2.Penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian dan larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan tanah-tanah itu menjadi
bagian-bagian yang terlampau kecil; 3.Soal pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang digadaikan
.
Dalam bukunya Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional
HTN Prof. Boedi Harsono, S.H menyebutkan ada beberapa masalah yang masih
dalam pemikiran penyempurnaan peraturan dan pengaturan HTN, yaitu:
1. Penyempurnaan peraturan Landreform yang terdapat petunjuknya
dalam Pasal 7 dan Pasal 17 UUPA, dengan pelaksanaannya dalam Undang- undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas
Tanah Pertanian;
2. Pengaturan konsolidasi tanah;
3. Pengaturan penatagunaan tanah sebagai pengaturan lebih lanjut
ketentuan dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang; telah dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah bahkan Undang- undang Nomor 24 Tahun 1992 telah diganti dengan Undang-undang
Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
4. Penyediaan informasi pertanahan;
5. Pendidikan dan penyediaan sumber daya manusia pelaksana HTN, yang
bersih, loyal dan profesional;
Universitas Sumatera Utara
Dari hasil penelitian pada Tahun 1979 sampai dengan Tahun 1980 yang dituangkan dalam master Tesis ahli, juga dikemukakan bahwa ketidaksuksesan
program Landreform di Indonesia sebagian berada dari tidak sempurnanya Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tersebut. Khusus mengenai Pasal 10
Ayat 3 dan Ayat 4, ahli menyampaikan pendapat hukum sebagai berikut:
1. Asas-asas Dasar Hukum Tanah Nasional
Asas-asas dasar Hukum Agraria termasuk Hukum Tanah dewasa ini tersebar dalam UUD 1945 dan UUPA. Asas-asas tersebut akan tetap mendasar HTN
yaitu: a. Asas Religiositas, yang memperhatikan unsur-unsur yang bersandar pada
hukum agama Konsiderans berpendapat, Pasal 1 dan Pasal 49 UU PA; b. Asas Kebangsaan, yang mendahulukan kepentingan nasional, dengan
memberi kesempatan kepada pihak asing menguasai dan menggunakan tanah untuk keperluan usahanya, yang bermanfaat bagi kemajuan dan
kemakmuran bangsa dan negara Pasal 9, Pasal 20 dan Pasal 55 UUPA; c. Asas Demokrasi, dengan tidak mengadakan perbedaan antar gender, suku,
agama dan wilayah Pasal 4 dan Pasal 9 UUPA; d. Asas Pemerataan, pembatasan dan keadilan dalam penguasaan dan
pemanfaatan tanah yang tersedia Pasal 7, Pasal 11 dan Pasal 17 UUPA; e. Asas Kebersamaan dan Kemitraan, dalam penguasaan dan penggunaan tanah
dengan memberdayakan golongan ekonomi lemah, terutama para petani Pasal 11 dan Pasal 12 UUPA;
Universitas Sumatera Utara
f. Asas Kepastian Hukum dan Keterbukaan, dalam penguasaan dan penggunaan tanah serta perlindungan hukum bagi golongan ekonomi lemah, terutama
para petani Pasal 11, Pasal 13 dan Pasal 19 UUPA; g. Asas Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah sebagai sumber daya alam
strategis secara berencana, optimal, efisien dan berkelanjutan, dalam rangka meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan bersama, dengan menjaga
kelestarian kemampuan dan lingkungannya Pasal 13 dan Pasal 14 UUPA; h. Asas Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab dalam penyelesaian
masalahmasalah pertanahan sesuai dengan sila kedua Pancasila
;
2. Hak Asasi Manusia dan Hukum Tanah Nasional Salah satu asas-asas dasar Hukum Tanah Nasional adalah asas Kemanusian
Yang Adil dan Beradab dalam penyelesaian masalah-masalah
pertanahan sesuai dengan sila Kedua Pancasila. Sebagai perwujudan sifat negara hukum yang berasaskan Pancasila, khususnya sila Kemanusiaan Yang
Adil dan Beradab, HTN jelas memperhatikan dan melindungi hak-hak asasi manusia, sebagai yang dalam TAP MPR IXMPR2001 dinyatakan sebagai
salah satu prinsip dalam pembaharuan agraria. Dalam HTN ditegaskan, bahwa memperoleh tanah kepunyaan siapapun untuk keperluan apapun harus
dilakukan melalui musyawarah untuk mencapai kesepakatan, baik mengenai penyerahan tanahnya maupunimbalannya. Hanya dalam keadaan yang
memaksa, bilamana diperlukan untuk melaksanakan proyek kepentingan umum dapat diambil secara paksa melalui acara pencabutan hak, yang tata
Universitas Sumatera Utara
cara dan ketentuannya diatur dalarn Undang-undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-hak Atas Tanah dan Benda-benda Yang Ada Di
Atasnya LNRI 1961- 288, TLNRI 2324. Tetapi biarpun diperlukan untuk kepentingan umum, mengenai bentuk dan jumlah imbalannya ada asas
umumnya yang wajib diperhatikan, yaitu bahwa dengan pengambilan tanah kepunyaannya keadaan sosial dan ekonomi bekas pemegang hak tidak boleh
menjadi mundur. Asas umum tersebut bersifat universal, dan secara tegas dinyatakan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1973 tentang Acara
Penetapan Ganti Kerugian oleh Pengadilan Tinggi sehubungan dengan Pencabutan Hak Atas Tanah dan Benda-benda Yang Ada Di Atasnya LNRI
197349, TLNRI 3014. Dari uraian tersebut di atas jelaslah bahwa asas HTN sangat memperhatikan hak asasi manusia sebagai pemegang hak atas tanah
sedangkan dalam rangka pelaksanaan proyek kepentingan umum walaupun tanah diambil secara paksa namun diberikan ganti rugi. Halmana sesuai
dengan Pasal 28H Ayat 4 UUD RI 1945. Apabila dilihat dari ketentuan Pasal 3 Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 maka efektivitas
pelaksanaan ketentuan tersebut sangat tergantung pada beberapa faktor sebagai berikut:
1. Sosialisasi undang-undang tersebut kepada masyarakat yang terken larangan permilikan tanah melebihi luas maksimum;
2. Derajat kepatuhan masyarakat tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Jadi secara sosiologis ketentuan tersebut sulit untuk diimplimentasikan pada saat diundangkannya Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tersebut dimana alat-
alat komunikasi. untuk penerima informasi belum secanggih seperti pada saat ini. Sanksi dari pelanggaran tidak dipenuhinya Pasal 3, Pasal 4, Pasal 6 dan Pasal 9
sudah diatur dalam Pasal 10 Ayat 1 tetapi dalam Pasal 10 Ayat 3 dan Ayat 4 sanksi tersebut ditambah lagi. Menurut hemat ahli, tidak adanya pemberian ganti
rugi kepada pihak yang melakukan pelanggaran sebagaimana diatur dalam Pasal 10 Ayat 3 dan Ayat 4 tersebut adalah bertentangan dengan asas-asas Hukum
Tanah Nasional dan Asas-asas Perolehan Tanah yang menjadi dasar pembangunan Hukum Tanah Nasional.
Selain dari pasal yang diajukan Pemohon, ada beberapa pasal yang sudah tidak
relevan lagi dengan keadaan sosial dan ekonomi sekarang ini misalnya ketentuan
melapor pada Pasal 3 yang sangat tergantung pada pengetahuan yang
bersangkutan tentang adanya ketentuan tersebut dan derajat kepatuhan hukum
masyarakat itu, mengenai penghitungan jumlah keluarga, dan penentuan daerah
padat dan tidak padat. Oleh karenanya sudah saatnya pemerintah mengadakan
perubahan atas Undang-undang Nomor 56
Prp Tahun 1960 .
Berdasarkan beberapa
pertimbangan-pertimbangan terhadap alasan-alasan Pemohon mengajukan Permohonan maka Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia yang memeriksa dan memutus permohonan pengujian Undang- undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian
khususnya Pasal 10 Ayat 3 dan Ayat 4 terhadap Pasal 28D Ayat 1, Pasal 28H
Universitas Sumatera Utara
Ayat 4, dan Pasal 28H Ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, memberikan putusan sebagai berikut:
1. Menyatakan bahwa Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum legal standing untuk mengajukan permohonan pengujian Undang- Undang Nomor 56 Prp Tahun
1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian khususnya Pasal 10 Ayat 3 dan Ayat 4 terhadap Pasal 28D Ayat 1, Pasal 28H Ayat 4, dan Pasal 28H Ayat
2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hal ini disebakan karena Pemohon tidak memenui syarat-syarat yang telah ditentukan
undang-undang Mahkamah Konstitus. Setiap orang yang ingin mengajukan penujian undang-undang, harus lah terlebih dahulu memenuhi syarat-syarat yang
telah ditetapkan, dan ini merupakan hal yang sangat penting didalam mengajukan pengujian undang-undang;
2. Menolak permohonan pengujian Pemohon seluruhnya atau menyatakan permohonan pengujian Pemohon tidak dapat diterima niet ontvankelijk
verklaard atau memutuskan berdasarkan keadilan dan UUD 1945; 3. Menerima keterangan Pemerintah secara keseluruhan;
4. Menyatakan Pasal 10 Ayat 3 dan Ayat 4 beserta Penjelasannya Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian tidak
bertentangan dengan Pasal 28D Ayat 1, Pasal 28H Ayat 4, Pasal 28I Ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Universitas Sumatera Utara
5. Menyatakan Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian tetap mempunyai kekuatan hukum dan tetap berlaku
diseluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
B. Analisis Hukum Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Atas Permohonan
Pengujian Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 Tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian.
Berdasarkan pertimbangan hukum dalam putusan Mahkamah Konstitusi dengan perkara Nomor 11PUU-V2007 bahwa maksud dan tujuan permohonan
Pemohon adalah sebagaimana telah diuraikan dalam bagian duduk perkara sebelumnya. Pada intinya Pemohon memohon agar Mahkamah Konstitusi
menyatakan Pasal 10 Ayat 3 dan Ayat 4 beserta Penjelasan Pasal 10 Ayat 3 dan Ayat 4 Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah
Pertanian bertentangan dengan Pasal 28D Ayat 1, Pasal 28H Ayat 4, dan Pasal 28I Ayat 2 UUD 1945, tetapi Putusan Mahkamah Konstiusi menolak permohonan dari
pada Pemohon. Berdasarkan ketentuan dari pada pasal UUD 1945, maka konstitusi yang
relevan untuk dijadikan batu penguji terhadap ketentuan Pasal 10 Ayat 3 dan Ayat 4 adalah Pasal 28H Ayat 4 sedangkan Pasal 28D Ayat 1 yang menyangkut hak
untuk mendapat perlakuan yang sama di depan hukum dan 28I Ayat 2 tentang
larangan diskriminasi, dari posita yang diajukan Pemohon adalah kurang relevan, karena dalil yang dikemukakan lebih merupakan pelaksanaan undang-undangnya,
sedang keberlakuan norma yang diuji dinyatakan berlaku bagi setiap orang.
Universitas Sumatera Utara
Yang menjadi persoalan pokok sekarang apakah hukuman tambahan berupa perampasan bagi negara terhadap kelebihan tanah tanpa ganti rugi karena melanggar
larangan pemilikan tanah melebihi luas tanah yang ditetapkan Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 merupakan pengambilalihan yang sewenang-wenang
sebagaimana dilarang oleh Pasal 28H Ayat 4 tersebut. Sebelum memberikan analisis tentang ada tidaknya aspek
kesewenangwenangan dalam Pasal 10 Ayat 3 dan Ayat 4 Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960, terlebih dahulu mngetahui apakah Undang-undang Nomor 56 Prp
Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian masih relevan atau tidak lagi untuk saat ini.
Prof. Ny. Ari Sukanti Hutagalung SH. MLI Ahli yang diajukan Pemohon sebagai saksi ahli dalam bidang agararia dari Universitas Indonesia UI pada sidang
pengujian undang-undang di Gedung Mahkamah Konstitusi. Arie berpendapat bahwa Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 dinilai tidak relevan dan dinilai tidak
efektif lagi dengan kondisi masyarakat saat ini. Adanya alasan mengapa tidak relevan lagi dan dinilai tidak efektif karena pelaksanaan Undang-undang Nomor 56 Prp
Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian yang membatasi kepemilikan lahan oleh perorangan karena didalam Pasal 3 ada nya pemberian waktu 3 bulan bagi
tanah berlebih untuk melapor, jadi baiknya Pemerintah mengubah undang-undang ini. Pada praktiknya Arie menuturkan pemilikan tanah yang melebihi luas melewati
batasan maksimum itu sebelum jangka waktu 3 bulan yang ditentukan ternyata mengalihkan kepemilikannya itu kepada sanak keluarganya dan tidak
Universitas Sumatera Utara
menyerahkannya kepada Pemerintah. Hal ini di peroleh dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Arie sejak Tahun 1979. Menurut Arie pelaksanaannya tidak efektif
karena adanya tenggang waktu 3 bulan untuk melaporkan kepemilikan kelebihan tanah. Yang terjadi justru tanah tersebut dialihkan kepada anak dan menantunya.
Menurut Arie pelaksanaan reformasi agraria yang dimaksud dengan penetapan luas tanah maksimum oleh perorangan itu pada akhirnya tidak dapat
terlaksana karena bergantung kepada kepatuhan individu untuk melaporkan kelebihan tanah yang dimilikinya.
Contohnya didaerah Minahasa, Sulawesi Utara, ada seseorang pejabat yang sampai menguasai 40 persen lahan didaerahnya namun tidak terkena peraturan
pembatasan tersebut sehingga yang terjadi adalah rekayasa hukum untuk menghindarkan tanah kelebihan maksimum itu agar tidak diambil oleh negara.
Banyak pasal dalam Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian yang berlaku sejak 1 Januari 1960 yang kini tidak
lagi sesuai dengan kondisi sosial ekonomi Indonesia. Ketidaksuksesan reformasi agraria juga disebabkan karena tidak sempurnanya undang-undnag tersebut karena
kondisi saat sekarang ini tidak lagi sesuai dengan erhitungan jumlah keluarga serta penentuan daerah padat dan tidak padat pada tahun 1960.Oleh karena itu sudah
saatnya Pemerintah mengadakan perubahan Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian.
Pendapat Pemerintah terhadap hal tersebut berbeda dengan menurut Prof. Ny. Ari Sukanti Hutagalung SH. MLI. Pemerintah yang diwakili oleh Kepala Badan
Universitas Sumatera Utara
Pertanahan Nasional BPN menyatakan bahwa Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian masih relevan dan efektif, jadi
jika dikatakan tidak relevan dan tidak efektif pemerintah tidak setuju. Bukti efektivitas dari undang-undang ini adalah dapat dilihat dari lapangan dimana
dilapangan secara prakteknya masih berjalan.sampai saat tahun 2007 telah menerima 121 ribu hektar tanah yang diserahkan kepada negara dari 31 ribu perseorangan
dengan nilai ganti rugi Rp 58,52 miliar. Pemerintah juga membantah jika dikatakan sosialisasi undang-undang tersebut tidak berjalan dengan baik karena sampai tahun
2007 BPN masih menerima laporan dari daerah-daerah misalnya Kalimantan yang melaporkan kelebihan lahannya.
Pemerintah menyatakan pada dasarnya UUPA masih relevan untuk dijadikan landasan hukum program Reforma Agraria dimaksud. Hal demikian disebabkan
ketentuan-ketentuan dalam UUPA sendiri, yang hanya memuat konsepsi, asas dan ketentuan hukum tanah yang bersifat pokok saja, dengan landasan konstitusional
yang masih up-to-date meskipun dengan empat kali perubahan UUD 1945, masih dipandang tetap merupakan kebijakan yang konsisten dengan cita-cita proklamasi
dalam Pembukaan UUD 1945, tanpa menutup mata terhadap situasi ekonomi global yang membawa pengaruh dalam paradigma pembangunan hukum pertanahan dan
pembangunan pada umumnya, yang juga menuntut penyesuaian paralel dengan perubahan kondisi sosial politik, ekonomi global dan perubahan UUD 1945.
Universitas Sumatera Utara
Dari pendapat yang berbeda dan alasan-alasan yang berbeda tampak dengan jelas bahwa hal tersebut terjadi karena adanya hambatan-hambatan dari pelaksanaan
undang-undang tersebut. Pelaksanaan reformasi agraria menjadi tidak efektif karena ada hambatan politik tahun 1965. Reformasi agraria mencapai puncaknya pada tahun
1964, dan kemudian ada persoalan, sehingga baru efektif lagi ahun 1970 an. Tetapi undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 ini masih tetap dibutuhkan karena
menjadi tonggak pelaksanaan reformasi agraria dan penting dalam rangka mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kualifikasi perbuatan seseorang yang memiliki tanah melebihi batas maksimum yang ditetapkan dalam Pasal 1 Ayat 2 Undang-undang Nomor 56 Prp
Tahun 1960, yang tidak melaporkan kelebihan tersebut sebagaimana diwajibkan oleh Pasal 3, dan pemindahan hak milik kelebihan tanah tersebut tanpa izin Kepala
Agraria, yang dilarang oleh Pasal 4 undang-undang, ditentukan sebagai tindak pidana pelanggaran bukan kejahatan oleh Pasal 10 Ayat 1 dan Ayat 2, dan dalam hal
demikian, kelebihan tanah tersebut jatuh kepada negara, tanpa hak menuntut ganti rugi.
Seharusnya agar tidak terjadi tindak pidana yang dimaksud dalam Pasal 4 Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960, maka tanah tersebut harus dialihkan
menjadi hak lain, jangan hak milik karena pemilikan hak milik ada batasannya, kalau sudah sampai ratusan hektar ini jelas telah melanggar ketentuan undang-undang. Hak
lain yang dimaksud adalah hak pengelolahan dimana hal ini diatur didalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Pasal 1 angka 2. Hak pengelolaan adalah hak
Universitas Sumatera Utara
menguasai dari negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya.
Lahan maksimum yang dapat dimiliki oleh perorangan itu berbeda disetiap daerah. Setiap orang yang memiliki lahan melebihi luas yang diperbolehkan wajib
melaporkan tanah kelebihan ganti rugi dari Pemerintah. Luas tanah yang berlebih yang diserahkan kepada Pemerintah itu mendapat gant rugi dari Pemerintah. Pasal 10
Ayat 3 dan ayat 4 Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian merupakan upaya paksa bagi seseorang yang tidak mematuhi
kewajiban atau larangan yang ditentukan dalam peraturan-peraturan perundang- undangan untuk tercapainya ketertiban, keteraturan dan keadilan. Sanksi ini
merupakan salah satu ciri hukum dimana bertujuan agar pelaksanaan suatu undang- undang menjadi lebih efektif.
Universitas Sumatera Utara
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A.Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian dan pembahasan dari bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Mahkamah Konstitusi dalam melaksanakan kekuasaan negara dengan cara melakukan pengujian undang-undang serta kewenangan lainnya, tidak terlepas
dari pola hubungan hak-hak dasar manusia sebagai individu, masyarakat dan negara, dalam upaya mencapai kesejahteraan yang berkeadilan sosial dan
menjaga terselenggaranya pemerintahan negara yang stabil sesuai dengan kehendak rakyat dan cita hukum negara yang demokrasi. Pencapaian
kesejahteraan yang berkeadilan menurut cita hukum dikenal sebagai tujuan negara. Adapun wewenang dari pada Mahkamah Konstitusi adalah pengujian
undang-undang, memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan hasil pemilu, memutus dugaan
pelanggaran presiden dan atau wakil presiden.Pengujian Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 Yang diajukan oleh Pemohon ditolak oleh Mahkamah
Konstitusi, yang menjadi alasan Mahkamah Konstitusi menolak Permohonan Pemohon adalah Tidak terdapat hubungan hukum antara Pemohon dengan tanah a
quo, karena status tanahnya adalah tanah Negara, dan Sanksi di dalam Pasal 10 Ayat 3 dan Ayat 4 Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 dikenakan
Universitas Sumatera Utara
terhadap Bapak Dukrim bin Suta alias Pak Kebon secara pribadi bukan kepada Pemohon. Jadi, tidak ada hak konstitusional Pemohon yang dilanggar dan atau
Pemohon tidak dirugikan hak danatau kewenangan konstitusionalnya dengan keberlakuan Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960, kecuali apabila status
tanah tersebut telah beralih kepada Pemohon sebelum status tanahnya menjadi tanah negara. Dengan kata lain Pemohon tidak mempunyai kualitas untuk
mengajukan permohonan pengujian undang-undang, mengingat Pemohon bukan sebagai pemilik tanah pertanian yang melebihi batas luas maksimum tersebut.
2. Undang-undang pokok Agraria adalah merupakan induk dari land reform Indonesia, hal mana terbukti dari ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam
konsiderans hingga Pasal 19 UUPA. Hal ini berarti bahwa berbagai undang- undang atau peraturan lain yang berkaitan dengan pelaksanaan land reform tidak
boleh keluar dari sistematik yang telah dikembangkan oleh UUPA. Secara umum tujuan dari pada land reform adalah memperbaiki situasi dimana banyak sekali
petani dibawah suatu ikatan tertentu terhadap pemilik tanah hal ini disebabkan karena distribusi tanah yang tidak merata. Dalam kenyataannya pada masa tahun
1960 terdapat petani yang memiliki dan mengusahakan tanah dengan luas yang sangat jauh melebihi rata-rata pemilikan dan penguasaan tanah para petani pada
umumnya, Penguasaan, pemilikan dan pemanfaatan tanah yang luas oleh segelintir petani membuka peluang terjadinya pemerasan oleh petani bertanah
luas terhadap petani bertanah sempit bahkan sempit atau bahkan tidak memiliki tanah. Pemerasan dapat dikemas dalam bentuk gadai dan bagi hasil pertanian,
Universitas Sumatera Utara
sehingga perlu adanya pengaturan pemilikan dan penguasaan tanah pertanian.dalam kasus ini maka akibat terhadap penguasaan tanah yang
melampaui batas maka terhadap tanah yang dimiliki oleh pemohon adalah Terjadinya pembatalan pemilikan tanah karena tanah yang bersangkutan jatuh
pada Negara tanpa hak untuk menuntut ganti kerugian sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah dalam hal ini adalah Pasal 10 Ayat 3 dan
4 Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 Tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian dan tanah tersebut diredistribusikan kepada petani yang tuna kisma atau
petani gurem. 3 Berdasarkan beberapa pertimbangan-pertimbangan terhadap alasan-alasan
Pemohon mengajukan Permohonan maka Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa dan memutus permohonan pengujian
Undang- undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian khususnya Pasal 10 Ayat 3 dan Ayat 4 terhadap Pasal 28D Ayat 1,
Pasal 28H Ayat 4, dan Pasal 28H Ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, memberikan putusan bahwa Pemohon tidak
mempunyai kedudukan hukum legal standing untuk mengajukan permohonan pengujian Undang- Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas
Tanah Pertanian khususnya Pasal 10 Ayat 3 dan Ayat 4 terhadap Pasal 28D Ayat 1, Pasal 28H Ayat 4, dan Pasal 28H Ayat 2 Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Menolak permohonan pengujian Pemohon seluruhnya atau menyatakan permohonan pengujian Pemohon tidak
Universitas Sumatera Utara
dapat diterima niet ontvankelijk verklaard atau memutuskan berdasarkan keadilan dan UUD 1945. Terdapat perbedaan pendapat, Prof. Ny. Ari Sukanti
Hutagalung SH. MLI Ahli yang diajukan Pemohon sebagai saksi ahli dalam bidang agararia dari Universitas Indonesia UI pada sidang pengujian undang-
undang di Gedung Mahkamah Konstitusi. Arie berpendapat bahwa Undang- undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 dinilai tidak relevan dan dinilai tidak efektif
lagi dengan kondisi masyarakat saat inidan Pemerintah yang diwakili oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional BPN menyatakan bahwa Undang-undang Nomor 56
Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian masih relevan dan efektif, jadi jika dikatakan tidak relevan dan tidak efektif pemerintah tidak setuju.
B.Saran
1. Agar bagi masyarakat yang ingin mengajukan pengujian undang-undang harus memenuhi syarat-syarat. Pemohon yang dianggap memiliki Legal Standing
Kedudukan Hukum untuk mengajukan hak atau kewenangan konstitusionalnya terhadap Mahkamah Konstitusi oleh berlakunya undang-undang sehingga
permohonan dapat diterima. 2. Agar masyarakat mengetahui akan adanya akibat hukum yang diberikan oleh
negara terhadap masyarakat apabila masyarakat memiliki tanah yang melebihi batas maksimum atau batas yang telah ditentukan oleh undang-undang, dimana
akibat hukum tersebut adalah tanah tersebut diambil oleh negara tanpa diberi ganti rugi oleh negara.Tetapi kepada pihak pemerintah daerah serta Badan
Pertanahan agar mendata tanah yang ada di daerahnya jika ditemukan terdapat
Universitas Sumatera Utara
penyimpangan terhadap tanah maka Pemerintah Daerah dan Badan Pertanahan harus aktif untuk membela petani supaya kelebihan tanah dikembalikan kepada
masyarakat tempat tanah tersebut serta digunakan secara baik. Pemerintah Pusat dan Dewan Perwakilan Rakyat yang khususnya menangani tanah harus proaktif
untuk memperjuangkan tanah untuk kepentingan rakyat serta membela petani jika ditemukan adanya pihak- pihak yang memiliki tanah melebihi ketentuan serta
Pemerintah mendorong Pemerintah Daerah mendata tanah yang ada didaerahnya agar masyarakat di tempat tanah tersebut dapat memiliki tanah serta
menggunakan secara optimal. 3. Agar masyarakat lebih memahami maksud dan tujuan serta melaksanakan
ketentuan didalam Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian sehingga tidak lagi terjadi hal yang dialami oleh Yusri
Adrisoma dimana telah merasakan kerugian yang besar akibat adanya pemilikan tanah yang melebihi batas maksimum sesuai dengan peraturan perundang-
undangan dan segera untuk merevisi isi dari pasal yang kira-kira sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan sekarang.
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR PUSTAKA
1. BUKU-BUKU