Lokasi Patogenesis dan Faktor Risiko

Di Asia Tenggara, kanker lambung masih berada pada peringkat keempat berdasarkan insidensi dan berada pada peringkat kelima berdasarkan mortalitas. Kanker ini juga merupakan salah satu dari lima kanker yang paling sering dijumpai pada laki-laki. Sementara itu, angka insidensi kanker lambung di Indonesia adalah sebanyak 6.011 kasus dengan angka mortalitas sebesar 5.406 IARC, 2013.

2.3.3. Lokasi

Berdasarkan International Classification of Disease for Oncology ICD-O dari WHO, lokasi kanker lambung dapat dibagi menjadi: 1. Kardia 2. Fundus 3. Korpus 4. Antrum 5. Pilorus 6. Kurvatura minor 7. Kurvatura mayor 8. Overlapping 9. Not otherwise specified NOS Gambar 2.4. Pembagian Lokasi Kanker Kambung. Sumber: Edge, S.B., 2010. AJCC Cancer Staging Manual. Universitas Sumatera Utara Lokasi kanker lambung juga dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu: kardia, non-kardia fundus, korpus, antrum, pilorus, kurvatura minor, dan kurvatura mayor, serta overlapping. Menurut American Cancer Society 2015, yang disebut bagian proksimal adalah kardia, fundus, dan korpus, sedangkan yang disebut bagian distal adalah antrum dan pilorus. Berdasarkan penelitian Mabula et al. 2012, antrum merupakan daerah paling sering ditemukannya kanker lambung, sedangkan menurut penelitian Yusuf et al. 2009, korpus dan antrum merupakan lokasi paling sering.

2.3.4. Histopatologi

Terdapat beberapa klasifikasi dalam histopatologi, tetapi yang paling sering digunakan adalah klasifikasi WHO dan Lauren.

1. Klasifikasi WHO

WHO membagi kanker lambung menjadi empat tipe utama papillary, tubular, mucinous, dan signet-ring serta tipe-tipe lain yang jarang dijumpai. Diagnosis didasarkan pada tipe histologi yang dominan. a. Tipe tubular menggambarkan tubulus berbagai ukuran yang memanjang, bersatu, atau bercabang-cabang, sering disertai dengan mucus intraluminal, nucleus, dan debris-debris inflamasi Hu et al., 2012. Berdasarkan penelitian Oh dan Park 2011, tipe ini adalah tipe yang paling sering dijumpai. b. Tipe papillary mempunyai karakteristik epitel yang ditunjang oleh inti fibrovaskuler sentral Hu et al., 2012. c. Tipe mucinous mempunyai karakteristik kolam-kolam mucin ekstraseluler yang mengisi 50 atau lebih volum tumor Hu et al., 2012. d. Tipe signet-ring cells dan tipe poorly cohesive lainnya sering tersusun dari campuran signet ring cells dan non-signet ring cells. Sel-sel tipe poorly cohesive non-signet ring adalah yang secara morfologi menggambarkan histiosit, limfosit, dan sel plasma Hu et al., 2012. Tipe signet-ring cells sering memicu reaksi pada jaringan ikat padat saat menginfiltrasi submukosa Universitas Sumatera Utara dan jaringan yang lebih dalam, menghasilkan linitis plastica Riddell dan Jain, 2014. e. Tipe mixed menunjukkan campuran dari tipe glandular tubular atau papillary dan tipe poorly cohesive Shepherd et al., 2013. f. Selain keempat tipe utama di atas, WHO juga menemukan tipe lain yang jarang terjadi, yaitu: adenosquamous carcinoma, squamous carcinoma, hepatoid adenocarcinoma, carcinoma with lymphoid stroma, choriocarcinoma, parietal cell carcinoma, malignant rhabdoid tumor, mucoepidermoid carcinoma, paneth cell carcinoma, undifferentiated carcinoma, mixed adeno-neuroendocrine carcinoma, endodermal sinus tumor, embryonal carcinoma, pure gastric yolk sac tumor, dan oncocytic adenocarcinoma.

2. Klasifikasi Lauren

Berdasarkan klasifikasi Lauren, kanker lambung dapat dibagi menjadi dua tipe, yaitu intestinal atau diffuse. Kanker-kanker yang mempunyai komposisi seimbang antara komponen intestinal dan diffuse disebut tipe mixed. Kanker yang terlalu berbeda sehingga tidak dapat dimasukkan ke dalam kategori manapun dimasukkan ke dalam tipe indeterminate Shepherd et al. 2013. a. Tipe intestinal mempunyai kecenderungan untuk membentuk kelenjar- kelenjar dengan berbagai tingkatan diferensiasi Shepherd et al., 2013. b. Tipe diffuse menunjukkan pola pertumbuhan yang bersifat infiltratif dan terdiri dari sel-sel non-kohesif dengan vakuola mucin berukuran besar yang dapat meluas ke sitoplasma dan mendorong nukleus ke perifer, memberikan gambaran signet-ring cells. Tipe ini juga sering menghasikan reaksi desmoplasia yang menyebabkan kekakuan pada dinding lambung. Dinding lambung ini memberikan gambaran “leather bottle” atau yang disebut linitis plastica Kumar, Abbas, and Aster, 2013. Universitas Sumatera Utara Tabel 2.1. Perbandingan Klasifikasi WHO dan Lauren. Sumber: Hu, et al., 2012. Gastric cancer: Classification, histology and application of molecular pathology Grading Grading terutama diaplikasikan untuk kanker tipe tubular dan papillary. Tipe well differentiated tersusun atas kelenjar-kelenjar yang masih terjaga bentuknya, kadang menyerupai epitel intestinal metaplastik. Tipe poorly differentiated tersusun atas struktur kelenjar-kelenjar irregular yang sulit dikenali. Sementara itu, tipe moderately differentiated menunjukkan fitur pertengahan antara well dan poorly differentiated. Grading juga dapat diklasifikasikan sebagai low grade well dan moderately differentiated atau high grade poorly differentiated Shepherd, et al., 2013. Lazar et al. 2009 dan Wang et al. 2014 menyatakan bahwa gambaran histopatologi yang paling sering dijumpai adalah tipe poorly differentiated. Universitas Sumatera Utara

2.3.5. Patogenesis dan Faktor Risiko

Patogenesis kanker lambung meliputi faktor risiko multipel, yang sebagian besar bekerja pada lingkungan mukosa lambung dalam jangka waktu yang panjang. Perubahan mukosa lambung yang mendahului proses terbentuknya kanker invasif dikenal dengan kaskade prekanker yang pertama kali dijelaskan oleh Correa. Pada kaskade ini, mukosa normal berubah menjadi gastritis atropi kronis kemudian multifokal atropi dan metaplasia intestinal, lalu diikuti dengan munculnya displasia dan akhirnya kanker invasif McGrath, Ebert, dan Rocken, 2007. Saat ini telah dikenal H. pylori yang menginfeksi setengah dari populasi dunia, sebagai faktor utama pencetus gastritis atropi dan perubahan histologis menjadi kanker lambung Fox dan Wang, 2007. Gambar 2.5. Respon Terhadap Infeksi H. pylori. Sumber: Smith, M.G., Hold G.L., Tahara, E., et al., 2006. Cellular and molecular aspects of gastric cancer. Sejak awal abad ke-20, telah ditemukan bahwa perbedaan pola gastritis akibat infeksi kronis H. pylori menghasilkan clinical outcome yang berbeda. Mayoritas individu yang terinfeksi H. pylori mengalami pangastritis ringan yang tidak mengubah fisiologi lambung. Menurut Hansson 1996 dalam Smith et al. 2006, gastritis yang mendominasi daerah antrum biasanya dihubungkan dengan hiperkloridia, yang membawa risiko rendah terhadap pembentukan kanker lambung, tetapi risiko tinggi terhadap pembentukan duodenal ulcer. Sedangkan Universitas Sumatera Utara menurut Uemura et al. 2001 dalam Smith et al. 2006, gastritis yang mendominasi daerah korpus dapat mengakibatkan hipokloridia dan risiko tinggi terhadap terbentuknya kanker lambung. Mekanisme terjadinya hipokloridia dihubungkan dengan cytotoxin associated-gene A CagA yang merupakan salah satu faktor virulensi H. pylori. Pada tahap awal, masuknya CagA ke dalam sel epitel lambung normal akan memicu reaksi apoptosis. Reaksi ini dapat menyebabkan berkurangnya sel-sel epitel penyekresi asam pada mukosa lambung sehingga terjadi kenaikan pH lambung Hatakeyama, 2014. Kekurangan asam ini akan memperluas area kolonisasi H. pylori dan memperparah kerusakan jaringan Shanks dan El-Omar, 2009. Inflamasi kronis yang dihubungkan dengan infeksi jangka panjang dapat mengakibatkan perubahan genetik pada sel-sel mukosa lambung, sehingga masuknya CagA ke dalam sel-sel abnormal ini dapat menyebabkan pergantian sinyal dari apoptosis menjadi proliferasi Hatakeyama, 2014. Menurut Hsu et al. 2007 dan Uemura et al. 2001 dalam Peleteiro dan Lunet 2011, walaupun infeksi H. pylori merupakan determinan terpenting untuk kanker lambung, hanya sedikit dari subjek yang terinfeksi akan mencapai hasil akhir berupa kanker lambung, sehingga faktor-faktor lain juga harus dipertimbangkan. Universitas Sumatera Utara Tabel 2.2. Faktor Risiko Kanker Lambung. Sumber: DeVita, Lawrence, and Rosenberg, 2010. Principles Practice of Oncology.

2.3.6. Manifestasi Klinis