranah ilmu pengetahuan alam dan filsafat, kepopuleran kausalitas merentang dalam lintas disiplin ilmu terutama ilmu hukum. Berbeda dengan ilmu alam yang melihat kausalitas secara umum, hukum melihat hubungan kausalitas dari segi partikularistik. Hukum berkonsentrasi kepada apakah A mengakibatkan terjadinya kebakaran terhadap B, dan bukan apakah A mengakibatkan kebakaran saja. Dalam ilmu ekonomi dan hukum perdata, ajaran kausalitas dipergunakan dalam membahas limitasi pertanggungjawaban atas kejahatan yang mengandung ketidakpastian kausal (causal uncertainty). Contoh, sebuah perusahaan minyak yang menjalankan produksinya di sekitar pemukiman masyarakat yang berangsur-angsur meninggalkan kediamannya dengan kompensasi. Beberapa tahun kemudian, masyarakat mengidap berbagai macam penyakit yang menyebabkan meninggal dunia. Setelah diselidiki, ternyata penyebab penyakit adalah polusi dari perusahaan tersebut yang tidak melaksanakan standar baku yang ditetapkan.

Ketidakpastian kausal tesebut terjadi lantaran akibat yang ditimbulkan oleh perusahaan tersebut tidak serta merta nampak setelah perbuatan dilakukan tetapi akibatnya baru dapat diidentifikasi beberapa waktu lamanya. Dalam konteks ini, terdapat justifikasi ekonomi untuk membatasi pertanggungjawaban pelaku


(7)

Abdul ajak Manik : Hubungan Sebab Akibat (Kausalitas) Dalam Hukum Pidana Dan Penerapannya Dalam Praktek (Studi kasus pada Pengadilan Negeri Kabanjahe), 2008.

USU Repository © 2009

vii

atas kerusakan yang timbul. Penentuan pertanggungjawaban hukum (perdata) didasarkan kepada pembagian probabilitas yang dinilai berpotensi menyebabkan akibat. Sedangkan kausal yang pasti (certain causal) lebih mudah diidentifikasi karena akibatnya muncul setelah perbuatan dilakukan. Bentuk sederhana ini mengikuti kausalitas ilmu pengetahuan alam yang digambarkan A menyebabkan B; terjadinya A menyebabkan terjadinya B.

Uraian di atas merupakan sebagian dari doktrin hubungan kausalitas yang telah berlaku lama dalam hukum perdata (tort law). Doktrin tersebut diadaptasi dalam hukum pidana yang menggunakan ajaran kausalitas dalam menentukan keterkaitan antara perbuatan dan akibat1

Apabila diteliti hakekat dari penyebab-penyebab tersebut, akan ternyata bahwa penyebab-penyebab itu pada suatu saat dapat berupa suatau perbuatan tertentu, pada saat yang lain berupa kehendak , suatu keadaan, suatu dorongan dan

.

Sebelum hukum pidana mengenal ajaran kausalitas (abad 19), masyarakat memandang bahwa melukai sebagai satu-satunya sebab matinya orang. Kemudian muncul pendapat yang lebih kritis yang mengatakan tidak semua tindakan melukai orang dapat mengakibatkan kematian tetapi harus dilihat dahulu apakah luka tersebut menurut sifatnya dapat mengakibatkan matinya orang.

Tidak disangkal lagi, bahwa suatu kejadian atau peristiwa selalu ada penyebabnya. Apabila ditelusuri penyebab-penyebabnya dari suatu kejadian, dengan menjadikan penyebab yang terdekat (kepada kejadian) menjadi “kejadian” yang harus dicari lagi penyebabnya maka tidakakan ada habis-habisnya.

1


(8)

Abdul ajak Manik : Hubungan Sebab Akibat (Kausalitas) Dalam Hukum Pidana Dan Penerapannya Dalam Praktek (Studi kasus pada Pengadilan Negeri Kabanjahe), 2008.

USU Repository © 2009

lain sebagainya. Pencarian penyebab tidak terbatas untuk semua kejadian/ peristiwa2

Menjadi pemikiran apakah pengertian sebab-akibat tersebut dalam Pasal 187 (3) dan Pasal 194 (2) sama pula artinya dengan sebab-akibat yang

.

B. Perumusan Masalah

Dalam pandangan common law yang mayoritas menganut monistis, ajaran kausalitas berjalin kelindan dengan prinsip pertanggungjawaban pidana. Kendati literatur common law mengakui ajaran kausalitas terdiri dari perbuatan, akibat dan kesalahan (pertanggungjawaban pidana), pembahasan kausalitas lebih cenderung menitikberatkan pertanggungjawaban pidana secara tidak seimbang dengan perbuatan dan akibatnya. Ketidakseimbangan ini terjadi lantaran atribusi pertanggungjawaban dalam kerangka kausalitas lebih sulit dibandingkan tentang perbuatan.

Pembuat undang-undang tidak merumuskan sesuatu ketentuan dalam KUHP mengenai sebab akibat. Tetapi dalam beberapa pasal tertentu dalam Undang-Undang Hukum Pidana, dirumuskan kelakuan-kelakuan (gedragingen) tertentu yang merupakan “sebab” (oorzak, causa) dari suatu akibat tertentu. Misalnya dalam pasal 187 ke-3 KUHP disebutkan : kebakaran, peledakan, pembanjiran; pada pasal 194 (2) KUHP dicantumkan : membahayakan jalan kereta api yang digunakan untuk lalu linatas umum, yang merupakan sebab, dan kemudian menimbulkan akibat, berupa matinya orang dan sebagainya.

2

E.Y. Kanter dan S. R Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya,Storia Grafika, Jakarta 2002, h. 121.


(9)

Abdul ajak Manik : Hubungan Sebab Akibat (Kausalitas) Dalam Hukum Pidana Dan Penerapannya Dalam Praktek (Studi kasus pada Pengadilan Negeri Kabanjahe), 2008.

USU Repository © 2009

ix

dicantumkan dalam Pasal 338 dan 351 (3) KUHP, yaitu kelakuan yang berakibat yang sama, yaitu matinya orang lain. Adakah pengaruh jarak waktu antara seba-akibat yang terdapat dalam Pasal 187 (3) yang relatif lebih jauh, diperbandingkan dengan yang tersiran dalam Pasal 338? Menjadi bahan pemikiran pula perumusan sebab yang berbeda pada Pasal 187 ke-2 dan Pasal 351 (2) KUHP akan tetapi menimbulkan akibat yang sama pula, dalam hal ini baru mengakibatkan lukanya/berbahayanya jiwa orang lain. Akan tetapi mengapa ancaman pada Pasal 351 (2) lebih ringan?

Misalkan P menjotos A dan B dengan jotosan yang sama beratnya masing-masing bagian tubuh yang sama pula. Misalkan ternyata akibatnya berbeda, yaitu matinya A, sedangkan B hanya luka. Apabila karena matinya A, P dituntut melanggar Pasal 351 (3) dan karena lukanya B dituntut melanggar Pasal 351 (2), apakah akibat tersebut yang menjadi ukuran? Bukankah penyebabnya adalah benar-benar sama ditinjau dari sudut jotosan P? kemudian yang menjadi permasalahan juga, mengenai kapankah mulai sebab itu terjadi, dan bilamanakah suatu akibat berakhir dalam arti suatu tindakan?

Maka dari uraian di atas, yang menjadi permasalahan adalah :

1. Bagaimanakah hubungan kausal antara sebab dan akibat tersebut di dalam suatu tindak pidana?

2. Bagaimana ajaran kausalitas di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana? 3. Bagaimana penerapan ajaran kausalitas dalam praktek hukum pidana?


(10)

Abdul ajak Manik : Hubungan Sebab Akibat (Kausalitas) Dalam Hukum Pidana Dan Penerapannya Dalam Praktek (Studi kasus pada Pengadilan Negeri Kabanjahe), 2008.

USU Repository © 2009

Skripsi yang berjudul “Ajaran Kausalitas Dalam Hukum Pidana Dan Penerapannya Dalam Praktek” ini memiliki tujuan dan manfaat penulisan sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui hubungan dan menentukan hubungan kausal sebab dan akibat yang berarti menentukan ada tidaknya telah terjadi suatu tindak pidana.

2. Untuk mengetahui bagaimanakah ajaran kausalitas di dalam Perundang-Undangan maupun diluar Perundang-Perundang-Undangan.

3. Untuk mengetahui penerapan ajaran kausalitas dalam praktek hukum. Selanjutnya, penulisan skripsi ini juga diharapkan bermanfaat untuk: 1. Manfaat secara teoritis.

Penulis berharap kirannya penulisan skripsi ini bermanfaat untuk dapat memberikan masukan sekaligus menambah khasanah ilmu pengetahuan dan literatur dalam dunia akademis, khususnya tentang hal-hal yang berkaitan dengan hubungan sebab akibat (kausalitas) dalam hukum pidana dan penerapannya dalam praktek.

2. Manfaat secara praktis.

Secara praktis penulis berharap agar penulisan skripsi ini dapat memberi pengetahuan tentang bagaimana hubungan sebab akibat (kausalitas) dalam hukum pidana dan perapannya dalam praktek.

D. Keaslian Penulisan


(11)

Abdul ajak Manik : Hubungan Sebab Akibat (Kausalitas) Dalam Hukum Pidana Dan Penerapannya Dalam Praktek (Studi kasus pada Pengadilan Negeri Kabanjahe), 2008.

USU Repository © 2009

xi

Penerapannya Dalam Praktek”, yang diangkat menjadi judu l skripsi ini belum pernah ditulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah murni hasil pemikiran dari penulis yang dikaitkan dengan teori-teori hukum yang berlaku maupun dengan doktrin-doktrin yang ada melalui refrensi buku-buku, media elektronik dan bantuan dari berbagai pihak, dalam rangka melengkapi tugas akhir dan memenuhi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera utara, dan apabila ternyata di kemudian hari terdapat judul dan permasalahan yang sama, maka penulis akan bertanggung jawab sepenuhnya terhadap skripsi ini.

E. Tinjauan Kepustakaan

Setiap penulisan karya tulis ilmiah tentunya memerlukan suatu studi kepustakaan atau sering disebut dengan istilah tinjauan kepustakaan. Pada tahapan ini peneliti mencari landasan teoritis dari permasalahan penelitiannya sehingga penelitian yang dilakukan bukanlah aktifitas yang bersifat “trial and error”. 1. Pengertian Hukum Pidana

Hukum pidana dapat didefinisikan sebagai : aturan hukum yang mengaitkan kepada suatu perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu suatu akibat yang berupa pidana (defenisi dari Mezger)3

3

Zainal. A. Abidin, Hukum Pidana, Penerbit Prapanca, Jakarta, 1982 h. 9

. Jadi yang dasarnya hukum pidana berpokok kepada 2 hal, yaitu :


(12)

Abdul ajak Manik : Hubungan Sebab Akibat (Kausalitas) Dalam Hukum Pidana Dan Penerapannya Dalam Praktek (Studi kasus pada Pengadilan Negeri Kabanjahe), 2008.

USU Repository © 2009

2. Pidana.

Disamping definisi tersebut diatas dapat dikemukakan definisi beberapa penulis seperti dibawah ini4

a. Keseluruhan larangan atau perintah yang oleh negara diancam dengan nestapa yaitu suatu “pidana” apabila tidak ditaati.

. Simons :

b. Keseluruhan peraturan yang menetapkan syarat-syarat untuk penjatuhan pidana.

c. Keseluruhan ketentuan yang memberikan dasar untuk penjatuhan dan penerapan pidana.

Apeldoorn 5

b. bagian subjektif merupakan kesalahan yang menunjuk kepada pelaku untuk mempertanggungjawabkan menurut hukum.

:

Hukum pidana dibedakan dan diberi arti :

1. Hukum pidana materiil yang menunjuk kepada perbuatan pidana dan yang oleh perbuatan itu dapat dipidana, dimana perbuatan itu mempunyai dua bagian, yaitu :

a. bagian objektif merupakan suatu perbuatan atau sikap yang bertentangan dengan hukum positif, sehingga bersifat melawan hukum yang menyebabkan tuntutan hukum dengan ancaman pidana atas pelanggarannya.

4

Ibid, h. 9.

5

Martiman Prodjohamidjojo, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1997, h. 5


(13)

Abdul ajak Manik : Hubungan Sebab Akibat (Kausalitas) Dalam Hukum Pidana Dan Penerapannya Dalam Praktek (Studi kasus pada Pengadilan Negeri Kabanjahe), 2008.

USU Repository © 2009

xiii

2. Hukum pidana formil yang mengatur cara bagaimana hukum pidana materiil dapat ditegakkan.

2. Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu “strafbaar feit”, tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit6

dari istilah strafbaar feit, yaitu

. Karena itu para ahli hukum berusaha untuk

memberikan arti dan isi dari istilah itu.

Istilah-istilah yang pernah digunakan baik dalam perundang-undangan yang ada maupun yang ada dalam berbagai literatur hukum sebagai terjemahan

7

a. Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana yang didefinisikan sebagai Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.

:

b. Pompe merumuskan bahwa strafbaar feit adalah tindakan yang menurut sesuatu rumusan undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum.

c. Vos merumuskan bahwa strafbaar feit adalah suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan. d. R. Tresna menggunakan istilah peristiwa pidana yaitu suatu

6

P.A.f. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Penerbit PT Citra Aditya Bandung, h. 76.

7

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Penerbit PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, h. 71-72


(14)

Abdul ajak Manik : Hubungan Sebab Akibat (Kausalitas) Dalam Hukum Pidana Dan Penerapannya Dalam Praktek (Studi kasus pada Pengadilan Negeri Kabanjahe), 2008.

USU Repository © 2009

perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan perundang-undangan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman.

3. Macam-macam Ajaran Kausalitas

Ada beberapa ajaran kausalitas yang dapat dikelompokkan kedalam 3 teori besar, yaitu8

Teori yang mengindividualisir, ialah teori yang dalam usahanya mencari faktor penyebab dari timbulnya suatu akibat dengan hanya melihat faktor-faktor yang ada atau terdapat pada suatu perbuatan dilakukan, dengan kata lain setelah peristiwa itu beserta akibatnya benar-benar terjadi secara konkrit (post factum). Menurut teori ini setelah peristiwa terjadi, maka di antara sekian rangkaian faktor

:

1. Teori Conditio sine qua non

Menurut teori ini tidak membedakan mana faktor syarat dan mana faktor penyebab, segala sesuatu yang masih berkaitan dalam suatu peristiwa sehingga melahirkan suatu akibat adalah termasuk menjadi penyebabnya. Teori ini disebut juga dengan teori ekivakensi (aquivekenz-theorie) atau

bedingungtheorie. Disebut dengan teori ekivalensi, oleh karena ajaran ini menilai

semua faktor adalah sama pentingnya terhadap timbulnya suatu akibat. Disebut dengan bedingungstheorie oleh karena dalam ajaran ini tidak membedakan antara faktor syarat (bedingung) dan mana faktor penyebab (causa).

2. Teori –teori yang Mengindividualisir

8

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta 2002, h, 217-222.


(15)

Abdul ajak Manik : Hubungan Sebab Akibat (Kausalitas) Dalam Hukum Pidana Dan Penerapannya Dalam Praktek (Studi kasus pada Pengadilan Negeri Kabanjahe), 2008.

USU Repository © 2009

xv

yang terkait dalam peristiwa itu, tidak semuanya merupakan faktor penyebab. Faktor penyebab itu adalah hanya berupa faktor yang paling berperan atau dominan atau mempunyai andil yang paling kuat terhadap timbulnya suatu akibat, sedangkan faktor lain adalah dinilai sebagai faktor syarat saja bukan faktor penyebab.

3. Teori-teori yang menggeneralisir

Teori yang menggeneralisir adalah teori yang dalam mencari sebab (causa) dari rangkaian faktor yang berpengaruh atau berhubungan dengan timbulnya akibat adalah melihat dan menilai pada faktor mana yang secara wajar dan menurut akal serta pengalaman pada umumnya dapat menimbulkan suatu akibat. Jadi mencari faktor penyebab dan menilainya tidak berdasarkan pada faktor setelah peristiwa terjadi beserta akibatnya, tetapi pada pengalaman pada umumnya menurut akal dan kewajaran manusia atau disebut secara

abstracto, tidak secara inconcreto.

Mengenai teori ini dikenal beberapa teori yang berbeda : a. Teori Adequat Subjektif

Teori adequat subjektif dipelopori oleh J. Von Krie, yang menyatakan bahwafaktor penyebab adalah faktor yang menurut kejadian yang normal adalah

adequat (sebanding) atau layak dengan akibat yang timbul, yang faktor mana

deketahui atau disadari oleh sipembuat sebagai adequat untuk menimbulkan akibat tersebut. Jadi teori ini faktor subjektif atau sikap batin sebelum sipembuat berbuat adalah amat penting dalam menentukan adanya hubungan kausal, sikap batin mana berupa pengetahuan (sadar) bahwa perbuatan yang akan dilakukan itu


(16)

Abdul ajak Manik : Hubungan Sebab Akibat (Kausalitas) Dalam Hukum Pidana Dan Penerapannya Dalam Praktek (Studi kasus pada Pengadilan Negeri Kabanjahe), 2008.

USU Repository © 2009

adalah adequat untuk menimbulkan akibat yang timbul, dan kelayakan ini harus didasarkan pada pengalaman manusia pada umumnya.

b. Teori Adequat Objektif

Pada ajaran objektif ini, tidak memperhatikan sikap batin sipembuat bebelum berbuat, akan tetapi faktor-faktor yang ada setelah (post factum) peristiwa senyatanya beserta akibat yang terjadi, yang dapat dipikirkan secara akal (objektif) faktor-faktor itu dapat menimbulkan akibat. Tentang bagaimana alam pikiran/sikap batin si pembuat sebelum ia berbuat tidaklah penting, melainkan bagaimana kenyataan objektif setelah peristiwa terjadi beserta akibatnya, apakah faktor tersebut menurut akal dapat dipikirkan untuk menimbulkan akibat.

4. Sebab Akibat Dalam Delik Material dan Formil

Dari pembagian jenis-jenis delik, diperbedakan antara delik formil dan delik material. Delik formil ialah delik yang dianggap telah sempurna (voltooid), asal saja seseorang telah melakukan tindakan yang dilarang atau tidak melakukan yang diharuskan dan mencocoki unsur-unsur dari pasal undang-undang hukum pidana. Dalam hubungannya dengan penyelesaian delik formil, kriterianya adalah pada perbuatan yang dilarang tersebut. Apabila perbuatan terlarang tersebut selesai dilakukan, maka selesai pulalah tindak pidana, tanpa melihat atau bergantung pada akibat dari perbuatan itu. Contohnya pencurian pada Pasal 362, apabila perbuatan mengambil selesai, maka pencurian itu selesai.

Delik material adalah delik yang baru dianggap sempurna (voltooid) jika sudah nyata menimbulkan akibat tertentu disebut akibat terlarang. Terwujudnya tindak pidana material secara sempurna diperlukan 3 syarat yang esensial, yaitu :


(17)

Abdul ajak Manik : Hubungan Sebab Akibat (Kausalitas) Dalam Hukum Pidana Dan Penerapannya Dalam Praktek (Studi kasus pada Pengadilan Negeri Kabanjahe), 2008.

USU Repository © 2009

xvii

1. terwujudnya tingkah laku;

2. terwujudnya akibat (akibat konstitutif atau constitutief gervolg);

3. ada hubungan kausal (causal verband) antara terwujudnya tingkah laku dengan akibat konstitutif.

5. Ajaran Sebab Akibat dengan Delik Omisi

Dilihat dari macam unsur tingkah lakunya, tindak pidana dibedakan anatara tindak pidana aktif atau tindak pidana positif (tindak pidana comissi) dan tindak pidana pasif atau tindak pidana negatif (tindak pidana omisi). Tindak pidana omisi adalah tindak pidana yang terwujudnya oleh sebab perbuatan pasif atau tidak berbuat aktif, tidak berbuat mana melanggar suatu kewajiban hukum (rechtsplicht) untuk berbuat sesuatu.

Van Hamel mengatakan, bahwa seseorang yang tidak berbuat dapat dianggap sebagai sebab dari suatu akibat, jika memang ia mempunyai kewajiban hukum untuk berbuat. Istilah kewajiban hukum ditafsirkan sebagai kewajiban yang bersumber kepada hukum dan yang timbul karena jabatan, pekerjaan dan juga keputusan-keputusan yang menjadi kesadaran dalam masyarakat9

1) Merusak hak subjektif seseorang menurut undang-undang.

. Perbuatan yang bertentangan dengan hukum ditafsirkan sebagai :

2) Melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban (hukum) pelaku menurut undang-undang.

3) Melakukan sesuatu yang bertentangan dengan undang-undang.

9


(18)

Abdul ajak Manik : Hubungan Sebab Akibat (Kausalitas) Dalam Hukum Pidana Dan Penerapannya Dalam Praktek (Studi kasus pada Pengadilan Negeri Kabanjahe), 2008.

USU Repository © 2009

4) Melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kepatutan dalam masyarakat.

6. Pengertian Kesalahan (schuld)

Mengenai pengertian kesalahan dalam hukum pidana, telah banyak diteorikan orang. Mereka telah mambahas pengertian kesalahan dengan berbagai cara dan menempatkan kesalahan sebagai salah satu unsur dari tindak pidana (Simon) tetapi ada juga yang menempatkannya sebagai unsur pertanggungan jawab pidana (Roeslan Saleh, Moeljatno)10

10

Ibid, h. 160

. Tentang “kesalahan” ini, terutama dalam hubungannya dengan pemidanaan sangat penting, karena telah umum dianut suatu adigum (yang semula berasal dari pasal 44 KUHP) yang berbunyi : “Tidak ada pemidanaan tanpa adanya kesalahan”. Dalam bahasa asing disebut :

“Geen straf zonder schuld” (Belanda), atau An act does not constitue itself guilt unless the mind is guilty (Inggris).

Beberapa pembahasa para sarjana pada garis besarnya adalah sebagai berikut :

a. Pendapat Simon

Simon secara panjang lebar membahas pengertian kesalahan. Beliau berpendapat bahwa, sudah sekian banyak pembahasan tentang hal ini, tetapi sampai kini, tentang isi dari pengertian kesalahan itu masih tetap berbeda dan tidak pasti. Dikatakan selanjutnya bahwa sebagai dasar dari dari pertanggungan-jawab adalah kesalahan yang terdapat pada jiwa pelaku dan hubungannya (kesalahan itu) dengan kelakuannya yang dapat dipidana, dan berdasarkan


(19)

Abdul ajak Manik : Hubungan Sebab Akibat (Kausalitas) Dalam Hukum Pidana Dan Penerapannya Dalam Praktek (Studi kasus pada Pengadilan Negeri Kabanjahe), 2008.

USU Repository © 2009

xix

kejiwaannya itu pelaku dapat dicela karena kelakuan itu.

Sehubungan dengan uraian tersebut beliau mengatakan bahwa untuk mengatakan adanya kesalahan pada pelaku, harus dicapai dan ditentukan terlebih dahulu beberapa hal yang menyangkut pelaku yaitu :

1) Kemampuan bertanggung jawab (toerekenings-Vatbaarheid)

2) Hubungan kejiwaan (Pcichologische betrekking) antara pelaku, kelakuan dan akibat yang ditimbulkan (termasuk kelakuan yang tidak bertentangan dengan hukum dalam kehidupan sehari-hari)

3) Dolus atau culpa

Menurut beliau kesalahan adalah merupakan unsur subjektif dari tindak pidana.

b. Pendapat Noyon

Noyon mengatakan bahwa untuk masalah, “kesalahan” sebaiknya dibahas mengenai, hal yang berhubungan dengan penerapan (toepassing) hukum positif. Bukan tentang hakekat yang sebenarnya dari kesalahan itu. Diakuinya adanya ketidak pastian tentang sejauh mana ciri-ciri dari kesalahan berlaku dalam hukum positif. Dikemukakan bahwa umumnya ciri-ciri dari kesalahan yang berhubungan dengan hukum positif adalah :

1) Bahwa pelaku mengetahui atau harus dapat mengetahui hakekat dari kelakuannya dan keadaan yang bersamaan dengan kelakuan itu. (sepanjang keadaan-keadaan itu ada hubungannya).


(20)

Abdul ajak Manik : Hubungan Sebab Akibat (Kausalitas) Dalam Hukum Pidana Dan Penerapannya Dalam Praktek (Studi kasus pada Pengadilan Negeri Kabanjahe), 2008.

USU Repository © 2009

2) Bahwa pelaku mengetahui atau patut harus menduga bahwa kelakuannya itu bertentangan dengan hukum (onrechtmatig).

3) Bahwa kelakuan itu dilakukan, bukan karena pengaruh dari sesuatu keadaan jiwa yang tidak normal (Pasal 44 KUHP).

4) Bahwa kelakuan itu dilakukan, bukan karena pengaruh dari sesuatu keadaan darurat/terpaksa.

Atau dengan perkataan lain, ada terdapat kesalahan pada pelaku, jika 4 ciri-ciri tersebut ada padanya. Tetapi diutarakan juga bahwa tidak selamanya kesalahan itu dalam arti selengkapnya, harus menjadi unsur dari suatu tindak pidana.

c. Pendapat Pompe

Pompe dalam pembahasannya mengenai kesalahan, mengatakan bahwa dilihat dari kehendak, kesalahan itu merupakan bagian dari kehendak pelaku, sedangkan sifat melawan hukum (weder-rechttelijkheid), merupakan bagian dari luar padanya. Artinya, kesalahan merupakan bagian kelakuan yang bertentangan dengan hukum yang seharusnya dapat dihindari (vermijdbare wederrechtelijke

gedraging), yaitu penggangguan ketertiban hukum yang seharusnya dapat

dihindarkan. Sedangkan sifat melawan hukum, merupakan kelakuan yang bertentangan dengan hukum, untuk kelakuan mana yang dicela.

Sejalan dengan kelanjutan pembahasan Pompe, Schreuder mengatakan bahwa untuk pengertian kesalahan menurut hukum pidana, menuntut adanya 3 ciri-ciri atau unsur-unsur yaitu :


(21)

Abdul ajak Manik : Hubungan Sebab Akibat (Kausalitas) Dalam Hukum Pidana Dan Penerapannya Dalam Praktek (Studi kasus pada Pengadilan Negeri Kabanjahe), 2008.

USU Repository © 2009

xxi

2) Dolus atau culpa.

3) Kemampuan bertanggung jawa pelaku.

Jika ketiga unsur ini terdapat barulah dapat mengatakan adanya “kesalahan-pidana”. Jadi bukan sekedar norma-norma hukum yang dilanggar, seperti misalnya yang terdapat dalam hukum perdata, yang untuk itu terdapat kesalahan yurudis (yuridise-schuld). Kerena untuk pelanggaran hukum perdata, ia tidak akan dicela sesuai dengan pengertian yang terdapat dalam norma hukum pidana.

Dalam penentuan kesalahan pidana, tidak dipersoalkan tentang norma-norma kesusialaan (ethische normen). Walaupun pembuat undang-undang harus menghormati norma kesusilaan, tetapi ia berhak membuat peraturan yang wajib ditaati oleh setiap orang, walaupun akan bertentangan dengan kata hatinya. Misalnya peraturan-peraturan yang mewajibkan para tuna susila untuk melakukan operasinya di tempat-tempat yang telah ditentukan; kewajiban masuk ABRI; kewajiban melakukan perintah dinas dan lain sebagainya.

d. Pendapat Roeslan Saleh

Roeslan saleh yang berkesesuaian pendapatnya dengan Moeljatno mengatakan antara lain : “Perbuatan pidana dan pertanggungan jawab dalam pidana tidaklah hanya sekedar berhubungan dengan soal “strafbaar feit” belaka. Perbuatan pidana dan pertanggungan jawab pidana merupakan dua pengertian dasar hukum pidana11

11

Roeslan Saleh, , Perbuatan Pidana dan Pertanggungan Jawab Pidana, Penerbit Aksara Baru, Jakarta, 1981, h. 115.


(22)

Abdul ajak Manik : Hubungan Sebab Akibat (Kausalitas) Dalam Hukum Pidana Dan Penerapannya Dalam Praktek (Studi kasus pada Pengadilan Negeri Kabanjahe), 2008.

USU Repository © 2009

Dilihat dari segi masyarakat, menunjukkan pandangan yang normatif mengenai kesalahan. Seperti diketahui mengenai kesalahan ini dulu orang berpandangan psychologisch. Demikian misalnya pandangan dari pembentuk Wvs. Tetapi kemudian pandangan ini ditinggalkan orang dan kemudian orang berpandangan normatif. Ada atau tidaknya kesalahan tidaklah ditentukan bagaimana dalam keadaan senyatanya batin dari pada terdakwa, tetapi bergantung pada bagaimanakah penilaian hukum mengenai keadaan batinnya itu, apakah dinilai ada ataukah tidak ada kesalahannya. Kemudian dapat disimpulkan bahwa kesalahan itu mempunyai unsur-unsur yaitu :

1) Kemampuan bertanggung jawab.

2) Kesengajaan atau kealpaan (sebagai bentuk kesalahan, dan sebagai penilai dari hubungan batin dengan perbuatan pelaku).

3) Tidak adanya alasan pemaaf.

7. Pengertian Kesengajaan (dolus)

Kesengajaan (dolus) adalah merupakan bagian dari kesalahan (schuld). Kesengajaan pelaku mempunyai hubungan kejiwaan yang lebih erat terhadap siatu tindakan (terlarang/keharusan) dibandingkan dengan culpa. Karenanya ancaman pada suatu delik jauh lebih berat, apabila dilakukan dengan sengaja, dibandingkan dengan apabila dilakukan dengan kealpaan. Bahkan ada beberapa tindakan tertentu, jika dilakukan dengan kealpaan, tidak merupakan suatu tindak pidana, yang pada hal jika dilakukan dengan sengaja, ia merupakan suatu kejahatan


(23)

Abdul ajak Manik : Hubungan Sebab Akibat (Kausalitas) Dalam Hukum Pidana Dan Penerapannya Dalam Praktek (Studi kasus pada Pengadilan Negeri Kabanjahe), 2008.

USU Repository © 2009

xxiii

seperti misalnya penggelapan (Pasal 372 KUHP), merusak barang-barang (Pasal 406) dan lain sebagainya.

F. METODE PENELITAN

Penelitian dalam skripsi ini merupakan penelitian hukum normatif. Penelitian dilakukan dengan mempelajari berbagai literature dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi ini.

Data yang dipergunakan dalam skripsi ini adalah data skunder. Pengumpulan data dilakukan dengan penelitian kepustakaan (Library Research). Data yang diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif untuk menjawab permasalahan dalam skripsi ini.

G. SISTEMATIKA PENULISAN

Gambaran isi dari tulisan ini diuraikan secara sitematis dalam bentuk tahapan-tahapan atan bab-bab yang masalahnya diuraikan secara tersendiri, tetapi antara satu dengan lainnya mempunyai keterkaitan (komprehensif).

Berdasarkan sistematika penulisan yang baku, penulisan skripsi ini dibagi dalam 5 (lima) bab, yaitu :

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini merupakan pendahuluan skripsi yang berisi latar belakang pemilihan judul, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan,metode penulisan, dan gambaran isi.


(24)

Abdul ajak Manik : Hubungan Sebab Akibat (Kausalitas) Dalam Hukum Pidana Dan Penerapannya Dalam Praktek (Studi kasus pada Pengadilan Negeri Kabanjahe), 2008.

USU Repository © 2009

BAB II : AJARAN SEBAB AKIBAT DALAM UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA

Didalam bab ini dijelaskan tentang ajaran kausalitas (hubungan sebab akibat) dalam perundang-undangan undangan.

BAB III : AJARAN SEBAB AKIBAT DALAM PRAKTEK HUKUM PIDANA

Di dalam bab ini dijelaskan peranan dan penerapan ajaran kausalitas dalam praktek hukum pidana.

BAB IV : ANALISA KASUS

Didalam bab ini dijelaskan mengenai kasus analisa kasus yang termasuk dalam tindak pidana yang dihubungkan dengan ajaran kausalitas (sebab akibat).

BAB V : PENUTUP

Bab terakhir ini akan memberikan kesimpulan dari seluruh analisis dan pembahasan dan saran yang dapat diberikan oleh penulis.


(25)

Abdul ajak Manik : Hubungan Sebab Akibat (Kausalitas) Dalam Hukum Pidana Dan Penerapannya Dalam Praktek (Studi kasus pada Pengadilan Negeri Kabanjahe), 2008.

USU Repository © 2009

xxv

BAB II

AJARAN SEBAB AKIBAT DALAM UNDANG-UNDANG

A. Ajaran Sebab Akibat Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia

Pengertian perbuatan dalam kehidupan sehari-hari yang hanya mencakup gerak-gerik yang kita lakukan, perbuatan dalam pengertian hukum pidana memiliki arti yang lebih luas dan sekaligus lebih sempit. Dikatakan lebih luas karena dilihat dari perspektif hukum pidana, syarat yang dibutuhkan bagi terjadinya perbuatan dalam hukum pidana tidak hanya terbatas pada gerak-gerik tubuh sebagaimana dipahami dalam pengertian perbuatan sehari-hari melainkan juga meliputi perbuatan aktif (komisi) dan perbuatan pasif (omisi). Dikatakan lebih sempit karena “tidak semua tindakan (kelakuan) memiliki makna dalam hukum pidana”. Bagi Hukum pidana, perbuatan dinilai memiliki makna manakala perbuatan tersebut memenuhi unsur adanya kelakuan dan akibat yang timbul dari kelakuan. Ahli hukum pidana mengartikan kelakuan sebagai gerakan tubuh yang dikehendaki. Lebih lanjut pandangan ini menyatakan, perbuatan memiliki dua aspek, aspek publik dan aspek privat. Aspek publik meliputi perbuatan yang mengandung gerakan tubuh (bodily movement). Sedangkan aspek privat meliputi mental yang terkandung dalam perbuatan.

Dalam menentukan hubungan kausal antara perbuatan dan akibat yang ditimbulkan. Hukum pidana menggunakan ukuran atau kriteria tertentu untuk menentukan hubungan kausal antara perbuatan akibat yang ditimbulkan.


(26)

Abdul ajak Manik : Hubungan Sebab Akibat (Kausalitas) Dalam Hukum Pidana Dan Penerapannya Dalam Praktek (Studi kasus pada Pengadilan Negeri Kabanjahe), 2008.

USU Repository © 2009

Moeljatno berpendapat bahwa penentuan hubungan kausal harus didasarkan kepada semua hal ikhwal keadaan yang terkandung dalam hubungan kausal. Di satu sisi, hubungan kausal harus mempertimbangkan perbuatan dan alat yang digunakan sebelum terjadinya akibat. Di sisi lain, keadaan korban yang secara obyektif turut mempengaruhi terjadinya kausalitas, keadaan mana hanya dapat ditentukan setelah akibatnya terjadi12

12

Data diakses da

.

Seseorang hanya dapat dipersalahkan apabila telah melakukan perbuatan pidana, jika perbuatan itu telah diatur dalam undang-undang serta memenuhi unsur-unsur yang dirumuskan dalam undang-undang tersebut. Perumusan delik dalam undang-undang mempunyai dua elemen, yakni :

a. Elemen objektif, yaitu perbuatannya sendiri.

Elemen objektif ialah melawan hukum. Elemen objektif menunjukkan pada perbuatan yang dapat dihukum, merupakan suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum positif dan dapat menimbulkan akibat yang dilarang oleh hukum dengan ancaman pidana. Unsur yang diperlukan dari perbuatan yang dapat dihukum dilihat dari elemen objektif ialah melawan hukum. Bila tidak ada unsur melawan hukum, maka delik tidak ada.

b. Elemen Subjektif, yaitu manusia yang berbuat.

Elemen subjektif dari suatu perbuatan yang dapat dipidana ialah kesalahan yang mana kesalahan ini menyatakan bahwa akibat yang ditimbulkan oleh pelaku dan yang tidak dikehendaki oleh undang-undang dapat dipertanggungjawabkan kepadanya.


(27)

Abdul ajak Manik : Hubungan Sebab Akibat (Kausalitas) Dalam Hukum Pidana Dan Penerapannya Dalam Praktek (Studi kasus pada Pengadilan Negeri Kabanjahe), 2008.

USU Repository © 2009

xxvii

Dalam undang-undang hukum pidana, sebab akibat dirumuskan antara lain sebagai berikut :

a. Penyebab dirumuskan secara jelas. Yaitu berupa suatu kelakuan yang dilarang atau diharuskan.

Dalam beberapa pasal KUHP ditentukan kelakuan/tindakan yang dilarang atau diharuskan yang merupakan penyebab (causa) dari suatu akibat tertentu. Perumusan penyebab tersebut antara lain adalah : dengan sengaja minimbulkan kebakaran, ledakan atau banjir (Pasal 187 ayat3), dengan sengaja minimbulkan bahaya bagi lalulintas umum yang digerakkan oleh tenaga uap atau mesin lainnya dijalan kereta api atau trem (Pasal 194 ayat 2) dan penganiayaan (Pasal 351 ayat 3). Kelakuan/tindakan tersebut adalah merupakan sebab (causa, oorzaak) dari kelakuan seseorang. Untuk pemenuhan unsur-unsur dari delik-deliktersebut, tidak disyaratkan lagi mencari sebab dari kelakuan/tindakan tersebut lebih jauh kedepan. Dan pula tidak diperlukan untuk mencari atau mengungkapkan akibat lebih jauh kebelakang dari yang telah ditentukan. Apa sebabnya pelaku melakukan penganiayaan misalnya, atau apakah akibat kematian seorang ayah yang harus mencari makan untuk anak-anaknya yang masih kecil-kecil, tidak disyaratkan dalam rangka pembuktiantelah terjadi atau tidaknya suatu delik yang dilarang dalam pasal tersebut. Kalau tokh diungkapkan penyebab-penyebab yang lebih jauh ke depan, pengungkapan tersebut lebih berfungsi sebagai motif dan


(28)

Abdul ajak Manik : Hubungan Sebab Akibat (Kausalitas) Dalam Hukum Pidana Dan Penerapannya Dalam Praktek (Studi kasus pada Pengadilan Negeri Kabanjahe), 2008.

USU Repository © 2009

alasan yang turut berpengaruh untuk memastikan tingkat kesalahan (shculd) dari pelaku.

b. Suatu akibat dirumuskan secara jelas, yaitu suatu kenyataan yang ditimbulkan oleh seuatu penyebab (causa).

Sehubungan dengan uraian tersebut , maka luka atau matinya seseorang yang dirumuskan dalam Pasal-Pasal 183 (3), 194 (2), 351 (3) dan sebagainya itu, adalah merupakan akibat yang dirumuskan secara jelas. Apabila dalam hal ini diungkapkan juga misalnya bahwa akibat dari matinya seorang ayah, telah sangat terlantar anak-anaknya yang ditinggal mati, maka pengungkapan tersebut lebih berfungsi sebagai keadaan yang memberatkan (penuntutan/penjatuhan) pidana.

c. Dapat disimpulkan bahwa sebab dan akibat itu sebagai dirumuskan sekaligus. Kalau diperhatikan perumusan Pasal 338 KUHP, yaitu . “dengan sengaja merampas nyawa orang lain”, atau Pasal 351 (1) KUHP yang berbunyi : “penganiayaan”, tidak jelas yang mana berupa sebab dan yang mana berupa akibat. Padahal kejahatan-kejahatan yang ditentukan dalam pasal-pasa tersebut termasuk delik material yang mensyaratkan adanya akibat. Bagaimana cara pemecahannya? Hanya jika perumusan tersebut diuraikan, barulah dapat terlihat bahwa di dalamnya telah tersimpul adanya sebab akibat.

Pasal 338 KUHP dengan demikian harus diuraikan sehingga berbunyi : “dengan sengaja melakukan tindakan, tindakan mana ditujukan untuk mengakibatkan matinya orang lain dan akibat itu dikehendaki oleh pelaku”. Uraian Pasal 351 (1) menjadi : “dengan sengaja melakukan suatu tindakan,


(29)

Abdul ajak Manik : Hubungan Sebab Akibat (Kausalitas) Dalam Hukum Pidana Dan Penerapannya Dalam Praktek (Studi kasus pada Pengadilan Negeri Kabanjahe), 2008.

USU Repository © 2009

xxix

tindakan mana ditujukan untuk mengakibatkan sakitnya/lukanya orang lain dan akibat itu dikehendaki oleh pelaku”. Setelah diadakan penguraian, batu jelas terlihat bahwa “tindakan” itu adalah merupakan sebab, sedangkan akibatnya berturut-turut adalah matinya dan sakitnya/lukanya seseorang lain. d. Sebab (causa) dirumuskan berupa suatu tindakan tertentu, tanpa mensyaratkan

telah timbul akibatnya.

Dari Pasal 122 (2) KUHP yang berbunyi : “dalam masa perang dengan sengaja melanggar aturan yang dikeluarkan atau diumumkan oleh pemerintah guna keselamatan negara”, dapat disimpulkan bahwa pelanggaran yang dilakuakan adalah suatu tindakan yang merupakan sebab (causa) dan yang akan menimbulkan suatu akibat yaitu terganggu keamanan negara.

Jika seseorang melanggar “jam malam”, maka pelanggaran itu adalah merupakan sebab, dan akan terganggu keamanan negara sebenarnya belum merupakan akibat. Setelah terganggu keamanan negara, bagaimanapun kecilnya, barulah dapat dikatakan telah timbul akibat. Dalam pasal ini, tidak disyaratkan apakah telah terjadi gangguan keamana negara, tetapi delik sudah dipandang sempurna (voltooid) terjadi.

e. Akibat dirumuskan berupa suatu kenyataan tertentu, tanpa menentukan suatu kelakuan/tindakan tertentu sebagai sebabnya.

Sebaliknya Pasal 359 dan 360 KUHP hanya merumuskan akibat yang terjadi, sedangkan sebabnya tidak ditentukan. Akibatnya adalah luka/matinya seseorang. Hubungan akibat dengan suatu sesuatu tindakan yang tidak ditentukan itu adalah kealpaan. Dengan perkataan lain hanya akibat saja yang


(30)

Abdul ajak Manik : Hubungan Sebab Akibat (Kausalitas) Dalam Hukum Pidana Dan Penerapannya Dalam Praktek (Studi kasus pada Pengadilan Negeri Kabanjahe), 2008.

USU Repository © 2009

ditentukan, sedangkan penyebabnya boleh terjadi sesuatu bentuk tindakan yang berada dalam “pengaruh” kealpaan pelaku.

f. Perumusan sebab dan akibat, dapat disimpukan sebagai tidak diperlukan, dalam rangka telah terjadi atau tidaknya suatu delik.

Dalam delik formal pada umumnya, tidak dipermasalahkan ada/tidaknya suatu sebab dan akibat untuk menentukan telah terjadinya suatu delik. Pelaku yang mencuri kuda-andong disebabkan kebutuhannya pada uang untuk merawat keluarganya yang menderita sakit, dan kusir (yang dirugikan) yang untuk waktu tertentu tidak bisa lagi mencari nafkah sehari-hari sebagai akibat dari hilangnya kudanya, tidak menjadi persoalan dalam hal penentuan telah terjadinya tindak pidana pencurian (Pasal 362 KUHP). Demikian pula pemberontak yang telah memberontak kepada pemerintah dengan sengaja, tidak dipersoalkan apa sebabnya ia memberontak dan apakah telah banyak orang yang gugur sebagai akibat pemberontakan itu (Pasal 108 ayat ke-1 KUHP). Kalau tokh diungkapkan “apa sebabnya” ia mencuri, maka yang diungkapkan itu adalah motif untuk mempertegas (pembentukan) unsur kesalahan pelaku. Pengungkapan dalam hal ini bermaksud untuk menentukan “keadaan-keadaan” yang dapat dijadikan sebagai hal-hal yang meringankan atau memberatkan pidana.

g. Perumusan sebab-akibat “tercakup” dalam jiwa pelaku yang berbentuk “pendorong” (sebab) dan kenyataan/peristiwa yang dikehendaki (akibat).


(31)

Abdul ajak Manik : Hubungan Sebab Akibat (Kausalitas) Dalam Hukum Pidana Dan Penerapannya Dalam Praktek (Studi kasus pada Pengadilan Negeri Kabanjahe), 2008.

USU Repository © 2009

xxxi

B. Hubungan Sebab Akibat, Bersifat Melawan Hukum Dan Kesalahan Dalam Tindak Pidana

1. Melawan Hukum

a. Istilah melawan hukum dan melawan undang-undang

Perbedaan pengertian hukum dan undang-undang, berakibat harus memperbedakan pengertian dari “bersifat melawan hukum” terhadap “bersifat melawan undang-undang”. Bersifat melawan undang-undang, berarti bertentangan dengan undang-undang, atau tidak sesuai dengan larangan/keharusan yang ditentukan dalam undang-undang, atau menyerang suatu kepentingan yang dilindungi oleh undang-undang. Bersifat melawan hukum, berarti bertentangan dengan hukum, atau tidak sesuai dengan larangan atau keharusan hukum, atau menyerang suatu kepentingan yang dilindungi oleh huku m. Dalam hal ini yang dimaksud dengan hukum adalah hukum positif (yang berlaku).

Arrest HR tanggal 31 desember 1919 tentang Pasal 1365 BW, mengenai pengertian dari “tindakan yang tidak sesuai dengan hukum” (onrechtmatige

daad) yaitu merusak hak subjektif seseorang menurut undang-undang ;

melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban (hukum) pelaku menurut undang-undang; melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kesusilaan; dan melakukan sesuatu yang bertantangan dengan kepatutan dalam masyarakat, diikuti oleh banyak sarjana. Dalam hal ini Pompe


(32)

Abdul ajak Manik : Hubungan Sebab Akibat (Kausalitas) Dalam Hukum Pidana Dan Penerapannya Dalam Praktek (Studi kasus pada Pengadilan Negeri Kabanjahe), 2008.

USU Repository © 2009

mempersamakan “tindakan yang tidak sesuai dengan hukum” dengan “bersifat melawan hukum”.

Simon mengatakan, sebagai pengertian dari bersifat melawan hukum adalah bertentangan dengan hukum pada umumnya. Tetapi dalam hubungan sifat melawan hukum sebagai salah satu unsur delik, beliau mengatakan agar berpegangan kepada norma delik sebagaimana yang dirumuskan dalam undang-undang hukum pidana. Jika ada perselisihan mengenai ada tidaknya sifat melawan hukum dari suatu tindakan, hakim tetap terikat pada perumusan undang-undang. Artinya yang harus dibuktikan hanyalah yang dengan tegas dirumuskan dalam undang-undang dalam rangka usaha pembuktian.

b. Bersifat melawan hukum sebagai unsur delik

Dalam sistem perundang-undangan hukum pidana yang berlaku sekarang, bersifat melawan hukum (dari suatu tindakan) tidak dicantumkan sebagai salah satu unsur delik. Akibatnya timbul persoalan, apakah bersifat melawan hukum, harus selalu dianggap sebagai salah satu unsur delik, walaupun tidak dirimuskan secara tegas, ataukah baru dipandang sebagai unsur dari suatu delik, jika dengan tegas dirumuskan dalam delik? Pasal-Pasal KUHP yang dengan tegas mencantumkan bersifat melawan hukum antara lain adalah Pasal-Pasal 167, 168, 333, 335, 362, 368, 378, 406, dan sebagainya.

Secara formal atau secara perumusan undang-undang, suatu tindakan adalah bersifat melwan hukum, apabila seseorang melanggar suatu ketentuan undang-undang, karena bertentangan dengan undang-undang. Dengan


(33)

Abdul ajak Manik : Hubungan Sebab Akibat (Kausalitas) Dalam Hukum Pidana Dan Penerapannya Dalam Praktek (Studi kasus pada Pengadilan Negeri Kabanjahe), 2008.

USU Repository © 2009

xxxiii

perkataan lain semua tindakan yang bertentangan dengan undang-undang, atau suatu tindadakan yang telah memenuhi perumusan delik dalam undang-undang, baik sifat melawan hukum itu dirumuskan atau tidak, dalah tindakan-tindakan bersifat melawan hukum. Sifat melawan hukum itu hanya akan hilang atau ditiadakan, jika ada dasar-dasar peniadaannya ditentukan dalam undang-undang.

Para sarjana yang menganut pandangan formal mengenai sifat melawan hukum dalam hubungannya dengan perumusan suatu delik, apabila bersifat melawan hukum tidak dirumuskan dalam suatu delik, tidak perlu lagi diselidiki tentang bersifat melawan hukum itu. Karena dengan sendirinya seluruh tindakan itu sudah bersifat melawan hukum. Sedangkan jika bersifat melawan hukum dicantumkan dalam rumusan delik, maka bersifat melawan hukum itu harus diselidiki. Dalam rangka penuntutan/mengadili harus terbukti bersifat melawan hukum tersebut. Justru dicantumkannya bersifat melawan hukum tersebut dalam delik, menghendaki penelitian apakah tindakan itu bersifat melawan hukum atau tidak.

Sebaliknya para sarjana yang berpandangan material tentang bersifat melawan hukum, mengatakan bahwa bersifat melawan hukum, selalu dianggap ada dalam setiap delik, walaupun tidak dengan tegas dirumuskan. Penganut teori ini mengemukakan bahwa pengertian dari hukum yang merupakan salah satu kata yang terdapat dalam bersifat melawan hukum, tidak hanya didasarkan pada undang-undang saja, tetapi kepada yang lebih luas lagi, yaitu asas-asas umum yang berlaku sebagai hukum. Dengan perkataan lain


(34)

Abdul ajak Manik : Hubungan Sebab Akibat (Kausalitas) Dalam Hukum Pidana Dan Penerapannya Dalam Praktek (Studi kasus pada Pengadilan Negeri Kabanjahe), 2008.

USU Repository © 2009

bersifat melawan hukum berarti harus dapat dirasakan sebagai tidak boleh terjadi, bertentangan dengan kepatutan yang terdapat dalam masyarakat, atau tidak terjadi dalam rangka pengayoman hukum dan perwujudan cita-cita masyarakat.

Seseorang dari ekspedisi penyelidikan telah menembak salah seorang rekannya yang terluka parah atas permintaan rekannya tersebut. Hal tersebut dilakukan karena tidak mungkin ada pertolongan pengobatan, tanpa mana tidak mungkin lagi ia sembuh, dan demi menghindarkan penderitaan yang berlarut-larut dari rekannya tersebut. Tindakan tersebut sudah memenuhi unsur-unsur Pasal 344 KHUP. Apakah tindakan terseut juga bersifat melawan hukum? Menurut penganut ajaran bersifat melawan hukum material, dalam hal-hal seperti tersebut tindakan itu tidak bersifat melawan hukum, walaupun telah memenuhi unsur dari suatu delik. Hal itu dikatakan tidak sebagai bersifat melawan hukum, karena tindakan tersebut tidak bertentangan dengan suatu kepatutan dalam masyarakat.

Menanggapi pandangan tersebut, Pompe mengemukakan pandangannya. Bahwa bersifat melawan hukum selalu merupakan salah satu unsur dari suatu delik adalah terlalu jauh. Hal itu terutama didasarkan pada sistematika atau metode yang dianut oleh undang-undang, yang dalam beberapa delik ditentukan sebagai unsur, sedangkan dalam delik lainnya tidak. Beliau sejalan dengan pandangan yang formal dalam hal bersifat melawan hukum tidak dirumuskan sebagai unsur delik, dan sejalan dengan yang berpadangan material dalam hal sifat melawan hukum dicantumkan sebagai unsur delik.


(35)

Abdul ajak Manik : Hubungan Sebab Akibat (Kausalitas) Dalam Hukum Pidana Dan Penerapannya Dalam Praktek (Studi kasus pada Pengadilan Negeri Kabanjahe), 2008.

USU Repository © 2009

xxxv

Menurut beliau, ketentuan-ketentuan yang kurang memuaskan sehubungan dengan sifat melawan hukum hamper selalu ditanggulangi dengan “dasar peniadaan bersifat melawan hukum” yang ditentukan dalam Pasal 48 KUHP (dengan menggunakan penafsiran secara luas ataupun analogi)

Seterusnya dikatakan adanya beberapa pasal dengan istilah yang berbeda, menunjukkan adanya bersifat melawan hukum terkandaung di dalamnya, jika diinterpretasikan secara teologis. Sehingga sekiranya bersifat melawan hukum itu tidak ada, dapat diselesaikan diluar hukum pidana; seperti terdapat dalam Pasal-Pasal; 302 KUHP (tanpa tujuan yang wajar), 290 KUHP (tindakan asusila), 282 KHP (melanggar kesusilaan). Beliau mengatakan bahwa pembuat undang-undang telah merumuskan sedemikian itu, yaitu pada umumnya delik-delik itu adalah selalu bersifat melawan hukum. Jika ternyata demikian maka tersangka dapat membela diri dengan Pasal 48 sampai dengan Pasal 51 KUHP. Pada beberapa delik dirumuskan secara tegas unsur bersifat melawan hukum, karena dikhawatirkan jika seseorang menjalankan hak atau kewajibannya akan dipidana, karena telah memenuhi unsur-unsur delik tersebut yang apabila bersifat melawan hukum tidak secara tegas dicantumkan sebagai unsurnya.

Metode pembuatan undang-undang berpijak kepada tujuan tertentu (doelmatigheid). Karenanya dipermudah penerapan hukum dalam kejadian-kejadian yang konkrit. Dan juga karena bukti-bukti yang harus diajukan kepada hakim terbatas.


(36)

Abdul ajak Manik : Hubungan Sebab Akibat (Kausalitas) Dalam Hukum Pidana Dan Penerapannya Dalam Praktek (Studi kasus pada Pengadilan Negeri Kabanjahe), 2008.

USU Repository © 2009

1) Penganut bersifat melawan hukum formal

Penganut bersifat melawan hukum yang formal mengatakan, bahwa setiap pelanggaran delik sudah dengan sendirinya terdapat sifat melawan hukum dari tindakan pelanggaran tersebut. Dengan demikian dalam hal delik tidak dengan tegas menyatakan bersifat melawan hukum sebagai unsur, sudah dengan sendirinya bersifat melawan hukum ada, dan tidak perlu lagi dibuktikan. Tetapi jika dengan tegas dicantumkan bersifat melawan hukum sebagai unsur delik maka harus dibuktikan adanya bersifat melawan hukum itu. Pendirian ini dihubungkan dengan sejarah pencantuman bersifat melawan hukum sebagai unsur delik. Yaitu dikhawatirkan, jika bersifat melawan hukum tidak disebut sebagai unsur delik, maka seseorang yang benar-benar menjalankan hak/kewajibannya akan dapat dianggap telah melakukan suatu delik tertentu. Untuk menguatkan pendirian tersebut, beberapa contoh diberikan sebagai berikut :

a. Kasus penganiayaan (Pasal 351 KUHP)

Jika A memukul B, dan B mendapat luka karenanya, maka A telah melanggar delik penganiayaan tersebut Pasa 351 ayat 1 KUHP. Tidak perlu diselidiki lagi, apakah pemukulan itu bersifat melawan hukum atau tidak. Pemukulan itu sudah dengan sendirinya bersifat melawan hukum karena telah memenuhi perumusan delik dalam undang-undang.

b.Kasus melanggar kesusilaan (Pasal 281 KUHP)

C berada dalam keadaan telanjang bulat di tempat umum. Dalam hal ini C telah melakukan delik Pasa 281 KUHP. Tindakan itu dengan sendirinya sudah


(37)

Abdul ajak Manik : Hubungan Sebab Akibat (Kausalitas) Dalam Hukum Pidana Dan Penerapannya Dalam Praktek (Studi kasus pada Pengadilan Negeri Kabanjahe), 2008.

USU Repository © 2009

xxxvii

bersifat melawan hukum, karena memenuhi perumusan pasal tersebut. Tidak perlu lagi diselidiki apakah tindakan itu bersifat melawan hukum atau tidak.

c. Kasus memasuki rumah dengan paksa (Pasal 167 KUHP)

Seandainya dalam Pasal 167 KUHP tidak dinyatakan dengan unsur bersifat melawan hukum, maka seseorang pegawai penyidik atau jaksa memaksa memasuki rumah untuk menjalankan tugasnya, dapat dipersalahkan melanggar Pasal 167 KUHP. Justru dengan adanya unsur bersifat melawan hukum pada pasal tersebut, maka harus dibuktikan apakah pegawai tersebut benar-benar sedang melakukan tugasnya atau tidak. Dalam hal ia benar menjalankan tugasnya, maka tindakannya memasuki rumah tersebut dengan paksa tidak bersifat melawan hukum, tetapi jika tidak dalam rangka pelaksanaan tugas, maka tindakannya itu adalah bersifat melawan hukum.

d.Kasus perampasan kemerdekaan (Pasal 333 KUHP)

Dalam Pasal 333 KUHP, jika bersifat melawan hukum tidak dicantumkan, maka pegawai penyidik/jaksa yang menangkap dan menahan seseorang penjahat, sudah dapat dituntut atas dasar Pasal 333 KUHP, karena tindakannya tersebut.

Alasan-alasan yang diberikan oleh penganut bersifat melawan hukum formal dalam pendiriannya yaitu : Dari adigum “setiap orang mengetahui undang-undang” (een ieder wordt geacht de wet te kennen), maka tidak perlu lagi dicari, apakah tindakan seseorang itu sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat atau tidak. Kemudian apabila dianut pendirian bersifat melawan hukum material, maka setiap orang dapat membela diri dengan mengatakan


(38)

Abdul ajak Manik : Hubungan Sebab Akibat (Kausalitas) Dalam Hukum Pidana Dan Penerapannya Dalam Praktek (Studi kasus pada Pengadilan Negeri Kabanjahe), 2008.

USU Repository © 2009

bahwa ia tidak mengetahui perbuatan itu dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang. Berarti hakim harus membuktikan sifat terlarang dari perbuatan tersebut, dan harus dapat menginsyafkan kepada terdakwa bahwa perbuatan itu adalah terlarang. Akibatnya, ada kemungkinan hakim akan melepaskan (ontslag van rechts vervolging) terdakwa, yang berarti berlakunya KUHP diperlunak karenanya. Atau kemungkinan hakim akan menciptakan undang-undang atau mengadakan penafsiran sendiri yang tidak terlepas dari pengaruh subjektifitasnya, sehingga akan terdapat bermacam-macam penafsiran yang berbeda-beda yang akan mengakibatkan ketidak pastian hukum.

2) Penganut bersifat melawan hukum material

Para penganut bersifat melawan hukum yang material mengatakan bahwa pada setiap delik dianggap ada unsur bersifat melawan hukum dan harus dibuktikan. Tetapi sehubungan dengan pembuktian, jika bersifat melawan hukum dicantumkan dengan tegas sebagai unsur delik, atau bersifat melawan hukum tidak dinyatakan dengan tegas akan timbul keragu-raguan apakah menurut masyarakat tindakan itu bersifat melawan hukum, maka dalam dua hal tersebut harus ada usaha pembuktian.

Penganut bersifat melawan hukum material memberikan alasan-alasan, bahwa delik itu tidak hanya mempersoalkan tindakan-tindakan yang terlarang saja, tetapi juga mempersoalkan, apakah pelaku dapat dicela karena melakukan suatu tindakan yang tercela. Pelaku harus dapat dipersalahkan


(39)

Abdul ajak Manik : Hubungan Sebab Akibat (Kausalitas) Dalam Hukum Pidana Dan Penerapannya Dalam Praktek (Studi kasus pada Pengadilan Negeri Kabanjahe), 2008.

USU Repository © 2009

xxxix

karena ia tidak menghindari melakukan tindakan yang tercela, yang bersifat melawan hukum. Penyamaan arti bersifat melawan hukum dengan tindakan yang tidak sesuai dengan hukum harus disandarkan dengan paham kemasyarakatan, yaitu kepatutan yang harus diindahkan dalam pergaulan masyarakat.

Hakim adalah juga merupakan sumber hukum. Dalam praktek, suatu putusan hakim jika diikuti oleh hakim-hakim yang lainnya dalam perkara/persoalan yang sama berfungsi sebagai hukum juga. Sehubungan dengan peranan hakim sebagai sumber hukum, bahwa hakim wajib mengikuti perkembangan kesadaran masyarakat. Hakim tidak boleh menolak untuk memberikan putusan terhadap suatu perkara dengan alasan tidak terang hukumnya.

d. Peniadaan sifat melawan hukum

Dalam undang-undang hukum pidana diadakan ketentuan-ketentuan yang meniadakan sifat melawan hukum dari suatu tindakan. Ketentuan tersebut adalah :

1. Mengenai orang cacad atau sakit jiwa/ingatan

Seseorang yang jiwanya cacad pertumbuhannya atau terganggu oleh penyakit, jika melakukan suatu tindak pidana, dalam keadaan seperti itu, dihapuskan pemidanaan kepadanya. Berarti dapat disimpulkan bahwa disamping kesalahannya ditiadakan, juga sifat melawan hukum ditiadakan.


(40)

Abdul ajak Manik : Hubungan Sebab Akibat (Kausalitas) Dalam Hukum Pidana Dan Penerapannya Dalam Praktek (Studi kasus pada Pengadilan Negeri Kabanjahe), 2008.

USU Repository © 2009

2. Seseorang yang melakukan tindakan karena terpaksa

Dari Pasal 48 KUHP, setelah diinterpretasikan secara luas, seseorang telah memilih untuk melakukan salah satu tindakan dari :

a. dua atau lebih kewajiban hukum yang bertentangan

b. dua atau lebih kepentingan hukum yang bertentangan, atau c. kewajiban hukum dan kepentingan hukum yang bertentangan Berarti ia tidak melakuakan tindakan yang lainnya, dalam hal ini yang diutamakannya adalah yang lebih penting. Maka terhadap tindakan untuk tidak melakukan yang lainnya itu, dapat disimpulkan sebagai tidak bersifat melawan hukum atau bersifat melawan hukumnya ditiadakan.

3. Seseorang yang melakukan perlawanan-terpaksa 4. Seseorang yang melakukan ketentuan undang-undang 5. Seseorang yang melakukan perintah jabatan

6. Seseorang yang membunuh musuh

Dalam undang-undang pidana lainnya, seperti misalnya Pasal 32 KUHP Militer, seorang militer yang membunuh dalam pertempuran sesuai dengan ketentuan Internasional, tidak bersifat melawan hukum

atau bersifat melawan hukumnya ditiadakan. 7. Seseorang yang menolak jadi saksi.

2. Kesalahan (Schuld)


(41)

Abdul ajak Manik : Hubungan Sebab Akibat (Kausalitas) Dalam Hukum Pidana Dan Penerapannya Dalam Praktek (Studi kasus pada Pengadilan Negeri Kabanjahe), 2008.

USU Repository © 2009

xli

perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatannya memenuhi delik dalam undang-undangdan tidak dibenarkan (an objective breach of penal provision), namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat, bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjetive guilt). Dengan perkataan lain, orang tersebut harus dapat dipertanggung jawabkan atas atau jika dilihat dari sudut perbuatannya, perbuatannya baru dapat dipertanggungkan kepada orang tersebut.

Disini berlaku apa yang disebut asas “Tiada pidana tanpa kesalahan” (Keine strafe ohne Schuld atau Geen straf zonder schuld atau Nulla poena sine

culpa). Asa ini tidak tercantum dalam KUHP Indonesia atau dalam peraturan lain,

numun berlakunya asas tersebut tidak diragukan. Akan bertentangan dengan rasa keadilan, apa bila ada orang yang dijatuhi pidana padahal ia sama sekali tidak bersalah. Pasal 6 ayat 2 Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman (UU No 24 Tahun 2004) berbunyi : “Tiada seorang juapun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan, karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan, bahwa seorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya. Bahwa unsur kesalahan itu, sangat menentukan akibat dari perbuatan seseorang, dapat dikenal juga dari pepatah jawa “sing salah, seleh” (yang bersalah pasti salah).

Untuk adanya pemidanaan harus ada kesalahan pada sipembuat. Asas tiada pidana tanpa kesalahan yang telah disebutkan mempunyai sejarah sendiri. Dalam ilmu hukum pidana dapat dilihat pertumbuhan hukum pidana yang menitik


(42)

Abdul ajak Manik : Hubungan Sebab Akibat (Kausalitas) Dalam Hukum Pidana Dan Penerapannya Dalam Praktek (Studi kasus pada Pengadilan Negeri Kabanjahe), 2008.

USU Repository © 2009

beratkan kepada perbuatan orang beserta akibatnya (Tatstrafrecht atau

Erfolgstrafrecht) kearah hukum pidana yang berpijak pada orang yang melakukan

tindak pidana (taterstrafrecht),tanpa meninggalkan sama sekali sifat dari

Taterstrafrecht. Dengan demikian hukum pidana yang dewasa ini dapat disebut

sebagai “Tat-Taterstrafrecht”, ialah hukum pidana yang berpijak pada perbuatan maupun orangnya. Hukum pidana dewasa ini dapat pula disebut sebagai

Schuldstrafrecht, artinya bahwa untuk penjatuhan pidana disyaratkan adanya

kesalahan sipembuat. Ternyata bahwa asas kesalahan itu pada masa dahulu tidak diakui secara umum. Pidana dijatuhkan hanya melihat kepada perbuatan yang merugikan atau yang tidak dikehendaki, tanpa memperhatikan sikap batin sipembuat. Kemudian keadaan ini berubah, sehingga pertanggungan jawab seseorang atas perbuatannya didasarkan pula atas sikap batin orang yang berupa kesalahan.

Peranan unsur kesalahan sebagai syarat untuk penjatuhan pidana di negara-negara Anglo Saxon tampak dengan adanya maxim (asas) “Actus non facit

reum, nisi mens sit rea” atau diingkat asas “mens rea”. Arti aslinya adalah “evil mind” atau “evil will” atau “guilty mind”. Mens rea merupakan subhective guilt

yang melekat pada sipembuat. Subjective guilt ini berupa intent (kesengajaan) atau setidak-tidaknya negligence (keapaan). Di Uni Soviet, dalam Fundamental of

criminal Legislation for the U.S.S.R and the Union Republics (yang disetujui oleh

Soviet Tertinggi tanggal 25 Desember 1958) tercantum dalam Pasal 3 : “Only a

person guilty of the commission of the crime that is who has, either deliberately or by negligence, committed any of the socially dangerous acts defined by the


(43)

Abdul ajak Manik : Hubungan Sebab Akibat (Kausalitas) Dalam Hukum Pidana Dan Penerapannya Dalam Praktek (Studi kasus pada Pengadilan Negeri Kabanjahe), 2008.

USU Repository © 2009

xliii

criminals laws, deemed liable to criminal responsibility and to punishment”. Dari

pasal ini dapat juga disimpulkan ketentuan “tiada pertanggung jawaban atau pemidanaan tanpa adanya kesalahan”, baik berupa kesengajaan ataupun kealpaan.

Untuk adanya pemidanaan harus ada kesalahan lebih dulu pada sipembuat. Soal kesalahan ada hubungannya dengan kebebabasan kehendak. Mengenai hunbungan antara kebebasan kehendak dengan ada atau tidaknya adanya kesalahan ada 3 (tiga) pendapat dari :

a) Kaum indeterminis (penganut determinisme), yang pada dasarnya berpendapat, bahwa manusia mempunyai kehendak bebas dan ini merupakan sebab dari segala kehendak. Tanpa ada kebebasan kehendak maka tidak ada kesalahan; apabila tidak ada kesalahan, maka tidak ada pencelaan sehingga tidak ada pemidanaan.

b) Kaum determinis (penganut determinisme) mengatakan, bahwa manusia tidak mempunyai kehendak bebas. Keputusan kehendak ditentukan oleh watak (dalam arti nafsu-nafsu manusia dalam hubungan kekuatan satu sama lain) dan motif-motif ialah perangsang-perangsang yang datang dari dalam atau luar yang mengakibatkan watak tersebut. Ini berarti bahwa seseorang tidak dapat dicela atas perbuatannya atau dinyatakan mempunyai kesalahan, sebab ia tidak mempunyai kehendak bebas, itu tak berarti bahwa orang yang melakukan tindak pidana tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Justru karena tidak adanya kebebasan kehendak itu maka ada pertanggungan jawab dari seseorang atas perbuatannya. Tetapi reaksi terhadap perbuatannya dilakukan itu berupa tindakan (maatregel) untuk ketertiban masyarakat, dan


(44)

Abdul ajak Manik : Hubungan Sebab Akibat (Kausalitas) Dalam Hukum Pidana Dan Penerapannya Dalam Praktek (Studi kasus pada Pengadilan Negeri Kabanjahe), 2008.

USU Repository © 2009

bukannya pidana dalam arti “penderitaan sebagai buah hasil dari kesalahanoleh sipembuat”.

c) Golongan ketiga mengatakan : ada dan tidak adanya kebebasan kehendak itu untuk hukum pidana tidak menjadi soal (irrelevant). Kesalahan seseorang tidak dihubungkan dengan ada tidak adanya kehendak bebas.

Guna memberi pengertian lebih lanjut tentang kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya, dibawah ini disebutkan pendapat-pendapat para ahli mengenai kesalahan sebagai pengertian hukum.

a. Merger mengatakan : Kesalahan adalah keseluruhan syarat yang memberi dasar adanya pencelaan pribadi terhadap sipembuat tindak pidana.

b. Simons mengertikan kesalahan itu sebagai pengertian yang “sociaal-ethisch” dan mengatakan antara lain : Sebagai dasar untuk pertanggungan jawab dalam hukum pidana ia berupa keadaan pcychisch dari sipembuat dan hubungannya terhadap perbuatannya dalam arti bahwa berdasarkan keadaan psychisch (jiwa) itu perbuatan dapat dicelakan kepada sipembuat.

c. Van Hamel mengatakan, bahwa kesalahan dalam suatu delik merupakan pengertian pcychologis, hubungan antara keadaan jiwa sipembuat dan terwujudnya unsur-unsur delik karena perbuatannya. Kesalahan adalah tanggungan jawab dalam hukum (Schuld is de verantwoordelijkheid rechtens). d. Van Hattum berpendapat : “Pengertian kesalahan yang paling luas memuat semua unsur dalam mana seseorang dipertanggungjawabkan menurut hukum pidana terhadap perbuatan yang melawan hukum, meliputi semua hal yang bersifat psikis yang terdapat pada keseluruhan yang berupa strafbaarfeit


(45)

Abdul ajak Manik : Hubungan Sebab Akibat (Kausalitas) Dalam Hukum Pidana Dan Penerapannya Dalam Praktek (Studi kasus pada Pengadilan Negeri Kabanjahe), 2008.

USU Repository © 2009

xlv

termasuk sipembuatnya.

e. Pompe mengatakan antara lain : “Pada pelanggaran norma yang dilakukan karena kesalahannya, biasanya sifat melawan hukum itu merupakan segi luarnya. Yang bersifat melawan hukum itu adalah perbuatannya. Segi dalamnya, yang bertalian dengan kehendak sipembuat adalah kesalahan.

Kesalahan ini dapat dilihat dari 2 (dua) sudut :

- menurut akibatnya adalah hal yang dapat dicelakan (verwijtbaarheid) - menurut hakekatnya ia adalah hal dapat dihindarkannya (vermijdbaarheid)

perbuatan yang melawan hukum.

Dari pendapat-pendapat tersebut maka dapatlah dimengerti bahwa kesalahan itu mengandung unsur pencelaan terhadap seseorang yang telah melakukan tindak pidana. Jadi orang yang bersalah melakukan sesuatu perbuatan itu, berarti bahwa perbuatan itu dapat dicelakan kepadanya. Pencelaan disini bukan pencelaan berdasarkan kesusilaan, melainkan pencelaan berdasarkan hukum yang berlaku. Bukan “ethische schuld” melainkan verantwoordelijkheid

rechtens seperti dikatakan oleh Van Hamel. Namun demikian untuk adanya

kesalahan harus ada pencelaan ethis, betapapun kecilnya. Ini sejalan dengan pendapat bahwa “dass recht ist das ethisce minimum”. Setidak-tidaknya sipembuat dapat dicela karena tidak menghormati tata dalam masyarakat dalam hidupnya yang memuat segala syarat untuk hidup bersama.

Pernyataan kesalahan itu mengandung unsur ethis (kesusilaan) tidak senantiasa orang yang melakukan perbuatan atau orang yang tidak menghormati tata ataupun kepatutan dalam masyarakat atau pada umumnya melakukan


(46)

Abdul ajak Manik : Hubungan Sebab Akibat (Kausalitas) Dalam Hukum Pidana Dan Penerapannya Dalam Praktek (Studi kasus pada Pengadilan Negeri Kabanjahe), 2008.

USU Repository © 2009

perbuatan yang dapat dikatakan tidak susila itu dapat dikatakan bersalah, dalam arti patut dicela menurut hukum.

Pengertian kesalahan dapat juga dilihat dari beberapa bentuk, antara lain : a. Kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya, yang dapat disamakan dengan

pengertian “pertangggungjawaban dalam hukum pidana”; didalamnya terkandung makna dapat dicelanya sipembuat atas perbuatannya. Jadi apabila dikatakan, orang bersalah melakukan sesuatu tindak pidana, maka berarti bahwa ia dicela atas perbuatannya.

b. Kesalahan dalam arti bentuk kesalahan (schuldvorm) yang berupa : 1. kesengajaan (dolus, opzet, borsatz atau intention) atau

2. kealpaan (culpa, onachtzaamheid, nelatigheid, fahrlassigkeit atau

negligence).

c. Kesalahan dalam arti sempit, ialah kealpaan (culpa)

Dengan diterimanya pengertian kesalahan (dalam arti luas) sebagai dapat dicelanya sipembuat atas perbuatannya, maka berubahlah pengertian kesalahan yang psychologis menjadi pengertian kesalahan yang normatif.

a. Pengertian kesalahan psychologisch.

Dalam arti ini kesalahan hanya dipandang sebagai hubungan psikologis (batin) antara pembuat dan perbuatannya. Hubungan batin tersebut bisa berupa kesengajaan atau kealpaan. Pada kesengajaan hubungan batin itu berupa menghendaki perbuatan (beserta akibatnya) dan pada kealpaan tidak kehendak demikian. Jadi disini hanya digambarkan keadaan batin sipembuat, sedang yang menjadi ukurannya adalah sikap batin yang berupa kehendak terhadap perbuatan


(47)

Abdul ajak Manik : Hubungan Sebab Akibat (Kausalitas) Dalam Hukum Pidana Dan Penerapannya Dalam Praktek (Studi kasus pada Pengadilan Negeri Kabanjahe), 2008.

USU Repository © 2009

xlvii

atau akibat perbuatan.

b. Pengertian kesalahan yang normatif

Pandangan yang normatif tentang kesalahan ini menentukan kesalahan seseorang tidak hanya berdasr sikap batin atau hubungan batin antara pembuat dengan perbutannya, tetapi disamping itu harus ada unsur penilaian atau unsur normatif terhadap perbuatannya. Penilaian normatif artinya penilaian dari luar mengenai hubungan antara sipembuat dengan perbuatannya. Penilaian dari luar ini merupakan pencelaan dengan memakai ukuran-ukuran yang terdapat dalam masyarakat, apa yang seharusnya diperbuat oleh sepembuat.

Secara ekstrim dikatakan bahwa “kesalahan seseorang tidaklah terdapat dalam diri sipembuat, melainkan di dalam kepala orang lain”, yaitu di dalam kepala orang yang memberi penilaian terhadap sipembuat itu. Yang memberi penilaian pada instansi terakhir adalah hakim.

Di dalam pengertian sikap batin sipembuat adalah yang berupa kesengajaan dan kealpaan tetap diperhatikan, akan tetapi hanya merupakan unsur dari kesalahan atau unsur dari pertanggungjawaban pidana. Disamping itu ada unsur lain penilaian mengenai keadaan jiwa sipembuat, yaitu kemampuan bertanggung jawab dan tidak adanya alasan penghapus kesalahan.

Dari pengertian kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya dapat dikatakan bahwa kesalahan terdiri atas beberapa unsur, yaitu :

a. Adanya kemampuan bertanggung jawab pada sipembuatnya yang artinya keadaan jiwa sipembuat harus normal.


(48)

Abdul ajak Manik : Hubungan Sebab Akibat (Kausalitas) Dalam Hukum Pidana Dan Penerapannya Dalam Praktek (Studi kasus pada Pengadilan Negeri Kabanjahe), 2008.

USU Repository © 2009

kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa).

c. Tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan atau tidak adanya alasan pemaaf.

Jika ketiga-tiga unsur ada maka orang yang melakukan perbuatan pidana bisa dinyatakan bersalah atau mempunyai pertanggungjawaban pidana, sehigga bisa dipidana. Dalam pada itu bahwa untuk adanya kesalahan dalam arti seluas-luasnya, pelaku harus dinyatakan terlebih dahulu bahwa perbuatannya bersifa melawan hukum. Jika hal ini tidak ada, artinya jika perbuatannya tidak melawan hukum maka tidak ada perlunya menetapkan kesalahan sipembuat. Sebaliknya, seseorang yang melakukan perbuatan yang melawan hukum tidak dengan sendirinya mempunyai kesalahan yang artinya tidak dengan sendirinya dapat dicela atas perbuatan itu. Maka untuk itu, dalam hal pemidanaan haruslah dipenuhi syarat-syarat pemidanaan yaitu berupa “dapat dipidananya perbuatan” dan “dapat dipidanya orangnya atau pembuatnya.

3. Hubungan Sebab akibat, Melawan Hukum dan Kesalahan

Hubungan sebab akibat, bersifat melawan hukum dan kesalahan dalam pembahasan suatu tindak pidana termasuk pertanggungjawaban pidana sangat erat hubungannya. Secara bersamaan sebab akibat, bersifat melawan hukum dan kesalahan sering dirumuskan sebagai bagian dari norma dalam suatu pasal tindak pidana. Dalam batasan (defenisi) tindak pidana juga mudah dilihat bahwa materi-materi tersebut terkandung di dalamnya.


(49)

Abdul ajak Manik : Hubungan Sebab Akibat (Kausalitas) Dalam Hukum Pidana Dan Penerapannya Dalam Praktek (Studi kasus pada Pengadilan Negeri Kabanjahe), 2008.

USU Repository © 2009

xlix

mencocoki rumusan undang-undang dan unsur material, yaitu bertentangan dengan dengan cita-cita mengenai pergaulan masyarakat atau dengan kata lain bersifat melawan hukum. Akan tetapi tidak semua orang yang perbuatannya menjadi salah satu faktor dalam suatu peristiwa yang melahirkan akibat terlarang harus bertanggung jawab atas timbulnya akibat itu, melainkan apabila pada diri sipembuat dalam mewujudkan tingkah lakunya itu terdapat unsur kesalahan baik dengan kesengajaan maupun kealpaan.

Kesalahan adalah salah satu unsur yang selalu harus dianggap ada dalam suatu tindak pidana. Ada pengecualian terhadap beberapa tindak pidana fiskal (pajak). Kesalahan (shculd) dalam bentuk kehendak/niat atau dalam bentuk kealpaan dapat merupakan “pendorong” bagi seseorang untuk melakukan sesuatu, yang berarti jika dilihat dari sudut sebab-akibat, merupakan sebab mengapa ia melakukan perbuatan itu. Sedangkan apabila terajadi yang dikehendakinya itu merupakan akibat.

Hubungan motif (penyebab) dengan tindakan adalah bahwa motif itu merupakan pendorong bagi pelaku untuk melakukan suatu tindakan. Hubungan tindakan dengan akibat adalah, bahwa akibat itu dalam beberapa hal merupakan perwujudan dari kehendak pelaku, sedangkan dalam hal lainnya, akibat itu adalah merupakan kelanjutan logis dari suatu tindakan yang merupakan sebab. Dan dapat juga dikatakan sebab akibat dari pelaku, dimana akibat yang berada diluar kehendak pelaku. Perumusan-perumusan delik sehubungan dengan motif, tindakan dan akibat, dilihat dari sudut ajaran sebab akibat terdapat perbedaan-perbedaan. Umumnya motif itu tidak dimasukkan sebagai unsur dalam perumusan


(50)

Abdul ajak Manik : Hubungan Sebab Akibat (Kausalitas) Dalam Hukum Pidana Dan Penerapannya Dalam Praktek (Studi kasus pada Pengadilan Negeri Kabanjahe), 2008.

USU Repository © 2009

delik, walaupun ada kalanya motif itu dapat dirasakan sebagai juga merupakan sebab dari tindakan.

Kenyataan dalam suatu perbuatan yang dilakukan seseorang adalah untuk menghendaki sesuatu yang menjadi tujuannya. Dan olehnya perbuatan tersebut mengetahui bahwa hal itu tidak dibenarkan oleh hukum atau bertentangan dengan hukum. Apabila penyebab yang terdekat itu merupakan sesuatu yang terdapat dalam hati pelaku, jelas adanya hubungan yang erat antara penyebab dengan kesalahan pelaku. Sedangkan apabila penyebab tersebut berupa suatu perbuatan maka perbuatan/tindakan itu adalah suatu larangan dengan kata lain perbuatan itu bertentangan dengan hukum. Dengan kata lain perbuatan yang bersifat melawan hukum adalah merupakan perwujudan dari gerak jasmaniah seseorang, sedangkan kesalahan tersebut merupakan kejiwaan pada orang yang bersangkutan yang mengomando gerak jasmaniah.

Simon memberi batasan bahwa tindak pidana adalah suatu tindakan yang diancam pidana oleh undang-undang bertentangan dengan hukum, dilakukan dengan kesalahan oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab. Kemudian tindak pidanan yang dirumuskan dalam undang-undang di bagi dalam dua golongan unsur, yang tiap-tiap golongan tersebut dibagi lagi dalam unsur-unsur. Golongan pertama disebut sebagai unsur subjektif dan kedua sebagai unsur

objektif. Unsur objektif terdapat di luar diri pelaku yang pada umumnya berupa

tindakan yang dilarang/diharuskan, akibat dan keadaan-keadaan tertentu. Unsur subjektif terdapat atau melekat pada diri pelaku berupa kesalahan (schuld) dan kemampuan bertanggung jawab dari pelaku.


(51)

Abdul ajak Manik : Hubungan Sebab Akibat (Kausalitas) Dalam Hukum Pidana Dan Penerapannya Dalam Praktek (Studi kasus pada Pengadilan Negeri Kabanjahe), 2008.

USU Repository © 2009

li

BAB III

AJARAN SEBAB AKIBAT DALAM PRAKTEK HUKUM PIDANA

A. Peranan Hakim Dalam Pengambilan Keputusan Dihubungkan Dengan Ajaran Sebab Akibat

Hubungan antara sebab, tindakan dan akibat, dilihat dari sudut ajaran kasusalitas, ada yang mempunyai hubungan kausal dalam pengertian hukum pidana, tetapi ada juga yang mempunyai hubungan dalam penertian luas, yang apabila tidak ada pembatasan maka akan mengaburkan penerapan ketentuan-ketentuan undang-undang hukum pidana.

Sering menjadi bahan perdebatan yang hangat antara penuntut umum di sati pihak dengan terdakwa dan pembelanya dilain pihak dalam suatu persidangan mengenai : sejauh manakah hakekat dari sebab akibat yang terkandung dalam perumusan suatu delik/kejahatan; dan sejauh manakah pengaruhnya untuk menentukan pertanggungjawaban terdakwa. Dalam delik-delik material, pihak terdakwa sering tidak mambatasi diri untuk hanya menanggapi perumusan suatu kelakuan/perbuatan/tindakan dalam undang-undang (yang dengan tegas ditentukan sebab dari suatu akibat). Mereka cenderung menjelajahi kejadian/perbuatan lainnya, situasi dan kondisi yang mendahului tindakan yang dilakukannya yang sesuai dengan perumusan undang-undang. Hal ini dimaksudkan agar fakta/data itu diterima sebagai sebab dari tindakan yang dilakukan itu, bahkan juga sebagai sebab dari akibat yang terlarang.


(1)

Abdul ajak Manik : Hubungan Sebab Akibat (Kausalitas) Dalam Hukum Pidana Dan Penerapannya Dalam Praktek (Studi kasus pada Pengadilan Negeri Kabanjahe), 2008.

USU Repository © 2009

Dalam teori ini, tentang bagaimana alam pikiran/batin sipembuat tidaklah penting, melainkan kenyataan objektif perbuatan itu apakah menurut akal dan dapat dipikirkan untuk menimbulkan akibat. Perhitungan layak dalam

teori ini bukan hanya apa yang diketahui oleh pelaku, tetapi juga apa yang diketahui oleh hakim.

Kenyataan dalam peristiwa pembacokan oleh Tunas Lature yang mana pembacokan tersebut ditangkis oleh Budiman Pinem. Bila saja Budiman Pinem tidak menangkis dan tidak direlai oleh isterinya dan atau orang lain. Maka kemungkinan pandangan secara umum adalah, bahwa Tunas Lature mencoba melakukan penganiayaan biasa, berat dan dapat juga kemungkinan mengakibatkan kematian. Karena hubungan kausal terhadap kemungkinan antara pembacokan sebagai sebab dapat menimbulkan beberapa kemungkinan akibat dari pada percobaan tindak pidana yang dilakukan oleh Tunas Lature tersebut. Walaupun kemudian memang perlu dibuktikannya niat/pikiran maupun kehendak pelaku untuk adanya kesalahan pelaku.


(2)

Abdul ajak Manik : Hubungan Sebab Akibat (Kausalitas) Dalam Hukum Pidana Dan Penerapannya Dalam Praktek (Studi kasus pada Pengadilan Negeri Kabanjahe), 2008.

USU Repository © 2009

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Hubungan motif (penyebab) dengan tindakan adalah bahwa motif itu merupakan pendorong bagi pelaku untuk melakukan suatu tindakan. Hubungan tindakan dengan akibat adalah, bahwa akibat itu dalam beberapa hal merupakan perwujudan dari kehendak pelaku, sedangkan dalam hal lainnya, akibat itu adalah merupakan kelanjutan logis dari suatu tindakan yang merupakan sebab. Dan dapat juga dikatakan sebab akibat dari pelaku, dimana akibat yang berada diluar kehendak pelaku.

Setiap membicarakan suatu tindak pidana, maka dalam pembahasan tindak pidana tidak terlepas dari pembahasan sebab akibat, sifat melawan hukum dari tindakan dan kesalahan yang tercakup pada tindak pidana tersebut. Bahkan dalam beberapa hal, hubungan sebab-akibat, sifat melawan hukum dan kesalahan mutlak harus dapat diperlihatkan.

2. Ada beberapa ajaran kausalitas yang dapat dikelompokkan kedalam 3 teori besar, yaitu :

1. Teori Conditio sine qua non


(3)

Abdul ajak Manik : Hubungan Sebab Akibat (Kausalitas) Dalam Hukum Pidana Dan Penerapannya Dalam Praktek (Studi kasus pada Pengadilan Negeri Kabanjahe), 2008.

USU Repository © 2009

faktor penyebab, segala sesuatu yang masih berkaitan dalam suatu peristiwa sehingga melahirkan suatu akibat adalah termasuk menjadi penyebabnya. 2. Teori –teori yang Mengindividualisir

Teori yang mengindividualisir, ialah teori yang dalam usahanya mencari faktor penyebab dari timbulnya suatu akibat dengan hanya melihat faktor-faktor yang ada atau terdapat pada suatu perbuatan dilakukan, dengan kata lain setelah peristiwa itu beserta akibatnya benar-benar terjadi secara konkrit (post factum). 3.

3. Teori-teori yang menggeneralisir

Teori yang menggeneralisir adalah teori yang dalam mencari sebab (causa) dari rangkaian faktor yang berpengaruh atau berhubungan dengan timbulnya akibat adalah melihat dan menilai pada faktor mana yang secara wajar dan menurut akal serta pengalaman pada umumnya dapat menimbulkan suatu akibat.

Mengenai teori ini dikenal beberapa teori yang berbeda : a. Teori Adequat Subjekti

b. Teori Adequat Objektif

Dalam undang-undang hukum pidana, sebab akibat dirumuskan antara lain sebagai berikut :

a. Penyebab dirumuskan secara jelas. Yaitu berupa suatu kelakuan yang dilarang atau diharuskan.

b. Suatu akibat dirumuskan secara jelas, yaitu suatu kenyataan yang ditimbulkan oleh seuatu penyebab (causa).


(4)

Abdul ajak Manik : Hubungan Sebab Akibat (Kausalitas) Dalam Hukum Pidana Dan Penerapannya Dalam Praktek (Studi kasus pada Pengadilan Negeri Kabanjahe), 2008.

USU Repository © 2009

c. Dapat disimpulkan bahwa sebab dan akibat itu sebagai dirumuskan sekaligus.

d. Sebab (causa) dirumuskan berupa suatu tindakan tertentu, tanpa mensyaratkan telah timbul akibatnya.

e. Akibat dirumuskan berupa suatu kenyataan tertentu, tanpa menentukan suatu kelakuan/tindakan tertentu sebagai sebabnya.

f. Perumusan sebab dan akibat, dapat disimpukan sebagai tidak diperlukan, dalam rangka telah terjadi atau tidaknya suatu delik.

g. Perumusan sebab-akibat “tercakup” dalam jiwa pelaku yang berbentuk “pendorong” (sebab) dan kenyataan/peristiwa yang dikehendaki (akibat).

3. Penerapan ajaran-ajaran kausalitas (sebab-akibat) dalam praktek, adalah lebih serasi jika selalu disesuaikan dengan perkembangan hukum yang hidup dalam masyarakat. Artinya secara kasuisitis diadakan keseimbangan antara kesadaran hukum perorangan atau kelompok masyarakat tertentu dengan masyarakat pada umumnya, dan berpedoman pada ajaran conditio sine qua non, teori umum keseimbangan dan teori khusus secara seimbang.

B. Saran

Walaupun undang-undang berusaha membatasi perumusan sebab dan akibat, untuk kebutuhan dalam praktek hukum sehari-hari, sering mengarah kepada perluasan atau penyempitan dari hal-hal yang dipandang sebagai sebaba


(5)

Abdul ajak Manik : Hubungan Sebab Akibat (Kausalitas) Dalam Hukum Pidana Dan Penerapannya Dalam Praktek (Studi kasus pada Pengadilan Negeri Kabanjahe), 2008.

USU Repository © 2009

atau akibat. Untuk itu haruslah selalu diperhatikan mengenai kepastian hukum dalam arti tidak boleh menyimpang dari undang-undang yang dipadukan dengan kesadaran hukum masyarakat yang masih hidup. Tentunya kesemuanya itu harus seirama dengan politik hukum pemerintah yang telah digariskan oleh pemegang kedaulatan rakyat.

Meskipun tidak adanya penentuan ajaran-ajaran mana yang mutlak dipakai dari sekian banyak ajaran. Kiranya penggunaan ajaran-ajaran itu tentulah harus dengan itikad baik untuk mencapai tujuan hukum dan terciptanya keseimbangan antara keadilan dan ketertiban. Oleh karena keadilan itu adalah suatu nilai yang mutlak. Kiranya segenap penegak hukum dalam mencari dan menerapkan keadilan haruslah bersendi kepada nilai-nilai yang ada dalam kehidupan di masyarakat sehingga keadilan itu tidak samar-samar sehingga dapat dipertanggungjawabkan kepada Tuhan.


(6)

Abdul ajak Manik : Hubungan Sebab Akibat (Kausalitas) Dalam Hukum Pidana Dan Penerapannya Dalam Praktek (Studi kasus pada Pengadilan Negeri Kabanjahe), 2008.

USU Repository © 2009

DAFTAR PUSTAKA

Kanter, E.Y, dan Sianturi, S.R, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan

Penerapannya, Penerbit Storia Grafika, Jakarta, 2002.

Abidin, A. Zainal, Hukum Pidana, Penerbit Prapanca, Jakarta, 1982.

Lamintang, P.A.f, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Penerbit PT Citra Aditya Bandung.

Saleh, Roeslan, Perbuatan Pidana dan Pertanggungan Jawab Pidana, Penerbit Aksara Baru, Jakarta, 1981, h. 115.

Chazawi, Adami, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Penerbit PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001.

---, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Prodjohamidjojo,Martiman, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana

Indonesia, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1997.