Hukum pidana

(1)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbbil’alamin, puji syukur kami panjatkan kehadirat Illahi robbi atas berkat rahmat dan karunia – Nya, shalawat serta salam selalu saya curahkan kepada Baginda Rasulullah SAW sehingga makalah yang berjudul “Pembuktian dalam Hukum Acara Tata Usaha Negara” akhirnya selesai kami kerjakan.

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh Bapak Abu Thamrin dengan mata kuliah Hukum Acara Tata Usaha Negara. Makalah disusun berdasarkan literatur dari berbagai buku. Di dalam makalah ini mebahas tentang teori pembuktian, prinsip pembuktian, kedudukan alat bukti, surat atau tulisan, keterangan ahli, keterngan saksi, pengakuan para pihak dan pengetahuan hakim.

Kami menyadari bahwa tak ada gading yang tak retak, begitu pun dengan makalah ini. Saya mengharapkan kritik dan saran demi penyempurnaan makalah ini, baik dari bapak dosen maupun para pembaca yang membaca makalah ini, agar pembuatan makalah ini menjadi lebih baik untuk kedepannya.


(2)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... 1

DAFTAR ISI... 2

BAB I : PENDAHULUAN... 3

BAB II : PEMBAHASAN... 1. Teori Pembuktian... 4

2. Prinsip Pembuktian…... 6

3. Kedudukan Alat Bukti…... 9

4. Surat atau Tulisan…... 13

5. Keterangan Ahli dan Keterngan Saksi... 14

6. Pengakuan Para Pihak dan Pengetahuan Hakim…... 16

BAB III : KESIMPULAN ... 18


(3)

BAB I PENDAHULUAN

Dalam suatu proses beracara di pengadilan, salah satu tugas hakim adalah untuk menetapkan hubungan hukum yang sebenarnya antara pihak yang berperkara untuk suatu keadaan tertentu, atau menerapkan hukum atau undang-undang, menetapkan apakah yang “hukum” anatara dua pihak yang bersangkutan itu.. Hubungan hukum inilah yang harus dibutktikan kebenarannya di depan sidang pengadilan. Pada prinsipnya, yang harus dibuktikan adalah semua peristiwa serta hak yang dikemukakan oleh salah satu pihak yang kebenarannya di bantah oleh pihak lain. Pihak penggugat diberikan kesempatan terlebih dahulu untuk membuktikan kebenaran dalil gugatannya. Setelah itu, pihak tergugat diberikan kesempatan untuk membuktikan kebenaran dalil sangkalannya.

Dalam sengketa yang berlangsung di muka Hakim itu, masing-masing pihak mengajukan dalil-dalil (posita) yang saling bertentangan. Hakim harus memeriksa dan menetapkan dalil-dalil manakah yang benar dan dalil-dalil manakah yang tidak benar. Berdasarkan duduk perkara yang ditetapkan sebagai yang sebenarnya itu, Hakim dalam amar atau “dictum” putusannya, memutuskan siapakah yang dimenangkan dan siapakah yang dikalahkan. Dalam melaksanakan pemerikasaan itu tadi, Hakim harus mengindahkan aturan-aturan tentang pembuktian. Kesewenang-wenangan (willekeur) akan timbul apabila Hakim dalam melaksanakan tugasya itu, diperbolehkan menyandarkan putusannya hanya atas keyakinannya, biarpun itu sangat kuat dan sangat murni.

Keyakinan Hakim itu harus didasarkan pada sesuatu, yang oleh undang-undang dinamakan alat bukti. Dengan alat bukti ini, masing-masinng pihak berusaha membuktikan dalilnya atau pendiriannya yang dikemukakan kepada Hakim yang diwajibkan memutusi perkara mereka. Dalam makalah ini kami mencoba menjelaskan tentang Pembuktian, teori-teorinya dan alat-alat bukti dalam pengadilan PTUN. Untuk membuktikan dalil-dalil yang dikemukakan oleh para pihak yang bersengketa diperlukan alat bukti. Alat bukti apa saja yang harus dibuktikan? Untuk selanjutnya akan dibahas pada pembahasan di bawah ini.


(4)

BAB II PEMBAHASAN

1. Teori Pembuktian

Terdapat 3 (tiga) teori yang menjelaskan tentang sampai berapa jauhkah hukum positif dapat mengikat hakim atau para pihak dalam pembuktian peristiwa didalam sidang, yaitu:

a) Teori Pembuktian Bebas

Teori ini tidak menghendaki adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat hakim, sehingga penilaian pembuktian seberapa dapat diserahkan kepada hakim. Teori ini dikehendaki jumhur/pendapat umum karena akan memberikan kelonggaran wewenang kepada hakim dalam mencari kebenaran.

Teori ini menghendaki agar penilaian Hakim sedapat mungkin mendekati keadilan, sehingga hakim tidak terlalu terikat dengan alat bukti yang diajukan pihak yang berperkara. Misalnya hakim tidak terikat dengan keterangan saksi, walaupun di persidangan diajukan 100 saksi, dapat saja hakim menilai masih belum terbukti.

Dalam hal ini tidak mustahil adanya perbedaan penilaian hasil pembuktian antara sesama hakim, sehingga teori ini mengandung kelemahan, yaitu tidak menjamin adanya kepastian hukum dalam hal penilaian terhadap hasil pembuktian.

b) Teori Pembuktian Terikat

Artinya hakim terikat dengan alat pembuktian yang diajukan oleh pihak berperkara, jadi harus memberikan putusan selaras dengan alat-alat bukti yang diajukan di persidangan. Teori ini menghendaki agar penilaian hakim sedapat mungkin memberikan kepastian hukum, misalnya hakim terikat dengan alat bukti sumpah (utamanya sumpah pemutus), artinya apabila pihak sudah bersumpah, maka ia dimenangkan perkaranya, sedangkan bila ia menolak sumpah maka ia dikalahkan. Demikian pula alat bukti surat otentik hanya bisa digugurkan karena terdapat kepalsuan. Juga dalam menilai keterangan seorang saksi saja sebagai “Unus Testis Nullus Testis”.


(5)

Kelemahan teori ini adalah tidak menjamin adanya keadilan. Teori ini dibagi menjadi 2 macam:

· Teori Pembuktian Negatif

Teori ini hanya menghendaki ketentuan-ketentuan yang mengatur larangan-larangan kepada hakim untuk melakukan sesuatu yang berhubungan dengan pembuktian. Jadi hakim disini dilarang dengan pengecualian (ps. 169 HIR, 306 Rbg, 1905 BW).

· Teori Pembuktian Positif

Disamping adanya larangan, teori ini menghendaki adanya perintah kepada hakim. Disini hakim diwajibkan, tetapi dengan syarat (ps. 165 HIR, 285 Rbg, 1870 BW).

· Teori Pembuktian Gabungan

Artinya Hakim bebas dan terikat dalam menilai hasil pembuktian, misalnya Hakim bebas menilai suatu alat bukti permulaan, sehingga hakim masih perlu adanya sumpah tambahan. Bila sumpah tambahan dilakukan, maka hakim terikat menilainya, apabila tidak disertai sumpah tambahan maka hakim bebas menilai alat bukti permulaan itu.

B. Teori-Teori Tentang Beban Pembuktian

Seperti telah diuraikan sekilas diatas, maka pembuktian dilakukan oleh para pihak bukan oleh hakim. Hakimlah yang memerintahkan kepada para pihak untuk mengajukan alat-alat buktinya.

Dalam ilmu pengetahuan terdapat beberapa teori tentang beban pembuktian yang menjadi pedoman bagi hakim, antara lain:

1. Teori pembuktian yang bersifat menguatkan belaka (bloot affirmatief)

Menurut teori ini siapa yang mengemukakan sesuatu harus membuktikannya dan bukan yang mengingkari atau yang menyangkalnya. Teori ini telah ditinggalkan.

2. Teori hukum subyektif

Menurut teori ini beban pembuktian diletakkan kepada pihak yang meminta kepada hakim agar hak subjektifnya yang didalilkan diakui.


(6)

Teori ini terlalu banyak kesimpulan yang abstrak dan tidak memberi jawaban atas persoalan-persoalan tentang beban pembuktian dalam sengketa yang bersifat prosesuil.

3. Teori hukum obyektif

Menurut teori ini, mengajukan gugatan hak atau gugatan berarti bahwa penggugat minta kepada hakim agar hakim menerapkan ketentuan-ketentuan hukum obyektif terhadap peristiwa yang diajukan. Oleh karena itu penggugat harus membuktikan kebenaran daripada peristiwa yang diajukan dan kemudian mencari hukum obyektifnya untuk diterapkan pada peristiwa itu.

Teori hukum ini sudah tentu tidak akan dapat menjawab persoalan-persoalan yang tidak diatur oleh undang-undang.

4. Teori Keadilan

Menurut Teori ini, beban pembuktian diletakkan pada pihak yang paling sedikit menanggung beban pembuktian atau yang paling sedikit jika disuruh membuktikan.1

2. Prinsip Pembuktian

Untuk membuktikan bersalah tidaknya seorang terdakwa haruslah melalui sidang di depan sidang pengadilan. Dalam hal ini hakim perlul memperhatikan kepentingan masyarakat dan kepentingan terdakwa. Kepentingan masyarakat berarti bahwa seseorang yang telah melanggar ketentuan pidana KUHP atau kitab undang-undang pidana lainnya, harus mendapat hukuman yang setimpal dengan kesalahannya sedangkan kepentingan terdakwa harus di perhatikan dengan adil sedemikian rupa, sehingga seorang yang tidak bersalah jangan sampai mendapat hukuma. Bahkan kalau memang ia bersalah jangan sampai mendapat hukuman yang terlalu berat, tetapi hukuman itu harus setimpal dengan kesalahannya.2

Dalam KUHAP maupun HIR mempunyai persamaan dalam cara menggunakan alat bukti yaitu sistem negatif menurut undang-undang (negatief wetelijk) yang termuat dalam pasal 183 KUHAP dan 294 ayat (1) HIR.3

Pasal 183 KUHAP berbunyi :

1R. Wiyono, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 172-178. 2 Hlm. 602


(7)

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya”.

Pasal 294 (1) HIR berbunyi :

“Tiada seorang pun dapat dihukum, kecuali hakim berdasarkan alat-alat bukti yang sah, memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana telah terjadi, dan bahwa terdakwa telah bersalah melakukannya.”

Berdasarkan hal di atas bahwa apa yang terkandung dalam pasal 183 KUHAP yaitu : 1). Sekurang-kurangnya ada dua alat bukti yang sah

2). Degan dasar dua alat bukti yang sah itu hakim yakin bahwa : a. tindak pidana telah terjadi;

b. terdakwa telah bersalah;

Kata “sekurang-kurangnya” dua alat bukti yang memberikan limitative dan bukti yang minimum yang harus disampaikan pada acara pembuktian. Alat bukti sah tersebut terdapat dalam Pasal 184 KUHAP yang meliputi :

1. Keterangan Saksi 2. Keterangan Ahli 3. Surat

4. Pentunjuk

5. Keterangan Terdakwa

6. Apa yang disebut notoit tidak perlu di buktikan

Mengenai pasal 183 KUHAP menetapkan adanya dua alat bukti minimum, misalnya keterangan saksi dan keterangan ahli atau keteranga saksi dan surat dan bahkan keterangan dari dua orang saksi yang seterusnya terdapat beberapa kombinasi atau gabungan dari alat-alat bukti yang sah.


(8)

Adapun yang diminta oleh HIR yang minimum, pasal 294 (1) tidak secara tegas disebutkan beberapa alat bukti minimum yang dikehendaki, apakah satu alat bukti saja atau dua alat bukti yang sah, dari alat-alat bukti yang disebutkan Pasal 295 HIR yaitu :

1. Keterangan saksi 2. Surat-surat bukti

3. Pengakuan salah satu terdakwa (berkentennis) 4. Penunjukan (aanwijzing)

Akan tetapi dari pasal 342 ayat (1) dan (4) HIR dapat di tarik kesimpulan bahwa sebagai alat bukti minimum dibutuhkan dua alat bukti yang sah. Kedua ayat itu menyebutkan, bahwa keterangan seorang saksi saja atau pengakuan salah satu dari terdakwa saja tidak cukup bagi hakim pidana untuk menganggap kesalahan terdakwa telah terbukti. Berkenaan dengan pembuktian dan kedudukan alat bukti sah, maka Pasal 6 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 secara tegas meyatakan bahwa :

1. Tiada seorang jua pun yang dapat dihadapkan di depan pengadilan, selain daripada yang ditentukan baginya undang-undang.

2. Tiada seorang jua pun dapat dijatuhi pidana kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang mendapat keyakinan bahwa seseorang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atau dirinya.

Apabila mengacu pada ketentuan tersebut, maka pembuktian suatu peristiwa melalui suatu alat bukti yang sah merupakan suatu kemutlakan yang tidak dapat dibantah lagi. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1865 BW yang menyatakan :

“Barang siapa yang mengajukan peristiwa-peristiwa atas namanya berdasarkan suatu hak, diwajibkan membuktikan peristiwa-peristiwa itu, sebaliknya barang siapa mengajukan peristiwa-peristiwa guna pembatahan hak orang lain. Diwajibkan juga membutktikan peristiwa-peristiwa itu”.

Ada perbedaan sistem antara sistem hukum pembuktian dalam Hukum Acara TUN dengan Acara Perdata. Dalam Hukum Acara TUN dengan memperhatikan segala sesuatu yang terjadi


(9)

dalam pemeriksaaan tanpa bergantung pada fakta dan hal yang diajukan oleh para pihak hakim TUN bebas untuk menentukan.4

1. Apa yang harus dibuktikan.

2. Siapa yang harus dibebani pembuktian, hal apa saja yang harus dibuktikan oleh oleh pihak yang berpekara dan hal apa saja yang harus dibuktikan oleh hakim sendiri. 3. Alat bukti mana saja yang diutamakan untuk digunakan dalam pembuktian. 4. Kekuatan pembuktian bukti yang telah diajukan.

Umumnya, sistem pembuktian yang dianut dalam Hukum Acara TUN adalah sistem vrij bewijsleer, yakni suatu ajaran pembuktian bebas dalam rangka memperoleh kebenaran materiil. Apakah kita harus Pasal 100 UU N0. 5 Tahun 1986, maka dapatlah disimpulkan bahwa Hukum Acara TUN Indonesia menganut ajaran pembuktian bebas yang terbatas. Karena alat-alat bukti yang digunakan itu sudah ditentukan secara limitatif dalam pasal tersebut. Selain itu hakim juga dibatasi kewenangannya dalam menilai sahnya pembuktian, yakni paling sedikit dua alat bukti berdasarkan keyakinan hakim. Adapun pembuktian dalam Hukum Acara Perdata dilakukan dalam rangka memperoleh kebenaran formil.5

Selain itu juga dalam pembuktiannya selalu menggunakan asas praduga tak bersalah. Asas dimana mewajibkan semua pihak untuk tidak mendahului putusan pengadilan untuk menyatakan kesalahan seseorang.

3. Kedudukan Alat Bukti

Dalam suatu proses beracara di pengadilan, salah satu tugas hakim adalah untuk menetapkan hubungan hukum yang sebenarnya antara pihak yang berperkara. Hubungan hukum inilah yang harus dibuktikan kebenarannya di depan sidang pengadilan. Pada prinsipnya, yang harus dibuktikan adalah semua peristiwa serta hak yang dikemukakan oleh salah satu pihak yang kebenarannya dibantah oleh pihak lain. Pihak penggugat diberikan kesempatan terlebih dahulu untuk membuktikan kebenaran dalil gugatannya. Setelah itu, pihak tergugat diberikan kesempatan untuk membuktikan kebenaran dalil sangkalannya.


(10)

Untuk membuktikan dalil-dalil yang dikemukakan oleh para pihak yang bersengketa diperlukan alat bukti. Alat bukti dalam Peradilan Tata Usaha Negara di kenal lima macam alat bukti, yaitu:

a. Surat atau tulisan.

Menurut Sudikno Mertokusumo, bahwa alat bukti surat atau tulisan adalah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau menyampaikan buah pikiran seseorang dan digunakan sebagai pembuktian. Adapun menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Pasal 101, bahwa surat sebagai alat bukti terdiri atas tiga jenis, yaitu:

1. Akta autentik, yaitu surat yang dibuat oleh atau di hadapan seorang pejabat umum, yang menurut peraturan perundang-undangan berwenang membuat surat ini dengan maksud untuk digunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya.

2. Akta di bawah tangan, yaitu surat yang dibuat dan ditandatangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk dapat dijadikan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya.

3. Surat-surat lain yang bukan akta. b. Keterangan ahli.

Di dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pasal 102 dijelaskan, bahwa keterangan ahli adalah pendapat orang yang diberikan di bawah sumpah dalam persidangan tentang hal yang ia ketahui menurut pengalaman dan pengetahuannya,

Kehadiran seorang ahli di persidangan adalah atas permintaan kedua belah pihak atau salah satu pihak atau karena jabatannya. Hakim ketua sidang dapat menunjukan seseorang atau beberapa orang ahli untuk memberikan keterangan baik dengan surat maupun tulisan, yang dikuatkan dengan sumpah atau janji menurut kebenaran sepanjang pengetahuan dan pengalamannya (Pasal 103 PTUN). Keterangan ahli diperlukan untuk menambah keyakinan hakim mengenai suatu persoalan di bidang tertentu, yang memang hanya bisa dijelaskan oleh ahli di bidang tertentu, yang


(11)

memang hanya bisa dijelaskan oleh ahli di bidang yang bersangkutan, umpamanya ahli di bidang perbankan, ahli di bidang komputer, dan ahli balistik.

c. Keterangan saksi.

Saksi adalah orang yang memberikan keterangan di muka sidang, dengan memenuhi syarat-syarat tertentu, tentang suatu peristiwa atau keadaan yang ia lihat, dengan dan ia alami sendiri, sebagai bukti terjadinya peristiwa atau keadaan tersebut.

Ada beberapa saksi yang dilarang atau tidak diperbolehkan didengar keterangannya sebagai saksi sebagaimana diatur dalam Pasal 88 UPTUN sebagai berikut:

1. Keluarga sedarah atau semenda menurut garis keturunan lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat kedua dari salah satu pihak yang bersengketa.

2. Istri atau suami salah satu pihak ang bersangkutan meskipun sudah bercerai. 3. Anak yang belum berusia tujuh belas tahun.

4. Orang sakit ingatan.

Ada beberapa orang yang meskipun berhak menjadi saksi tetapi berhak pula mengundurkan diri sebagai saksi (Pasal 89 UPTUN), yaitu:

1. Saudara laki-laki dan perempuan, ipar laki-laki dan perempuan salah satu pihak. 2. Setiap orang yang karena martabat, pekerjaan, atau jabatannya diwajibkan

merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan hal itu.

Perbedaan antara Keterangan Saksi dan Keterangan Ahli


(12)

1) Seseorang (beberapa) saksi dipanggil ke muka pengadilan untuk mengemukakan keterangan tentang hal-hal yang ia lihat, didengar, atau dialami sendiri.

2) Keterangan saksi harus lisan, bila tertulis maka jadi alat bukti tertulis.

3) Kedudukan saksi tidak boleh diganti dengan saksi lain kecuali sama-sama melihat, mendengar, dan menyaksikan peristiwa itu.

1) Seseorang (beberapa) saksi ahli dipanggil ke muka pengadilan untuk mengemukakan keterangan berdasarkan keahliannya terhadap suatu peristiwa.

2) Keterangan saksi ahli bisa secara lisan ataupun tertulis. 3) Kedudukan seseorang ahli dapat

diganti dengan ahli yang lain yang sesuai dengan keahliannya.

d. Pengakuan para pihak.

Pengakuan adalah keterangan sepihak dari salah satu pihak dalam suatu perkara, di mana ia mengakui apa yang dikemukakan oleh pihak lawan atau sebagian dari apa yang dikemukakan oleh pihak lawan.

Menurut Pasal 105 UU No.5/1986, pengakuan para pihak tidak dapat ditarik kembali, kecuali berdasarkan alasan yang kuat dan dapat diterima oleh hakim. Pengakuan di depan persidangan oleh para pihak, untuk itu mempunyai kekuatan bukti yang sempurna yang sempurna terhadap pihak yang memberikan pengakuan itu. Hal ini berarti hakim harus menganggap bahwa dalil-dalil yang telah diakui itu benar, kendatipun belum tentu benar. Pengakuan di luar persidangan, nilai pembuktiannya diserahkan kepada pertimbangan hakim. Dengan kata lain, pengakuan yang diberikan di luar persidangan merupakan alat bukti bebas dan konsekuensinya hakim leluasa untuk menilai alat bukti tersebut, atau bisa juga hakim hanya menganggap hal itu sebagai alat bukti permulaan. Terserah kepada hakim untuk menerima atau idak menerimanya.


(13)

Pengakuan hakim adalah hal yang olehnya diketahui dan diyakini kebenarannya. Melihat pada pengertian ini, maka pengetahuan hakim dapat juga diartikan sebagai apa yang dilihat,didengar, dan disaksikan oleh hakim dalam persidangan. Misalnya, sikap, perilaku, emosional, dan tindakan para pihak dalam memutus perkara. Tetapi pengetahuan hakim mengenai para pihak yang diperoleh di luar persidangan tidak dapat dijadikan bukti dalam memutus perkara.

Mengenai pengetahuan hakim tersebut, Mahkamah Agung dalam keputusannya tertanggal 10 April 1957 Reg. No. 213 K/Sip/1955, menyatakan:

Hakim-hakim berdasarkan Pasal 138 ayat (1) bersambung dengan pasal 164 Herziene Indonesisch reglement (HIR) tidak ada keharusan mendengar penerangan seorang ahli, namun penglihatan hakim pada suatu tanda tangan di dalam sidang boleh dipakai hakim itu sebagai pengetahuan sendiri di dalam usaha pembuktian.6

4. Surat atau Tulisan

Alat bukti surat diklasifikasikan sebagai berikut : a. Akta otentik

Surat otentik ialah surat yang dibuat oleh atau di hadapan seorang pejabat umum yang mempunyai kewenangan membuat surat itu, dengan maksud untuk menjadikan surat itu sebagai surat bukti suatu peristiwa atau peristiwa hukum.

Pejabat umum ialah notaris, pejabat pembuat akta tanah, pegawai pencatat sipil, hakim, bupati/walikota, jurusita, panitera, dan lain-lain.

Akta otentik dalam hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara hanya bersifat sebagai alat pembuktian bebas yang penilainnya diserahkan kepada hakim, karena Pasal 101 ayat (a) mengatakan bahwa otentik dibuat di hadapan pejabat umum dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum.


(14)

Akta di bawah tangan adalah suatu surat yang ditandatangani dan dibuat dengan maksud untuk dijadikan bukti dari suatu peristiwa atau peristiwa hukum. Akta di bawah tangan tidak dibuat di hadapan pejabat umum. Akta di bawah tangan tidak mempunyai kekuatan bukti sempurna seperti akta otentik, kecuali apabila pihak-pihak yang bersangkutan mengakuinya mengenai tanggal dan penandatanganan serta isi akta itu.

c. Surat lain bukan akta

Hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara tidak mengatur mengenai surat-surat lainnya bukan bersifat akta otentik maupun akta di bawah tangan, demikian juga dalam ordonansi Staatsblad 1867 serta dalam KUHPer, sehingga menimbulkan persoalan seberapa jauh kekuatan pembuktian surat-surat lain tersebut yang tidak ada penandatanganan, tidak diberi penanggalan (dagtekening), serta tidak dikuatkan (legalisasi) oleh pejabat umum mengenai kekuatan sebagai alat bukti.7

5. Keterangan Ahli dan Keterangan Saksi A. Keterangan Ahli

Di dalam undang-undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pasal 102 dijelaskan, bahwa keterangan ahli adalah pendapat orang yang diberikan di bawah sumpah dalam persidangan tentang hal yang ia ketahui menurut pengalaman dan pengetahuannya. Termasuk keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh juru taksir.8 Kehadiran seorang ahli di persidangan adalah atas permintaan kedua belah pihak atau atau salah satu pihak atau karena jabatannya. Hakim ketyua dsidang dapat menunjuk beberapa orang ahlui untuk memberikan keterangan baik dengan surat maupun tulisan, yang dikuatkan dengan sumpah atau janji menurut kebenaran sepanjang pengetahuan da pengalamannya (Pasal 103 UPTUN).

Keterangan ahli diperlukan untuk menambah keyakinan hakim mengenai suatu persoalan di bidang tertentu, yang memang hanya biusa dijelaskan oleh ahli di bidang 7 Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara dan UU PTUN 2004,

(Jakarta: Ghalia Indonesia, 2005), hlm. 84-87.

8 C.S.T. Kansil, Hukum Acara Peradilan Tata Usah Negara, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2008), hlm.


(15)

yang bersangkutan, unmpamanya ahli di biadang perbankan, ahli di bidang komputer, dan ahli balistik. Dalam hal ini keterangan juru taksir daapapt digolongkan sebagai keterangan ahli. Tetapi mereka yang tidak dapat didnganr sebagi saksi (Pasal 88 UPTUN) dalam perkara itu, juga tidak dapat diangkat sebagai ahli.

B. Keterangan saksi

Saksi adalah orang yagn memnerikan keterangan di muka sidang dengan memenuhi syarat-syarat tertentu, tentang suatu peristiwa atau keadaan yang ia lihat, dengan dan ia alami sendiri, sebagai bukti terjadinya peristiwa atau keadaan tersebut.

Setiap orang pada prinsipnya wajib untuk memberikan kesaksian apabila dibutuhkan oleh pengadilan, tetrapi tidak semua orang dapat menjadi saksi. Ada beberoapa sakasi yang dilaran gatau tidak diperbolehkan didenganr keterangannya sebagi saksi sebagaimana sdiatur dlam pasal 88 UPTUN sebagaii berikut:.

1. Keluarga sedarah atua semenda menurut garis keturunan lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat kedua dari salah satu yagn bersengketa.

2. Isteri atau suami salah satu pihak yang bersangkutan meskipun sudah bercerai. 3. Anaka yang belum berusia tujuh belas tahun.

4. Orang sakit ingatan

Ada beberapa orang yang meskipun berhak menajdi saksi tertapi berhak pula mengundurkan diri sebagai saksi (Pasal 89 UPTUN), yaitu:

1. Saudara laki-laki dan perempuan, ipar laki-laki dan perempuan salah satu pihak. 2. Setiap orang yang karena martabat, pekerjaan atau jabatannya diwajibkan

merahasiakan segala sesuatu yang berhubugnan dengan hal itu.

Adakalanya, orang yagn dijadikan saksi itu tidak mengerti bahsa Indonesia, hakim daapt menunjuk seseorang yang akan bertindak sebagai penerjemah dan sebelum melaksanakannya tugasnya ia harus disumpah terlebih dahulu. Dan apabila seoran gsaksi dalam keadaan bisu tuli sdan tidak bisa menulis, maka demi kepentingan pemeriksaan , hakim menunjuk seseorang yang sudah biasa bergaul dengan saksi sebagai juru bahasa.


(16)

Sebelum melaksanajan tugasnya, ia wajib mengucapokan sumpah atau janji menurut agama dan kepercayaannya. Adapun apabila yang dipanggila sebagai saksi adalah pejabat TUN, maka pejabat tersebut tidak boleh mewakili orang lain, ia wajib datang sendiri ke persidangan.

Sehubungan degna uraian di atas, terdaapt perbedaan antara keterangan saksi dan keteranbgan ahli. Perbedaan tresebut ditunjuk pada tabel berikut.

Perbedaan keterangnan saksi dan keterangna ahli Keteraangan Saksi Keterangan Ahli 1. Seseorang (beberapa) saksi

dipanggil ke muka pengadilan untuk mengemukakan keterangn tentang hal-hal yang ia lihat, denganr atau dialami sendiri. 2. Keterangan saksi harus lisan, bila

tertulis maka jadi alat bukti tertulis.

3. Kedudukan ssaksi tidak boleh diganti degnan saksi lain kecuali sanma-sam melihat, mendengar, dan menyaksikan peristiwa itu.

1. Seseorang (beberapa) saksi ahli dipanggil ke muka pengadilan untuk mengemukakan keterangan berdasarkan keahliannya terhadap suatu peristiwa.

2. Keterangan saksi ahli bisa secara lisan ataupun tertulis.

3. Kedudukan seorang ahli dapat diganti dengan yagn lain yagn sesuai dengan keahliannya.

6. Pengakuan Para Pihak dan Pengetahuan Hakim A. Pengakuan Para Pihak

Pengakuan yang diucapkan dalam persidangan dapat berupa pengakuan lisan dan dapat pula pengakuan tertulis yang dibicarakan dipersidangan. Pengakuan sifatinya membenarkan seluruh atau salah satu hak atau hubungan hukum yang dikemukakan oleh penggugat. Pengakuan yang dimaksud dalam pasal 174 HIR,311 RBG adalah pengakuan yang berhubungan dengan perselisihan yang tidak dapat diselesaikan oleh pihak-pihak itu sendiri. Oleh karena itu, jika ada pengakuan yang dimanipulasi tidak termasuk pengakuan yang


(17)

dimaksudkan. Pengakuan yang diberikan oleh tergugat dalam perselisihan mempunyai kekuatan bukti yang sempurna.9

Pasal 105 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan Undang No. 51 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha negara menjelaskan, bahwa pengakuan para pihak tidak dapat ditarik kembali kecuali berdasarkan alasan yang kuat dan dapat diterima oleh hakim.10

B. Pengetahuan Hakim

Menurut pasal 106 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan tata Usaha Negara, pengetahuan hakim adalah hal yang olehnya diketahui dan diyakini kebenarannya. Salah satu daripadanya oleh hakim tersebut, atau hakim lain yang ditunjuknya, seperti hasil pemeriksaan setempat, guna melakukan penilaian yang tepat mengenai perkara yang sedang diperiksa.11

9 Dwi Putri Cahyawati, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarat: Gramata Publishing,


(18)

BAB III KESIMPULAN

Macam-macam alat bukti di PTUN : · Surat atau tulisan

· Keterangan ahli · Keterangan saksi · Pengakuan para pihak

Sesuai dengan pasal 100 UU No.5/1986 dapat disimpulkan bahwa hukum acara TUN itu menganut ajaran pembuktian bebas yang terbatas karena alat-alat bukti yang digunakan itu sudah ditentukan secara limitatif dalam pasal tersebut, begitu juga sesuai dengan pasal 107 UU No.5/1986 hakim dibatasi kewenangannya menilai sahnya pembuktian yaitu paling sedikit 2 alat bukti berdasarkan keyakinannya.


(19)

DAFTAR PUSTAKA

Cahyawati, Dwi Putri. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. 2014. Jakarat: Gramata Publishing.

Kansil, C.S.T.. Hukum Acara Peradilan Tata Usah Negara. 2008. Jakarta: Pradnya Paramita. Prodjohamidjojo, Martiman. Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara dan UU PTUN 2004. 2005. Jakarta: Ghalia Indonesia.


(1)

Akta di bawah tangan adalah suatu surat yang ditandatangani dan dibuat dengan maksud untuk dijadikan bukti dari suatu peristiwa atau peristiwa hukum. Akta di bawah tangan tidak dibuat di hadapan pejabat umum. Akta di bawah tangan tidak mempunyai kekuatan bukti sempurna seperti akta otentik, kecuali apabila pihak-pihak yang bersangkutan mengakuinya mengenai tanggal dan penandatanganan serta isi akta itu.

c. Surat lain bukan akta

Hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara tidak mengatur mengenai surat-surat lainnya bukan bersifat akta otentik maupun akta di bawah tangan, demikian juga dalam ordonansi Staatsblad 1867 serta dalam KUHPer, sehingga menimbulkan persoalan seberapa jauh kekuatan pembuktian surat-surat lain tersebut yang tidak ada penandatanganan, tidak diberi penanggalan (dagtekening), serta tidak dikuatkan (legalisasi) oleh pejabat umum mengenai kekuatan sebagai alat bukti.7

5. Keterangan Ahli dan Keterangan Saksi A. Keterangan Ahli

Di dalam undang-undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pasal 102 dijelaskan, bahwa keterangan ahli adalah pendapat orang yang diberikan di bawah sumpah dalam persidangan tentang hal yang ia ketahui menurut pengalaman dan pengetahuannya. Termasuk keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh juru taksir.8 Kehadiran seorang ahli di persidangan adalah atas permintaan kedua belah pihak atau atau salah satu pihak atau karena jabatannya. Hakim ketyua dsidang dapat menunjuk beberapa orang ahlui untuk memberikan keterangan baik dengan surat maupun tulisan, yang dikuatkan dengan sumpah atau janji menurut kebenaran sepanjang pengetahuan da pengalamannya (Pasal 103 UPTUN).

Keterangan ahli diperlukan untuk menambah keyakinan hakim mengenai suatu persoalan di bidang tertentu, yang memang hanya biusa dijelaskan oleh ahli di bidang 7 Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara dan UU PTUN 2004, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2005), hlm. 84-87.


(2)

yang bersangkutan, unmpamanya ahli di biadang perbankan, ahli di bidang komputer, dan ahli balistik. Dalam hal ini keterangan juru taksir daapapt digolongkan sebagai keterangan ahli. Tetapi mereka yang tidak dapat didnganr sebagi saksi (Pasal 88 UPTUN) dalam perkara itu, juga tidak dapat diangkat sebagai ahli.

B. Keterangan saksi

Saksi adalah orang yagn memnerikan keterangan di muka sidang dengan memenuhi syarat-syarat tertentu, tentang suatu peristiwa atau keadaan yang ia lihat, dengan dan ia alami sendiri, sebagai bukti terjadinya peristiwa atau keadaan tersebut.

Setiap orang pada prinsipnya wajib untuk memberikan kesaksian apabila dibutuhkan oleh pengadilan, tetrapi tidak semua orang dapat menjadi saksi. Ada beberoapa sakasi yang dilaran gatau tidak diperbolehkan didenganr keterangannya sebagi saksi sebagaimana sdiatur dlam pasal 88 UPTUN sebagaii berikut:.

1. Keluarga sedarah atua semenda menurut garis keturunan lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat kedua dari salah satu yagn bersengketa.

2. Isteri atau suami salah satu pihak yang bersangkutan meskipun sudah bercerai. 3. Anaka yang belum berusia tujuh belas tahun.

4. Orang sakit ingatan

Ada beberapa orang yang meskipun berhak menajdi saksi tertapi berhak pula mengundurkan diri sebagai saksi (Pasal 89 UPTUN), yaitu:

1. Saudara laki-laki dan perempuan, ipar laki-laki dan perempuan salah satu pihak. 2. Setiap orang yang karena martabat, pekerjaan atau jabatannya diwajibkan

merahasiakan segala sesuatu yang berhubugnan dengan hal itu.

Adakalanya, orang yagn dijadikan saksi itu tidak mengerti bahsa Indonesia, hakim daapt menunjuk seseorang yang akan bertindak sebagai penerjemah dan sebelum melaksanakannya tugasnya ia harus disumpah terlebih dahulu. Dan apabila seoran gsaksi dalam keadaan bisu tuli sdan tidak bisa menulis, maka demi kepentingan pemeriksaan , hakim menunjuk seseorang yang sudah biasa bergaul


(3)

Sebelum melaksanajan tugasnya, ia wajib mengucapokan sumpah atau janji menurut agama dan kepercayaannya. Adapun apabila yang dipanggila sebagai saksi adalah pejabat TUN, maka pejabat tersebut tidak boleh mewakili orang lain, ia wajib datang sendiri ke persidangan.

Sehubungan degna uraian di atas, terdaapt perbedaan antara keterangan saksi dan keteranbgan ahli. Perbedaan tresebut ditunjuk pada tabel berikut.

Perbedaan keterangnan saksi dan keterangna ahli

Keteraangan Saksi Keterangan Ahli

1. Seseorang (beberapa) saksi dipanggil ke muka pengadilan untuk mengemukakan keterangn tentang hal-hal yang ia lihat, denganr atau dialami sendiri. 2. Keterangan saksi harus lisan, bila

tertulis maka jadi alat bukti tertulis.

3. Kedudukan ssaksi tidak boleh diganti degnan saksi lain kecuali sanma-sam melihat, mendengar, dan menyaksikan peristiwa itu.

1. Seseorang (beberapa) saksi ahli dipanggil ke muka pengadilan untuk mengemukakan keterangan berdasarkan keahliannya terhadap suatu peristiwa.

2. Keterangan saksi ahli bisa secara lisan ataupun tertulis.

3. Kedudukan seorang ahli dapat diganti dengan yagn lain yagn sesuai dengan keahliannya.

6. Pengakuan Para Pihak dan Pengetahuan Hakim A. Pengakuan Para Pihak

Pengakuan yang diucapkan dalam persidangan dapat berupa pengakuan lisan dan dapat pula pengakuan tertulis yang dibicarakan dipersidangan. Pengakuan sifatinya membenarkan seluruh atau salah satu hak atau hubungan hukum yang dikemukakan oleh penggugat. Pengakuan yang dimaksud dalam pasal 174 HIR,311 RBG adalah pengakuan yang berhubungan dengan perselisihan yang tidak dapat diselesaikan oleh pihak-pihak itu sendiri. Oleh karena itu, jika ada pengakuan yang dimanipulasi tidak termasuk pengakuan yang


(4)

dimaksudkan. Pengakuan yang diberikan oleh tergugat dalam perselisihan mempunyai kekuatan bukti yang sempurna.9

Pasal 105 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan Undang No. 51 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha negara menjelaskan, bahwa pengakuan para pihak tidak dapat ditarik kembali kecuali berdasarkan alasan yang kuat dan dapat diterima oleh hakim.10

B. Pengetahuan Hakim

Menurut pasal 106 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan tata Usaha Negara, pengetahuan hakim adalah hal yang olehnya diketahui dan diyakini kebenarannya. Salah satu daripadanya oleh hakim tersebut, atau hakim lain yang ditunjuknya, seperti hasil pemeriksaan setempat, guna melakukan penilaian yang tepat mengenai perkara yang sedang diperiksa.11


(5)

BAB III KESIMPULAN

Macam-macam alat bukti di PTUN : · Surat atau tulisan

· Keterangan ahli · Keterangan saksi · Pengakuan para pihak

Sesuai dengan pasal 100 UU No.5/1986 dapat disimpulkan bahwa hukum acara TUN itu menganut ajaran pembuktian bebas yang terbatas karena alat-alat bukti yang digunakan itu sudah ditentukan secara limitatif dalam pasal tersebut, begitu juga sesuai dengan pasal 107 UU No.5/1986 hakim dibatasi kewenangannya menilai sahnya pembuktian yaitu paling sedikit 2 alat bukti berdasarkan keyakinannya.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Cahyawati, Dwi Putri. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. 2014. Jakarat: Gramata Publishing.

Kansil, C.S.T.. Hukum Acara Peradilan Tata Usah Negara. 2008. Jakarta: Pradnya Paramita. Prodjohamidjojo, Martiman. Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara dan UU PTUN 2004. 2005. Jakarta: Ghalia Indonesia.