BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
ISPA Infeksi Saluran Pernapasan Akut adalah penyebab utama morbiditas dan mortalitas penyakit menular di dunia. Hampir empat juta orang meninggal akibat
ISPA setiap tahun, 98-nya disebabkan oleh infeksi saluran pernapasan bawah. Tingkat mortalitas sangat tinggi pada bayi, anak-anak, dan orang lanjut usia,
terutama di negara-negara dengan pendapatan per kapita rendah dan menengah. Begitu pula, ISPA merupakan salah satu penyebab utama konsultasi atau rawat
inap di fasilitas pelayanan kesehatan terutama pada bagian perawatan anak WHO, 2007.
ISPA merupakan penyakit yang paling sering terjadi pada anak. Insiden menurut kelompok umur balita diperkirakan 0,29 episode per anaktahun di
negara berkembang dan 0,05 episode per anaktahun di negara maju. Ini menunjukkan bahwa terdapat 156 juta episode baru di dunia per tahun dimana 151
juta episode 96,7 terjadi di negara berkembang. ISPA merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien ke Puskesmas 40-60 dan rumah sakit 15-
30 Kemenkes RI, 2011. Hasil survei morbiditas yang dilaksanakan oleh subdit ISPA dan
Balitbangkes menunjukkan angka kesakitan 5,12 , namun karena jumlah sampel dinilai tidak representatif maka subdit ISPA tetap menggunakan angka WHO
yaitu 10 dari jumlah balita. Angka WHO ini mendekati angka SKDI 2007 yaitu 11,2 Kemenkes RI, 2011.
ISPA, khususnya pneumoni masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia terutama pada balita. Menurut hasil Riskesdas 2007,
pneumoni merupakan penyebab kematian nomor dua pada balita 13,2 setelah diare 17,2 Profil Kesehatan Indonesia 2012.
Universitas Sumatera Utara
Faktor resiko yang berkontribusi terhadap insiden pneumoni antara lain gizi kurang, ASI eksklusif rendah, polusi udara dalam ruangan, kepadatan,
cakupan imunisasi campak rendah dan BBLR Kemenkes RI, 2012. Upaya pencegahan merupakan komponen yang paling strategis untuk
memberantas ISPA pada bayi terdiri atas pencegahan imunisasi dan non- imunisasi. Tindakan yang tidak kalah penting adalah pencegahan non-imunisasi
seperti nutrisi, keadaan lingkungan, dan pemberian ASI Eksklusif. Balita dengan gizi yang kurang akan lebih mudah terserang ISPA dibandingkan balita dengan
gizi normal karena faktor daya tahan tubuh yang kurang. Asap rokok dan asap hasil pembakaran bahan bakar untuk memasak dengan konsentrasi tinggi dapat
merusak mekanisme pertahanan paru-paru sehingga akan memudahkan timbulnya ISPA. Pemberian ASI eksklusif pada bayi dapat menghindarkan resiko terhadap
penularan penyakit ISPA. Adanya immunoglobulin A yang terkandung dalam ASI, maka pemberian ASI sedini mungkin dapat meningkatkan antibody di dalam
tubuh bayi Misnadiarly 2008, h. 28 dalam Muslikha, 2012. Pemberian ASI eksklusif di Indonesia belum dilaksanakan sepenuhnya.
Permasalahan yang utama adalah faktor sosial budaya, kesadaran akan pentingnya ASI, pelayanan kesehatan dan petugas kesehatan yang belum sepenuhnya
mendukung program Peningkatan Pemberian ASI PP - ASI, dan gencarnya promosi susu formula dan ibu bekerja Arimurti dalam Harahap, 2010 Selain itu,
rendahnya pengetahuan ibu tentang manfaat pemberian ASI eksklusif juga menjadi salah satu faktor penyebab permasalah an di atas Fuadi, 2011.Di
provinsi Sumatera Utara, cakupan persentase bayi yang diberi ASI eksklusif dari tahun 2004
– 2012 cenderung menurun secara signifikan, hanya pada tahun 2008 mengalami peningkatan sebesar 10,33 dibandingkan tahun 2007 Dinkes
Provinsi Sumut, 2013 dalam Sinaga, 2014. Tingginya angka kejadian ISPA, serta masih rendahnya cakupan ASI
eksklusif, merupakan suatu masalah yang perlu mendapatkan perhatian. Disamping itu, peneliti juga tertarik untuk mengetahui hubungan lamanya
Universitas Sumatera Utara
pemberian ASI terhadap keajdian ISPA yang terjadi pada bayi usia 0-12 bulan. Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti tertarik mengangkat judul
“Hubungan pemberian ASI eksklusif terhadap kejadian ISPA pada bayi usia 0-12 bulan”.
1.2. Rumusan Masalah