Latar Belakang PROSES POLITIK PEMBENTUKAN PROVINSI KOTAWARINGIN RAYA (Studi Kasus tentang Rencana Pembentukan Provinsi Kotawaringin Raya)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setelah runtuhnya kekuasaan orde baru pada 12 Mei 1998, hampir semua komponen bangsa memberikan perhatian yang serius terhadap persoalan berbangsa dan bernegara. Legitimasi politik otoritarium orde baru selama tiga puluh dua tahun telah memasung masyarakat yang serba terbatas pada persoalan politik. Aktivitas-aktivitas politik tidak pernah dibaca dalam kehidupan masyarakat pada umumnya, sebab tidak ada cara yang dilakukan pemerintahan Suharto dan militernya, terkeculi dengan melakukan kontrol politik terhadap masyarakat dengan cara politik otoriteriumnya. Sehingga kemudian akan melahirkan perilaku negara yang bias-elit dan bias-pusat sentarlistik, dengan melumpuhkan potensi lokal melalui penyeragaman pengaturan uniformitas. Artinya bahwa organ-organ supra-struktur politik lokal diatur secara terpusat dan seragam tanpa mengindahkan heterogenitas” sistem politik” lokal, dan elit pemerintahan lokal hanya dijadikan kepanjangan tangan pemerintah pusat mendapat kewenangan untuk memanuver politik di daerah sebagai bentuk pengabdiannya terhadap pemerintah pusat 1 . Sehubungan dengan krisis legitimasi politik yang sebagai akibat dari krisis kepercayaan kepemimpinan Suharto. Maka reformasi politik dengan membawa warisan masalah dari pemerintah yang berkuasa sebelumnya, sehingga yang 1 Abdul Gaffar Karim ,2003. Desentralisasi, Kompleksitas Persoalan Otnomi Daerah di Indonesia, Pustaka Pelajar,Yogyakarta, Hal: 39 menjadi konsekuensi logis bagi pemerintah dengan mengeluarkan Undang- undang tentang pemerintah daerah No 22 tahun 1999 yang kemdian diperbaharui menjadi UU 32 tahun 2004 , sebagaimana yang di kandung adalah usaha memberi kesempatan kepada daerah untuk memberdayakan potensi ekonomi, sosial-budaya dan politik di wilayahnya. Dengan diterbitkannya Undang-undang tersebut, pemerintah daerah tidak lagi sepenuhnya bergantung terhadap pemerintah dan tidak lagi mau di dikte oleh pemerintah pusat. Sejak diberlakukannya 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, pemekaran daerah mengalami perubahan yang sangat signifikan. Selama ini, proses pemekaran melalui battom-up dan didominasi oleh proses politik dari pada administaratif 2 . Dan diawali oleh keinginan kuat masyarakat dengan mengusulkan terhadap DPRD dan dibahas dengan kepala daerah untuk meminta persetujuannya, dan kemudian diusulkan kepemerintahan nasional melalui mentri dalam negri. Proses seperti ini dimulai pada saat legitimasi Pemerintah Nasional yang mulai lemah dalam menghadapi berbagai tekanan-tekanan politik dari masyarakat dan elit politik di daerah. Melalui formulasi dan situasi politik seperti inilah yang kemudian memberikan peluang sebesar-besarnya bagi setiap daerah untuk melakukan proses pemekaran daerah atau dengan kata lain kran proses politik pemekaran daerah telah dibuka dengan seluas-luasnya untuk melakukan pemekaran daerah. Dalam satu dekade, mulai Oktober 1999- 2010 jumlah pemekaran daerah otonomi di Indonesia sejumlah 205 daerah pemekaran baru. Terdapat 7 Provinsi, 164 2 Pratikno, dalam judul tulisanya Usulan Perubahan Pemekaran dan Penggabungan Daerah, di akses pada 7 mei 2011 Kabupaten dan 34 Kota yang tebentuk hasil dari pemekaran daerah 3 . Bahkan, usulan pemekaran daerah di Indonesia sampai sekarang ini masih juga berlangsung, dan disertai dengan mobilisasi massa dan dukungan politik ditingkat daerah maupun Nasional. Pada era Otonomi daerah sekarang ini, kran proses pemekaran daerah di Indonesia di buka dengan seluas-luasnya bagi setiap daerah untuk melakukan pemekaran daerah, dan ini bisa di asumsikan salah satu bentuk aktualisasi dari Undang-undang Otonomi Daerah dan Peraturan Pemerintah. Dalam konteks proses pemekaran daerah dapat diproses melalui dua tahap, yaitu proses teknokratis kajian kelayakan teknis dan administratif, dan melalui proses politik karena selain harus memenuhi persyaratan teknokratis yang telah di atur dalam undang-undang maupun peraturan pemerintah, akan tetapi proses pemekaran juga di dukung oleh DPR secara politis. Mencermati kenyataan banyak daerah baru yang terbentuk sekarang ini, sangat nampak bahwa proses pemekaran daerah mudah direalisaskan dan terkesan terjadi kompromi 4 , seperti: 1. Proses teknokrasi yang fleksible. misalnya, a. Kreteria kelayakan pemekaran yang mudah dipenuhi dan bahkan dimanipulasi, seperti kreteria jumlah penduduk yang tidak wajib karena di akumulasikan dengan indikator yang lain. b. Studi kelayakan yang dilakukan oleh pihak ketiga yang cenderung mendukung dan memaksa terjadinya pemekaran. 2. Proses politik yang cenderung anarkis. Artinya bahwa implementasi proses pemekaran wilayah dapat dilakukan melalui dua pintu masuk, yaitu lewat lembaga politik DPR sebagai usulan dari inisiatif DPR, dan melalui institusi pemerintah mendagri. Argument-argument politik seringkali memiliki posisi tawar-menawar yang lebih kuat dibandingkan eksekutif dalam hal proses politik pemekaran daerah. 3 Said Mas’ud, dalam tulisannya Kajian Normatif Pemekaran Propinsi, di akses pada 9 Agustus 2011 4 pratiknougm.co.id , dalam tulisanya berjudul, tentang usulan perubahan pemekaran dan penggabungan daerah, PDF, di akses pada 20 mei 2011 Melihat fenomena ini kemudian, proses pemekaran daerah semakin membeludak dan bahkan tidak bisa terhindarkan di era otonomi daerah sekarang ini, sebab pemekaran daerah diformulasikan dalam UUD 1945 terkandung makna Sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia memberikan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Lebih lanjut dikatan oleh Cornelis Lay 1991:18, mengatakan bahwa implementasi pemekaran daerah di era otonomi daerah sekarang ini merupakan jawaban yang tidak akan bisa terhindarkan. Sebab Otonomi Daerah itu sendiri di dalam penyelenggaraannya dipandang perlu lebih menekankan pada prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keragaman daerah 5 . Sejalan dengan proses pemekaran daerah yang tidak bisa dihindarkan di era sekarang ini telah melahirkan kompleksitas yang luar biasa di sejumlah daerah. Hal ini kemudian bisa dilihat dari munculnya berbagai dinamika politik lokal yang terjadi di berbagai daerah. Salah satu persolan yang muncul adalah maraknya wacana pemekaran daerah yang terjadi baik di tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten atau kota. Dari beberapa wacana pemekaran daerah itu, maka wacana pemekaran daerah yang terjadi di Provinsi Kalimatan Tengah merupakan sesuatu yang menarik untuk di kaji. Bagaimana kemudian tawar-menawar bargaining yang terjadi dalam proses pembentukan daerah provinsi baru tersebut. Beberapa kabupaten di Kalimantan Tengah telah sepakat untuk dilakukan pembentukan 5 Cornelis Lay. 2001, Otonomi Daerah dan “Ke-Indonesiaan”, Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Hal: 18 daerah provinsi baru yakni Provinsi Kotawaringin. Adapun kabuapaten tersebut di antaranya Kabuapaten Kotawaringian Barat, Kotawaringin Timur, Kabupaten Lamandu, Kabuapaten Seruyan, dan Kabuapaten Sukamara 6 . Pemekaran daerah adalah pemecahan provinsi atau kabupatenkota menjadi dua daerah atau lebih. Pemekaran daerah merupakan pembentukan daerah otonom baru. Oleh karena itu kemudian, pembentukan daerah otonom baru dapat di asumsikan sebagai perluasaan terhadap lokus kekuasaan di daerah. Dalam konteks pembentukan Provinsi Kotawaringin terdapat beberapa faktor yang melatarbelakangi, sehingga wacana pembentukan provinsi baru telah menjadi isu politik. Beberapa faktor-faktor tersebut telah di jelaskan oleh peneliti-peneliti sebelumnya, yaitu 7 ; pertama, belum ada pembentukan provinsi di pulau kalimantan. Kedua, luas Kalimantan Tengah 153.564 km2 atau 1,5 kali luas pulau Jawa. Ketiga, dinamika pembangunan di provinsi Kalimantan Tengah cukup lamban, khususnya Sampit dan Pangkalan bun yang dimana kedua daerah tersebut memiliki potensi alam dan struktur wilayah yang sangat bagus, tetapi faktor kendala yaitu ketersediaan infrastruktur yang kurang memadai. Keempat, jarak ibukota kabupaten ke ibukota provinsi terlalu jauh, sehingga mengakibatkan pembangunan berjalan lamban, pelayanan yang kurang maksimal dan tidak efektif serta pengendalian dan pengawasan controling sulit di lakukan. Kelima, kondisi penghubung antara daerah di Kalimanatan Tengah tidak memadai. Keenam, tidak meratanya pembangunan antara wilayah Kalimantan bagian Utara dan Selatan menjadi kecemburuan di antara beberapa kabuapaten yang ada di Kalimantan 6 Hasbi Alfikri, 2008 . Persipan Pembentukan Provinsi Kotawaringian, Skripsi tidak dipublikasikan 7 Ibid, hal 2 Tengah. Ketujuh, lima kabupaten merupakan calon pemebentukan Provinsi Kotawaringin telah dan dianggap daerah penyumbang terbesar APBD Kalimantan Tengah yakni 50 . Kedelapan, keinginan untuk mengembalikan daerah Kesultanan yang ada di Kalimantan Tengah. Sehubungan dengan itu kemudian, maka dalam konteks pembentukan provinsi Kotawaringin merupakan sebuah keharusan yang harus di aktualisasikan melihat berbagai macam permasalahan-permasalahan yang menjadi bukti yang kuat untuk menjadikan provinsi baru. Apalagi wacana pembentukan provinsi Kotawaringin merupakan aspirasi masyarakat yang menginginkan perubahan yang lebih nyata rill dalam pembanguan di Kalimantan Tengah. Sehingga dalam pembentukan Provinsi Kotawaringin merupakan harga mati dan tidak bisa ditawar lagi bagi masyarakat Kalimanatan Tengah, meskipun kemudian pembentukan daerah baru bukanlah perkara yang gampang untuk di realisasikan karena memerlukan pertimbangan yang matang dan waktu yang sangat panjang serta biaya yang cukup banyak. Melihat dari wacana pembentukan Provinsi Kotawaringin yang begitu rumit dan kompleks, maka dalam konteks proses pembentukan Daerah telah di formulasikan persyaratan-persyaratan dalam proses pemekaran wilayah secara normatif dijelaskan dalam Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengatur beberapa prasyarat bagi adanya pemekaran wilayah. Syarat tersebut antara lain syarat teknis, fisik kewilayahan, dan administratif. Demikian juga dalam Pasal 5 UU No 32 Tahun 2004 sebagai revisi atas UU No 22 Tahun 1999 menjelaskan mengenai prasyarat administratif, teknis, dan kewilayahan, dalam pengadaan pemekaran suatu wilayah. Demikian juga halnya pada Pasal 4 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2007 8 . Secara terperinci di jelaskan dalam Pasal 2 tujuan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 129 Tahun 2000 Tentang Persyaratan Pembentukan Dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah Presiden Republik Indonesia, tertulis bahwa adapun tujuan dari pemekaran wilayah adalah dalam rangka peningkatan pelayanan kepada masyarakat, percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi, percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah, percepatan pengelolaan potensi daerah, peningkatan keamanan dan ketertiban, serta peningkatan hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah 9 . Sejalan dengan persyaratan maupun tujuan yang dijelaskan secara normatif dari pembentukan wilayah tersebut, maka penulis sangat tertarik untuk mengakji dan meneliti lebih mendalam bagaimana proses politik yang terjadi dalam memperjuangkan pembentukan daerah baru tersebut, sehingga begitu lama wacana tersebut bergulir selalu menjadi tema utama di Kalimantan Tengah, padahal Undang-undang tidak memunafikkan itu serta apa saja yang melatarbelakangi berkembangnya wacana pembentukan Provinsi Kotawaringin di Kalimanatan Tengah. 8 UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Mengatur Beberapa Prasyarat bagi adanya Pemekaran Wilayah. 9 Pasal 2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 129 Tahun 2000 Tentang Persyaratan Pembentukan Dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah.

B. Rumusan Masalah