1
BAB I PE NDAH ULUAN
1.1 Latar Belakang
Kemampuan Berinteraksi Sosial merupakan salah satu kemampuan yang penting dimiliki oleh remaja, Kemampuan Berinteraksi Sosial ini akan menjadi bekal
untuk kehidupan anak atau remaja dimasa yang akan datang. Secara langsung maupun tidak langsung, kemampuan berinteraksi sosial membantu remaja untuk dapat
menyesuaiakan diri dengan standar harapan masyarakat dalam norma-norma yang berlaku disekelilingnya Matson, Ollendick, 2011, ketika remaja tidak dapat
menyesuaikan diri dengan norma-norma disekelilingnya remaja akan mencari pelarian ke hal-hal yang tidak baik, mengalami gangguan perilaku karena rendahya
kemampuan berinteraksi sosial pada remaja, akibatnya remaja melakukan hal-hal yang dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain, Lohey, 2007.
Mu’tadin 2006 juga mengemukakan bahwa salah satu tugas perkembangan yang harus dikuasai remaja yang berada dalam fase perkembangan masa remaja
adalah memiliki keterampilan berinteraksi sosial untuk dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan sehari-hari. Kemampuan berinteraksi sosial tersebut meliputi
kemampuan berkomunikasi, menjalin hubungan dengan orang lain, menghargai diri sendiri dan orang lain, mendengarkan pendapat atau keluhan dari orang lain,
memberi atau menerima feedback, memberi atau menerima kritik, bertindak sesuai norma dan aturan yang berlaku, dan sebagainya. Apabila Kemampuan berinteraksi
sosial dapat dikuasai oleh remaja pada fase tersebut maka ia akan mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya. Remaja yang memiliki kemampuan
berinteraksi sosial yang rendah cenderung menunjukkan prasangka permusuhan, saat berhadapan dengan stimulus sosial yang ambigu mereka sering mengartikannya
sebagai tanda permusuhan sehingga menghadapinya dengan tindakan agresif Crick
Dodge, 2001. Sehingga remaja harus dapat memiliki keterampilan berinteraksi sosial yang baik untuk dapat bersosialisasi dengan lingkungan sosialnya karena pada
dasarnya manusia adalah mahluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri yang selalu membutuhkan orang lain .
Rendahnya kemampuan berinteraksi sosial ini membuat remaja kurang mampu menjalin interaksi secara efektif dengan lingkungannya dan memilih tindakan
agresif sebagai strategi coping. Mereka cenderung mengganggap tindakan agresif merupakan cara yang paling tepat untuk mengatasi permasalahan sosial dan
mendapatkan apa yang mereka inginkan. Akibatnya, mereka sering ditolak oleh orang tua, teman sebaya, dan lingkungan Patterso, 2005. Tindakan agresif yang sekarang
menjadi permasalahan pada remaja yang terjadi di lingkungan sekolah adalah bullying. Kekerasan di sekolah ibarat fenomena gunung es yang nampak ke permukaan hanya
bagian kecilnya saja. Akan terus berulang, jika tidak ditangani secara tepat dan berkesinambungan dari akar persoalannya. Budaya bullying kekerasan atas nama
senioritas masih terus terjadi di kalangan peserta didik. Bullying
merupakan sebuah kata serapan dari bahasa Inggris. Istilah Bullying belum banyak dikenal masyarakat, terlebih karena belum ada padanan kata yang tepat
dalam bahasa Indonesia Susanti, 2006. Bullying juga didefinikan sebagai perilaku agresif yang dilakukan secara sengaja terjadi berulang-ulang untuk menyerang seorang
target atau korban yang lemah, mudah dihina dan tidak bisa membela diri sendiri Sejiwa, 2008. Faktor-faktor dari perilaku bullying itu sendiri menurut National
A ssociation of School Psychologists 2012 itu sendiri yaitu faktor keluarga, lingkungan,
sekolah dan individu grup, sosial interaction sk ill, popularitas, attitude, gender, usia, intelektual, depresi. Dari beberapa faktor tersebut peneliti akan meneliti salah satu
faktor individu yaitu faktor social interaction sk ill atau kemampuan berinteraksi sosial.
Koebler 2011 menyatakan dalam situsnya bahwa di USA dalam suatu penelitian selama Triwulan pada peserta didik SMA, sekitar seperempat dari peserta
didik SMA di intimidasi bullying sekurangnya sekali selama tahun ajaran 2008-2009, dan sekitar 7 persen diintimidasi secara online oleh peserta lain, menurut data 22
Agustus 2011 oleh National Center for E ducation statistics NCE S US. Dari data tersebut sangat mengkhawatirkan, peserta didik usia 12-18 yang diintimidasi sekitar 289.000
peserta didik yang dilaporkan membawa pistol, pisau, atau senjata lain ke sekolah, 7,4 peserta didik yang diintimidasi online dilaporkan membawa senjata ke sekolah.
Secara umum, sekitar 5 dari peserta didik SMA dilaporkan terancam dan 6,6 secara fisik diintimidasi seperti didorong, disandung, atau diludahi. Kebanyakan
bullying terjadi di lorong sekolah, tangga, atau di dalam kelas. Dan beberapa kasus,
peserta didik diintimidasi di kamar mandi, ruang ganti, kantin sekolah, atau bus sekolah. Peserta didik yang lebih muda lebih mungkin diganggu oleh seniornya.
Di indonesia sendiri penelitian yang dilakukan oleh Sejiwa 2008 tentang kekerasan bullying di tiga kota besar di Indonesia, yaitu Yogyakarta, Surabaya, dan
Jakarta mencatat terjadinya tingkat kekerasan sebesar 67,9 di tingkat Sekolah Menengah Atas SMA dan 66,1 di tingkat Sekolah Menengah Pertama SMP.
Kekerasan yang dilakukan sesama siswa tercatat sebesar 41,2 untuk tingkat SMP dan 43,7 untuk tingkat SMA dengan kategori tertinggi kekerasan psikologis berupa
pengucilan. Peringkat kedua ditempati kekerasan verbal mengejek dan kekerasan fisik memukul.
Dampak dari bullying baik untuk korban menurut hasil studi yang dilakukan National Youth V iolence Prevention Resource Center Sanders
Sanders, 2005 menunjukkan bahwa bullying dapat membuat remaja merasa cemas dan ketakutan, mempengaruhi
konsentrasi belajar di sekolah dan menuntun mereka untuk menghindari sekolah. Bila
bullying berlanjut dalam jangka waktu yang lama, dapat mempengaruhi self-esteem siswa,
meningkatkan isolasi sosial, memunculkan perilaku menarik diri, menjadikan remaja rentan terhadap stress dan depresi, serta rasa tidak aman dan dampak untuk pelaku
bullying pada umumnya, para pelaku ini memiliki rasa percaya diri yang tinggi dengan
harga diri yang tinggi pula, cenderung bersifat agresif dengan perilaku yang pro terhadap kekerasan, tipikal orang berwatak keras, mudah marah dan impulsif,
toleransi yang rendah terhadap frustasi. Para pelaku bullying ini memiliki kebutuhan kuat untuk mendominasi orang lain dan kurang berempati terhadap targetnya.
Dari berbagai dampak dan angka kejadian bullying yang telah dijelaskan di atas maka pemerintah, orang tua, pihak sekolah, maupun pihak terkait khususnya
duniailmu keperawatan dapat merancang tindakan untuk meminimalisasi dampak yang timbul dari bullying. Dampak yang di timbulkan akibat perilaku bullying ini tidak
hanya mempengaruhi kehidupan pada saat ini, akan tetapi dapat berdampak pada kehidupan anak atau remajasetelah ia tumbuh dewasa Milsom Gallo, 2006.
Seperti kita ketahui keperawatan khususnya keperawatan komunitas memiliki peranan menurut Doheny, 2000 antara lain : care giver, client advocate, conselor, educator,
collaborator, coordinator change agent, consultant dan interpersonal proses. Salah satu peran
perawat yang berkaitan untuk dapat memperhatikan dan merancang untuk melakukan tindakan untuk menekan perilaku bullying yaitu Change A gent atau
pembawa perubahan yaitu seseorang yang berinisiatif membuat perubahan pada dirinya atau pada system. Oleh karena itu, peneliti akan melakukan penelitian
berkaitan dengan perilaku bullying yang di harapkan dapat mmberikan edukasi, dan reverensi untuk pembaca khususnya untuk dunia keperawatan
Berdasarkan study pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti pada tanggal 29 Maret 2014 yaitu dengan melakukan wawancara dengan kepala sekolah SMK X
malang yang merangkap sebagai guru BK bimbingan konseling sekolah mengatakan siswa siswi mereka pernah malaporkan kejadian kekerasan baik verbal
nonverbal yang dilakukan baik langsung ataupun tidak seperti dengan menggunakan SMS atau saling menjelekan di sosial media, sampai terjadi perkelahian atau adu fisik
antar siswa. Menyadari pentingnya kemampuan berinteraksi sosial terhadap perilaku
bullying di siswa siswi khususnya pada remaja guna menekan kejadian perilaku bullying
maka perlu di adakan penelitian tentang faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perilaku bullying. Berdasarkan data yang telah dijelaskan pada latar belakang ini maka
peneliti bermaksud untuk mengadakan sebuah penelitian tentang hubungan kemampuan berinteraksi sosial dengan perilaku bullying pada remaja di SMK X
Malang.
1.2 Rumusan Masalah