Politik pemekaran wilayah studi kasus: proses pembentukan kota Tengerang Selatan

(1)

POLITIK PEMEKARAN WILAYAH

STUDI KASUS PROSES PEMBENTUKAN KOTA

TANGERANG SELATAN

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh

Muhammad Rifki Pratama

105033201143

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1431H/2010M


(2)

(3)

(4)

(5)

ABSTRAKS Muhammad Rifki Pratama

Politik Pemekaran Wilayah: Proses Pembentukan Kota Tangerang Selatan

Dengan berusaha melakukan konsentrasi dalam pemekaran wilayah. Secara umum skripsi ini mengingatkan kepada penulis khususnya, dan kepada insan akademisi dan segenap masyarakat pada umumnya, bahwa pemekaran wilayah adalah sesuatu yang memiliki tujuan penting bagi sebuah daerah dalam suatu Negara, baik secara teori maupun secara praktiknya. Dalam ilmu politik, ada hal yang lebih penting dari pada sekedar memikirkan bagaimana cara berkuasa, yaitu bagaimana melakukan kesejahteraan sosial kepada seluruh rakyat. Begitu juga dalam mengejawantahkan azas demokrasi, yang mengembalikan segala sesuatunya kepada rakyat, artinya demokrasi juga mencita-citakan kesejahteraan sosial sebagai unsur penting dalam menjalankan roda pemerintahan sebuah negera. Hal yang sama juga diinginkan dalam konsep pemekaran wilayah, dengan upaya meningkatkan pelayanan publik kepada masyarakat, secara otomatis juga sedang melakukan upaya mensejahterakan masyarakat.

Dalam pemekaran wilayah dan pembentukan Kota Tangerang selatan yang terekam dalam skripsi ini, penulis sedikit-banyak berusaha menguraikan proses-prosesnya, baik secara adminstratif maupun secara politik, bagaimana wacana tersebut secara langsung disosialisasikan kepada masyarakat Tangerang di lima kecamatan yang hendak menjadi Kota Tangerang selatan. Ternyata memunculkan berbagai polemik, pro dan kontra, baik ditingkatan grace root maupun ditingkatan pemerintahan, karena pada umumnya wacana pemekaran wilayah adalah sebuah aspirasi yang sedikit disuarakan oleh masyarakat, karena memang pada intinya yang dibutuhkan masyarakat adalah sebuah hidup yang sejahtera (berkecukupan secara sandang, papan dan pangan). Jadi untuk mensejahterakan masyarakat, pemekaran wilayah bukanlah sesuatu yang urgent.

Sedangkan dalam skripsi ini, tipe metode penelitian yang penulis gunakan adalah dengan menggunakan metode kualitatif, dengan berusaha menampilkan data yang deskriptif, yang dalam teknik pengumpulan datanya menggunakan berbagai macam tekhinik, seperti observasi, wawancara langsung dengan para tokoh yang terlibat secara langsung, juga dengan berusaha mengumpulkan dokumen-dokumen yang berkaitan. Dan sedangkan dalam teknik analisa datanya, penulis berusaha menggunakan teknik deskriptif, yang bertujuan agar dapat membuat gambaran terhadap data-data yang ada, sehingga dapat menghasilkan data yang sistematis, faktual, aktual dan akurat.


(6)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim, segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam. Tiada daya dan upaya melainkan berkat uluran tangan-Nya. Tiada karya atau cipta melainkan inspirasi dari-Nya. Karena keagungan dan kebesaran-Nya dapat menyelesainkan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat, dan para pengikutnya sampai akhir masa.

Perkenankanlah penulis dalam kesempatan ini menyampaikan pada mereka-mereka yang terkasih. Pertama penulis sampaikan terima kasih yang tak terkatakan keada kedua orang tua Ayahda H. M. Abduh dan Ibunda Hj. Isma Gustiari Semoga rahmat Allah SWT terlimpahkan kepadanya. Amin. Jika tanpa uluran tangannya, cintanya, motivasinya dan kasih sayangnya penulis tidak akan dapat menempuh jalan hidup ini dalam fase kehidupan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta serta berkat beliau yang telah memberikan dukungan hingga skripsi ini dapat terselesaikan.

Terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, MA selaku Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Kepada Bapak Prof. Dr. Bachtiar Effendy, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP). Kepada Ibu Dra. Wiwi Siti Sajaroh, M.Ag selaku ketua jurusan Ilmu Politik, M. Zaki Mubarak, S. Ip. M. Si, selaku sekretaris Ilmu Politik dan Joharotul Jamilah S. Ag, M. Si, yang pernah menjabat sebagai sekretaris sementara untuk Program Studi Pemikiran Politik Islam (PPI) Faktultas Ilmu Sosial dan politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.


(7)

Kepada Bapak Drs. Agus Nugraha, M.Si., selaku dosen pembimbing yang tak terhingga telah memberikan bimbingan, kritikan, saran dan motivasi yang membangun dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Seluruh Dosen dan segenap staf-stafnya di FISIP dan Usuluddin dan Filsafat (FUF) serta Dosen pengajar pada Program Studi PPI dari awal hingga proses akhir penulis menjalani belajar di bangku kuliah hingga sekarang. Semoga apa yang beliau-beliau telah berikan kepada penulis mendapat balasan dari Allah SWT dan mudah-mudahan bermanfaat untuk diri penulis khususnya serta pada orang lain pada umumnya sehingga menjadi keberkahan hingga akhir hayat, Amin.

Terimakasih untuk adik-adik tercinta Nabila Putri, Insy Rafida Amalia dan Muhammad Riziq Faturrahaman yang selalu memberikan motivasi untuk penulis agar segera menyelesaikan skripsi ini.

Juga tidak lupa penulis haturkan terima kasih kepada teman-teman seperjuangan Gus Udin, Gus Luthfi, Gus Zaky, Bos Luthfillah, Habib Oky, Akang Ali, Akang Cikal, Abang Arif, Kaka Rifki, Mas Hendi, Abang Ivan, Teteh Annisa (Nze), Mpo Musyrifah, Mba Othul, Mpo Sahla, Mba Fitri, Teteh Selvi, Teteh Syifa, Uni Inke, Teteh Komala dan semua teman-teman PPI “05” yang telah memberikan banyak bantuan hingga skripsi ini dapat terselesaikan, tanpa semangat dan motivasi yang mereka berikan penulis tidak akan pernah sempurna dalam penulisan. Dengan motivasi, kritikan, semangat dan saran menjadi penulis bersemangat mencoba menyelesaikan skripsi ini.

Penulis ucapakan terimakasih kepada Bapak Drs. KH. Zarkasih Nur selaku Ketua Presidium Pembentukan Kota Tangerang Selatan dan Bapak H. Amin


(8)

Djambek sebagai Ketua FORMATS yang telah bersedia menjadi nara sumber dalam memberikan informasi mengenai pembentukan Kota Tangerang Selatan yang penulis butuhkan untuk penyusunan skripsi ini.

Untuk Rieza Corry Nurficha penulis ucapakan terimakasih atas doa-doanya dan sebagai inspirator serta motivator penulis yang selalu setia menemani penulis untuk menyusun skripsi ini.

Terimakasih juga penulis ucapkan kepada Muhammad Fatahillah S.Sos atas bantuan dan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

Semoga apa yang mereka telah berikan hingga terselesainya skripsi ini mendapat barokah dan balasan yang setingkat juga dengan terselesainnya skripsi ini, semoga bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan bagi semua pada umumnya, terutama untuk jurusan tercinta Pemikiran Politik Islam (PPI) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Terakhir penulis mengharapkan kesudian pembaca bila terdapat kekeliruan dan kesalahan pada skripsi ini. Karena hanya ini yang bisa penulis berikan semoga di hari datang akan ada pembaharuan tentang skripsi ini.

Jakarta, 28 Oktober 2010 Penulis


(9)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...i

DAFTAR ISI...iii

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah...1

B. Pembatasan dan Perumusan

Masalah...6 C. Tujuan

Penelitian...7 D.Manfaat

Penelitian...7 E. Metodelogi

Penelitian...8 F. Sistematika

Penulisan...9

BAB II KONSEP DAN TEORI PEMEKARAN WILAYAH

A.Desentralisasi dan Otonomi

Daerah……...13

1. Pengertian Otonomi

Daerah...14

2. Pengertian Pemekaran

Wilayah...16

B. Filosofi Pemekaran


(10)

C. Tujuan Pemekaran Wilayah...21

D.Syarat dan Aturan Hukum Pemekaran

Wilayah...23

E. Manfaat Pemekaran

Wilayah...26

BAB III PROFIL KOTA TANGERANG SELATAN

A.Kondisi Sosiografis, Politik,

Ekonomi...31 1. Kondisi

Geografis...33 2.Kondisi

Politik...36 3.Kondisi

Ekonomi...38

B. Sejarah Terbentuknya Kota Tangerang

Selatan...40

1.Wacana Pembentukan Kota Tangerang

Selatan...42

2.Faktor Pendukung terbentuknya Tangerang Selatan...45

BAB IV PROSES PEMEKARAN DAN PEMBENTUKAN KOTA


(11)

A.Langkah Awal Menuju Tangerang Selatan...50

1. DPRD Tangerang dan Dinamika Pemekaran Tangerang Selatan...51

2. Respon Pemerintah Provinsi Terhadap Pemekaran Tangsel...58

B. Proses Pembentukan Kota Tangerang

Selatan...61

1. Tahap Pembahasan Rencana

Undang-undang...62

2. Morathorium dan Pembentukan Kota tangerang Selatan...65

C. Polemik Struktur Pemerintahan Tangerang

Selatan...69

D.Tangerang Selatan Milik

Siapa?...74

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan... ...76

B. Kritik Dan

Saran...77

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN


(12)

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang di bagi dalam daerah, provinsi, kabupaten, dan kota diartikan sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu, berwenang mengatur dan mengurus segala bentuk kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sampai pada tahun 1998, wilayah NKRI dibagi kedalam 27 Provinsi. Namun demikian, berdasarkan aspirasi yang berkembang di masyarakat mengenai demokratisasi dan pemekaran wilayah, saat ini di Indonesia telah di bagi dalam 33 Provinsi baru juga di ikuti dengan adanya 349 daerah kabupaten dan 91 kota dalam satu provinsi yang mengalami pemekaran. Dengan demikian daerah dapat berprakarsa sesuai dengan potensi daerah yang dimiliki dan dapat mengembangkan semua yang menjadi potensi daerah dalam rangka memajukan kesejahteraan masyarakat dengan tetap mengedepankan menjaga persatuan dan kesatuan bangsa1.

Salah satu topik sentral pasca reformasi yang menjadi perdebatan adalah permasalahan otonomi daerah. Karena adanya desakan dari daerah yang menuntut untuk mendapatkan kewenangan yang lebih luas, maka pemerintah pusat mengeluarkan UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah. UU tersebut telah menghadirkan paradigma baru terhadap Pemerintah Daerah, untuk bisa mengurus

1

Hasil penelitian dari Bappenas dan Litbang KOMPAS, yang kemudian diposting oleh Iqbal salah satu peneliti dari CDT (Center for Democracy and Transparency), dalam situs http://www.cdt31.org/opini6.htm.


(13)

dan menyelenggarakan pemerintahan daerah di Indonesia yang berbasis otonomi luas. Karena terdapatnya kebebasan bagi daerah dalam mengatur dan menggali potensi daerah-daerah tersebut, hal ini dilakukan dalam rangka menyelenggarakan nilai-nilai demokrasi, yang menghargai pluralitas yang di dalamnya terdapat keanekaragaman pemerintahan dan berbagai macam ide-ide briliant dari para pemerintah daerah guna membangun Indonesia yang lebih maju.2

Berawal dari perdebatan panjang mengenai Pemerintahan Daerah yang tercantum dalam Undang-undang tersebut, kini perdebatan mengenai otonomi daerah menghasilkan sebuah proses aspirasi dari masyarakat untuk mendapatkan otonomi penuh bagi daerah pemerintahannya. Proses pemekaran terjadi begitu pesat dan cenderung tidak terkendali.3 Upaya pemekaran wilayah dipandang sebagai sebuah terobosan untuk mempercepat pembangunan melalui peningkatan kualitas dan kemudahan memperoleh pelayanan bagi masyarakat. Pemekaran wilayah juga merupakan bagian dari upaya untuk meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam memberikan kemudahan layanan pemerintah sehingga meningkatkan efektifitas penyelenggaraan pemerintah dan pengelolaan pembangunan.4

Penambahan daerah otonom ini merupakan fenomena yang layak dikaji ulang. Sebab, pemekaran atau penambahan daerah otonom yang banyak terjadi di beberapa daerah di Indonesia sekarang ini tidak di dukung oleh Sumber Daya

2

Eko Prasojo dkk, Blue Print Otonomi Daerah Indonesia, dalam M. Zaki Mubarak dkk, (jakarta: Yayasan Harkat Bangsa, PGRI, dan European Union, 2006), h. 117-119. Lihat juga Prof. Dr. Djohermansyah Djohan, lanskap Otonomi Daerah: Analisa dan Kritik, Dalam Indra J. Piliang dkk, (jakarta: Yayasan Harkat Bangsa bekerjasama dengan European Union, 2007), h. 153-154.

3

Terdapat 7 propinsi, 135 Kabupaten dan 32 kota yang terbentuk sebagai hasil pemekaran sesuai dengan daftar yang dikeluarkan oleh DPD pada September 2007(DRSP, 2007).

4

Ermaya Suradinata, Pelaksanaan otonomi daerah dalam kerangka untuk meningkatkan integrasi bangsa, (Jakarta: Lembaga Ketahanan Nasional, Departemen Pertahanan, 2000), h. 10.


(14)

manusia (SDM) yang baik, akibatnya yang terjadi adalah tersendatnya roda pemerintahan daerah dan carut-marutnya tata pemerintahan, mencermati fenomena pemekaran wilayah di Indonesia pasca pemerintahan Orde Baru hingga memasuki pemerintahan sekarang. Secara teoritis, harus diakui bahwa kebijakan pemerintah untuk memekarkan beberapa daerah di Indonesia telah menambah angka permasalahan baru terutama dalam proses penyusunan Undang-undang dan sistem ketatanegaraan kita saat ini. Kebijakan untuk melakukan pemekaran daerah merupakan suatu tuntutan masyarakat yang merasa daerahnya dieksplorasi dan di eksploitasi pusat secara berlebihan. Oleh karena itu, hal ini lah yang melatarbelakangi dan juga bisa dikatakan memaksa masyarakat dan pemerintah daerah untuk segera melakukan dan menyelenggarakan pemekaran wilayah, dengan segera mengajukan proposal dan berkas-berkas yang berkaitan dengan pemekaran daerahnya.5

Pemekaran wilayah di beberapa daerah di Indonesia harus diakui sebagian besar lebih bernuansa politik, hal ini terjadi karena beberapa alasan, sebagian berpendapat sebagai ekspansif kekuasaan politik saja, ada sebagian juga yang beralasan sebagai perluasan karir politik. Selebihnya bisa dikatakan dalam rangka mengibarkan bendera partai yang dianut. Jika mau dikatakan, hal ini lah yang sebenarnya menghambat proses pemekaran wilayah itu sendiri, karena penilaian layak atau tidaknya sebuah calon daerah otonom baru selama ini dilakukan oleh Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD), namun oknum dan para elit politik daerah tersebut justru ditengarai menjadi konsultan pemekaran daerah otonom baru yang sebenarnya tak layak. Karena itu, restrukturisasi DPOD dan

5

Wendra Yunaldi, SH, MH, Analisis Pemekaran Daerah, di muat pada tanggal 18 Mei 2008, artikel ini di akses pada tanggal 15 februari, 2010 dari http://butontengah.blogspot.com/2009/09/opini-pemekaran-daerah-ambisi-elit-atau.html.


(15)

Tim pemekaran wilayah setempat diperlukan dengan mengisinya dari kalangan profesional dan yang independen dan memiliki kemampuan luas tentang otonomi daerah, dengan demikian hal ini diharapkan mampu merekomendasikan kepada DPR dan Presiden tentang layak tidaknya sebuah calon daerah baru disahkan. Proses ini juga untuk menghindari dijadikannya isu pemekaran wilayah sebagai alat politik untuk bagi-bagi kekuasaan di daerah.6

Banyaknya pemekaran wilayah yang didorong oleh derasnya tekanan politik dan perebutan kekuasaan. Tekanan kuat dari daerah itu di respon positif oleh pemerintah pusat, padahal dalam taraf proses pemekaran tersebut, setidaknya telah banyak memberikan beban terhadap pemerintahan pusat, beban yang fundamental adalah beban finansial penyelenggaraan pemerintahannya. Di setujuinya pemekaran wilayah dapat juga dimaknai bahwa akan adanya sebuah keharusan pemerintah pusat untuk mengalirkan dana ke pemerintah daerah yang baru. Dengan tersedianya jaminan politik bahwa pemerintah pusat akan mencukupi segala kebutuhan setidaknya pemerintahan daerah yang baru di bentuk, karena daerah tersebut mendapatkan dana perimbangan, dan dalam hal khusus tertentu, berhak pula mendapatkan dana otonomi khusus. Pemaknaan sempit ini lah yang kini sebenarnya menjadi beban dan problem bagi pemerintah daerah baru juga bagi pemerintah pusat. Seharusnya jika ingin ditinjau secara politik, para pemerintah daerah yang baru di bentuk tersebut dapat menjadikan daerahnya sebagai arena baru bagi perjuangan eksponen politik setempat, seperti tokoh agama, pewaris pemerintahan tradisional, dan meningkatkan pelayanan

6

Menata Ulang Pemekaran Daerah, dalam M. Zaid Wahyudi dan Susie berindra, di akses

dari situs

http://cetak.compas.com/read/xml/2010/01/07/03264345/menata.ulang.pemekaran.daerah. Pada tanggal 15 Februari 2010, dan di posting pada tanggal 07 januari 2010.


(16)

publik guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat, di samping sebagai sarana pendidikan politik di tingkat daerah.7

Tangerang selatan, sebagai kota otonom baru yang tengah berkembang ditengah gejolak globalisasi, sebuah pemekaran yang natural berkembang atas dasar segenap aspirasi masyarakat, penulis mencoba berangkat memberanikan diri untuk sedikit mengurai keindahan dalam pemekaran Tangerang Selatan, berangkat dari kesadaran akan kebutuhan daerah, Tangerang Selatan mencoba mempromosikan diri untuk layak menjadi sebuah kota otonom, bukan berangkat atas dasar kekecewaan yang pernah ada dari salah satu pihak tentunya, seperti yang banyak dilakukan oleh daerah pemekaran lainnya, semoga saja apa yang dilakukan oleh masyarakat Tangerang Selatan berbuah layak Gorontalo yang lebih dulu menjadi daerah otonom.

Kota Tangerang Selatan adalah wilayah otonom di Provinsi Banten. Wilayah ini merupakan pemekaran dari Kabupaten Tangerang. Berawal dari keinginan warga di wilayah selatan untuk mensejahterakan masyarakat. Pada tahun 2000, beberapa tokoh dari kecamatan-kecamatan mulai menyebut-nyebut Cipasera sebagai wilayah otonom, namun karena sosialisasi yang mungkin kurang maksimal di lingkungan masyarakat dan sama sekali tidak mendapatkan dukungan pemerintah kabupaten Tangerang pada saat itu, serta Provinsi Banten. Dan pada 27 Desember 2006 dengan segenap upaya dan memanfaatkan momentum PILKADA Tangerang, akhirnya Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Tangerang menyetujui terbentuknya Kota Tangerang Selatan. Calon kota otonom ini terdiri atas tujuh kecamatan, yakni, Ciputat, Ciputat Timur, Pamulang, Pondok

7

Lihat esai Jumadi, Problem Pemekaran Wilayah dan Pembagian Kewenangan, dalam Indra J. Piliang, Blue Print Otonomi Daerah Indonesia, (Jakarta, Penerbit YHB Center, 2006), H. 235-237.


(17)

Aren, Cisauk, dan Setu. Wilayah ini berpenduduk sekitar 966.037 jiwa. Sebagai sebuah kota otonom baru, yang telah diresmikan pada tanggal 29 September 2008, melalui Undang-undang nomor 51 tahun 2008, dan dengan menggunakan sistem “self ditermined” diharapkan mampu menjadi sebuah kota otonom baru yang benar, yang berusaha membangun daerahnya secara merata, dan juga bisa memberikan kesejahteraan kepada masyarakatnya, dan diharapkan mampu menjadi contoh bagi daerah-daerah yang serupa dengan Tangerang Selatan.

Selama ini, Tangerang Selatan telah menyumbang sekitar 50% dari Pendapatan asli Daerah (PAD) yang dihasilkan oleh kabupaten Tangerang. Sebut saja, PAD kabupaten Tangerang pada tahun 2006 sebesar Rp 180 Miliar. Separuhnya, sekitar Rp 90 Miliar di sumbang oleh Tangerang Selatan. Kini pusat pemerintahan Tangerang Selatan telah ditetapkan di kecamatan Ciputat. Alasannya, secara historis dan letak geografis, Ciputat adalah aset besar bagi PAD Tangerang selatan. Selain itu, Ciputat dulunya juga memiliki kantor Wedana yang menempati area seluas dua hektar di jalan Maruga, kelurahan Serua Indah8. Dari uraian di atas, penulis melihat ini adalah sebuah permasalahan yang menarik yg layak untuk dikaji dan dikembang untuk bahan skripsi.

B.Pembatasan Dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Berdasarkan latarbelakang masalah diatas maka penulis hanya membatasi masalah pada kajian politik pemekaran wilayah dalam proses pembentukan

8Djoko Loekito, Sejarah Terbentuknya Kota Tangerang Selatan Dari Kota Cipasera ke

Kota Tangerang Selatan, dalam website

http://www.facebook.com/topic.php?uid=102927126355&topic=10262#!/topic.php?uid=1029271 26355&topic=10262, penulis adalah salah satu penggagas terbentuknya kota CIPASERA, di tulis pada tanggal 12 Juli 2009, dan di akses pada tanggal 15 Februari 2010.


(18)

Tangerang Selatan pada tahun 2006-2009. Agar pembahasan dalam skripsi ini lebih terfokus dan tidak melebar, maka pembahasan masalah dalam skripsi ini akan dibatasi hanya pada persoalan-persoalan politik dalam upaya menyelenggarakan kota tangerang Selatan.

2. Perumusan Masalah

Berangkat dari persoalan di atas, maka penulisan skripsi ini akan dirumuskan sebagai berikut:

a. Faktor-faktor yang mendasari tuntutan pemekaran wilayah di Kabupaten Tangerang?

b. Bagaimana tarik-menarik elit politik dalam proses pemekaran?

c. Bagaimana nuansa politik dalam proses pembentukan Kota Tangerang Selatan?

C.Tujuan Penelitian

Penelitian ini mempunyai dua tujuan, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum tersebut antara lain:

1. Untuk mengetahui dinamika yang berlangsung dalam proses politik pemekaran wilayah Tangerang Selatan.

2. Dan untuk mengetahui upaya apa yang dilakukan dalam pemekaran Tangerang Selatan.

3. Dan untuk mengetahui beberapa implikasi politik pasca pemekaran wilayah Tangerang Selatan.

Sedangkan tujuan khususnya dari penelitian ini adalah untuk menyelesaikan tugas akhir dari program sarjana (S1) pada jurusan Pemikiran Politik Islam.


(19)

D.Manfaat Penelitian

Sedangkan manfaat penelitian dari penulisan skripsi ini adalah:

a. Secara akademis, diharapkan dapat memperkaya khazanah kepustakaan perpolitikan, khususnya mengenai wacana otonomi daerah dan pemekaran wilayah, karena semakin luasnya kajian tentang demorasi.

b. Secara praktis, diharapkan dapat memberikan masukan bagi segenap aparat dan pemerintah daerah tangerang Selatan dalam menyelenggarakan program yang sedang dilaksanakannya.

c. Secara subtansial, sebenarnya manfaat penulisan skripsi ini diharapkan mampu memberikan pelajaran penting terhadap masyarakat modern saat ini, bahwa pemekaran wilayah memang penting untuk mendekatkan jarak antara pemerintah dan masyarakatnya, dan lebih dapat melakukan pemberdayaan manusia di tingkatan daerah. Namun pemekaran wilayah merupakan bukan jalan terakhir dari dari beberapa tujuan tersebut, karena efeknya jika pemekaran wilayah ini gagal dimaksimalkan, maka masyarakat sendiri lah yang akan merasakannya.

E.Metodelogi Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah tipe kualitatif, Prosedur penelitian ini menghasilkan data yang deskriptif, yaitu menggambarkan dan menjabarkan hal-hal yang berkaitan dengan masalah yang sedang di teliti. Agar dapat menghadirkan sesuatu yang baru bagi kajian politik Islam saat ini.

1. Teknik Pengumpulan Data


(20)

a. Studi literatur (kepustakaan) dan dokumentasi, yaitu mencari dan mengumpulkan data mengenai masalah-masalah yang bersangkutan melalui literatur buku, surat kabar, majalah, internet dan lain-lain yang berkaitan dengan objek yang sedang di teliti.

b. Wawancara, dilakukan dengan cara mengumpulkan informasi melalui tanya jawab dengan pelaku sejarah dan pihak-pihak yang terkait.9 Dalam hal ini K. H. Zarkasyi Noer selaku Ketua Presidium Pemekaran Tangerang Selatan, adalah tokoh penting dalam proses pemekaran Tangsel, posisinya sebagai ketua Presidium adalah menjembatani kinerja pemerintah daerah dengan pusat, agar terjadinya sebuah hubungan yang dapat mendukung proses pemekaran tersebut. Selain itu, H. Amien Djambek, adalah salah satu tokoh penting juga yang kurang banyak diketahui masyarakat Tangsel pada umumnya, padahal beliau merupakan salah satu penggerak penting dalam proses pemekaran Tangsel, posisinya sebagai Ketua Umum FORMAT (Forum Membangun Tangerang Selatan) dimana 80% anggotanya adalah aparatur pemerintahan disektor kelurahan dan kecamatan, sehingga koordinasi antara para pengerak dan pelopor pemekaran ini dengan segenap aparatur pemerintahan yang berada di sector kelurahan dan kecamatan senantiasa terjaga.

2. Teknik Analisa Data

Adapun teknik analisa yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analysis, yaitu suatu pembahasan yang bertujuan untuk membuat gambaran terhadap data-data yang terkumpul dan tersusun dengan cara

9

Prof. Dr. Lexy J. Moleong, MA., Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi Revisi, (Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 2007), h. 157-243.


(21)

memberikan interpretasi terhadap data-data tersebut. Dengan menggunakan teknik ini, peneliti berharap dapat memberikan gambaran yang sistematis, faktual, aktual, dan akurat mengenai mengenai fakta-fakta seputar peran serta elit politik daerah dan masyarakat dalam mewujudkan pemekaran wilayah Tangerang Selatan.

Untuk pedoman penulisan skripsi ini penulis menggunakan buku pedoman terbitan UIN jakarta sebagai Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, Disertasi) yang diterbitkan oleh Center for Quality Development Assurance (CEQDA) UIN Syarif Hidayatullah jakarta 2007 sebagai pedoman penulisan dengan disesuaikan dari pengarahan dosen pembimbing skripsi.

F. Sistematika Penulisan

Guna memudahkan pembahasan penulisan yang lebih sistematis maka penulis menyusun kedalam lima bab, dengan penjelasan sebagai berikut:

Bab pertama berisikan pendahuluan, pembatasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metodelogi penelitian dan sistematika penulisan.

Kemudian dilanjutkan dengan bab kedua yang membahas “Konsep dan teori Pemekran Wilayah”, dengan sub judul pengertian otonomi daerah dan pemekaran wilayah, kemudian menjelaskan tentang filosofi pemekaran wilayah, syarat-syarat dan ketentuan hukum pemekaran wilayah, juga tujuan dan manfaat pemekaran wilayah.

Kemudian dilanjutkan dengan bab ketiga yang membahas sejarah kota Tangerang Selatan, yang menjelaskan di mulai dari kondisi geografis, politik, budaya, dan ekonomi Tangerang Selatan, kemudian menjelaskan pula sejarah terbentuknya kota Tangerang Selatan, di mulai dari terbentuknya wacana


(22)

pemekaran daerah di kabupaten Tangerang, di mulai dengan isu CIPASERA (Ciputat, Pamulang, Serpong dan Pondok Aren) pada tahun 2000, dan dilanjutkan presidium persiapan kota Tangerang Selatan.

Selanjutnya diteruskan oleh bab keempat, yang membahas proses pemekaran dan pembentukan kota Tangerang Selatan, yang meliputi faktor-faktor apa saja yang menjadikan terbentuknya kota Tangerang Selatan, kemudian dilanjutkan dengan judul berikutnya yaitu mengenai peranan pemerintah dan elite politik daerah dalam proses pembentukan Tangerang Selatan, dengan di mulai terbentuknya faksi-faksi yang mendukung dan menolak terbentuk Tangerang Selatan, yang tak terlepas dari keterlibatan partai-partai politik daerah, yang menuai pro dan kontra baik dari tingkat masyarakat hingga tingkat DPR-RI, setelah terbentuk dan diresmikannya kota Tangerang Selatan, ternyata hal ini tidak kemudian selesai dengan mudah. Karena ternyata hal tersebut diakhiri dengan pembagian kue kekuasaan yang menuai polemik poltik di tingkat kabupaten dan pemerintah provinsi yang merasa berjasa dalam proses pemekaran kota Tangerang Selatan.

Dan terakhir, adalah bab kelima, yang meliputi kesimpulan dan saran-saran dan diteruskan dengan lampiran-lampiran dan daftar pustaka


(23)

BAB II

KONSEP DAN TEORI PEMEKARAN WILAYAH

Pemerintahan selain memiliki misi menyelenggarakan pelayanan publik, juga memiliki misi lainnya yang memang diperlukan masyarakat, tetapi tidak dapat disediakan oleh organisasi lain. Seperti terjaminnya pemenuhan kepentingan masyarakat yang dapat dilihat dari fungsi pengaturan kehidupan masyarakat, baik yang menyangkut pengaturan persaingan maupun pengaturan terhadap perlindungan masyarakat.10

Keberadaan Pemerintah diperlukan untuk memenuhi kepentingan masyarakat, karena organisasi pemerintah mmemiliki kenerja dalam rangka mengemban misi yang diamanatkan oleh masyarakat itu sendiri, dan sekaligus mempertanggungjawabkan kinerjanya kepada masyarakat. Keberadaan pemerintahan, ada bukan karena untuk melayani kebutuhannya pribadi. Akan tetapi, untuk melayani masyarakat serta menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreatifitasnya demi mencapai tujuan bersama. Oleh karena itu, birokrasi publik berkewajiban dan bertanggungjawab untuk memberikan layanan publik yang baik dan profesional. Namun yang terjadi pada Daerah-daerah saat ini sungguh berbeda, yang terjadi antara pemerintah dan masyarakatnya adalah terbentangnya jarak yang begitu jauh, sehingga keterbukaan antara pemerintah dan masyarakat tidak lagi memenuhi pelayanan publik tersebut.11

10

Agus Dwiyanto, Penilaian Kinerja Organisasi Pelayanan Publik, Makalah yang disampaikan dalam seminar kinerja organisasi pelayanan publik, FISIPOL UGM, 1995.

11Prof. Dr. Sadu Warsistiono, Studi Kelayakan Pemekaran Wilayah Tangsel (Tinjauan Terhadap 36 Kecamatan Dan Kondisi Batas Alam, (Bandung: Jatinangor, 2007), h. 2.


(24)

A.Desentralisasi dan Pemekaran Wilayah

Berbicara tentang pemekaran wilayah, tentu saja tidak dapat terlepas dari teori desentralisasi sebagai wujud dari tuntutan akan penerapan prinsip-prinsip demokrasi dalam kehidupan bernegara, khususnya ditingkat daerah, karena salah satu prinsip demokrasi yang sjalan dengan ide desentralisasi adalah adanya partisipasi dari masyarakat. Agar masyarakat dan elit politik daerah mampu mengembangkan daerahnya sendiri dan mempunyai kewenangan lebih untuk daerahnya12.

Dalam pengertiannya, desentralisasi memiliki dua definisi, pertama, desentralisasi yang diterjemahkan sebagai pengalihan tugas operasional dari pemerintah pusat ke pemerintah lokal. Kedua, desentralisasi yang digambarkan sebagai pendelegasian atau devolusi kewenangan pembuatan keputusan kepada pemerintah yang tingkatnya lebih rendah. Dengan demikian, pada dasarnya desentralisasi sungguh tak jauh bedanya dengan pemekaran wilayah yang berkembang pada saat ini, yang merupakan sebagai wahana pemberdayaan masyarakat daerah. Lalu kemudian apa yang membuat masyarakat dan pemerintah lokal meminta lebih setelah diberikan otonomi daerah oleh pemerintah pusat, tentu saja hal ini menjadi pertanyaan besar bagi penulis khususnya ketika hendak mengkaji pemekaran wilayah.

Ternyata setelah dikaji lagi lebih mendalam, selain desakan atas gelombang euphoria saat reformasi, pemicu derasnya pemekaran wilayah adalah dekrit presiden pada tahun 1959, yang segala sesuatunya harus dikembalikan

12

Meizar Malanesia, makalah yang disampaikan dalam Program TKL khusus, dalam sekolah pasca sarjana/ S3, Desentralisasi dan Demokrasi, dalam

http://www.rudyct.com/PPS702-ipb/09145/meizar_malanesia.pdf, yang diposting oleh


(25)

kepada UUD 1945 dan pancasila, namun pasca reformasi muncullah UU no 22/1999 yang lebih mencerminkan kebinekhaan ketimbang ketunggal ikaannya, namun dalam perkembangannya UU No 22/1999 ini direvisi menjadi UU No 32/2004, yang dinilai banyak kalangan sebagai bentuk resentralisasi soekarnois, jelas saja berbagai desakan pemakaran wilayah semakin membanjir di DPR, pasalnya makna desentralisasi bukan saja berkisar pada adanya kewenangan untuk melakukan pemerintahannya sendiri, namun telah bergeser kepada dorongan untuk memperoleh perlakuan yang lebih adil baik dari pemerintah pusat maupun dari pemerintah induk, karena memang system desentralisasi yang mengacu pada pemerintahan induk justru dalam hal ini lebih berkesan sebagai eksploitator asset dan sumberdaya daerah setempat, imbasnya adalah rakyat sendiri lah yang kurang mendapatkan perlakuan yang adil dari pemerintah induk yang lebih memiliki control terhadap daerahnya13.

B.Otonomi Daerah dan Pemekaran Wilayah

Diskersi (keleluasaan) bagi daerah dalam mengatur dan mengurus segala urusan rumah tangga sebuah daerah pemerintahan adalah sebuah paradigma baru dalam sebuah penyelenggaraan pemerintahaan daerah yang muncul setelah adanya UU No. 22/1999. Karena hal tersebut sangat mengapresiasi sebuah pluralitas, dan juga demokrasi, yang membuka ruang keterlibatan masyarakat lokal dalam segenap proses penyelenggaraan pemerintahan daerah.14

13

Kerjasama Percik dan USAID Democratic ReformSupport Program (DRSP) dan Desentralization Support Facility (DSF), Proses dan Implikasi Sosial-Politik: Studi Kasus di Sambas dan Buton, (Pustaka Percik, 2007), h. 4-8.

14

Lihat juga Prof. Dr. Djohermansyah Djohan, Mengkaji Kembali Konsep Pemekaran Daerah Otonom, Dalam Indra J. Piliang dkk, (jakarta: Yayasan Harkat Bangsa bekerjasama dengan European Union, 2007), h. 117-118.


(26)

Saat ini Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sejak diberlakukannya UU No. 22/1999 telah terdapat 4 provinsi, 98 kabupaten atau kota daerah otonom. Dan tepat pada tahun 2009, genap sewindu sudah kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal digulirkan di Tanah Air, namun dalam prakteknya hanya menyisakan segudang persoalan. Terdapat beberapa provinsi dan kabupaten/kota yang menunjukkan kinerja yang mengagumkan (high performers) dalam pencapaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM).15 Akan tetapi, untuk wilayah-wilayah otonom lain, kondisi sebaliknya yang terjadi. Angka kemiskinan tak banyak berubah, dari seluruh jumlah provinsi yang ada di Indonesia, ada 15 provinsi yang mengalami penurunan kemiskinan, sementara 18 provinsi mencatat peningkatan persentase penduduk miskin, namun penurunannya hanya bersifat fluktuatif “ada masa dimana kemiskinan kembali terulang diangka semula”. Sebuah distorsi dari segi pemaknaan dan praktek telah menodai nama “otonomi daerah”, oleh karena itu penulis melihat hal ini penting untuk dikaji kembali, terutama mengenai pemaknaan otonomi daerah dan pemekaran wilayah. Agar tidak terjadinya distorsi otonomi kembali dalam pemahaman kita saat ini.

1. Pengertian Otonomi Daerah

Masyarakat indonesia sebenarnya tidak asing dengan otonomi daerah. Sejak zaman kemerdekaan, para pendiri republik Indonesia ini telah merumuskan tentang desentralisasi dan otonomi daerah untuk mengelola indonesia yang terdiri dari pulau-pulau dan masyarakat yang majemuk dan menjalin keberbedaan jenis. Oleh karena itu, konsep otonomi daerah sedari merdeka telah dirumuskan secara

15 “Sewindu Otonomi Daerah Masih Jauh dari Tujuan”, Kompas, Jumat-22- Mei-2009. H 15.


(27)

matang, walaupun dalam perkembangannya mengalami perubahan definisi, namun hal tersebut sama sekali tidak mengurangi nilai-nilai subtantif. Otonomi daerah secara luas memiliki arti kewenangan sisa (residu) berada di tangan pusat (seperti pada negara federal). Sedangkan secara nyata otonomi berarti kewenangan menyangkut hal-hal yang diperlukan, tumbuh dan hidup, serta berkembang, dan akhirnya disebut bertanggung jawab, karena kewenangan yang diserahkan harus diselenggarakan demi pencapaian tujuan otonomi, yaitu dengan peningkatan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat agar semakin baik, serta menjaga hubungan yang baik antara pemerintah pusat dan daerah.16

Dalam pengertian secara teoritis, otonomi daerah adalah sesuatu yang memberi wujud khas pada kelompok masyarakat tertentu, menjadi bagian integral dari organisasi negara yang berada di bawah hukum pemerintah daerah dengan batas-batas geografis tertentu. Namun dalam dimensi politik, otonomi daerah mencakup aspek-aspek geografis, sosial, dan demografi yang membedakan suatu komunitas secara konkrit atau abstrak yang membentuk identitas dan landasan bersama sebagai suatu kesatuan atau entitas politik. Dan dalam kacamata ekonomi, Faisal H. Basri menambahkan, bahwa otonomi yang hakiki adalah berpijak pada landasan kerangka negara federal, yang memungkinkan daerah mampu memanfaatkan segenap keunikan dan keunggulan semaksimal mungkin, sehingga daerah tersebut mampu menghadapi persaingan global, mengingat otonomi yang hakiki niscaya akan memberikan peluang bagi daerah untuk memiliki tempat dalam pasar bebas. Semakin mampu suatu daerah menopang terbentuknya kompetensi yyang semakin kuat di bidang harga dan kualitas pada

16

Prajarta Dirdjosantoso, dan Herudjati Purwoko, Desentraliasi Dalam Perspektif Lokal, (Salatiga: Pustaka Percik, 2004). h. 9.


(28)

kalangan pengusahanya, semakin mampu daerah tersebut menyejahterakan rakyatnya melalui pengaktualisasian potensi keunikan dan keunggulan yang dimiliki daerahnya.17

Sedangkan dalam perspektif demokrasi pada era reformasi otonomi daerah telah mendorong perubahan paradigma otonomi daerah, yang jauh lebih baik dan lebih maju, ketimbang pardigma lama yang dibangun secara sentralistik oleh Orde Baru. Namun demikian, paradigma yang baru, masih berjalan formalistik di atas kertas, yang notabene diikuti dengan meluasnya pemahaman keliru terhadap konsep otonomi daerah, sehingga menyebabkan praktik otonomi daerah yang bermasalah.18

Diawali dengan mengkaji ulang konsep otonomi daerah menuju otonomi daerah yang original dan authentic sekaligus bermakna, bukan sekedar otonomi yang legal formal, akan tetapi lebih pada ke arah yang subtantif. Otonomi daerah adalah arena kemandirian dan tanggung jawab (bukan semata kesewenangan) daerah dalam mengelola rumah tangga daerah yang berbasis pada masyarakat lokal, kemandirian untuk membentuk pemerintahan sendiri (bukan dalam artian negara federal), mengambil keputusan sendiri, dan mengelola sumber daya sendiri. Dengan kata lain, otonomi daerah adalah penyelenggaraan pemerintahan daerah secara mandiri yang di kelola secara demokratis. Oleh karena itu, otonomi daerah tidak bisa dianggap sederhana menjadi masalah penyerahan urusan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, karena otonomi daerah sebetulnya berarti otonomi masyarakat di daerah-daerah, sehingga

17Indra J. Piliang, Dendi Ramdani. Dkk, Otonomi Daerah Evaluasi dan Proyeksi, (Jakarta: Yayasan Harkat Bangsa, 2003). H. ix-x.

18

Drs. H Syaukani, HR. Dkk, Otonomi Daerah dalam Negara kesatuan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002). H, 145-146.


(29)

diharapkan dapat terus tumbuh dan berkembang sejumlah prakarsa dan kemandirian dalam iklim demokrasi. Namun demikian, pelaksanaan otonomi daerah ini harus juga dilakukan secara bersama-sama dengan pemahaman atas esensi dan pengertian otonomi masyarakat di daerah.19

2. Pengertian Pemekaran Wilayah

Sejak otonomi daerah diberlakukan, proses pemekaran terjadi begitu pesat dan cenderung tidak terkendali. Upaya pemekaran wilayah dipandang sebagai sebuah terobosan untuk mempercepat pembangunan melalui peningkatan kualitas dan kemudahan memperoleh pelayanan bagi masyarakat. Pemekaran wilayah juga merupakan bagian dari upaya untuk meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam memperpendek rentang kendali pemerintah sehingga meningkatkan efektifitas penyelenggaraan pemerintah dan pengelolaan pembangunan. Namun bagaimana pemekaran sendiri secara definisinya.

Secara umum pemekaran wilayah adalah pembentukan wilayah administratif baru di tingkat provisi maupun kota dan kabupaten dari induknya. Pada dasarnya secara definisi pemekaran daerah adalah bentuk usaha dari pemerintah kabupaten dalam melakukan pemerataan dan pembagian wilayah ke tingkat yang lebih merata dan rapih, agar tidak terjadinya tumpang tindih, baik secara administratif, maupun secara sumber potensi alam yang ada di daerah. Landasan hukum terbaru untuk pemekaran daerah di Indonesia adalah UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, selain itu juga UU no 32 tersebut

19

Jimly Asshidiqie, Pokok-pokok Hukum Tata Negara, (Jakarta: BIP, 2008). h, 57. Namun dalam paraghrap yang lain juga di tambahkan, bahwa kewenangan otonomi daerah juga dibatasi oleh kewenangan di bidang politik luar negeri, keamanan, peradilan, moneter, dan beberapa peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat. Artinya, otonomi daerah hanya diberikan kewenangan selama masih dalam teritorial daerahnya saja.


(30)

menyantumkan tentang pengertian daerah, yaitu penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang bersandingan atau pemekaran dari satu daerah atau lebih untuk kemudian membentuk pemerintahan sendiri. Untuk itu, harus memenuhi syarat administratif, teknis, dan fisik kewilayahan.20

Sedangkan dari perspektif kewilayahan, terminologi “pemekaran” menurut Profesor Eko Budihardjo merupakan istilah yang salah kaprah karena dalam “pemekaran” wilayah yang terjadi bukan pemekaran tetapi lebih tepat penciutan atau penyempitan wilayah, Dari perspektif kewilayahan memang istilah “pemekaran” tidak tepat digunakan mengingat dengan “pemekaran” suatu daerah justru mengalami penyempitan bukan perluasan wilayah. Dalam melihat pemekaran daerah banyak perspektif yang bisa digunakan antara lain perspektif hukum dan kebijakan, perspektif penataan wilayah, perspektif politik administrasi pemerintahan, dan lain-lain.21

Sedangkan jika dilihat dari perspektif politik admistrasi pemerintahan pusat, pemekaran wilayah merupakan penambahan jumlah daerah baru (kota, daerah, provinsi, atau desa). Dengan penambahan daerah baru, maka semakin besar pula beban yang harus ditanggung oleh pemerintah pusat, seperti penambahan jumlah kepala daerah dan semua struktur yang ada di bawahnya, dan hal demikian tersebut membutuhkan biaya rutin setiap bulan dan tahunnya.22 Namun hal demikian kiranya kurang begitu berpengarung, artinya kita juga harus memperhatikan potensi daerah juga yang dimiliki daerah pemekaran baru ini.

20

Bakor Cipasera, Menuju Kota Cipasera, (Ciputat: copyright proposal Tangsel, 2005), h. 12.

21

Lihat Herudjati Purwoko, dkk, Desentralisasi Dalam perspektif Lokal, (Salatiga: Pustaka Percik, 2004), H. 49.

22

Lihat Frans M. Parera, dkk, Demokrasi Dan Otonomi, Mencegah Disintegrasi Bangsa, (Jakarta: PT. Kompas media Nusantara, 2000), h. 163.


(31)

Oleh karena itu, substansi dari pemekaran wilayah adalah masyarakat memiliki kewenangan untuk mengatur rumah tangganya sendiri demi tercapainya cita-cita bersama untuk mewujudkan masyarakat yang aman, adil, makmur dan sejahtera.23

C.Filosofi Pemekaran Wilayah

Sebuah perkembangan dan kabar yang menggembiran ketika melihat hadirnya daerah-daerah otonom baru, secara pasti telah memperlihatkan sebuah kesadaran masyarakat tentang arti penting kehadiran suatu pemerintahan yang otonom untuk menata dan mengembangkan daerahnya. Karena secara substansi adanya ide tentang pemekaran wilayah adalah untuk mensejahterakan seluruh lapisan masyarakat daerah, dengan adanya pemerintahan daerah yang diharapkan mampu berhubungan dan berkomunikasi baik dengan para masyarakat, diharapkan mampu mendengarkan seluruh aspirasi masyarakat, dan berusaha mewujudkan secara bersama-sama. Namun dalam proses perjalanannya ide tentang pemekaran wilayah banyak yang memanfaatkannya secara sepihak untuk kepentingan pribadi ataupun kelompok, bukan kepentingan seluruh masyarakat yang termasuk di dalamnya. Pemaknaan pemekaran wilayah kini telah berubah arah, dan parahnya lagi pemekaran wilayah kini juga dapat menjadi komoditas politik, yang dilakukan oleh elite-elite untuk mewujudkan ambisi politiknya, misalnya oleh elite yang gagal dalam pilkada. Isu-isu dimarginalkannya satu etnis oleh etnis lain dikomodifikasi sedemikian rupa dan direproduksi terus menerus oleh elite politik untuk mempercepat proses pemekaran. Pemekaran menjadi alat perjuangan politik yang justru mengesampingkan kepentingan rakyat. Itulah

23

Bakor Cipasera, Menuju Kota Cipasera, (Ciputat: copyright proposal Tangsel, 2005), h. 16.


(32)

sebabnya meskipun di beberapa daerah pemekaran dirasakan manfaatnya antara lain dengan adanya peningkatan pelayanan publik tetapi di beberapa tempat belum membuahkan hasil yang signifikan.24

Tidak semua pemekaran wilayah berhasil dengan cepat, politik desentralisasi itu senyatanya lebih banyak dilahirkan dari motif reaktif dan tarik ulur kepentingan sehingga kian jauh dari orientasi kesejahteraan dan pemerataan kemakmuran rakyat. Pemekaran wilayah menjadi kian problematis karena kegagalan itu berakibat langsung ke jantung realitas masyarakat. Sebut saja disintegrasi, ketidakjelasan wilayah, dilema kepemimpinan daerah, dan meningkatnya kemiskinan menjadi warna dominan kegagalan pemekaran wilayah. Hasil pemekaran daerah yang tidak diimbangi dengan kesiapan infrastruktur dan suprastruktur pada gilirannya menghasilkan daerah miskin baru yang masih membutuhkan subsidi kepada daerah induk. Kondisi pemekaran wilayah yang semakin mengkhawatirkan ini mesti disikapi secara bijak oleh pemerintah dan DPR. Oleh karena itu, selain moratorium, harus pula dilakukan langkah strategis lain dalam mengamankan jaringan ekonomi dan sosial masyarakat di daerah pemekaran baru, agar orientasi dan filosofi pemekaran daerah tetap dalam cita-cita utama bagi pemerintah daaerah baru yang telah dilantik.25

Selain untuk mensejahterakan rakyat, dan memberikan pembangunan daerah yang merata, pemekaran wilayah memiliki filosofi penting bagi kelangsungan perkembangan pemekaran daerah, yaitu dapat menjaga

24Slamet Luwihono, salah seorang staff peneliti P2PL (Pusat Penelitian Politik Lokal)

yang menulis dalam situs

http://www.percik.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=86&Itemid=1, yang di posting pada Rabu, 17 September, 2008, dan di kutip pada tanggal 11 Mei 2010.

25Dalam Ali Masykur Musa, salah satu Anggota DPR-RI komisi II dari Fraksi Partai kebangkitan Bangsa, Kontruksi Pemekaran Wilayah, dalam situs www.tempointeraktif.com, di posting pada tanggal 11 Februari 2009, dan dikutip pada tanggal 11 Mei 2010.


(33)

keanekaragaman budaya dan adat daerah, yang merupakan bagian penting dalam terjalinnya rasa persatuan dan kesatuan masyarakat daerah, sebagaimana yang tertuang dalam UUD 1945 pasal 18 B ayat 2 yang kalimatnya sebagai berikut:

“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”

Dan yang lebih penting lagi adalah dengan menjaga entitas-entitas masyarakat daerah dari semakin merebaknya globalisasi dan budaya westernisasi. Oleh karena itu, dengan adanya cita-cita pemekaran wilayah di sejumlah daerah di indonesia, juga diharapkan mampu menjaga keanekaragaman tersebut. Walaupun nantinya ada perubahan budaya, diharapkan perubahan tersebut, tidak terlalu signifikan dan berpengaruh dilingkungan daerah tersebut, dan diharapkan pula budaya-budaya yang masuk mampu membawa kebaikan bersama bagi masyarakat daerah.26

Substansi-substansi tersebutlah yang semestinya menjadi filosofi bersama untuk melakukan pemekaran wilayah. Jika hal ini ditanamkan dan tetap menjadi orientasi utama bagi para penyelenggara pemekaran wilayah. Maka niscaya daerah pemekaran wilayah baru akan menuai hasil yang mampu membangun daerah tersebut kearah kemajuan yang lebih baik. Untuk meletakkan cita-cita pemekaran pada relnya, pemerintah baru harus melakukan pembenahan di level kebijakan saja belumlah cukup. Pembenahan juga harus dilakukan pada level kesadaran politik para elite terutama yang ingin menjadi pelayan publik supaya tidak menjadikan pemekaran sebagai komoditas politik semata. Menjadi pekerjaan

26Komite Persiapan Pembentukan Daerah Otonom Kota Cipasera Bidang Penelitian dan Pengembangan, Kajian Awal Tentang: Peningkatan Status Wilayah Cipasera Menjadi Daerah Otonom Kota, (Ciputat: copyright proposal peningkatan status Cipasera, 2002), h. 26.


(34)

rumah kita bersama untuk meluruskan semangat pemekaran pada jalur semula yaitu untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, prinsip-prinsip tersebutlah yang kemudian hari diharapkan mampu menjadi fondasi dasar filosofi bagi para penggagas pemekaran wilayah di berbagai daerah.27

D.Tujuan Pemekaran Wilayah

Sesuai dengan filosofinya, tujuan pemekaran wilayah juga sangat mulia yang mengacu pada keinginan sejumlah manusia lokal yang secara sadar ingin meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat daerah melalui pemerintahan daerah yang otonom. Selayaknya pemekaran wilayah, atau pembentukan pemerintahan otonom baru tidaklah diartikan sebagai pengalihan kekuasaan pusat semata, akan tetapi harus dipahami sebagai wujud dari demokrasi yang sebenar-benarnya, yang kemudian mampu mendorong tumbuhnyasebuah kemandirian pemerintahan sendiri, karena otonomi ddaerah sebetulnya berarti otonomi masyarakat di daerah-daerah, yang diharapkan dapat terus tumbuh dan berkembang sejumlah praakarsa dan kemandirian dalam iklim lembaga demokrasi.28

Dengan demikian, daerah dapat berprakarsa sesuai dengan potensi daerah yang dimiliki dan dapat mengembangkan semua yang menjadi potensi daerah dalam rangka memajukan kesejahteraan rakyat dengan tetap mengedepankan kepentingan menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Pembentukan daerah juga pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan pelayanan publik guna mempercepat terwujudnya kesejateraan masyarakat, pelaksanaan pembangunan

27 Indra J. Piliang, dalam artikel seminar Otonomi daerah yang diselenggarakan oleh

CSIS, "Kapok Dengan Otonomi?", (jakarta, 21 Mei 2003), h. 2.

28M. Zaki Mubarak, dkk, Blue PrintOtonomi Daerah Di Indonesia”, (Jakarta: The YHB center, 2008), h.1553-155.


(35)

perekonomian daerah, pengelolaan potensi daerah, dan peningkatan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah sesuai dengan pertumbuhan kehidupan demokrasi nasional.29

Namun yang terpenting sebagai langkah awal daerah otonom baru adalah dengan berusaha mewujudkan distribusi pertumbuhan ekonomi yang yang serasi dan merata antar daerah, mewujudkan distribusi kewenangan yang sesuai dengan kesiapan pemerintah dan masyarakat lokal, menciptakan ruang politik bagi pemberdayaan dan partisipasi politik institusi-institusi politik lokal, serta mewujudkan distribusi layanan publik yang mudah dijangkau oleh masyarakat, dan meningkatkan efektifitas dan efisiensi fungsi pemerintahan daerah.30

E.Syarat Dan Aturan Hukum Pemekaran Wilayah

Secara normatif, segala sesuatu yang berhubungan dengan Negara dan politik tertanam sebuah syarat dan aturan hukum yang sifatnya mengikat untuk dillaksanakan oleh siapapun, terlebih lagi terkait dengan pemekaran wilayah yang sifatnya lebih urgen. Karena dalam beberapa kasus wilayah perbatasan saja bisa menyulut konflik antar daerah. Oleh karena itu, dalam hal ini hadirlah UU No. 32 dan 33 tahun 2004, dan PP No. 78 tahun 2007, sebagaimana dijelaskan dalam UU

29Prof. Dr. Sadu Wasistiono, Ms, Pemaparan lanjutan Suplemen Penelitian Studi Kelayakan pemekaran Wilayah Tangerang Selatan, (Ciputat: pemerintah Daerah kabupaten Tangerang, 2007), h. 2.

30M. Zaki Mubarak, dkk, Blue PrintOtonomi Daerah Di Indonesia”, (Jakarta: The YHB center, 2008), h. 170-172. Dan dalam buku ini pula dijelaskan tentang tujuan pemekaran wilayah, yang dikutip dari PP No. 129/2000, yang menyatakan bahwa kebijakan pembentukan, penghapusan dan penggabungan harus diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, melalui enam point penting sebagai berikut:

1. Peningkatan pelayanan kepada masyarakat

2. Percepatan kehidupan pertumbuhan kehidupan demokrasi 3. Percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah 4. Percepatan pengelolaan potensi daerah

5. Peningkatan keamanan dan ketertiban


(36)

No. 32/2004, Pasal 5, bahwa pembentukkan daerah harus memenuhi syarat adminstratif, teknis, dan fisik kewilayahan. Syarat administratif untuk kabupaten atau kota meliputi adanya persetujuan DPR-D kabupaten atau kota dan Bupati atau Walikota yang bersangkutan, persetujuan DPR-D provinsi dan Gubernur serta rekomendasi Menteri dalam Negeri. Sementara itu, syarat teknis meliputi faktor yang menjadi dasar pembentukan daerah yang meliputi faktor kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan, keamanan dan faktor-faktor lain yang berhubungan dengan terselenggaranya otonomi daerah. Sedangkan syarat fisik meliputi sedikitnya ada lima kabupaten atau kota untuk pembentukan provinsi, lima kabupaten atau kota untuk pembentukan kabupaten, dan lima kecamatan untuk pembentukan kota, dan wilayah yang akan menjadi ibu kota, beserta sarana dan prasarana pemerintah.31

Kajian terhadap prosedur pemekaran wilayah dalam penjabarannya telah tertuang dalam PP No. 129/2000 yang meliputi beberapa aspek penting yang harus dilaksanakan dalam pemekaran wilayah otonom. Prosedur pertama yang harus dilakukan adalah, aspirasi masyarakat, karena dampak dan akibat dari pemekaran wilayah ini pula yang kemudian akan dikembalikan atau berdampak pada masyarakat itu sendiri, adanya dukungan dari beberapa orang anggota pemerintahan daerah dan masyarakat daerah setempat untuk memekarkan diri dari daerah otonom induknya. Dan keinginan politik pemerintah daerah cukup direpresantikan dengan persetujuan kepala daerah dan DPR-D, sedangkan keinginan politik masyarakat yang direpresentasikan dengan berbagai tanda tangan dari tokoh masyarakat dianggap telah cukup memperlihatkan adanya

31Ibid, Blue Print "Otonomi Daerah Di Indonesia", (Jakarta: The YHB center, 2008), h. 180-182.


(37)

keinginan politik dari masyarakat yang bersangkutan, yang dipermudah dengan tidak dipersyaratkannya jajak pendapat (cara plebisit atau kajian akademis) untuk melakukan pemekaran wilayah, karena dianggap cara plebisit terlalu rumit, mahal dan beresiko untuk dijadikan sebagai media menggalang pendapat masyarakat. Oleh karena itu, syarat-syarat dan ketentuan diatas telah dianggap sah-sah saja. Akan tetapi hal inilah justru yang menjadi unsur kelemahan PP No. 129/2000, dengan prosedur pemekaran yang terlalu longgar menyebabkan keinginan politik masyarakat dengan mudah saja dipolitisir sebagai kemauan orang banyak atau masyarakat daerah.32

Unsur kedua, dengan membentuk badan atau lembaga yang dengan siap segera mempersiapkan segala kebutuhan untuk pemekaran wilayah tersebut, yang beranggotakan para tokoh masyarakat dan para penggagas pemekaran. Dalam banyak hal lembaga ini lah yang kemudian hari menjadi sebuah bentuk representasi dari keinginan politik masyarakat untuk mengusulkan pemekaran, dan lembaga ini pulalah yang kemudian berurusan langsung keatas, kebawah, dan yang berhubungan langsung dengan pihak eksekutif, legislatif daerah maupun pusat. Walaupun hadirnya badan atau lembaga ini dalam sejumlah daerah pemekaran tidak tercantum dalam PP No. 129/2000, namun hal tersebut bukan berarti larangan akan adanya lembaga tersebut.33

Unsur ketiga yang harus ditempuh dalam prosedur pemekaran wilayah adalah harus di dukung oleh penelitian awal yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah, dari segi pengamatan lapangan, yang kemudian akan

32Ibid, Blue Print "Otonomi Daerah Di Indonesia", (Jakarta: The YHB center, 2008), h. 146-147.

33Ibid, Blue Print "Otonomi Daerah Di Indonesia", (Jakarta: The YHB center, 2008) h. 148


(38)

menjelaskan tentang kriteria kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, rentang kendali dan lain-lain.

Unsur keempat, bagian final dan kesimpulan dari segenap penelitian yang ada dalam unsur ketiga, yang kemudian dapat merumuskan persetujuan pemekaran wilayah, yang dilakukan secara bersama-sama dalam praktiknya, oleh DPR-D, pemerintah daerah dan masyarakat daerah, dan dalam selanjutnya hal ini dilakukan untuk menghidari konflik politik antara pemerintah daerah dengan masyarakatnya, akibat dari prosedur pemekaran wilayah ini, karena memang hal ini sangat sensitif dan rawan konflik. Oleh karena itu hal ini diperlukannya sikap kebersamaan antara DPR-D, Pemerintah daerah dan masyarakat.34

Sejujurnya, memang banyak ketentuan yang mengindikasikan gahwa prosedur yang harus ditempuh untuk menetapkan pemekaran wilayah harus melalui proses panjang dan rumit, yang melibatkan banyak orang, juga banyak kalangan, yang menuntut akurasi persyaratan teknis subtantif, seperti kelayakan pembangunan ekonomi, pelayanan publik dan lain-lain.

Dari beberapa syarat dan aturan hukum tentang pembentukan daerah otonom baru, maka syarat yang lebih penting kemudian adalah dapat menjamin adanya peningkatan kesejahteraan dan kehidupan masyarakat daerah dan dapat menjamin keselarasan hubungan antara daerah melalui kerja sama antara daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mencegah ketimpangan antar daerah, mencegah disintegrasi, serta tetap menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selebihnya mengenai persyaratan pemekaran wilayah yang telah diatur oleh UU No 32/2004 akan penulis cantumkan dalam lembar lampiran.

34Ibid, Blue Print "Otonomi Daerah Di Indonesia", (Jakarta: The YHB center, 2008)h. 134 dan 149.


(39)

F. Manfaaat Pemekaran Wilayah

Perlu diakui, bahwa pemekaran wilayah dalam hal ini memberikan dampak dan manfaat yang positif bagi seluruh lapisan masyarakat dan pemerintah daerah, dengan adanya cita-cita dan UU No. 32/2004, mengenai otonomi daerah dan pemekaran wilayah, setidaknya telah memberikan semangat baru bagi elit politik dan masyarakat daerah untuk membangun daerahnya kearah yang lebih baik, mampu bersaing dengan daerah maju yang lainnya. Perlu diakui bahwa terbukanya prinsip otonomi daerah yang luas utuh dan bertanggung jawab dengan suntikan dana awal dari pusat cukup memicu sejumlah kalangan daerah untuk kembali bangkit, dan tergerak untuk menghidupkan kembali daerahnya, walaupun tidak bisa dinafikkan, kalau dari sebagian mereka ada yang mengharapkan suntikan dana awal dari pusat tersebut masuk ke dalam kantong-kantong pribadi mereka, dan mengharapkan kekuasaan baru. akan tetapi, setidaknya paling tidak mereka telah menjalankan dan melaksanakan cita-cita menjsejaterakan rakyat melalui cita-cita pemekaran wilayah.35

Selain itu juga dengan adanya pembentukan daerah baru, masyarakat akan semakin bergairah dan berkembang karena lahir tuntutan baru untuk membangun daerahnya, akan memicu motivasi terjadinya efektifitas birokrasi serta pelayanan publik yang lebih terjangkau, terarah dan terencana, karena sasaran yang dituju semakin jelas dan cakupannya lebih mudah. Karena selama ini sering terjadi birokrasi yang panjang dan bertele-tele, efek yang dihasilkan adalah, kejenuhan masyarakat terhadap pelayanan pemerintahan itu sendiri, yang dikarenakan terlalu banyak wilayah dan penduduk yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah,

35Prajarta Dirdjosantoso, dan Herudjati Purwoko, Desentraliasi Dalam Perspektif Lokal, (Salatiga: Pustaka Percik, 2004). h. 31.


(40)

namun dengan adanya pembentukan daerah baru, hal ini menjadi lebih mudah dan terkendali, dan hal ini juga diharapkan mampu mendekatkan dan mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap negara, karena bahwa sesungguhnya negara masih peduli terhadap masyarakat melalui pemerintah daeran dan konsep pemekaran wilayah. Selain itu juga, dengan hadirnya lembaga baru juga akan mendorong masyarakat untuk membentuk lembaga-lembaga swadaya yang baru, lembaga keagamaan, pendidikan, dan organisasi kemasyarakatan yang berbasis penggalian potensi sumberdaya manusia. Dengan kata lain, masyarakat mempunyai kesempatan yang sangat luas untuk membangun dan mengelola daerah.36

Dan manfaat yang lain adalah, terciptanya sarana pendidikan politik bagi pemerintah daerah, sehingga diharapkan mampu menciptakan sebuah formulasi yang segar guna membantu mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat daerah, sehingga tidak terjadi sebuah pemekaran yang memiliki motif lain dalam daerah tersebut dan tetap menjaga keutuhan budaya masyarakat daerah tersebut.37

Berdasarkan uraian diatas dapat ditarik benang merah dan dianalisa kembali, bahwa pemekaran wilayah pada tataran konsep dan cita-cita adalah sesuatu yang sangat mulia, berangkat dari kebutuhan perut yang lapar dengan bahasa “mewujudkan kesejateraan masyarakat” para penggagas pemekaran wilayah berusaha membangkitkan gairah masyarakat untuk kembali bangun dan membangun diri dan daerahnya menjadi yang lebih baik, menjadi sebuah manusia yang mapan dan merata.

36Bakor Cipasera, Menuju Kota Cipasera, (Ciputat: copyright proposal Tangsel), h. 16. 37Ibid, Blue Print "Otonomi Daerah Di Indonesia", (Jakarta: The YHB center, 2008), h. 153.


(41)

Akan tetapi pemekaran wilayah dalam perkembangannya mengalami banyak kendala, dimulai dari oknum yang tidak bertanggung jawab yang berusaha memanfaatkan subsidi dan kucuran dana yang terus mengalir dalam terbentuknya dari otonom baru, juga berusaha merubah cita-cita pemekaran wilayah itu sendiri, dan parahnya lagi jika ada oknum-oknum yang dengan sengaja memanfaatkan sejumlah aset dan potensi daerah yang ada untuk kepentingan segelintir orang atau kepentingannya pribadi. Dan hasilnya kini, dapat kita lihat tidak sedikit daerah pemekaran daerah baru belum bisa bangkit dan membangun daerah menjadi lebih baik, bahkan hal ini dikabarkan, justru semakin jumlah keluarga miskin semakin bertambah setiap tahunnya, dan hal ini menjadi sebuah pertanyaan besar, apakah dalam hal ini ada yang salah dalam konsep pemekaran wilayah, atau kondisi daerah yang memang untuk digerakkan dalam sektor ekonomi? Namun bukan hal itu yang menjadi kendala, satu yang ingin menjadi statement penulis dalam penutupan bab dua ini adalah, diperlukannya pengawasan terhadap daerah pemekaran baru dalam beberapa tahun, kemudian dilakukannya evaluasi data, dari hal ini dapat diketahui, sesungguhnya faktor apa yang menjadi kendala sebuah daerah pemekaran baru menjadi tidak berkembang sebagaimana yang telah dicita-citakan dan di gagas oleh sejumlah masyarakat daerah. Dan terakhir, dibutuhkannya sebuah tindak lanjut yang serius dari sejumlah elemen masyarakat untuk bangkit dan menegakkan kembali cita-citanya.


(42)

BAB III

PROFIL KOTA TANGERANG SELATAN

Cipasera adalah akronim dari Kecamatan Ciputat, Cisauk, Pamulang, Pagedangan, Serpong, Dan Pondok Aren di Kabupaten Tangerang, Cipasera inilah yang menjadi embrio terlahirnya kota Tangerang Selatan di kemudian hari. Wilayah yang berada tepat samping ibu kota Jakarta ini, dengan batas wilayahnya yakni daerah Pasar Jumat yang melingkari terminal Lebak Bulus, juga wilayah yang memiliki fungsi penting sebagai penyangga (buffer) beban berat arus urbanisasi yang memadati kota Metropolitan. Kini wilayah Tangerang Selatan tengah tumbuh dan berkembang menjadi wilayah perkotaan, karena adanya efek dari membanjirnya arus urbanisasi dari Jakarta yang dengan cepat merambat ke wilayah Tangerang Selatan, akibatnya adalah pertumbuhan pembangunan dan kebutuhan ekonomi masyarakat urban yang harus dipenuhi oleh Pemerintah Kabupaten Tangerang.38

Permasalahan kemudian muncul ketika Pemerintah Daerah Kabupaten Tangerang Tidak mampu mengatasi problem pertumbuhan dan pembangunan masyarakat, yang dikarenakaan selain letak pusat Pemerintahan Daerah yang berada di daerah Tigaraksa teramat jauh dengan wilayah-wilayah yang setiap harinya terus berkembang sesuai dengan kebutuhan penduduknya, dengan demikian akses pelayanan terhadap masyarakat tersebut sulit dijangkau.39 disamping itu juga tidak teratasinya kesenjangan ekonomi antara wilayah-wilayah

38Komite Persiapan Pembentukan Daerah Otonom Kota Cipasera Bidang Penelitian dan Pengembangan, Kajian Awal Tentang: Peningkatan Status Wilayah Cipasera Menjadi Daerah Otonom Kota, (Ciputat: copyright proposal peningkatan status Cipasera), h. v.

39Wawancara langsung penulis dengan Bapak Zarkasyi Noer (Ketua presidium pemekaran Tangerang Selatan), pada tanggal 11 Juni 2010.


(43)

yang berada tepat di bibir Jakarta dengan daerah yang berada di pedalaman atau pedesaan yang masih dalam lingkup Kabupaten Tangerang, yang dikarenakan terlalu luasnya wilayah Kabupaten Tangerang itu sendiri. Ketidaksesuaian kebijakan perekonomian yang dibuat oleh pemerintah Kabupaten Tangerang untuk wilayah Tangerang Selatan merupakan hal yang sangat wajar, karena Pemerintah Kabupaten Tangerang merupakan bentuk pemerintahan yang diperuntukan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga wilayah pedesaan, sedangkan wilayah Tangerang Selatan telah menjadi wilayah perkotaan yang tengah berkembang. Oleh karenanya, wajar apabila dikemudian hari masyarakat di wilayah Ciputat, Serpong, Pamulang, Pondok Aren dan kecamatan-kecamatan besar di kabupaten Tangerang menuntut untuk adanya pemisahan wilayah-wilayah tersebut dengan wilayah-wilayah induknya, lebih tepatnya biasa kita kenal dengan istilah “pemekaran wilayah.”40

A.Kondisi Sosiografis, Politik Dan Ekonomi

Sebagai wilayah yang telah menjadi kota otonomi baru, tentunya Cipasera atau Tangerang Selatan memiiliki gambaran umum tentang wilayahnya, Prof. Dr. Sadu Wasistiono (salah satu dosen tetap Ilmu Tata Negara di Universita Langlang Buana, Bandung) yang berhasil melakukan kajian ilmiah tentang peluang pembentukan sebuah daerah otonom baru, yang juga sebagai bahan tinjauan studi kelayakan pemekaran wilayah sebelumnya, pada waktu pengajuan pemekaran wilayah, yang dalam hal ini dilakukan oleh badan Pertimbangan Otonomi Daerah (BPOD). Dengan demikian gambaran umum tentang kondisi yang ada pada


(44)

Tangerang Selatan ini kemudian akan menjadi data penting untuk mengetahui proses pertumbuhan dan perkembangan Tangerang Selatan sebagai bahan evaluasi dari tahun ke tahun.41

Provinsi Banten sebagai provinsi baru yang semula bagian dari provinsi Jawa Barat yang terpinggirkan, harus segera bangkit dan berbenah diri dalam menggali semua potensi sumber daya alam untuk mengejar ketertinggalannya dari provinsi Jawa Barat. Sedangkan Kabupaten Tangerang adalah salah satu wilayah yang berkembang di Provinsi Banten, wilayahnya yang berbatasan secara langsung dengan Ibu Kota Jakarta merupakan sebuah keuntungan geografis bagi Kabupaten Tangerang, karena memiliki Ciputat, Serpong, Pamulang, Pondok Aren dan lainnya. Dan wilayah yang kemudian hari di sebut dengan “Kota Tangerang Selatan”, yang merupakan sebuah wilayah yang terletak di ujung timur provinsi Banten yang berbatasan dengan DKI Jakarta Raya, mempunyai nilai yang sangat strategis bagi pengembangan Provinsi Banten. Nilai strategis yang di maksud adalah, karena wilayah Cipasera atau Tangerang Selatan berkembang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi yang secara geografis bersebelahan dengan Jakarta, walaupun letaknya yang bersebelahan dengan Jakarta dan kota-kota besar lainnya, namun bila ditinjau dari segi politik, kondisi politik di wilayah pemerintahan bisa dikatakan masih stabil dan berjalan selaras. Dan berikut ini adalah penjelasan kondisi-kondisi yang menunjang Tangerang Selatan.42

41Prof. Dr. Sadu Wasistiono, Ms, Pemaparan lanjutan Suplemen Penelitian Studi Kelayakan pemekaran Wilayah Tangerang Selatan, (Ciputat: pemerintah Daerah kabupaten Tangerang, 2007), h. 5-6.

42Komite Persiapan Pembentukan Daerah Otonom Kota Cipasera Bidang Penelitian dan Pengembangan, Kajian Awal Tentang: Peningkatan Status Wilayah Cipasera Menjadi Daerah Otonom Kota, (Ciputat: copyright proposal peningkatan status Cipasera, 2002), h. 26-27.


(45)

1. Kondisi Sosiografis

Tangerang Selatan, merupakan sebuah willayah dengan luas lebih kurang 236, 57 km² atau 27, 07 persen dari luas wilayah kabupaten Tangerang. Dengan jumlah penduduk melampaui satu juta jiwa atau sekitar 30 persen dari jumlah penduduk Kabupaten Tangerang. Kota Tangerang Selatan terletak di bagian timur Provinsi Banten dan secara administratif terdiri dari 7 (tujuh) kecamatan, 49 (empat puluh sembilan) kelurahan dan 5 (lima) desa dengan luas wilayah 147,19 Km2. Menurut Kabupaten Tangerang Dalam Angka Tahun 2007/2008, luas wilayah kecamatan-kecamatan yang berada di Kota Tangerang Selatan (yang kemudian diambil sebagai luas wilayah kota Tangerang Selatan) adalah sebesar 150,78 Km2 sedangkan menurut Kompilasi Data untuk Penyusunan RT/RW Kota Tangerang Selatan adalah sebesar 147,19 Km2 dengan rincian luas kecamatan masing-masing yang berbeda pula. Angka yang digunakan adalah 147,19 Km2 karena sesuai dengan Undang-undang Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kota Tangerang Selatan di Propinsi Banten. Batas wilayah Kota Tangerang Selatan adalah sebagai berikut:

a. Sebelah utara berbatasan dengan Provinsi DKI Jakarta dan Kota Tangerang.

b. Sebelah timur berbatasan dengan Provinsi DKI Jakarta dan Kota Depok. c. Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Bogor dan Kota Depok. d. Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Tangerang.

Luas wilayah kecamatan yang paling besar adalah kecamatan Pondok Aren, dengan luas 2.988 Ha atau 20,30% dari luas keseluruhan Kota Tangerang Selatan, sedangkan kecamatan dengan luas paling kecil adalah Kecamatan Setu


(46)

dengan luas 1.480 Ha atau 10,06%43. Luas wilayah Kelurahan atau desa dengan wilayah di atas empat ratus hektar terletak di Kecamatan Pamulang, yaitu Pondok Cabe Udik dan Pamulang Barat, dan di Kecamatan Serpong Utara, yaitu Paku Jaya. Kelurahan atau desa dengan wilayah di bawah seratus lima puluh hektar terletak di Kecamatan Serpong, yaitu Cilenggang dan Serpong, dan di Kecamatan Serpong Utara, yaitu Jelupang. Kelurahan atau desa dengan luas wilayah paling besar adalah Pondok Cabe Udik dengan luas 483 Ha sedangkan kelurahan atau desa dengan luas wilayah paling kecil adalah Jelupang dengan luas 126 Ha.44

Masyarakat di wilayah Tangerang Selatan mengalami perubahan sosial budaya yang signifikan, struktur masyarakat yang semula homogen dengan budaya paternalistik, statis, dan agamis mengalami perubahan menjadi struktur masyarakat yang heterogen dengan budaya yang demokratis, dinamis, progresif, materialistis, dan sekuler agamis yang merupakan ciri-ciri masyarakat metropolitan atau masyarakat kota. Perubahan sosial budaya ini disebabkan karena terjadinya proses asimilasi budaya karena adanya benturan kebudayaan masyarakat pendatang yang umumnya berpendidikan menengah keatas dengan membawa budaya yang telah terkontaminasi dengan budaya perkotaan, dan berbenturan dengan masyarakat asli yang masih tradisional. Perubahan budaya inipun juga besar pengaruhnya dari sosial budaya masyarakat Jakarta yang secara goegrafis berdampingan wilayahnya dengan Tangerang Selatan, sehingga interaksi berlangsung sangat efektif dengan mobilitas masyarakatnya yang tinggi dan dinamis menyebabkan adanya pergeseran nilai-nilai sosial budaya menjadi

43Dikutip dari www.wikipedia.org, pada tanggal 11 Mei 2010

44Komite Persiapan Pembentukan Daerah Otonom Kota Cipasera Bidang Penelitian dan Pengembangan, Kajian Awal Tentang: Peningkatan Status Wilayah Cipasera Menjadi Daerah Otonom Kota, (Ciputat: copyright proposal peningkatan status Cipasera), h.7-9.


(47)

sosial budaya yang metropolis. Hal ini juga ditunjang dengan adanya sarana informasi dan komunikasi serta perhubungan darat yang lancar, sehingga sosial budaya masyarakat Tangerang Selatan memiliki kultur yang tidak jauh berbeda dengan kota metropolitan, namun tetap memiliki ciri khas tradisonal yang artistik.45

Akulturasi budaya tersebut menjadi nilai tambah bagi Tangerang Selatan dengan adanya persinggungan sosial, budaya, dan agama, dan di pastikan dalam hal ini telah terjadinya stratifikasi budaya yang signifikan pula. Pengelompokan masyarakat ini merupakan hal yang wajar bagi sebuah wilayah dengan tingkat pertumbuhan penduduk dan perkembangan daerah yang sangat cepat bagi Tangerang Selatan. Perkembangan daerah Tangerang Selatan yang cepat tersebut telah menarik berbagai sumber daya manusia yang berkualitas untuk tinggal dan berkembang. Para pakar peneliti dan ahli teknologi, banyak bermukim di daerah Puspitek dan Institut Teknologi Indonesia (ITI) di Cisauk. Para ulama, doktor, dosen, guru besar, sejarawan, dan budayawan banyak bermukim di wilayah Ciputat dan Pamulang. Hal ini lah yang dikhawatirkan akan berdampak ketimpangan sosial, dan terjadi tidak meratanya kesejahteraan sosial. Oleh karena itu, dalam hal ini, Pemerintah Walikota tangerang Selatan berusaha menanggulanginya dengan membangun infrastruktur-infrastruktur di daerah-daerah lain, agar terjadinya sebuah pemerataan, baik pembangunan, maupun pemerataan penduduk.46

45Komite Persiapan Pembentukan Daerah Otonom Kota Cipasera Bidang Penelitian dan Pengembangan, Kajian Awal Tentang: Peningkatan Status Wilayah Cipasera Menjadi Daerah Otonom Kota, (Ciputat: copyright proposal peningkatan status Cipasera), h. 22.


(48)

2. Kondisi Politik

Bentuk Pemerintahan Kota Tangerang Selatan yang mengatur dan mengurus rumah tangga Tangerang Selatan melalui konsep otonomi daerah, yang secara langsung akan selalu bersinggungan dengan Pemerintah Daerah Istimewa Jakarta Raya. Maka dalam hal ini akan lebih memudahkan kedua belah pihak tersebut untuk melakukan koordinasi dalam bidang-bidang politik dan keamanan dan kebijaksanaan publik untuk dapat meminimalisir dan menanggulangi gejolak sosial politik yang mungkin terjadi di wilayah Jabodetabek dengan koordinasi antar lembaga pemerintahan daerah dan lembaga keamanan wilayah kota, diharapkan kedua kota tersebut dapat menghasilkan sebuah simbiosis mutualisme.47

Jakarta sebagai ibu kota Negara, berfungsi sebagai barometer politik nasional. Apabila suhu politik di Jakarta mengalami gejolak, maka hal inipun akan berdampak pada perpolitikan Nasional. Dengan demikian, situasi politik di Jakarta harus selalu kondusif dan senantiasa harus di dukung oleh situasi politik yang kondusif pula di wilayah-wilayah penyangga jakarta. Tangerang Selatan, sebagai Pemerintahan Kota, memiliki peranan yang besar dalam hal ini, terutama dalam bidang Politik, Keamanan, dan kebijakan publik untuk dapat meminimalisir dan menanggulangi gejolak sosial politik yang mungkin terjadi di wilayah Jabodetabek, dengan koordinasi antar lembaga Pemerintahan dan Lembaga Keamanan wilayah Kota, misalnya antar Polresta.48

47Komite Persiapan Pembentukan Daerah Otonom Kota Cipasera Bidang Penelitian dan Pengembangan, Kajian Awal Tentang: Peningkatan Status Wilayah Cipasera Menjadi Daerah Otonom Kota, (Ciputat: copyright proposal peningkatan status Cipasera), h. 30-32.


(49)

Aspirasi politik penduduk Tangerang Selatan yang begitu besar juga dapat terlihat dari sejumlah tokoh yang duduk menjadi anggota dewan, baik di pemerintahan pusat, maupun di pemerintahan daerah tingkat satu. Komposisi anggota DPR di berbagai tingkatan tersebut adalah representasi aktifnya masyarakat dalam partai politik. Dari 24 partai politik yang terdaftar dalam pemilu 2004, tercatat bahwa hampir setiap partai politik memiliki konstituen yang cukup militan. Hal demikian tidak saja terdapat dalam partai politik besar, namun juga terhadap partai politik yang baru berkiprah atau partai politik dengan manajemen terbatas (partai gurem). Hasrat masyarakat yang cukup besar dalam arus percaturan politik dalam negeri ini tentunya membuka iklim positif bagi perkembangan partai-partai politik ke depannya di wiilayah Tangerang Selatan, terlebih lagi jika partai politik lebih berani memfokuskan diri terhadap peluang tersebut. Bukan tidak mungkin, Kota Tangerang Selatan ke depan akan menjadi primadona bagi partai politik dalam mengail konstituennya. Sedangkan hari ini, atmosfir politik Tangerang Selatan terus memanas, seiring akan dilaksanakanya PEMILU-KADA Tangerang Selatan yang akan berlangsung pada bulan oktober nanti, berbagai calon-calon walikota bermunculan sebelum masa kampanye yang ditentukan KPUD (Komisi Pemelihan Umum Daerah) dari seluruh lapisan masyarakat, dari mereka yang merasa berperan dalam proses pembentukan Pemerintahan Kota Tangerang Selatan, juga hadir dari anggota-anggota partai tertentu yang juga berjasa dalam proses pemekaran dan pembentukan Tangerang Selatan, hal ini bisa dilihat dari berbagai agenda-agenda sosial yang dilakukan calon-calon walikota tersebut, hal tersebut merupakan sikap kompetitif yang


(1)

Pembentukan Kota Tangerang Selatan, Surat Gubernur Banten Nomor 135/1436-Pem/2007 tanggal 25 Mei 2007 perihal Usulan Pembentukan Kota Tangerang Selatan, Keputusan Gubernur Banten Nomor 125.3/Kep.353-Huk/2007 tanggal 25 Mei 2007 tentang Persetujuan Pembentukan Kota Tangerang Selatan, Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Tangerang Nomor 13 tahun 2007 tanggal 4 Mei 2007 tentang Persetujuan Penetapan Batas Wilayah dan Belanja Operasional dan Pemiliharaan Kepada Kota Tangerang Selatan, Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Banten Nomor 161.1/Kep-DPRD/09/2008 tanggal 7 Juli 2008 tentang Persetujuan Pemberian Bantuan Dana Untuk Penyelenggaraan Pemerintahan Calon Kota Tangerang Selatan Provinsi Banten, Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Banten Nomor 161.1/Kep-DPRD/10/2008 tanggal 7 Juli 2008 tentang Persetujuan Pemberian Bantuan Dana Untuk Penyelenggaraan Pemilihan Umum Pertama Walikota dan Wakil Walikota Calon Kota Tangerang Selatan Provinsi Banten, Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Banten Nomor 161.1/Kep-DPRD/11/2008 tanggal 7 Juli 2008 tentang Persetujuan Nama Calon Kota, Batas Wilayah Kota dan Cakupan Wilayah Kota Calon Kota Tangerang Selatan Provinsi Banten, Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Banten Nomor 161.1/Kep-DPRD/12/2008 tanggal 7 Juli 2008 tentang Persetujuan Penggunaan Gedung Balai Latihan Kerja Industri (BLKI) Serpong Kabupaten Tangerang Untuk Fasilitas Kantor Calon Kota Tangerang Selatan Provinsi Banten, dan Keputusan Gubernur Banten Nomor 011/Kep.301-Huk/2008 tanggal 17 Juli 2008 tentang Persetujuan Penggunaan Gedung Balai Latihan Kerja Industri (BLKI) Serpong Kabupaten Tangerang Untuk Fasilitas Kantor Calon Kota Tangerang Selatan Provinsi Banten.

Berdasarkan hal tersebut Pemerintah telah melakukan pengkajian secara mendalam dan menyeluruh mengenai kelayakan pembentukan daerah dan berkesimpulan bahwa perlu dibentuk Kota Tangerang Selatan.

Pembentukan Kota Tangerang Selatan yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Tangerang, terdiri atas 7 (tujuh) kecamatan, yaitu Kecamatan Serpong, Kecamatan Serpong Utara, Kecamatan Pondok Aren, Kecamatan Ciputat, Kecamatan Ciputat Timur, Kecamatan Pamulang, dan Kecamatan Setu. Kota Tangerang Selatan memiliki luas wilayah keseluruhan ± 147,19 km² dengan penduduk pada tahun 2007 berjumlah ± 918.783 jiwa.

Dengan terbentuknya Kota Tangerang Selatan sebagai daerah otonom, Pemerintah Provinsi Banten berkewajiban membantu dan memfasilitasi terbentuknya kelembagaan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan perangkat daerah yang efektif dan efisien sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan, serta membantu dan memfasilitasi pelaksanaan pemindahan personel, pengalihan aset dan dokumen untuk kepentingan penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam rangka meningkatkan pelayanan publik dan mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat di Kota Tangerang Selatan.

Dalam melaksanakan otonomi daerah, Kota Tangerang Selatan perlu melakukan berbagai upaya peningkatan kemampuan ekonomi, penyiapan sarana dan prasarana pemerintahan, pemberdayaan dan peningkatan sumber daya manusia, serta pengelolaan sumber daya alam sesuai dengan peraturan perundang-undangan.


(2)

II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1

Cukup jelas Pasal 2 Cukup jelas

Pasal 3 Cukup jelas

Pasal 4 Cukup jelas

Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2)

Lampiran peta cakupan wilayah yang digambarkan dengan skala 1:25.000 diterbitkan oleh Pemerintah dan diserahkan kepada Pemerintah Daerah Provinsi Banten pada saat dilakukan peresmian sebagai daerah otonom baru.

Ayat (3) Cukup jelas

Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2)

Dalam rangka pengembangan Kota Tangerang Selatan khususnya guna perencanaan dan penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan dan pelayanan masyarakat pada masa yang akan datang, serta pengembangan sarana dan prasarana pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan, diperlukan adanya kesatuan perencanaan pembangunan. Untuk itu, Tata Ruang Wilayah Kota Tangerang Selatan harus disusun secara serasi dan terpadu dengan tata ruang nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.

Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas


(3)

Yang dimaksud dengan "urusan pemerintahan yang secara nyata ada" dalam ketentuan ini sesuai dengan kondisi, kekhasan dan potensi yang dimiliki antara lain pertambangan, perikanan, pertanian, perkebunan, kehutanan, dan pariwisata.

Pasal 8

Peresmian Kota dan pelantikan Penjabat Walikota dapat dilakukan secara bersamaan dan pelaksanaannya dapat dilakukan di ibu kota negara, ibu kota provinsi, atau ibu kota kabupaten.

Pasal 9 Ayat (1)

Pemilihan, pengesahan, dan pengangkatan Walikota dan Wakil Walikota Tangerang Selatan dilaksanakan paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan, kecuali pada bulan Januari sampai dengan bulan Juli 2009.

Ayat (2)

Penjabat Walikota Tangerang Selatan diusulkan oleh Gubernur Banten dengan pertimbangan Bupati Tangerang.

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas

Ayat (5) Cukup jelas

Ayat (6) Cukup jelas

Pasal 10

Pembebanan biaya pelaksanaan pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Tangerang Selatan pada APBD Provinsi Banten dan APBD Kabupaten Tangerang dilaksanakan secara proporsional sesuai dengan kemampuan keuangan daerah masing-masing.

Pasal 11 Cukup jelas

Pasal 12 Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan pengaturan tentang jumlah, mekanisme, dan tata cara pengisian keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah antara lain penetapan daerah pemilihan.

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas


(4)

Pasal 13 Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas

Ayat (5)

Untuk mencapai daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan dan pelayanan kemasyarakatan, digunakan pegawai, tanah, gedung perkantoran dan perlengkapannya, serta fasilitas pelayanan umum yang telah ada selama ini dalam pelaksanaan tugas Pemerintah Kabupaten Tangerang dalam wilayah Kota Tangerang Selatan.

Dalam rangka tertib administrasi, diperlukan tindakan hukum berupa penyerahan personel, aset, dan dokumen dari Pemerintah Kabupaten Tangerang kepada Pemerintah Kota Tangerang Selatan.

Demikian pula BUMD Kabupaten Tangerang yang kedudukan, kegiatan, dan lokasinya berada di Kota Tangerang Selatan, untuk mencapai daya guna dan hasil guna dalam penyelenggaraannya, diserahkan oleh Pemerintah Kabupaten Tangerang kepada Pemerintah Kota Tangerang Selatan.

Dalam hal BUMD yang pelayanan/kegiatan operasionalnya mencakup kabupaten induk dan kota baru, pemerintah daerah yang bersangkutan melakukan kerja sama.

Begitu juga utang piutang yang penggunaannya untuk Kota Tangerang Selatan diserahkan oleh Pemerintah Kabupaten Tangerang kepada Pemerintah Kota Tangerang Selatan. Berkenaan dengan pengaturan penyerahan tersebut, dibuatkan daftar inventaris.

Ayat (6) Cukup jelas

Ayat (7) Cukup jelas

Ayat (8) Cukup jelas

Ayat (9) Cukup jelas

Pasal 14 Cukup jelas

Pasal 15 Ayat (1)

Yang dimaksud dengan "hibah" dalam ketentuan ini adalah pemberian sejumlah uang yang besarnya didasarkan pada Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Tangerang Nomor 13 Tahun 2007 tanggal 4 Mei 2007 dan


(5)

Keputusan Bupati Tangerang Nomor 130/Kep.149-Huk/2007 tanggal 7 Mei 2007 serta untuk pelaksanaan pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Tangerang Selatan pertama kali sesuai dengan Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Tangerang Nomor 9 Tahun 2008 tanggal 4 Juli 2008 dan Keputusan Bupati Tangerang Nomor 130/Kep.149-Huk/2007 tanggal 7 Mei 2007.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan "memberikan bantuan dana" dalam ketentuan ini adalah pemberian sejumlah dana yang didasarkan pada Keputusan Gubernur Provinsi Banten Nomor 900/Kep.298-Huk/2008 tanggal 7 Juli 2008 dan Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Banten Nomor 161.1/Kep-DPRD/09/2008 tanggal 7 Juli 2008 serta untuk pelaksanaan pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Tangerang Selatan pertama kali sesuai dengan Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Banten Nomor 161.1/Kep-DPRD/09/2008 tanggal 7 Juli 2008 dan Keputusan Gubernur Banten Nomor 900/Kep.298-Huk/2008 tanggal 7 Juli 2008.

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4)

Pengurangan dana alokasi umum adalah pengurangan sejumlah dana sesuai dengan kesanggupan Pemerintah Kabupaten Tangerang yang belum dibayarkan.

Ayat (5)

Pengurangan dana alokasi umum adalah pengurangan sejumlah dana sesuai dengan kesanggupan Pemerintah Provinsi Banten yang belum dibayarkan.

Ayat (6) Cukup jelas

Ayat (7) Cukup jelas

Pasal 16 Cukup jelas

Pasal 17 Cukup jelas

Pasal 18 Cukup jelas

Pasal 19 Cukup jelas

Pasal 20 Cukup jelas

Pasal 21 Cukup jelas

Pasal 22 Cukup jelas


(6)