Memutus Dugaan Pelanggaran Presiden danatau wakil presiden

presiden. Sedangkan pasangan calon yang tidak meraih suara signifikan yang dapat mempengaruhi lolos tindaknya suatu pasangan ke putaran kedua, atau terpilih menjadi presiden - wakil presiden, tidak diperkenankan sebagai pemohon atau memiliki kedudukan hukum yang kuat. Di sisi lain, dalam pemilu Legislatif, pihak yang menjadi pemohon adalah hanya partai politik peserta pemilu. Dalam hal ini permohonan perkara hanya dapat diajukan melalui pengurus pusat partai politik. Anggota partai dan pengurus wilayah atau cabang tidak dapat mengajukan serta perkara perselisihan hasil pemilu.

5. Memutus Dugaan Pelanggaran Presiden danatau wakil presiden

Kewenangan yang diberikan kepada Mahkamah Konstitusi ini merupakan refleksi proses pemberhentian impeachment terhadap presiden yang sebelumnya hanya berdasarkan mekanisme dan pertimbangan partai. Penempatan peran Mahkamah Konstitusi dimaksudkan agar dalam proses pemberhentian presiden danatau wakil presiden terdapat pertimbangan-pertimbangan hukum. Sesuai ketentuan yang ada maka Mahkamah Konstitusi berkewajiban untuk dugaan Dewan Perwakilan Rakyat atas pelanggaran hukum berupa: 1 Pengkhianatan terhadap negara 2 Korupsi 3 Penyuapan 4 Tindak pidana berat lainnya Universitas Sumatera Utara 5 Perbuatan tercela 71 6 Tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden danatau wakil presiden. Usul pemberhentian berdasarkan alasan-alasan tersebut dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Dewan Perwakilan Rakyat dalam hal ini harus terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus dugaan atau pendapat Dewan Perwakilan Rakyat tersebut. Mahkamah Konstitusi wajib menyelesaikan perkara ini dalam waktu 90 hari. Karena kewenangan ini menjadi suatu hal yang diwajibkan, apabila hakim konstitusi dengan sengaja menghambat pelaksanaan kewenangan dapat diberhentikan dengan tidak normal. 72 Selanjutnya bila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa presiden danatau wakil presiden bersalah, Dewan Perwakilan Rakyat meneruskan usul pemberhentian kepada Majelis Perwakilan Rakyat. Dengan demikian, kewenangan Mahkamah Konstitusi tidak sampai memutuskan apakah presiden danatau wakil presiden layak diberhentikan atau tidak. Mahkamah Konstitusi hanya memberikan pertimbangan hukum dan membuktikan benar-tidaknya dugaan atau pendapat Dewan Perwakilan Rakyat. Wewenang pemberhentian presiden danatau wakil presiden ada pada institusi Majelis Permusyawaratan Rakyat. Proses persidangan selanjutnya di Majelis Perwakilan Rakyat yang akan menentukan kemudian apakah presiden danatau wakil 71 Pasal 7B Ayat 1 dan Ayat 5 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003. 72 Pasal 23 Ayat 2E Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. Universitas Sumatera Utara presiden yang sudah diputus bersalah oleh Mahkamah Konstitusi bisa diberhentikan atau tidak.

C. Alasan Mahkamah Konstitusi Menolak Permohonan Yang Diajukan Oleh Pemohon.

Dalam hal mengajukan pengujian undang-undang bukan berarti apa yang diujikan langsung dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi karena Mahkamah Konstitusi memiliki pertimbangan-pertimbangan yang kuat, dimana terlebih dahulu harus lah menjelaskan dan membuktikan: a. Kualifikasinya dalam permohonan sebagaimana disebut dalam Pasal 51 Ayat 1 Undang-undang Mahkamah Kostitusi; b. Hak danatau kewenangan konstitusionalnya dalam kualifikasi dimaksud yang dianggap telah dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang diuji; c. Kerugian hak danatau kewenangan konstitusional Pemohon sebagai akibat berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia telah memberikan pengertian dan batasan kumulatif tentang kerugian hak danatau kewenangan konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu undang-undang menurut Pasal 51 Ayat 1 Undang- undang Mahkamah Konstitusi Putusan Nomor 006PUU-III2005 dan putusan- putusan berikutnya, harus memenuhi lima syarat yaitu: a. Adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Universitas Sumatera Utara b. Bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji; c. Bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik khusus dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; d. Adanya hubungan sebab akibat causal verband antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji; e. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Dalam kasus ini Mahkamah Konstitusi menolak permohonan yang diajukan dari pada Pemohon dengan adanya beberapa alasan yang menurut Mahkamah Konstitusi telah menjadi alasan yang kuat untuk menolak permohonan tersebut. Dimana menurut Pemohon dalam permohonannya menyatakan bahwa dengan diberlakukannya ketentuan Pasal 10 Ayat 3 dan Ayat 4 beserta penjelasan Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 terhadap Bapak Dukrim bin Suta alias Pak Kebon orang tua Pemohon maka hak danatau kewenangan konstitusional Pemohon telah dirugikan, karena ketentuan-ketentuan telah memberikan kewenangan kepada negara untuk merampas tanah hak milik yang selebihnya dari batas maksimum atau disebut tanah kelebihan tanpa ganti rugi maupun kompensasi apapun, karena perbuatan pidana yang telah dilakukan sebagaimana telah terbukti berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Subang tanggal 24 Maret 1981 Nomor 381979PidanaPN, Sebagaimana yang diperkuat dengan Putusan Mahkamah Agung Universitas Sumatera Utara Republik Indonesia di dalam proses pemeriksaan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Pemohon. Dengan perkataan lain ketentuan telah merampas danatau mengambil alih hak milik pribadi secara sewenang-wenang, karenanya ketentuan dianggap bertentangan dengan Pasal 28H Ayat 4 UUD 1945. Karena itu, perlu dipertanyakan apakah benar Pemohon merupakan pihak yang berkepentingan untuk mengajukan permohonan uji materi Pasal 10 Ayat 3 dan Ayat 4 Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 pada Mahkamah Konstitusi dengan dalil bahwa hak danatau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh keberlakuan Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960. Juga apakah terdapat kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat khusus spesifik dan setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi, dan apakah ada hubungan sebab akibat causal verband antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji. Oleh karena tanah yang dipermasalahkan oleh Pemohon adalah bekas tanah Pak Dukrim bin Suta alias Pak Kebon yang merupakan selebihnya dari luas maksimum yang statusnya telah menjadi tanah negara, maka jelas tidak relevan lagi kepentingan Pemohon untuk mengajukan permohonan uji materi judicial review atas ketentuan Pasal 10 Ayat 3 dan Ayat 4 Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 .Jadi, tidak ada hak konstitusional Pemohon yang dilanggar dan atau Pemohon tidak dirugikan hak danatau kewenangan konstitusionalnya dengan keberlakuan Undang- undang Nomor 56 Prp Tahun 1960, kecuali apabila status tanah tersebut telah beralih kepada Pemohon sebelum status tanahnya menjadi tanah negara. Universitas Sumatera Utara Dengan kata lain Pemohon tidak mempunyai kualitas untuk mengajukan permohonan pengujian undang-undang mengingat Pemohon bukan sebagai pemilik tanah pertanian yang melebihi batas luas maksimum tersebut. Karena Pemohon mendalilkan adanya perampasan atas sisa tanah pertanian yang dianggap melampaui atau melebihi batas maksimal kepemilikan, yang dilakukan oleh Kejaksaan atas Putusan Pengadilan Pengadilan Negeri Subang yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap inkracht van gewijsde, tanpa merinci adanya kerugian yang timbul atas keberlakuan undang-undang yang dimohonkan untuk diuji, maka Pemerintah juga mempertanyakan maksud dan kapasitas Pemohon dalam permohonan pengujian undang-undang, karena selain Pemohon tidak mempunyai hubungan hukum dengan tanah negara bekas tanah pertanian Bapak Dukrim bin Suta alias Pak Kebon yang melebihi batas luas maksimum, Pemohon ternyata juga telah menandatangani Surat Tanda Penerimaan Penyerahan Hak dan Pemberian Ganti Rugi STP3 atas tanah kelebihan batas maksimum tersebut. Surat Tanda Penerimaan Penyerahan Hak dan Pemberian Ganti Rugi STP3 mengandung arti bahwa pemilik tanah pertanian yang melebihi batas luas maksimum telah secara sukarela memenuhi ketentuan Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 , dalam arti menyerahkan haknya atas tanah kepada negara dan menjadi tanah yang dikuasai negara dengan hak untuk memperoleh ganti kerugian. Ketentuan pemberian ganti kerugian atas tanah pertanian yang selebihnya dari luas batas maksimum tersebut diatur di dalam Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Universitas Sumatera Utara Nomor 56 Prp Tahun 1960 yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian. Dengan penandatanganan STP3 tersebut maka status atau legal standing Pemohon mengajukan permohonan uji materi judicial review Pasal 10 Ayat 3 dan Ayat 4 Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 atas dasar dan alasan telah terjadi perampasan tanah milik Pemohon sehingga melanggar hak konstitusional sangat tidak jelas atau kabur dan membingungkan serta tidak mempunyai kekuatan hukum jelas hubungan sebab akibat causal verband antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji oleh Pemohon. . Selanjutnya dalam permohonan uji materi kepada Mahkamah Konstitusi Pemohon ternyata mendalilkan dasar dan alasan permohonan adalah agar Pemerintah membayar ganti rugi kepada Pemohon atas tanah pertanian yang selebihnya dari batas Iuas maksimum maka mekanisme untuk memperoleh ganti kerugian seharusnya dilakukan melalui mekanisme administratif dan atau melalui gugatan perdata. Dalam dalil-dalilnya juga Pemohon menyatakan bahwa sanksi yang diatur didalam Pasal 10 Ayat 3 dan Ayat 4 Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 adalah sanksi yang berat. Pengambilalihan penyitaan kelebihan luas tanah oleh negara bukan merupakan suatu sanksi yang sangat berat, karena dalam masalah kepidanaan sesuai dengan hukum pidana formil dan materiil, penyitaanperampasan barang bukti untuk kemudian dimusnahkan atau dimanfaatkan adalah dimungkinkan. Dalam kasus tanah ini, sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 33 UUD 1945 juncto UUPA, tanah adalah berfungsi sosial untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, Universitas Sumatera Utara maka tanah kelebihan dari kepemilikan maksimal seseorang warga negara Indonesia yang melanggar ketentuan dalam Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 disita untuk kemudian diredistribusikan kepada rakyat atau warga masyarakat lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sesuai pula dengan UUPA, ganti rugi dapat diberikan kalau tanah yang disita negara tersebut diserahkan sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960, kalau tidak, maka tidak ada ganti rugi. Pemohon juga mendalilkan bahwa tidak adanya kepastian hukum dari pada Pasal 10 Ayat 3 dan Ayat 4 Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960. Ketentuan dalam Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 jelas telah memberikan kepastian hukum rechtszekerheid sehingga dalil Pemohon tidak dapat diterima. Kalau dalam praktik ada pemilik tanah pertanian tidakbelum melaporkan luasnya padahal dia mengetahui luasnya melebihi 20 hektar dan tidakbelum dikenakan sanksi pidana seperti orang tua Pemohon itu adalah masalah implementasi penegakan hukum undang-undang, bukan masalah konstitusionalitas norma undang-undang, sehingga bukan kewenangan Mahkamah untuk menilainya. Dengan demikian Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa dalil Pemohon yang mengatakan penyitaan tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimal yang boleh dimiliki adalah sanksi yang sangat berat tidak beralasan dan tidak dapat diterima. Universitas Sumatera Utara Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas, maka apa yang menjadi dalil-dalil yang dikemukakan oleh Pemohon yang menyatakan telah timbul kerugian dan telah nyata-nyata tidak terjadi baik secara faktual maupun potensial. Universitas Sumatera Utara

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP PENGUASAAN TANAH YANG DIMILIKI

OLEH PEMOHON

A. Ketentuan Tentang Land reform

Dalam kehidupan masyarakat Indonesia tanah mempunyai arti dan kedudukan yang amat penting, dimana setiap kegiatan pembangunan memerlukan tanah. Berbagai upaya dan langkah telah ditempuh selama ini untuk mengendalikan penggunaan, penguasaan, pemilikan, serta pengalihan hak atas tanah, untuk menunjang berbagai kegiatan pembangunan dan memberikan kemakmuran sebesar- besarnya bagi rakyat Indonesia. Jika ditinjau dari sudut pandang bahasa, antara land reform dan agrarian reform memang mempunyai perbedaan makna, namun kedua istilah itu merupakan suatu pembaharuan dalam bidang penguasaan terhadap tanah pertanian. Sebagian orang yang dengan sengaja mempertegas atau memisahkan kedua istilah tersebut, karena kedua istilah tersebut didasarkan pemikiran bahwa agrarian reform merupakan konsep yang memiliki komplek lebih luas dan menyeluruh, apabila dibandingkan dengan istilah land reform. Sementara itu sebagian para ahli mempergunakan istilah tersebut secara berbauran terutama yang melihat subtansi program tersebut. 73 73 Pendastaren Tarigan, Arah Negara Hukum Demokratis Memperkuat Posisi Pemerintah Dengan Delegasi Legislasi Namun Terkendali Dengan Delegasi Pengaturan Dan Pengawasan Universitas Sumatera Utara Undang-undang pokok Agraria adalah merupakan induk dari land reform Indonesia, hal mana terbukti dari ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam konsiderans hingga Pasal 19 UUPA. 74 Hal ini berarti bahwa berbagai undang-undang atau peraturan lain yang berkaitan dengan pelaksanaan land reform tidak boleh keluar dari sistematik yang telah dikembangkan oleh UUPA. 75 Secara harafiah istilah land reform berasal dari bahasa Inggris yang terdiri kata ”land” yang berarti tanah dan kata ”reform” yang berarti perombakan. Oleh karena itu land reform secara sederhana dapat diartikan sebagai perombakan akses itu untuk memiliki dan atau memanfaatkan tanah. Konsep land reform yang sesungguhnya tidaklah sesederhana itu, karena selain distribusi atau perombakan struktur penguasaan tanah, land reform bermakna sekaligus perubahan hubungan manusia dengan tanah, hubungan manusia dengan manusia yang berkenaan dengan tanah guna meningkatkan penghasilan petani, dan perombakan paradigma atau sifat yang lebih mendasar. 76 Lipton dalam salah satu tulisannya membuat definisi land reform adalah sebagai berikut : ”Pengambil alihan tanah secara paksa, yang biasanya dilakukan oleh negara, dari pemilik-pemilik tanah yang luas, dengan ganti rugi sebagian. Dan pengusahaan tanah sedemikian rupa sehingga manfaat dari hubungan antara manusia dengan tanah dapat tersebar lebih merata sebelum pengambilalihan. 77 Tindakan Pemerintah Dalam Bidang Pertanahan, Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008, halalman 285. 74 A.P Parlindungan, Op. Cit. halaman 7. 75 Hustiati, Agrarian Reform di Fhilipina dan Perbandingannya dengan Land Reform di Indonesia, Bandung: Mandar Maju, 1990, halaman 50. 76 Ibid, halaman 285-286. 77 Michael Lipton, Towards a Theory of Land reform, dalam Lehmann, ed, Agrarian Reform and Agrarian Reformism, London, Feber Faber, 1974, hal. 269-281, sebagaimana dikutip oleh Gunawan Wiradi, dalam Sediono Mp Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi, dua Abad Penguasaan Tanah di Jawa dan Madura dari Masa ke Masa, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1984, halaman 314. Juga lihat Ali Sofwan Husein, ibid, halaman 126. Universitas Sumatera Utara Distribusi penguasaan atau pemilikan tanah yang telah diambil ahli negara dapat diberikan kepada perorangan atau Rumah Tangga Pertanian RTP maupun hak secara kolektif. 78 Dari segi lain, pengertian land reform adalah mengubah dan menyusun kembali tatanan dan prosedur-prosedur yang berlaku sebagai usaha untuk membuat sistem penguasaan tanah itu lebih konsisten dengan persyaratan-persyaratan secara keseluruhan dari pembangunan ekonomi. 79 Pandangan seperti ini bertolak dari suatu pemikiran bahwa tatanan yang berlaku dalam sistem penguasaan tanah pada suatu kondisi tertentu ditinjau dari perspektif pembangunan ekonomi sudah tidak memadai lagi. Oleh karena itu perlu diadakan perubahan reformasi. Pandangan ini melihat land reform berorientasi pada aspek ekonomi. 80 Dihadapan Gunawan Wiradi, land reform mengacu kepada ”penataan kembali susunan penguasaan tanah, bertujuan semata-mata untuk kepentingan petani kecil, penyakap tenants, buruh tani tak bertambah. 81 Land reform adalah redistribusi tanah, yaitu mencakup dua macam sasaran, yaitu ”tenure reform” yang berarti sama seperti tersebut di atas, dan “tenancy reform”, yaitu perbaikan atau pembaruan dalam 78 Op.cit, halaman 286. 79 Peter Doner, Land reform and Economic Development, Penguin Books Australia, Ltd, 1972, hal. 17-18. Sebagaimana dikutip oleh Gunawan Wiradi Salam Soediono MP Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi, ibid, halaman 314. 80 Op.cit, halaman 287. 81 Gunawan Wiradi, Reforma Agraria dalam Perspektif Transisi Agraris, ”Makalah”, Bandung, 1998, halaman 14. Universitas Sumatera Utara hal pengujian sewa, bagi hasil, gadai, dan sebagainya tanpa harus mengubah redistribusi pemilikan. 82 Selain dari pada itu, program konsolidasi tanah juga dapat diartikan sebagai bagian land reform. ”Konsolidasi tanah” land consolidation adalah hamparan dengan cara tukar menukar. Tanah yang terpencar dianggap tidak efiisen sehingga perlu disolidkan secara bergantian untuk menunjuk pada konsep yang sama. Kedua istilah tersebut sering dipakai secara bergantian dalam diskusi-diskusi yang menyankut perbaikan-perbaikan dan perubahan-perubahan kebijakan pemerintah mengenai tanah pertanian. Dalam kaitannya dengan peristilahan tersebut Gunawan Wiradi antara lain menyatakan. Di dalam suatu masyarakat non-industri, tanah mencerminkan bentuk dasar dari kemakmuran dan sumber dasar dari perekonomian dan politik. Di sisi lain sistem penguasaan tanah mencerminkan pula hubungan- hubungan dan susunan-susunan pengelompokan sosial. Keadaan politik pemerintahnya turut menentukan corak reforma yang dilakukan. Artinya reforma agraria dapat dilancarkan dengan titik berat yang berbeda-beda. Ada yang titik beratnya pada pembangunan ekonomi dan dalam hal ini mungkin soal redistribusi tanah tidak begitu ditekankan. Ada yang menitikberatkan pada perombakan struktur sosial dan asas pemerataan, maka soal redistribusi tanah merupakan sasaran utama. 83 Perbedaan paradigma itulah menyebabkan perbedaan makna land reform dan agrarian reform. Kedua istilah itu dipakai secara terpisah. Istilah land reform dipakai dalam rangka redistribusi tanah. Sedangkan agrarian reform digunakan untuk tujuan yang lebih komprehensif, reformasi agraria selain menyangkut masalah redistribusi tanah juga menyangkut hal-hal yang berhubungan dengan tindak lanjut dari redistribusi.`A.P. Parlindungan berpendapat, ”land reform” di Indonesia bukan sekedar membagi-bagikan, ataupun bersifat politis, akan tetapi adalah suatu usaha untuk reformasi hubungan antara manusia dengan tanah yang lebih manusiawi. Di dunia internasional land reform itu mempunyai makna sebagai perubahan hubungan antara manusia dengan tanah, perubahan dan perlindungan terhadap petani penggarap dari tuan tanah atau penghapusan tuan tanah, larangan memiliki tanah pertanian yang luas, larangan absentee guntai, dan penetapan suatu ceiling bagi pemilik tanah. 84 Dalam lingkup masalah tersebut A.P. Parlindungan menyatakan, kalau mau konsekuen dengan bunyi ketentuan Pasal 1 dan Pasal 2 UUPA seharusnya digunakan 82 Op.cit, halaman 287. 83 Gunawan Wiradi, Pola Penguasaan Tanah dan reforma Agraria, dalam Dua Abab Penguasaan Tanah di Jawa dan Madura dari Masa ke Masa, Soediono MP Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi ed, Jakarta: Gramedia, 1984, halaman 314. 84 AP. Parlindungan, Aneka Hukum agrarian, Bandung: Alumni, 1983, halaman 8. Universitas Sumatera Utara istilah Agrarian Reform, dimana di dalamnya terdapat land reform, water, dan air reform. Dengan demikian yang diadakan perombakan tidak hanya hubungan manusia dengan tanah saja tetapi juga perombakan dengan air dan ruang angkasa, karena itu dalam dalam kontek Undang-Undang Pokok Agraria UUPA, A.P. Parlindungan lebih suka menggunakan istilah agrarian reform. 85 Dari uraian tersebur A.P. Parlindungan secara tersirat membedakan antara land reform berhubungan dengan tanah dengan agrarian reform berhubungan dengan bidang-bidang agraria, dan menyatakan bahwa land reform merupakan salah satu bagian dari program agrarian reform. Inti dari agrarian reform adalah land reform dalam pengertian redistribusi pemilikan dan penguasahan tanah. Meskipun demikian land reform tidak akan berhasil jika tidak didukung oleh program-program penunjang seperti pengairan, perkreditan, penyuluhan, pendidikan, pemasaran dan sebagainya. 86 Seperti yang diungkapkan oleh Cohen, agrarian reform adalah sebagai upaya yang luas bagi pemerintah yang mencakup berbagi kebijakan penbangunan melalui redistribusi tanah, berupa peningkatan produksi, kredit kelembagaan, pajak pertanahan, kebijakan penyakapan dan upah, pemindahan dan pembukuan tanah baru. 87 85 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan-peraturan Hukum Tanah, Jakarta: Djambatan, 2000, halaman 4. 86 Lihat, Dokumen Kelompok Studi Pembaruan Agrarian, “ Ketetapan MPR RI Tentang Pembaharuan Agraria sebagai KomItmen Negara Menggerakkan Perubahan Menuju Indonesia yang Lebih baik” disampaikan kepada Badan Pekerja MPR RI pada tanggal 21 Mei 2001. 87 Suardi, Hukum Agraria, Jakarta: Badan Penerbit IBLAM, 2005, halaman 105. Universitas Sumatera Utara Boedi Harsono melihat kaitan aspek-aspek land reform dan agarian reform. Pengertian land reform mempunyai aspek yang lebih sempit dan sedangkan pengertian land reform mencakup aspek lebih luas. Menurut Boedi Harsono, ”Land reform dalam arti sempit merupakan serangkaian tindakan dalam rangka agrarian reform Indonesia, yang meliputi perombakan mengenai pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan-hubungan hukum yang bersangkutan dengan penguasaan tanah. Sedangkan land reform dalam arti luas disebutkan sebagai agrarian reform”. 88 Pengertian agrarian reform di Indonesia meliputi 5 program panca program yaitu : 1. Pembaharuan Hukum Agraria, melalui unifikasi hukum yang berkonsepsi nasional dan pemberian jaminan kepastian hukum; 2. Penghapusan hak-hak asing dan konsesi-konsesi kolonial atas tanah; 3. Mengakhiri penghisapan feodal secara berangsur-angsur; 4. Perombakan pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan-hubungan hukum yang bersangkutan dengan penguasaan tanah dalam mewujudkan pemerataan kemakmuran dan keadilan; 5. Perencanaan persediaan dan peruntukan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya serta penggunaannya secara terencana sesuai dengan daya dukung dan kemampuannya. 89 Land refrom adalah menata kembali sistem pertanahan baik peruntukan, persedian, penggunaan, penguasaan, pemilikan tanah serta peralihan haknya. 90 Dalam 88 Ibid, halaman 3. 89 Ibid, halaman 4. Universitas Sumatera Utara kegiatan pelaksanaan Perombakan Hukum Agraria di negara kita Republik Indonesia di dalam menuju masyarakat adil dan makmur yang berdasarkan maupun Undang- Undang Pokok Agraria, yang pada hakikatnya memuat Lima Program atau Panca yang terdiri dari : 1. Pembaharuan Hukum Agraria 2. Penghapusan Hak-Hak Asing dan Konsesi Kolonial atas tanah. 3. Mengakhiri penghisapan feodal secara berangsur-angsur. 4. Perombakan mengenai penguasaan dan pemilikan tanah, serta hubungan- hubungan yang bersangkutan dengan pengusahaan tanah. 5. Perencanaan, persediaan dan peruntukan serta penggunaan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya secara berencana sesuai dengan daya kesanggupan dan kemampuan. 91 Dari uraian tersebut menunjukkan bahwa meskipun dirumuskan dengan kalimat yang berbeda-beda tetapi dapat disepakati bahwa pada dasarnya land reform atau agrarian reform adalah suatu penataan proses perubahan alokasi dan realokasi, distribusi dan redistribusi pemilikan atau penguasaan sumber daya pertanahan terutama bagi petani ”gurem” atau petani kecil yang kurang memiliki lahan pertanian. Dengan demikian persoalannya tidak hanya menyangkut masalah hukum 90 Affan Mukti, Pokok-pokok Pembahasan Hukum Agraria, Medan: USU Press, 2006, halaman 25. 91 Budi Harsono, UUPA Sejarah Penyusunan Isi dan Pelaksanaannya, Jakarta: Djaubatan, 1968, halaman 2. Universitas Sumatera Utara semata-mata tetapi juga mempunyai implikasi pada bidang-bidang lain seperti ekonomi, sosial, organisasi dan lain-lain sebagainya. Pokok-pokok pengaturan land reform di Indonesia secara prinsipil telah diadopsi dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-undang Pokok Agraria UUPA. Di sana dapat dijumpai asas-asas atau prinsip-prinsip yang berkaitan dengan land reform, baik ditentukan dalam rumusan pasal-pasalnya maupun melalui penjelasan Undang-Undang Pokok Agraria UUPA itu sendiri karena muatannya memberikan tafsiran pendapat yang tidak seragam. Menurut Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 program land reform bertujuan untuk : 1 Sosial ekonomis: a.Memperbaiki keadaan sosial ekonomi rakyat dengan memperkuat hak milik serta memberi isi fungsi sosial pada hak milik. b.Memperbaiki produksi nasional khususnya sektor pertanian guna mempertinggi penghasilan dan taraf hidup rakyat. 2 Sosial politik: a. Mengakhiri sistem tuan tanah dan menghapuskan pemilikan tanah yang luas. b. Mengadakan pembagian yang adil atas sumber-sumber penghidupan rakyat tani yang berupa tanah dengan maksud agar ada pembagian hasil yang adil pula. 3 Mental psikologis: a.Meningkatkan kegairahan kerja bagi para petani penggarap dengan jalan memberikan kepastian hak menenai pemilikan tanah. Universitas Sumatera Utara b. Memperbaiki hubunan kerja antara pemilik tanah dengan penggarapnya. Jelas bahwa inti tujuan land reform Indonesia adalah untuk meningkatkan penghasilan dan taraf hidup petani sebagai landasan atau prasyarat untuk menyelenggarakan pembangunan ekonomi menuju masyarakat adil dan makmur. Salah satu kegiatan terpenting dalam progaram land reform adalah kegiatan redistribusi tanah yang merupakan kegiatan pemberian hak milik atas tanah kepada para petani yang memenuhi persyaratan. A.P. Parlindungan menyatakan bahwa Undang-undang Pokok Agraria tersebut sebagai induk land reform Indonesia, 92 sementara itu Boedi Harsono menyatakan asas-asas dan ketentuan-ketentuan pokok land reform itu dijumpai dalam Undang-Undang Pokok Agraria 93 demikian juga Gouw Giok Siong menyatakan bahwa di dalam Undang-Undang Pokok Agraria terdapat prinsip-prinsip land reform. 94 Pandangan tersebut didasarkan pada kenyataan objektif bahwa Undang- undang Pokok Agraria mengandung ketentuan-ketentuan pokok mengenai land reform. Secara lebih tegas Abdulrahman menyatakan ”Undang-Undang Pokok Agraria sebagai undang-undang land reform Indonesia. 95 92 A.P. Parlindungan, Land reform Indonesia Suatu Perbandingan, Bandung: Alumni, 1987, halaman 8. 93 Boedi Harsono, Op.Cit, halaman 350. 94 Gouw Giok Siong, Tafsiran Undang-undang Pokok Agraria, Jakarta: Ken Po, 1960, halaman 22. 95 Abdulrahman, Masalah Pencabutan Hak-hak Atas Tanah dan Pembebasan tanah di Indonesia, Bandung: Alumni, 1983, halaman 47. Universitas Sumatera Utara Apabila diteliti lebih seksama ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria maka akan dijumpai ketentuan tersebut antara lain dirumuskan pada Pasal 7, 10,17 dan Pasal 19. 1 Pasal 7 Undang-Undang Pokok Agraria Di dalam Pasal 7 Undang-Undang Pokok Agraria dinyatakan bahwa ”untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan. ”Pasal ini mempunyai maksud untuk mengakhiri dan dan mencegah penguasan tanah oleh golongan-golongan dan orang-orang tertentu saja. Pemilikan dan penguasaan tanah penduduknya cukup tinggi berarti dapat mengurangi akses petani dalam memiliki dan menguasai tanah sendiri. Akibat selanjutnya bukan hanya ketimpangan dan pemilikan tanah tetapi juga menyebabkan terjadi ketimpangan pendapatan semakin tajam diantara pemilik tanah itu sendiri. Ketentuan pasal ini dalam literatur land reform sering disebut dengan istilah larangan latifundia. 96 2 Pasal 17 Undang-Undang Pokok Agraria Ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Pokok Agraria dalam pelaksanaannya masih perlu diatur berapa berapa luas maksimum dan minimum tanah pertanian yang boleh dikuasai atau dimiliki oleh seseorang bersama keluarganya, bagaimana mengubah struktur penguasaan tanah yang sangat timpang itu. Di dalam Pasal 17 Undang-Undang Pokok Agraria, dinyatakan bahwa : 96 Latifundia adalah pemilikan tanah yang sangat luas. Universitas Sumatera Utara 1 Dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 7 maka untuk mencapai tujuan yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat 3 diatur luas maksimum danatau minimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak tersebut dalam Pasal 16 oleh satu atau badan hukum. 2 Penetapan batas maksimum termaksud dalam ayat 1 Pasal ini dilakukan dengan peraturan perundang di dalam waktu yang singkat. 3 Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum termaksud dalam ayat 2 Pasal ini diambil oleh pemerintah dengan ganti rugi kerugian, untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat membutuhkan menurut ketentuan- ketentuan dalam peraturan pemerintah. 4 Tercapainya batas mimimum maksud ayat 1 Pasal ini, yang akan ditetapkan dengan peraturan perundangan, dilaksanakan secara berangsur-angsur. Dengan memperhatikan isi ketentuan Pasal 7 UUPA dan Pasal 17 UUPA tersebut di atas maka ada beberapa hal yang penting dilakukan untuk mengatur tentang penataan penguasaan tanah, adanya larangan latifundia, masalah redistribusi tanah, larangan fragmentasi tanah. Sebagai tindak lanjut dari ketentuan Pasal 17 UUPA tersebut dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang perpu Nomor 56 Tahun 1960 yang mulai berlaku tanggal 1 Januari 1961. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- undang ini kemudian menjadi undang-undang Undang-undang No. 1 Tahun 1961 LN. 1961 No. 3 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian. Undang-undang Penetapan Luas Tanah Pertanian mengatur 3 hal pokok yaitu : Berisi ketentuan Universitas Sumatera Utara penetapan luas maksimum pemilikan dan penguasaan tanah pertanian serta larangan fragmentasi tanah. 97 Ketentuan tentang pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang digadaikan oleh pemilik tanah, hal ini diatur dalam Pasal 7 UUPA. Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 hanya mengatur masalah tanah pertanian sedangkan tanah-tanah bukan pertanian seperti perumahan dan pembangunan lainnya tidak termasuk dalam ketentuan tersebut. Sedang yang dimaksud dengan ”tanah pertanian” menurut Instruksi Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah dengan Menteri Agraria tanggal 5 Januari 1961 ialah ”semua tanah perkebunan, tambak untuk perikanan, tanah tempat pengembalakan ternak, tanah belukar bekas ladang dan hutan yang menjadi tempat mata pencaharian yang berhak” Singkatnya adalah semua tanah yang mejadi hak perseorangan di luar tanah untuk perumahan dan milik perusahaan. Untuk menyempurnakan peraturan land reform pada tahun 1961 diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian sebagaimana yang telah diubah dan ditambah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1964. Dalam peraturan tersebut telah diatur tentang tanah-tanah yang menjadi objek land reform, tentang redistribusi tanah objek land reform, ganti kerugian kepada bekas pemilik tanah, larangan absentee guntai, serta ketentuan-ketntuan yang berkaitan dengan land reform. Melalui pembatasan luas maksimum dan minimum tanah pertanian tersebut selain memberikan kesempaatn kepada kita lebih banyak petani untuk memiliki lahan 97 Pasal 8 dan Pasal 9 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960. Universitas Sumatera Utara pertanian dalam arti menciptakan pemerataan dan efisiensi sumber penghidupan berupa tanah, juga secara psikologis akan meningkatkan kegairahan kerja bagi petani di dalam mengerjakan tanahnya karena ia mengerjakan tanahnya sendiri, selain itu tanah pertanian pada dasarnya adalah utnuk petani. Dengan demikian diharapkan produksi pertanian semakin lama semakin meningkat. 3 Pasal 10 Undang-Undang Pokok Agraria Pasal 10 ayat 1 Undang-Undang Pokok Agraria menyatakan bahwa, ”setiap orang atau badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan”. Karena itu setiap orang yang mempunyai hubungan dengan tanah wajib memelihara kesuburan tanah dan dapat dikerjakan secara sungguh-sungguh oleh pemiliknya petani sendiri. Jika tanah pertanian dimanfaatkan oleh petani itu sendiri, tanah pertanian untuk tidak jatuh dalam penguasaan sekelompok orang-orang tertentu yang paad akhirnya dijadikan alat pemerasan. Ketentuan ini lazin disebut sebagai larangan tanah pertanian secara absantee tanah guntai. Dengan kata lain dalam ketentuan pasal tersebut tersirat dengan apa yang disebut isu ”land to the tiller” tanah untuk petani dan larangan ”absentee” mencegah penduduk memiliki tanah di luar wilayahnya. Tanah guntai absentee adalah tanah pertanian yang dimiliki orang perorangan dan keluarga di mana letak tanah pertanian itu di luar wilayah Kecamatan tempat kedudukan domisili pemilik tanah. Pemilikan tanah secara absentee ini tidak diizinkan. Apabila telah terjadi Universitas Sumatera Utara peralihan hak yang mengakibatkan pemilikan tanah guntai, maka dalam waktu tertentu tanah tersebut harus dialihkan kembali kepada orang yang berdomisili di Kecamatan letak tanah. 4 Pasal 19 Undang-Undang Pokok Agraria Selain dari Pada Pasal 7, 17 dan 10 yang secara langsung berkaitan dengan program land reform, secara tidak langsung terdapat dalam pasal-pasal lainnya seperti Pasal 19 tentang pendaftaran tanah. Ditegaskan bahwa merupakan kewajiban bagi pemerintah untuk mengadakan pendaftaran tanah di seluruh Indonesia, sehingga dengan pendaftaran tersebut tidak hanaya mempunyai tujuan untuk menjamin kepastian hak atas tanah, tetapi juga merupakan data yang dapat memberikan informasi tentang luas tanah yang dimiliki atau dikuasai oleh seseorang. Dengan demikian dapat diketahui apakah seseorang telah melanggar ketentuan land reform atau tidak. Prinsip penatagunaan tanah land use planning, prinsip ini memberikan wewenang kepada negara untuk membuat suatu perencanaan mengenai peruntukan, penggunaan, dan persediaan bumi, air dan ruang angkasa untuk berbagai kepentingan hidup rakyat dan negara. 98 Dengan adanya perencanaan tersebut maka penggunaan tnaah dapat dilakukan secara terpimpin dan teratur hingga dapat memberikan manfaat bagi negara dan rakyat. Dengan demikian jika ingin melaksanakan Undang-Undang Pokok Agraria UUPA secara konsisten yang berdasarkan hasil evaluasi masih relevan dengan 98 Pasal 14 Undang-undang Nomor 5 Tahu 1960. Universitas Sumatera Utara kondisi bangsa Indonesia sekarang. Maka semua kebijakan pertanahan yang ada di Indonesia harus mengacu kepada prinsip-prinsip yang menjadi dasar kebijakan pertanahan tersebut. Undang-Uundang Pokok Agraria tidak hanya memperhatikan pandangan, kebiasaan, maupun perilaku masyarakat mengenai pemikiran, nilai-nilai, dan pengharapan, yang merupakan budaya hukum dalam masyarakat. Seharusnya UUPA dapat berfungsi sebagai pengontrolan perilaku masyarakat dalam sistem hukum yang berlaku. Bahkan fungsi hukum merupakan fungsi redistribusi redistributive function atau fungsi rekayasa sosial sosial engineering function yang mengarah pada penggunaan hukum untuk mengadakan perubahan sosial yang berencana, dan ditentukan dari atas yaitu oleh pemerintah, dengan memperhatikan budaya hukum yang hidup dalam masyarakat. 99 99 Syafruddin kalo, Kapita Selekta Hukum Pertanahan Studi Tanah Perkebunan di Sumatera Timur, Medan: USU Press, 2005, halaman 112. lihat bandingkan dengan gangunan dan Pemberdayaan Masyarakat”, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2000, hal12-14 menyatakan budaya hukum substansi adalah budaya hukum prosesual. Budaya hukum prosesual akan melihat bagaimana budaya hukum substansi dapat diimplementasikan pada tataran penegakan hukum konsolidasi tanah perkotaan. budaya hukum prosesual lebih menitik beratkan kepada bagaimana bekerjanya peraturan hukum konsolidasi tanah pada badan-badan peradilan atau badan hukum penegak lainnya. Tidak jarang bahwa ditemukan benturan kepentingan antara panitia penyelenggara konsolidasi tanah dengan peserta konsolidasi tanah yang harus diselesaikan lewat budaya hukum prosesual. Pada saat ini budaya hukum prosesual dapat dilakukan melalui dua model, yaitu : Pertama, budaya hukum prosesual yang dilakukan dengan metode litigasi. Pada proses ini para pihak yang sedang dan akan mendapat benturan kepentingan dapat menyelesaikan persoalan ini di pengadilan. Kedua, budaya hukum prosesual yang dilakukan dengan metode ligitasi. Pada proses ini para pihak tidak menempuh konflik kepentingannya melalui badan penelitian tetapi memilih badan penyelesaian lewat badan Arbitrase dan Alternative Dispute Resolution ADR. Budaya hukum prosesual ini sangat pula tergantung kepada badan pemutus yang dalam metode litigasi diselesaikan oleh hakim sedangkan dalam metode non litigasi diselesaikan oleh Arbiter atau orang yang ditunjuk untuk itu. Universitas Sumatera Utara Secara umum land reform mempunyai tujuan memperbaiki struktur sosial penguasaan tanah pertanian, dimana terdapat suatu situasi masyarakat mempunyai akses yang tidak sama sebagai sumber daya pertanahan. Kesenjangan pemilikan atau penguasaan tanah terjadi disebabkan distribusi tanah yang tidak merata. Pada satu sisi terdapat orang-orang yanag menguasai tanah yang luas, sementara pada sisi yang lain banyak orang petani, yang menguasai tanah yang sangat sempit, bahkan tidak mempunyai tanah sama sekali tuna kisma, yang terakhir ini kehidupannya sangat bergantung kepada pemilik tanah, dan hidup sebagai penyakap. Kegiatan dalam land reform meliputi : 1 Pembatasan luas maksimum pemilikan dan penguasaan atas tanah. 2 Larangan pemilikan tanah di luar kecamatan. 3 Redistribusi tanah kepada rakyat tani. 4 Pengaturan kembali gadai tanah pertanian 5 Pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah pertanian 6 Penetapan luas minimum pemilikan tanah dan 7 larangan pemecahanFermentasi tanah pertanian menjadi bagian-bagian yang terlampau kecil. Pembatasan luas maksimum pemilikan tanah dilakukan agar tidak terjadi penumpukan tanah pada orang-orang tertentu saja. Sementara sebagian besar rakyat tetap berprofesi sebagai buruh tani atau penggarap. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 17 Undang-Undang Pokok Agraria, bahwa untuk tidak merugikan kepentingan umum pemilikan dan penguasaan tanah yang mempunyai batas tidak diperkenankan. Universitas Sumatera Utara Larangan ini tidak hanya terhadap pemilikan tanah hak milik, tetapi juga terhadap penguasaan tanah seperti hak gadai, sewa, usaha bagi hasil dan sebagainya. Para perumus Undang-Undang Pokok Agraria menyadari bahwa Indonesia merupakan negara pertanian. Oleh karena itu, rakyat yang paling dekat dengan lahan pertanian harus diberdayakan dan dilindungi dari tekanan kaum kapitalis dan feodalis dengan menerapkan land reform. Jika semua orang sudah mempunyai tnaah diupayakan secara berangsur-angsur agar luas tanah yag mereka miliki tidak kurang dari luas minimum untuk hidup layak. ”Redistribusi tanah dalam rangka land reform merupakan sarana yang dapat mempengaruhi lingkaran setan kemiskinan, kebodohan, stagnisasi dan merupakan permulaan pembaruan yang pengaruhnya dapat meratakan ke jalan perkembangan di bidang pertanian. Walaupun pada kenyataannya redistribusi tanah land reform tidak secara langsung mengakibatkan meningkatnya produksi di bidang pertanian, tetapi tidak dapat disangkal lagi, bahwa redistribusi tanah land reform ini mempunyai kaiatan yang erat dengan perkembangan dan kenaikan produksi di bidang pertanian secara tetap dan terus-menerus”. Di Indonesia sendiri tujuan land reform dapat dipahami dengan menelusuri latar belakang terbentuknya Undang-Undang Pokok Agraria, serta beberapa pendapat yang akan diuraikan selanjutnya. Dewan Pertimbangan Agung DPA salah satu lembaga yang mengusulkan tentang perombakan hak atas tanah dan penggunaan tanah, menyatakan bahwa tujuan land reform indonesia adalah : Pertama untuk Universitas Sumatera Utara meningkatkan taraf hidup para petani. Kedua, adalah untuk memperkuat dan memperluas pemilikan tanah bagi seluruh rakyat Indonesia terutama para petani. 100 Land reform menurut Sardjono antara lain menyatakan bahwa : ”Perjuangan perombakan hukum agraria kolonial dan penyusunan hukum agraria nasional terjalin erat dengan sejarah perjuangan bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari cengkerama, pengaruh dan sisa-sisa penjajahan, khususnya perjuangan rakyat tani untuk membebaskan diri dari kekangan-kekangan feodalisme atas tanah dan pemerasan kaum modal asing. Itulah sebabnya land reform di Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan revolusi nasional Indonesia”. Oleh karenanya land reform Indonesia mempunyai tujuan : a. Untuk mengadakan pembagian yang adil atas sumber penghidupan rakyat tani yang berupa tanah, dengan maksud agar pembagian hasil yang adil pula, dengan merombak struktur pertanahan sama sekali secara revolusioner, guna merealisir keadilan sosial; b. Untuk melaksanakan prinsip tanah untuk petani, agar tidak terjadi tanah sebagai objek spekulasi dan alat pemerasan; c. Untuk memperkuat dan memperluas hak milik atas tanah bagi setiap warga negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita yang berfungsi sosial. Suatu pengakuan dan perlindungan bagi privat bezit, yaitu hak milik sebagai hak yang terkuat, bersifat perseorangan dan turun temurun, tetapi berfungsi sosial. 100 Ibid, Boedi Harsono, halaman 350. Universitas Sumatera Utara d. Untuk mengakhiri sistem tuan tanah dan menghapuskan pemilikan tanah dan penguasaan tanah secara besar-besaran dengan tak terbatas, dengan menyelenggarakan batas maksimum dan batas minimum untuk tiap keluarga. Sebagai kepala keluarga dapat seorang laki-laki maupun seorang wanita. Dengan demikian mengikis pula sistem liberalis dan golongan yang ekonomis lemah; e. Untuk mempertinggi produksi nasional dan mendorong terselenggaranya pertanian yang intensif secara gotong royong dalam bentuk koperasi dan bentuk gotong royong lainnya, untuk mencapai kesejahteraan yang merata dan adil, dibarengi dengan sistem pengkreditan yang khusus ditujukan kepada golongan tani 101

B. Pengaturan Pemilikan dan Penguasaan Tanah Pertanian

Peranan tanah dalam kehidupan manusia sudah tidak perlu diperdebatkan lagi, di mana menurut Sukarna bahwa fungsi dan peranan tanah dalam berbagai sektor kehidupan memiliki 3 tiga aspek yang sangat strategis yaitu aspek ekonomi, politik dan hukum. 102 Ketiga aspek ini harus terintegrasi dalam pengambilan kebijakan hukum pertanahan yang dilakukan oleh pemerintah mengamanatkan bahwa : “Bumi, Air dan 101 Menteri Agraria, pada pidato yang mengantarkan Rencana Undang-Undang Pokok Agraria di hadapan sidang Pleno-DPR-GR tanggal 12 September, 1960 lihat bandingkan dengan A.P. Parlindungan, Land Consolidation di Indonesia, Makalah pada diskusi dalam rangka Peringatan Hari Lahirnya UUPA XXVI di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, tanggal 23 September 1986, halaman 10 menyatakan Konsolidasi merupakan salah satu objektif Land refrom. 102 Sukarna, Sistim Politik Indonesia, Bandung: Mandar Maju, 1990, halaman 2. Universitas Sumatera Utara kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. 103 Oleh sebab itu bumi dalam arti tanah sebagai karunia Tuhan Yang Maha Kuasa perlu disyukuri, dilindungi dan dikelola serta dikembangkan dan dilestarikan pemanfaatannya secara optimal dan berkelanjutan demi kelangsungan hidup yang berkualitas. 104 Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan Nasional. Dalam rangka membangun masyarakat yang adil makmur berdasarkan Pancasila, Undang-Undang Pokok Agraria UUPA menetapkan dalam Pasal 7, bahwa agar supaya tidak merugikan kepentingan umum maka pemilihan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan. 105 Dalam kenyataannya pada masa itu yaitu tahun 1960 terdapat petani yang memiliki dan mengusahakan tanah dengan luas yang sangat jauh melebihi rata-rata pemilikan dan penguasaan tanah para petani pada umumnya. Para petani yang mempunyai tanah sawah dan atau tanah kering, sebagian terbesar masing-masing kurang dari 1 hektar atau rata-rata 0,6 hektar sawah atau 0,5 hektar tanah kering. 103 Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945. 104 Lihat Penjelasan Umum butir 1 Atas Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang. 105 Lihat Penjelasan Umum angka 1 Undang-undang No. 56 Prp Tahun 1960. Universitas Sumatera Utara Disamping petani-petani yang tidak bertanah dan yang tidak cukup tanah itu, dijumpai petani-petani yang menguasai tanah pertanian yang luasnya berpuluh-puluh, beratus-ratus bahkan beribu-ribu hektar. Tanah itu tidak semua dipunyai mereka dengan hak milik, tetapi kebanyakan dengan gadai atau hak sewa. Ketimpangan luas yang dimiliki dan diusahakan, sebagian orang mempunyai tanah yang berlebih-lebihan, sedang yang sebagian besar lainnya tidak mempunyai atau tidak cukup tanahnya ini jelas bertentangan dengan asas sosialisme indonesia yang menghendaki pembagian yang merata atas sumber daya penghidupan rakyat tani yang berupa tanah itu, agar ada pula pembagian yang adil dan merata pula dari hasil tanah-tanah tersebut. Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melebihi batas tidak diperkenankan. Pemerintah menetapkan luas maksimum danatau minimum tanah yang merupakan kelebihan batas maksimum tersebut diambil oleh Pemerintah dengan ganti kerugian, untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang membutuhkannya. 106 106 Lihat Penjelasan Umum angka 2 Undang-undang No. 56 Prp Tahun 1960.lihat bandingkan Arif Gasita, Masalah Korban Kejahatan, Akademika Pressindo, 1993, hal 101 dengan masalah ganti rugi menjadi korban tidak selalu orang perorang, tetapi dapat juga terjadi pada suatu kelompok, badan hukum pengusaha , instasi pemerintah dan BUMN Bahwa korban itu timbul sebagai interaksi akibat adanya interelasi antara fenomena-fenomena yang ada dan saling mempengaruhi dan dapat dimengerti pihak korban merupakan salah satu yang menderita akibat dalam pembebasan tanah baik untuk kepentingan umum maupun kepentingan swasta yang dilakukan tanpa adanya musyawarah atau kesepakatan antara pihak yang memerlukan tanah dengan pihak pemilik tanah. Berdasarkan hal tersebut diatas ada 2 dua pihak yang menjadi korban dalam kasus ganti rugi tanah antara lain : a. Pemilik tanah b. Pihak yang berkepentingan dengan pengadaan tanah Universitas Sumatera Utara Penguasaan, pemilikan dan pemanfaatan tanah yang luas oleh segelintir petani membuka peluang terjadinya pemerasan oleh petani bertanah luas terhadap petani bertanah sempit bahkan sempit atau bahkan tidak memiliki tanah. Pemerasan dapat dikemas dalam bentuk gadai dan bagi hasil pertanian. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya-upaya untuk memberi tanah pertanian yang cukup luas dengan jalan membuka tanah secara besar-besaran. Upaya ini juga dibarengi dengan adanya batas maksimum tanah pertanian yang boleh dikuasai satu keluarga, baik dengan hak milik maupun dengan hak yang lain. Peraturan Pemerintah No. 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian. secara substansial materi hukum konsolidasi tanah perkotaan sangat sulit diatur di dalamnya, dan sejalan dengan dinamika Litbang Departemen Dalam Negeri, tentang konsolidasi tanah perkotaan Tahun perkembangan pembangunan di Indonesia khususnya untuk daerah perkotaan, maka melalui Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 4 Tahun 1991 tentang Konsolidasi Tanah di Indonesia lahirlah pengaturan hukum tentang konsolidasi tanah perkotaan di Indonesia. Perwujutan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional ini, dimulai dari kegiatan penelitian yang dilakukan oleh pusat penelitian dan pengembangan pertanahan, Badan 1984. Sejak diberlakukannya Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1991 tentang Konsolidasi Tanah di Indonesia tersebut, ternyata juga belum memberikan jawaban untuk mencapai suatu keberhasilan dalam penyelenggaraan Universitas Sumatera Utara konsolidasi tanah perkotaan, khususnya di Sumatera Utara. 107 Meskipun secara teoritis konseptual bahwa maksud, tujuan dan sasaran terhadap pelaksanaan konsolidasi tanah itu telah ditegaskan sedemikian rupa, yaitu maksud dilaksanakannya konsolidasi tanah perkotaan adalah dalam upaya meningkatkan terciptanya kualitas lingkungan dan pengadaan tanah bagi kepentingan pembangunan serta upaya untuk mewujudkan pemeliharaan sumber daya alam dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat yang berada di wilayah perkotaan, dengan suatu tujuan konsolidasi tanah perkotaan tersebut diarahkan untuk mencapai pemanfaatan tanah secara optimal. 107 Dalam konteks pelaksanaan konsolidasi tanah di Sumatera Utara terutama dalam era otonomi daerah, Kantor Pertanahan KabupatenKota, dimana dilangsungkannya penelitian disertasi ini, yaitu untuk kota Medan, Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Langkat, Pematang Siantar dan Kabupaten Dairi, belum juga terlihat dari dilaksanakannya konsolidasi tanah tersebut dapat menciptakan suatu pembangunan lingkungan perumahan dan permukiman yang layak sesuai dengan keinginan masyarakat di daerah tersebut. Perwujudan keadaan ini adalah ketidakmampuan masing- masing Kepala Kantor Pertanahan KabupatenKota tersebut untuk melakukan koordinasi konkrit dengan Pemerintah KabupatenKota yang bersangkutan, terutama untuk membangun sarana fisik lingkungan perumahan dan permukiman sebagaimana dimaksud. Lebih jauh dari itu ternyata pemberlakuan Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang pada hakekatnya bahwa masyarakat daerah diberikan kewenangan untuk mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan potensi dan keadaan di daerahnya, ternyata di dalam pelaksanaannya belum sepenuhnya dapat diaplikasikan. Disisi lain hal ini menunjukkan bahwa peraturan dasar pelaksanaan konsolidasi tanah yang termaksud di dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 4 Tahun 1991 tentang Konsolidasi Tanah tersebut, ternyata dalam pelaksanaannya di lapangan belum sepenuhnya dapat menjadi sumberdasar pelaksanaan yang secara yuridis formal dapat di dukung dan di terima oleh masyarakat di daerah. Dari keadaan ini justru terlihat di lapangan bahwa dengan dilaksanakannya konsolidasi tanah perkotaan tersebut sekaligus memunculkan keadaan suatu keadaan yang dilemetis dan pada akhirnya akan membebankan kepada masyarakat peserta konsolidasi tanah itu sendiri. Salah satu faktor penyebab tidak optimalnya kepada pencapaian maksud, tujuan dan sasaran pelaksanaan konsolidasi tanah perkotaan tersebut adalah lemahnya proses perencanaan yang perlu dilakukan dalam memulai pelaksanaan konsolidasi tanah itu. Djoko Sudantoko, telah mengingatkan tentang arti penting perencanaan yang matang dari suatu kegiatan yang akan dilaksanakan. Dikatakannya, dari sisi perencanaan, hal ini akan memacu efisiensi dan efektivitas fungsi perencanaan pembangunan daerah, karena proses awal perencanaan diletakkan dalam kebutuhan suatu wilayah, yang nantinya akan diterjemahkan ke dalam spesifikasi masing-masing sektor. Djoko Sudantoko, “Dilema Otonomi Daerah”, Andi, Yogyakarta 2003, halaman 22. Universitas Sumatera Utara Seimbang dan lestari melalui peningkatan efisiensi penggunaan tanah di wilayah perkotaan, dengan mewujudkan suatu sasaran konsolidasi tanah perkotaan yaitu untuk menciptakan suatu tatanan penguasaan dan penggunaan tanah yang tertib dan teratur di wilayah perkotaan. 108 Secara teoritis konseptual perwujudan rumusan tentang maksud, tujuan dan sasaran dari terselenggaranya konsolidasi tanah perkotaan tersebut, dalam konteks filsafati telah dinilai selaras dengan paradigma politik hukum di bidang pertanahan dan keagrariaan yang dikembangkan oleh pemerintah. Aktualisasi prinsip-prinsip penyelenggaraan konsolidasi tanah perkotaan itu, ternyata dalam konteks implementasinya masih sangat sulit untuk dijalankan. Keadaan ini menunjukkan walaupun pada tataran teoritis konseptual dari sesuatu produk hukum yang dihasilkan oleh pemerintah melalui kebijakan publiknya telah memenuhi dan sesuai dengan standar paradigma. 109 yang ditetapkan, namun 108 Implikasi lain yang dapat meemberikan manfaat kepada masyarakat peserta konsolidasi tanah perkotaan tersebut, tanah hasil konsolidasi secara ekonomis nilai jualnya akan mengalami kenaikan yang cukup signifikan, karena telah terbangunnya sarana fisik perumahan dan permukiman yang layak dan fasilitas lainnya. Keuntungan lainnya bagi masyarakat tanah hasil konsolidasi tersebut sekaligus akan diperoleh sertifikat tanda bukti, sehingga memberikan jaminan dan perlindungan hukum yang pasti tentang kemilikan tanah tersebut bagi peserta konsolidasi tanah, dan hal ini dalam waktu-waktu tertentu akan dapat digunakan oleh masyarakat para peserta konsolidasi tanah tersebut sebagai agunan dalam upaya untuk mendapatkan fasilitas kredit demi meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Dengan demikian hasil konsolidasi tanah perkotaan tersebut pada aspek lain akan membawa perubahan di dalam masyarakat terutama dari aspek fungsi sosialnya. Dalam hubungan ini Jafar Suryomenggolo, telah memberikan komentar dan pendapatnya dengan mengutip pendapat dari Karl Renner, diutarakannya : bahwa aturan hukum tidak berubah tetapi fungsi sosialnya yang berubah. Artinya, aturan hukum pelaksanaan konsolidasi tanah tersebut pada prinsipnya tetap berada di dalam bingkai sistem hukum nasional di bidang keagrariaan yang berparadigma kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Lihat, Jafar Suryomenggolo, “Hukum Sebagai Alat Kekuasaan Politik Asimilasi Orde Baru”, Cabang Press dan Elsaka , Yogyakarta 2003, halaman 37. 109 Pada tataran paradigma terlihat secara jelas bahwa semua produk hukum yang dihasilkan oleh pemerintah tersebut melalui kebijakan publiknya, memang telah berpedoman kepada paradigma nasional, yaitu Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Namun ketika produk hukum tersebut Universitas Sumatera Utara lebih jauh dari itu tingkat keberhasilan produk hukum tersebut harus dilihat dalam tataran praktis operasional, apakah telah mampu memberikan suatu hasil yang positif bagi kepentingan masyarakat secara menyeluruh terutama untuk menciptakan peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. Dalam pelaksanaan Konsolidasi tanah harus memperhatikan luas maksimum tersebut harus ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan di dalam waktu yang singkat. Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum diambil oleh pemerintah dengan memberi ganti kerugian kepada pemilik sebelumnya. Selanjutnya tanah-tanah tersebut dibagikan kepada rakyat petani yang membutuhkan, menurut ketentuan-ketentuan dalam peraturan pemerintah. Dengan demikian maka pemilikan tanah akan menjadi lebih efektif, adil dan merata, yang kemudian akan mendorong bertambahnya produksi. Kesemuanya itu terjadi karena penggarap tanah-tanah itu akan lebih giat dalam menggarap tanah yang telah menjadi miliknya sendiri. Luas maksimum tanah pertanian yang dapat dimiliki oleh keluarga petani diterapkan untuk tiap-tiap kabupaten atau kota dengan memperhatikan keadaan daerah masing-masing dan faktor-fakto seperti : ketersediaan tanah, kepadatan diimplementasikan, paradigma tersebut sering terjadi penyimpangan bahkan dibenturkan dengan aspirasi yang berasal dari masyarakat di daerah. Terjadinya pergeseran dan perbedaan aktualisasi paradigma yang demikian di lapangan, salah satu faktor penyebabnya pemerintah mengedepankan pandangannya bahwa tanah tersebut dinilai sebagai komoditi semata, sedangkan pandangan dari masyarakat bahwa keberadaan tanah tersebut bukan hanya sekedar komoditi, tetapi merupakan hubungan yang sangat magis-religius. Dalam hubungan ini Gunawan Wiradi telah memberikan ulasan pendapatnya : secara objektif teoritis, memperlakukan tanah sebagai komoditi memang tampak rasional dan wajar-wajar saja. Akan tetapi, perlu diingat bahwa hal itu hanya dipakai sebagai suatu konsep analitis, terutama di Barat, dalam rangka mengembangkan teori ekonomi ketika terjadi perubahan masyarakat akibat revolusi industri. Gunawan Wiradi, “Jangan Perlakukan Tanah Sebagai Komoditi”, dalam Jurnal Analisis Sosial, Tanah : Komoditas Strategis”, penyunting : A. Diana Handayani, Akatiga, Bandung 1996, hal. 34. Universitas Sumatera Utara penduduk, jenis dan kesuburan tanah, besarnya usaha tani yang baik the best fannsize, serta kemajuan teknologi pertanian. Untuk itu diadakan perbedaan antar daerah yang padat sangat padat, cukup padat dan kurang padat dengan daerah yang kurang padat, serta dibedakan pada antar tanah sawah dengan tanah kering. Lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini : 110 Kriteria Kepadatan Penduduk dan Golongan Daerah Kepadatan Penduduk tiap Kilometer persegi Golongan Darah a. Sampai 50 Tidak Padat b. 51 Sampai 250 Kurang Padat c. 251 Sampai 400 Cukup Padat d. 401 Keatas Sangat Padat Satu hal penting yang juga harus diperhatikan yaitu ketentuan luas maksimum dikenakan pula pada tanah-tanah kepunyaan orang lain yang dikuasai dengan hak gadai, sewa dan lain-lainnya. Tetapi tanah-tanah yang dikuasai dengan hak guna usaha, atau hak-hak lainnya yang bersifat sementara dan terbatas seperti hak pakai yang didapat dari Pemerintah tidak terkena ketentuan tersebut. Undang-Undang Pokok Agraria tentang perlunya ditetapkan batas minimum selain batas-batas maksimum, agar tiap keluarga petani mempunyai tanah yang cukup luasnya untuk dapat mencapai taraf penghidupan yang layak. Luas minimum tanah pertanian yang dimiliki keluarga petani oleh Undang-undang No. 56 Prp Tahun 1960 110 Boedi Harsono, Op.Cit,halaman 371. Universitas Sumatera Utara ditetapkan seluas 2 dua hektar, baik untuk tanah sawah maupun tanah kering. Konsepsi luas minimum ini akan diupayakan pencapaiannya secara bertahap, yaitu juga dilengkapi dengan upaya-upaya lain, seperti pembukaan tanah pertanian baru ekstensifikasi, transmigrasi, industrialisasi, meningkatkan produktivitas tanah pertanian yang ada intensifikasi dan pemberian kredit pertanian. Dengan memperhatikan kepadatan penduduk, luas daerah dan faktor lainnya, maka luas maksimum yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 ditetapkan sebagai berikut : 111 Kepadatan Penduduk dan Luas Maksimum Pemilikan atau penguasaan Tanah Pertanian Nomor Di daerah-daerah yang : Sawah ha atau Tanah Kering ha 1 Tidak Padat 15 20 Kurang Padat 10 12 Cukup Padat 7.5 9 2. Kurang Padat 5 6 Beberapa ide utama yang dapat disimpulkan dari Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 dalam penetapan luas tanah pertanian, yaitu : 1. Untuk kepentingan umum pemiliknapenguasaan tanah pertanian yang melampaui batas tidak diperkenankan. 111 Surpriadi, Op.Cit, halaman 209. Universitas Sumatera Utara 2. Perlu dilakukan pembagian yang merata atas sumber penghidupan rakyat tani yang berupa tanah, agar ada pembagian yang adil da merata pula dari hasil tanah tersebut. 3. Perlu adanya batas maksimum tanah pertanian yang boleh dikuasai satu keluarga baik dengan hak milik maupun dengan hak yang lain. 4. Perlu ditetapkan batas minimum selain batas maksimum, agar tiap keluarga petani mempunyai tanah yang cukup luasnya untuk dapat mencapai taraf hidup yang layak. Dalam tahap pertama tujuan ini dilaksanakan melalui pencegahan terjadinya fragmentasi tanah-tanah pertanian. Dalam perkembangannya apabila penentuan jumlah minimum itu tetap dikehendaki maka dijadikan dasar adalah penguasaan tanah optimal bagi usaha tani tanaman pangan yakni batas luas satuan usaha tani yang ”layak” bagi satu keluarga tani. Beberapa peraturan-peraturan yang berkaitan izin penguasaan dan pemilikan tanah dkaitkan dengan Penatagunaan Tanah dan Penguasaan Tanah Pertanian adalah sebagai berikut : a Pengaturan Penatagunaan Tanah : Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria Undang- undang No. 41 Tahun 1982 tentang ketentuan pokok pengelolaan lingkungan hidup. PP No. 36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1987 tentang Penyediaan dan penggunaan tanah untuk keperluan tempat pemakaman. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 1982 tentang irigasi. Keppres No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan kawasan Universitas Sumatera Utara lindung. Keppress No. 57 Tahun 1989 tentang Tim kordinasi pengelolaan tata ruang nasional. Peraturan MNAKa. BPN No. 21 Tahun 1999 tentang Izin lokasi Keputusan Presiden RI No. 97 Tahun 1993 tentang Tata Cara Penanaman Modal PAKTO 93. Keputusan Menteri Negara Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 22 Tahun 1993 tentang Petunjuk Pelaksanaan Izin dalam rangka Pelaksanaan Keputusan Menteri Negara Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 2 Tahun 1991 tentang Tata Cara Memperoleh Lokasi dan Hak Atas Tanah dalam rangka Penanaman Modal. Intruksi Menteri Negara Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 1 Tahun 1994 tentang Inventarisasi Penguasaan Tanah oleh Badan HukumPerorangan Surat Menteri Negara Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 410-1850 kepada Menteri Negara Perencanaan Pembangunan NasionalKetua Bappenas selaku Ketua Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional perihal perubahan penggunaan tanah beririgasi teknis untuk pengggunaan tanah non pertanian. Surat Menteri Negara Kepala Badan Pertanahan Nasional 410-1851 kepada Gubernur KDH Tk. I dan BupatiWalikota KDH Tk. II di seluruh Indonesia tentang Pencegahan Penggunaan Tanah Sawah Irigasi teknis untuk Penggunaan Tanah Non Pertanian melalui Penyusunan Rencana Tata Ruang. Surat Menteri Negara Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 460-1594 kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan Kepala Kantor Pertanahan KabupatenKotamadya si seluruh Indonesia, perihal pencegahan konversi tanah sawah irigasi teknis menjadi tanah kering. Universitas Sumatera Utara Surat Menteri NegaraKepala Badan Pertanahan Nasional No. 462-2942 kepada Kepala Kantor Pertanahan Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan Kepala Kantor Pertanahan KabupatenKotamadya si seluruh Indonesia, perihal penelitian riwayat penggunaan tanah dalam pemberian izin lokasi. Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 1998 tentang penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar 5 Maret 1998. Surat Menteri Negara Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 462-2033 kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan Kantor Pertanahan KabupatenKotamadya si seluruh Indonesia, perihal tentang penegasan tidak berlakunya SK izin lokasi yang telah habis masa berlakunya. Surat Menteri Negara Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 460-2083 kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan Kantor Pertanahan KabupatenKotamadya si seluruh Indonesia, perihal tentang perlindungan terhadap hak keperdataan dan kepentingan pemilik tanah dal;am areal izin lokasi. Instruksi Menteri Negara Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1998 tentang pemberian izin lokasi dalam rangka penataan penguasaan tanah skala besar. Instruksi Menteri Negara Kepala Badan Pertanahan Nasional No tentang pendataan dan monitoring pemanfaatan tanah kosong untuk penanaman tanaman pangan. Peraturan Menteri Negara Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 9 Tahun 1999 tanggal 14 Oktober 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan. Universitas Sumatera Utara b Pengaturan Penguasaan dan Pemilikan Tanah Undang-undang Nomor 56 Tahun 1960 tentang penetapan luas tanah pertanian. PP No. 224 Tahun 1961 tentang pelaksanaan pembagian tanah dan pemberian ganti kerugian. PP No. 4 Tahun 1997 tentang pemilikan tanah secara guntai absentee bagi para pensiunan pegawai negeri. Keppres No. 55 Tahun 1980 tentang organisasi dan tata kerja penyelenggaraan land reform. PMDN No. 15 Tahun 1974 tentang pedoman tindak lanjut pelaksanaan land reform.

C. Akibat Hukum Terhadap Penguasaan Tanah Yang Dimiliki oleh Pemohon

Dari kasus yang ada jelaslah sudah bahwa Bapak Dukrim alias Pak Kebon bin Suta telah melanggar Pasal 3 Undang-undang Nomor 56 Tahun 1960 dan Pasal 4 Undang-undang Nomor 56 Tahun 1960, sehingga atas perbuatannya Pasal 10 Ayat 3 dan 4 Undang-undang Nomor 56 Tahun 1960,dan akibat dari perbuatannya tersebut maka Bapak Dukrim alias Pak Kebon bin Suta memperoleh akibat hukum sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang telah ditetapkan. Adapun yang menjadi akibat hukum terhadap penguasaan tanah yang dimiliki oleh pemohon adalah Terjadinya pembatalan pemilikan tanah karena tanah yang bersangkutan jatuh pada Negara tanpa hak untuk menuntut ganti kerugian yang diatur pada Pasal 10 ayat 3 dan Ayat 4 Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960. Selanjutnya akibat hukum selanjutnya adalah Tanah seluas 277.645 ha setelah dikurangi tanah milik terhukum asal dari warisan orang tuanya sesuai dengan batas maksimal menurut ketentuan yang berlaku, diambil dan diserahkan kepada Universitas Sumatera Utara Pemerintah Daerah Kabupaten Subang cq Kantor Agraria Subang dibantu kejaksaan Negeri Subang menyelesaikan persoalan tanah lebih lanjut sesuai dengan ketentuan yang berlaku Sedangkan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam hal ini adalah Pemerintah Daerah Kabupaten Subang cq Kantor Agraria Subang diredistribusikan kepada petani yang tidak memiliki tanah. Jelas sekali keadaan masyarakat tani Indonesia sekarang ini ialah, kurang lebih 60 dari pada petani adalah petani tidak bertanah. Sebagian mereka itu merupakan buruh tani, sebagian Iainnya mengerjakan tanah orang lain sebagai penyewa atau penggarap dalam hubungan perjanjian bagi hasil. Para petani yang mempunyai tanah sawah danatau tanah kering sebagian terbesar masing-masing tanahnya kurang dari 1 hektar rata-rata 0,6 ha sawah atau 0,5 ha tanah kering yang terang tidak cukup untuk hidup yang layak. Tetapi disamping petani-petani yang tidak bertanah dan yang bertanah tidak cukup itu, kita jumpai petani-petani yang menguasai tanah-tanah pertanian yang luasnya berpuluh-puluh, beratus-ratus bahkan beribu-ribu hektar. Tanah-tanah itu tidak semuanya dipunyai mereka dengan hak milik, tetapi kebanyakan dikuasainya dengan hak gadai atau sewa. Bahkan tanah-tanah yang dikuasai dengan hak gadai dan sewa inilah merupakan bagian yang terbesar. Biasanya orang-orang yang menguasai tanah-tanah yang Iuas itu tidak dapat mengerjakan sendiri. Tanah-tanahnya dibagi hasilkan kepada petani-petani yang tidak bertanah atau yang tidak cukup tanahnya. Bahkan tidak jarang bahwa dalam hubungan gadai para Universitas Sumatera Utara pemilik yang menggadaikan tanahnya itu kemudian menjadi penggarap tanahya sendiri sebagai pembagi hasil. Dan tidak jarang pula bahwa tanah-tanah yang Iuas itu tidak diusahakan dibiarkan terlantar oleh karena yang menguasainya tidak dapat mengerjakan sendiri, hal mana terang bertentangan dengan usaha untuk menambah produksi bahan makanan Dalam rangka membangun masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila. UUPA menetapkan dalam Pasal 7, bahwa agar supaya tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan. Ada orang-orang yang mempunyai tanah berlebih-Iebihan, sedang yang sebagian terbesar lainnya tidak mempunyai atau tidak cukup tanahnya adalah terang bertentangan dengan asas keadilan sosial, yang menghendaki pembagian yang lebih berkeadilan atas sumber penghidupan rakyat tani yang berupa tanah itu, agar ada pembagian yang berkeadilan atas tanah pertanian. Dikuasainya tanah-tanah yang Iuas ditangan sebagian kecil para petani itu membuka pula kemungkinan dilakukannya praktik-praktik pemerasan dalam segala bentuk gadai, bagi hasil dan lain-lainnya, hal mana bertentangan pula dengan prinsip keadilan sosial. Fungsi sosial hak atas tanah merupakan jawaban dan kejelasan dari hak-hak keagrariaan di Indonesia, bukan penerapan bahwa memiliki sesuatu itu sebagai sesuatu yang suci sebagai hak-hak dasar manusia dan setiap orang harus lepas tangan dari hak-hak orang lain dalam dia menjalankan hak-hak atas agrarianya dan dia dapat Universitas Sumatera Utara mempertahankan hak-hak nya itu terhadap siapapun terhadap pemerintah sendiri. semua orang menghormati haknya. Dalam konsep dari fungsi sosial ini terkandung makna yang mendalam sekali bahwa dalam setiap hak seseorang terkandung hak dari masyarakat. 112 Tidak cukupnya tanah adalah bertentangan dengan asas keadilan sosial yang menghendaki pembagian-pembagian yang lebih berkeadilan atas sumber penghidupan rakyat tani yang berupa tanah, agar ada pembagian yang berkeadilan atas tanah pertanian . Dikuasainya tanah-tanah yang luas ditangan sebagian kecil para petani membuka pula kemungkinan dilakukannya praktik-praktik pemerasan. Di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 diamanatkan bahwa Pemerintah Negara Republik Indonesia untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Ini merupakan jaminan konstitusi disamping Pasal 27 Ayat 2, Pasal 28 dan Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945 di dalam kerangka hubungan yang mendasar dan asasi antara warga negara Indonesia dengan tanah. Pasal 33 Ayat 3 secara khusus memberikan dasar lahirnya kewenangan negara untuk mengatur dan mengelola sumber daya agraria termasuk tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia yang dikenal dengan hak menguasai negara yang lebih lanjut sebagai pelaksanaannya diatur dalam Pasal 2 Ayat 2 UU PA. Kewenangan ini meliputi: a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa tersebut; 112 Herawan,Sauni, M.Yamani Komar, Hukum Agraria Beberapa Pemikiran dan gagasan Prof.Dr.A.P.Parlindungan,SH, Bengkulu: USU Press, 1998, halaman 80. Universitas Sumatera Utara b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dengan bumi, air dan ruang angkasa; c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Pasal 2 Ayat 3 UUPA selanjutnya menyatakan, Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari negara tersebut pada ayat 2 pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur. Selain akibat hukum yang telah dijelaskan diatas ,terhadap pelanggaran hukum tersebut Terdakwa dijatuhi sanksi pidana yang putusannya mempunyai kekuatan hukum tetap. Pembentuk undang-undang telah menentukan pilihan yang tepat dalam menetapkan kualifikasi tindak pidana. Dalam Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 dalam bentuk pelanggaran overtredingen karena masalah pertanahan pada dasarnya masuk lingkup hukum administrasi negara sehingga sanksi yang dapat diberikan pada dasarnya haruslah sanksi administratif, namun tidak menutup ditambahkan sanksi pidana namun haruslah termasuk kualifikasi tindak pidana pelanggaran overtredingen bukan tindak pidana kejahatan misdrijven. Universitas Sumatera Utara

BAB IV ANALISIS HUKUM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG

PENETAPAN LUAS TANAH PERTANIAN A. Putusan Mahkamah Kontitusi Hakim untuk memutuskan sesuatu dilakukan tidak dengan sembarangan dan harus penuh dengan kehati-hatian serta harus melaluhi pertimbangan-pertimbangan, begitu hal nya dengan Hakim Mahkamah Konstitusi dalam memutuskan sesuatu hal dalam menguji undang-undang penuh dengan pertimbangan-pertimbangan. Sebelum menjelaskan isi dari pada Putusan Nomor 11PUU-V2007 maka terlebih dahulu memberikan penjelasan mengenai pertimbangan-pertimbangan mengapa Hakim Mahkamah Konstitusi memutus seperti itu. Dimana pertimbangan tersebut adalah dasar dari pada Mahkamah Konstitusi untuk mengambil keputusan. Adapun pertimbangan-pertimbangan dari pada Hakim Mahkamah Konstitusi tersebut yaitu antara lain: 1. Menimbang bahwa Pemohon telah mengajukan permohonan pengujian Undang- undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 terhadap UUD 1945 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia selanjutnya disebut Kepaniteraan Mahkamah pada hari Selasa tanggal 10 April 2007 dan telah diregistrasi pada hari Jumat tanggal 20 April 2007 dengan Nomor 11PUU- V2007, yang telah diperbaiki dan diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada hari Kamis tanggal 24 Mei 2007 dan hari Kamis tanggal 31 Mei 2007, yang Universitas Sumatera Utara menguraikan dalil-dalil mengajukan gugatan pengujian undang-undang ke Mahkamah Konstitusi, dimana telah diuraikan dilatar belakang. 2. Menimbang bahwa pada saat persidangan, Mahkamah Konstitusi mendengar keterangan lisan dari Pemerintah yang diwakili oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional, dan telah pula membaca keterangan tertulis dari pada Kepala Badan Pertanahan Nasional. Kepala Badan Pertanahan Nasional mengatakan bahwa tanah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Kuasa untuk kesejahteraan Bangsa Indonesia, sehingga hubungan Bangsa Indonesia dengan tanah bersifat abadi. Hubungan Bangsa Indonesia dengan tanah yang merupakan kekayaan nasional sangat menentukan kesejahteraan, kemakmuran, keadilan, keberlanjutan dan harmoni bagi bangsa dan Negara Indonesia. Bagi bangsa Indonesia, hubungan manusia atau masyarakat dengan tanah merupakan hal yang sangat mendasar dan asasi. Jika hubungan ini tidak tersusun dengan baik, akan lahir kemiskinan bagi sebagian terbesar rakyat Indonesia, ketidakadilan, peluruhan serta sengketa dan konflik yang berkepanjangan yang bisa bersifat struktural. Hubungan yang mendasar dan asasi tersebut dijamin dan dilindungi keberadaannya oleh Pasal 27 Ayat 2, Pasal 28 dan Pasal 33 UUD 1945. Sejalan dengan UUD 1945 yang menunjukan suatu perjalanan kebangsaan dan kenegaraan Indonesia, sebagaimana yang tertuang dalam alinia ke-4 Pembukaan UUD 1945, bahwa ujung dari cita- cita negara adalah mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Artinya, apabila dikaitkan dengan Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945 maka pengelolaan pertanahan didasarkan pada 4 prinsip dasar: Universitas Sumatera Utara 1. Pertanahan berkontribusi pada kesejahteraan rakyat; 2. Pertanahan berkontribusi pada keadilan; 3. Pertanahan berkontribusi pada keberlanjutan kebangsaan dan kenegaraan Indonesia; 4. Pertanahan berkontribusi pada tatanan kehidupan bersama secara harmonis. Kemudian Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945 memberikan dasar bagi Iahirnya kewenangan negara yang diatur Pasal 2 Ayat 2 UU PA yang disebut dengan hak menguasai negara. Hak negara dimaksud berisi kewenangan: a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa; c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Ketiga kewenangan sebagaimana dimaksud di atas, untuk mewujudkan cita-cita sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat 3 UUPA menyatakan bahwa, Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat 2 pasal ini, digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam anti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur. Dalam mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, UUPA dalam Pasal 7 mengamanatkan bahwa untuk tidak merugikan kepentingan umum maka Universitas Sumatera Utara pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan. Selanjutnya di dalam Pasal 17 bahwa untuk mencapai tujuan yang dimaksud dalam Pasal 2 Ayat 3 UUPA diatur Iuas maksimum dan atau minimum tanah yang dapat dipunyai dengan sesuatu hak oleh seseorang sehingga dapat memperoleh penghasilan yang cukup untuk hidup layak bagi diri sendiri dan keluarganya. Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum tidak akan disita tetapi akan diambil oleh Pemerintah dengan ganti kerugian dan selanjutnya tanah tersebut akan dibagikan kepada rakyat yang membutuhkannya. Luas maksimum dan minimum dimaksud ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960, yang disahkan menjadi undang-undang oleh Undang-undang Nomor 1 Tahun 1961 tentang Penetapan Semua Undang-undang Darurat dan semua Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang yang sudah ada sebelum tanggal 1 Januari 1961 menjadi undang-undang. Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960, pada prinsipnya mengatur hal-hal sebagai berikut: a. Penetapan batas maksimum yang dapat dimiliki oleh keluarga; b. Penetapan batas minimun yang dapat dimiliki oleh keluarga; c. Larangan pemindahtanganan tanah-tanah pertanian yang melebihi batas maksimum; d. Pengembalian tanah-tanah gadai kepada pemiliknya; e. Pemberian sanksi bagi pelanggar ketentuan. Universitas Sumatera Utara Pasal 3 Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960, mewajibkan pemilik tanah pertanian yang melebihi batas maksimum untuk melapor dalam waktu 3 bulan, Selanjutnya Pasal 4 Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 mengatur bahwa orang atau orang-orang sekeluarga yang memiliki tanah pertanian yang jumlah luasnya melebihi luas maksimum dilarang untuk memindahkan hak miliknya atas seluruh atau sebagian tanah tersebut. Menurut Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960, pihak yang melanggar ketentuan undang-undang diberikan sanksi pidana danatau denda Pasal 10 Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960. Pelanggaran atas larangan dan kewajiban melapor tersebut di atas, mengakibatkan yang bersangkutan kehilangan kepemilikan atas tanah kelebihannya tersebut, termasuk hak atas ganti kerugian dari negara. Dan sanksi serta penerapan sanksi itu merupakan akibat hukum yang harus diterima dan ditanggung bagi siapapun yang melakukan pelanggaran hukum. Sanksi pidana di dalam Pasai 10 Ayat 3 dan Ayat 4 Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 merupakan upaya paksa bagi seseorang yang tidak mematuhi kewajiban dan atau larangan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk tercapainya ketertiban, keteraturan dan atau keadilan. Sanksi ini merupakan salah satu ciri dari hukum. Sanksi bertujuan agar pelaksanaan suatu menjadi lebih efektif. Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 merupakan salah satu undang-undang penting dalam kerangka mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang sepenuhnya sejalan dengan UUD 1945 dan UUPA. Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 sejak diberlakukannya pada tanggal 1 Januari 1961 hingga saat ini masih Universitas Sumatera Utara efektif berlaku baik secara yuridis maupun secara sosiologis. Efektivitas dari ketentuan Pasal 10 Ayat 3 dan Ayat 4 terbukti sejak Tahun 1961-2007 Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 yang melaksanakan ketentuan Pasal 17 UUPA telah memberikan pengaturan yang berimbang antara hak publik dengan hak privat, karena pengambilan hak-hak kepemilikan yang bersifat privat itu tidak dilakukan secara sewenang-wenang, terbukti dengan pemberian ganti kerugian, tentu saja ganti kerugian diberikan kepada mereka yang taat atas ketentuan tersebut. Dengan demikian tidak ada ketentuan dalam Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 yang bersifat perampasan atas hak-hak privat milik warga negara, sehingga tidak ada materi Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 yang bertentangan secara konstitusional dengan UUD 1945. Sampai saat ini, masih terdapat tanah-tanah kelebihan maksimum yang belum dilaporkan oleh pemiliknya. Oleh karena itu tindak pidana yang diancam Pasal 10 Ayat 3 dan Ayat 4 Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 merupakan tindak pidana tertentu maka untuk terlaksananya penegakan hukum diperlukan lembaga PPNS BPN-RI yang pada masa lalu dilakukan oleh Peradilan Land reform yang telah dihapuskan pada Tahun 1970. Persoalan-persoalan mendasar yang dihadapi bangsa Indonesia sampai saat ini diantaranya adalah ketidakadilan sosial yang mewujudkan dalam bentuk kemiskinan struktural. Banyaknya kemiskinan di sektor pertanian berkaitan dengan penguasaan tanah yang timpang. Ada sementara pihak menguasai dan memiliki tanah dalam skala luas yang besar yang tidak termanfaatkan dengan baik, di sisi lain masih banyak pihak utamanya rakyat Universitas Sumatera Utara atau petani miskin yang tidak mempunyai tanah. Dalam rangka mewujudkan tanah untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat tersebut sebagaimana diamanatkan Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945, maka politik dan kebijakan pertanahan didasarkan pada 4 Prinsip: 1. Pertanahan harus berkontribusi secara nyata untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan melahirkan sumber-sumber baru kemakmuran rakyat; 2. Pertanahan harus berkontribusi secara nyata untuk meningkatkan tatanan kehidupan bersama yang lebih berkeadilan dalam kaitannya dengan pemanfaatan, penggunaan, penguasaan, dan pemilikan tanah; 3. Pertanahan harus berkontribusi secara nyata dalam menjamin keberlanjutan sistem kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan Indonesia dengan memberikan akses seluas-luasnya pada generasi akan datang pada sumber- sumber ekonomi masyarakat-tanah, dan 4. Pertanahan harus berkontribusi secara nyata dalam menciptakan tatanan kehidupan bersama secara harmonis dengan mengatasi berbagai sengketa dan konflik pertanahan di seluruh tanah air dan menata sistem pengelolaan yang tidak lagi melahirkan sengketa dan konflik di kemudian hari. Sehubungan dengan prinsip-prinsip pengelolaan pertanahan tersebut, Badan Pertanahan Nasional telah merumuskan 11 Agenda Prioritas, sebagai berikut: 1. Membangun kepercayaan masyarakat pada Badan Pertanahan Nasional RI; 2. Meningkatkan pelayanan dan pelaksanaan pendaftaran tanah, serta sertifikasi tanah secara menyeluruh di seluruh Indonesia; Universitas Sumatera Utara 3 Memastikan penguatan hak-hak rakyat atas tanah; 4 Menyelesaikan persoalan pertanahan di daerah-daerah korban bencana alam dan daerah-daerah konflik di seluruh tanah air; 5 Menangani dan menyelesaikan perkara, masalah, sengketa dan konflik pertanahan secara sistematis; 6. Membangun Sistem Informasi Manajemen Pertanahan Nasional SIMTANAS dan sistem pengamanan dokumen pertanahan di seluruh Indonesia; 7. Menangani masalah KKN serta meningkatkan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat; 8. Membangun basis data penguasaan dan pemilikan tanah skala besar. 9 Melaksanakan secara konsisten semua peraturan perundang-undangan pertanahan yang telah ditetapkan; 10. Menata kelembagaan Badan Pertanahan Nasional RI; 11. Mengembangkan dan memperbaharui politik, hukum dan kebijakan pertanahan Reforma Agraria. Untuk mewujudkan 11 Agenda Prioritas di atas, Pemerintah dalam hal ini adalah Kepala Badan Pertanahan Nasional juga menyampaikan penjelasan secara khusus mengenai Reforma Agraria atau Program Pembaruan Agraria Nasional PPAN dan penanganan sengketa, konflik dan perkara pertanahan. Reforma Agraria merupakan upaya bersama seluruh komponen bangsa untuk menata kembali struktur pemilikan, penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah sesuai Universitas Sumatera Utara dengan prinsip tanah untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat. Selengkapnya, tujuan Reforma Agraria adalah 1 Menata kembali ketimpangan struktur penguasaan dan penggunaan tanah ke arah yang lebih adil; 2 Mengurangi kemiskinan; 3 Menciptakan lapangan kerja; 4 Memperbaiki akses rakyat kepada sumber-sumber ekonomi, terutama tanah; 5 Mengurangi sengketa dan konflik pertanahan; 6 Memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan hidup; 7 Meningkatkan ketahanan pangan. Apabila dicermati dan dimengerti keseluruhan tujuan Reforma Agraria di atas bermuara pada peningkatan kesejahteraan rakyat dan penyelesaian berbagai permasalahan bangsa. Namun demikian, dalam pelaksanaannya tidak tertutup kemungkinan dapat menimbulkan potensi sengketa dan masalah baru yang tidak kita inginkan bersama. Kemungkinan potensi sengketa dimaksud bisa lahir akibat kekurangpahaman kita bersama terhadap pelaksanaan Reforma Agraria yang strategis ini. Untuk itu diperlukan penyamaan persepsi, kesatuan gerak dan langkah semua pihak. Dari penjelasan yang diuraikan tersebut oleh Pemerintah dalama hal ini adalah Kepala Badan Pertanahan Nasional, Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 merupakan undang-undang penting untuk mewujudkan keadilan sosial dan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia yang konsisten dengan Pancasila, UUD 45 Universitas Sumatera Utara dan UUPA. jadi tidak terdapat pertentangan antara Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 dengan UUD 1945. Sedangkan Reforma Agraria merupakan program atau strategi untuk mewujudkan tanah untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat dalam kerangka mencapai tujuan Negara sebagaimana diamanatkan Pembukaan UUD 1945 alinea 4. 3. Menimbang bahwa untuk menguatkan dalil-dalil permohonannya Pemohon telah mengajukan bukti-bukti tertulis yang dilampirkan dalam permohonannya yang telah diberi meterai cukup dan diberi tanda P - 1 sampai dengan P - 17, sebagai berikut: 1. Bukti P - 1 : Fotocopy KTP atas nama Yusri Ardisoma; 2. Bukti P - 2 : Fotocopy Penetapan Pengadilan Negeri Subang Nomor 251982COMPSbg; 3. Bukti P - 3 : Fotocopy Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria; 4. Bukti P - 4 : Fotocopy Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian; 5. Bukti P - 5 : Fotocopy Berita Acara PenggeledahanPenyitaan oleh Kejaksaan Negeri Subang; 6. Bukti P - 6 : Fotocopy Berita Acara PenyerahanPenitipan Barang Bukti oleh Kejaksaan Negeri Subang; 7. Bukti P - 7 : Fotocopy Bukti Kepemilikan Tanah atas nama Bapak Dukrim C Nomor 2190; Universitas Sumatera Utara 8. Bukti P - 8 : Fotocopy Putusan Pengadilan Negeri Subang Nomor 381979PidanaPN.Sbg; 9. Bukti P - 9 : Fotocopy Berita acara Penyerahan Barang Bukti Rampasan dari Kejaksaan Negeri Subang kepada Kepala Kantor Agraria Subang; 10. Bukti P - 10: Fotocopy Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 16PK1983; 11. Bukti P - 11: Fotocopy Surat Kepala Kantor Agraria Kabupaten Subang tanggal 16 Oktober 1986, Nomor 592Kad.112511986 Perihal Permohonan Ganti Rugi Atas Tanah Kelebihan Bekas PenguasaanPemilikan Dukrim; 12. Bukti P - 12: Fotocopy SK Bupati KDH TK II Subang tanggal 28 Oktober 1988, Nomor 592.1SK.11 Kantag1988 tentang Penetapan unit keluarga wajib lapor serta luas tanah pertanian yang dapat dimiliki oleh unit keluarga dan luas tanah pertanian yang merupakan kelebihan dari batas maksimum; 13. Bukti P - 13: Fotocopy Penetapan Pengadilan Negeri Subang Nomor 25 1981Comp; 14.Bukti P - 14: Fotocopy Kartu Keluarga Nomor 3213211110040419; 15. Bukti P - 15: Fotocopy Luas Tanah Pertanian Kepemilikan Keluarga Yusri Ardisoma: a. Akta Jual Beli Nomor 172PMK1996 Luas 24.970 M2 Atas Nama Yusri Ardisoma; b. Akta Jual Beli Nomor 173JB1994 Luas 59.000 M2 Atas Nama Kikih Maesari; c. SPOP Atas Nama Yusri Ardisoma Luas 27.004 M2. Universitas Sumatera Utara 16. Bukti P - 16: a. Fotocopy Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang pelaksanaan pembagian tanah dan pemberian ganti kerugian Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negera Nomor 2322; b. Fotocopy Penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang pelaksanaan pembagian tanah dan pemberian ganti kerugian Penjelasan atas Lembaran Negera RI Tahun 1961 Nomor 280. 17.Bukti P-17: a. Fotocopy Keadaan Geografi Geographical Situation; b. Fotocopy Rumah Tangga Population And Employment; c. Fotocopy Penduduk Dan Ketenagakerjaan; d. Fotocopy Distribusi Persentase Penduduk dan Kepadatan Penduduk menurut Propinsi, 2000-2005; e. Fotocopy Tanaman Pangan Foods Crops. 4. Menimbang bahwa pada persidangan tanggal 30 Juli 2007 telah didengar keterangan lisan saksi dari Pemohon yang bernama Alan Sutarlan, sebagai berikut: • Bahwa saksi kenal dengan Pemohon dan tidak ada hubungan keluarga; • Bahwa orang tua angkat Pemohon memiliki tanah melebihi batas maksimal; • Bahwa pada waktu saksi sebagai Kepala Desa Pangarangan pada Tahun 1979, orang tua angkat Pemohon yaitu Bapak Dukrim memiliki tanah pertanian terdiri dari tiga desa, yaitu desa Tegalurung, Pamanukan Hilir, dan Universitas Sumatera Utara Pangarangan dengan jumlah total 277 hektar dan di Desa Pangarangan seluasnya 22 Hektar; • Bahwa tanah itu oleh Pemerintah dirampas atau disita oleh Kejaksaan Negeri pada waktu itu diberikan surat dari Kejaksaan; • Bahwa masih banyak orang lain yang memiliki tanah melebihi batas maksimal tetapi tidak di proses secara hukum dan di lapangan Uundang- undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tidak berjalan; • Bahwa saksi tahu Pemohon memiliki tanah seluas 11 Ha lebih dan ini tidak diproses hukum. 5. Menimbang bahwa pada persidangan tanggal 30 Juli 2007 didengar keterangan lisan ahli dari Pemohon yang bernama Prof. Ny. Arie S. Hutagalung, S.H., MLI, dan telah pula membaca keterangan tertulis, yang intinya sebagai berikut: Sebagai pelaksanaan dari ketentuan Pasal 17 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan-Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dikeluarkan oleh Pemerintah pada tanggal 29 Desember 1960, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Perpu Nomor 56 Tahun 1960 yang mulai berlaku tanggal 1 Januari 1961. Perpu Nomor 56 tersebut kemudian ditetapkan menjadi Undang- undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 LN 1960 Nomor 174; Penjelasannya dimuat di dalam TLN Nomor 5117 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian. Undang- undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 yang dikenal sebagai Undang-undang Landreform Indonesia, mengatur 3 tiga soal yang diaturnya yaitu: 1.Penetapan luas maksimum pemilikan dan penguasaan tanah pertanian; Universitas Sumatera Utara 2.Penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian dan larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan tanah-tanah itu menjadi bagian-bagian yang terlampau kecil; 3.Soal pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang digadaikan . Dalam bukunya Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional HTN Prof. Boedi Harsono, S.H menyebutkan ada beberapa masalah yang masih dalam pemikiran penyempurnaan peraturan dan pengaturan HTN, yaitu:

1. Penyempurnaan peraturan Landreform yang terdapat petunjuknya