Latar Belakang Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Munculnya Golput (Studi Masyarakat Kecamatan Medan Amplas Pada Pemilu Legislatif Tahun 2009)

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Partisipasi politik dalam negara demokrasi merupakan indikator implementasi penyelenggaraan kekuasaaan negara tertinggi yang absah oleh rakyat kedaulatan rakyat, yang dimanifestasikan keterlibatan mereka dalam pesta demokrasi Pemilu. Semakin tinggi tingkat partisipasi politik mengindikasikan bahwa rakyat mengikuti dan memahami serta melibatkan diri dalam kegiatan kenegaraan. Sebaliknya tingkat partisipasi politik yang rendah pada umumnya mengindikasikan bahwa rakyat kurang menaruh apresiasi atau minat terhadap masalah atau kegiatan kenegaraan. Rendahnya tingkat partisipasi politik rakyat direfleksikan dalam sikap golongan putih golput dalam pemilu. Sebagai konsekuensi negara demokrasi, Indonesia telah menyelenggarakan sepuluh kali pemilihan umum Pemilu secara reguler, yaitu Tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004 dan 2009 untuk pemilihan calon legislatif Pileg dan pemilihan calon presiden dan wakil presiden Pilpres. Secara spesifik dunia internasional memuji, bahwa Pemilu Tahun 1999 sebagai Pemilu pertama di era Reformasi yang telah berlangsung secara aman, tertib, jujur, dan adil dipandang memenuhi standar demokrasi global dengan tingkat partisipasi politik 92,7, sehingga Indonesia dinilai telah melakukan lompatan demokrasi. Namun jika dilihat dari aspek partisipasi politik dalam sejarah pesta demokrasi di Indonesia, Pemilu tahun 1999 merupakan awal dari penurunan tingkat partisipasi politik pemilih, atau mulai meningkatnya golongan putih golput, dibandingkan dengan Pemilu sebelumnya dengan tingkat partisipasi politik pemilih tertinggi 96,6 pada Pemilu tahun 1971. Lebih-lebih jika dinilai Universitas Sumatera Utara dengan penyelenggaraan Pilkada Pemilihan Kepala Daerah sebagai bagian dari Pemilu yang telah berlangsung di beberapa daerah, terutama di wilayah Jawa sebagai konsentrasi mayoritas penduduk Indonesia juga menunjukkan potensi Golput yang besar berkisar 32 sampai 41,5. Realitas tersebut mengindikasikan bahwa telah terjadi apatisme di kalangan pemilih, di saat arus demokratisasi dan kebebasan berpolitik masyarakat sedang marak-maraknya. Fenomena tersebut sepertinya menguatkan pernyataan Anthony Giddens 1999 dalam bukunya Runaway World, How Globalisation is Reshaping Our Lives. “haruskah kita menerima lembaga-lembaga demokrasi tersingkir dari titik di mana demokrasi sedang marak”. Tentunya potensi Golput dalam pesta demokrasi nasional maupun lokal tersebut kiranya cukup mengkhawatirkan bagi perkembangan demokrasi yang berkualitas. Sebab potensi Golput yang menunjukkan eskalasi peningkatan dapat berimplikasi melumpuhkan demokrasi, karena merosotnya kredibilitas kinerja partai politik sebagai mesin pembangkit partisipasi politik. Partisipasi politik yang meluas merupakan ciri khas modernisasi politik. Istilah partisipasi politik telah digunakan dalam berbagai pengertian yang berkaitan dengan perilaku, sikap dan persepsi yang merupakan syarat mutlak bagi partisipasi politik. Huntington dan Nelson dalam bukunya Partisipasi Politik di Negara Berkembang memaknai partisipasi politik sebagai : By political participation we mean activity by private citizens designed to influence government decision-making. Participation may be individual or collective, organized or spontaneous, sustained or sporadic, peaceful or violent, legal or illegal, effective or ineffective. partisipasi politik adalah kegiatan warga Negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh Pemerintah. Partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadik, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau illegal, efektif atau tidak efektif. 1 Dalam definisi tersebut partisipasi politik lebih berfokus pada kegiatan politik rakyat secara pribadi dalam proses politik, seperti memberikan hak suara 1 Samuel P Huntington dan Joan Nelson, Partisipasi Politik di Negara Berkembang, Jakarta : Rineka Cipta, 1994, hal. 4 Universitas Sumatera Utara atau kegiatan politik lain yang dipandang dapat mempengaruhi pembuatan kebijakan politik oleh Pemerintah dalam konteks berperan serta dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dengan demikian partisipasi politik tidak mencakup kegiatan pejabat-pejabat birokrasi, pejabat partai, dan lobbyist professional yang bertindak dalam konteks jabatan yang diembannya. Dalam perspektif lain McClosky dalam International Encyclopedia of the Social Science menyatakan bahwa : 2 Kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih pimpinan Negara dan secara langsung atau tidak langsung, mempengaruhi kebijakan Pemerintah public policy. Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai atau kelompok kepentingan, mengadakan hubungan contacting dengan pejabat Pemerintah atau anggota parlemen, dan sebagainya. The term “political participation” will refer to those voluntary activities by which members of a society share in the selection of rulers and, directly or indirectly, in the formation of public policy partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui makna mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa dan secara langsung atau tidak langsung, dalam proses pembentukan kebijakan umum”. Dalam perspektif pengertian yang generik, Budiardjo memaknai partisipasi politik adalah: 3 Merujuk pemikiran politik tersebut dalam konteks sejarah penyelenggaraan pemilihan umum sebagai pesta demokrasi, secara empirik dapat dicermati tingkat partisipasi politik dan perkembangan golput di Indonesia. Salah satu yang terjadi dari Pemilihan Umum hingga saat ini adalah tingginya angka Berbagai definisi partisipasi politik dari para pakar ilmu politik tersebut diatas, secara eksplisit mereka memaknai partisipasi politik bersubstansi core political activity yang bersifat personal dari setiap warga negara secara sukarela untuk berperan serta dalam proses pemilihan umum untuk memilih para pejabat publik, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam proses penetapan kebijakan publik. 2 McClosky, Political Participation, International Encyclopedia of The Social Science, 2nd ed.. New York : The Macmilan Company and Free Press. 1972, hal. 20 3 Miriam, Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 1998, Hal. 183 Universitas Sumatera Utara pemilih yang tidak ikut dalam pemilihan. Tingkat partisipasi politik pada Pemilu rezim Orde Lama 1955, rezim Orde Baru 1971-1997 dan Orde Reformasi periode awal 1999 cukup tinggi, yaitu rata-rata diatas 90, diiringi dengan tingkat Golput yang relatif rendah, yaitu dibawah 10 masih dalam batas kewajaran. Tingkat partisipasi poitik pemilih dalam Pemilu di Indonesia pada Pemilu tahun 1955 mencapai 91,4 dan jumlah Golput mencapai 8,6, pada Pemilu 1971 tingkat partisipasi politik pemilih 96,6 dan jumlah Golput mencapai 3,4 , Pemilu 1977 dan Pemilu 1982 tingkat partisipasi politik pemilih 96,5 dan jumlah Golput mencapai 3,5, pada Pemilu 1987 tingkat partisipasi politik pemilih mencapai 96,4 dan jumlah Golput 3,6, pada Pemilu 1992 tingkat partisipasi politik pemilih mencapai 95,1 dan jumlah Golput mencapai 4,9, pada Pemilu 1997 tingkat partisipasi politik pemilih mencapai 93,6 dan jumlah Golput mencapai 6,4, pada Pemilu 1999 tingkat partisipasi politik pemilih mencapai 92,6 dan jumlah Golput 7,3, pada Pemilu Legislatif tahun 2004 tingkat partisipasi politik pemilih mencapai 84,1 dan jumlah Golput 15,9, pada Pilpres putaran pertama tingkat partisipasi politik pemilih mencapai 78,2 dan jumlah Golput 21,8, sedangkan pada Pilpres putaran kedua tingkat partisipasi politik pemilih mencapai 76,6 dan jumlah Golput 23,4. Pada Pemilu Legislatif tahun 2009 tingkat partisipasi politik pemilih semakin menurun yaitu hanya mencapai 70,9 dan jumlah Golput semakin meningkat yaitu 29,1 dan pada Pilpres 2009 tingkat partisipasi politik pemilih mencapai 71,7 dan jumlah Golput mencapai 28,3. Selanjutnya secara eksplisit, Huntington dan Nelson membedakan partisipasi politik kedalam dua karakter, yaitu: a. Partisipasi yang demokratis dan otonom adalah bentuk partisipasi politik yang sukarela; Universitas Sumatera Utara b. Partisipasi yang dimanipulasi, diarahkan, dan disponsori oleh Pemerintah adalah bentuk partisipasi yang dimobilisasikan; 4 Di era Orde Baru partisipasi politik yang dimobilisasikan merupakan kontribusi hasil mobilisasi politik yang dilakukan oleh jaringan aparat birokrasi pemerintahan Orde Baru, bersinergi dengan dukungan pengaruh para tokoh-tokoh masyarakat karismatik sebagai panutan yang telah dikooptasi oleh birokrasi pemerintahan sebagai wasit, namun ikut bermain politik sebagai orang Golkar. Kinerja kolaboratif tersebut membuktikan mampu menekan presentase tingkat Golput. Secara prediktif jika kondisi politik dan ekonomi kurang kondusif, maka penyelenggaraan Pileg dan Pilpres 2009 nampaknya juga akan menghadapi realitas kondisional, yaitu di satu sisi penurunan partisipasi politik pemilih, dan di sisi lain meningkatnya jumlah Golput, sehingga akan timbul apatisme politik, seperti dikemukakan oleh McClosky bahwa: Ada yang tidak ikut pemilihan karena sikap acuh tak acuh dan tidak tertarik oleh, atau kurang paham mengenai, masalah politik. Ada juga karena tidak yakin bahwa usaha untuk mempengaruhi kebijakan Pemerintah akan berhasil dan ada juga yang sengaja tidak memanfaatkan kesempatan memilih karena kebetulan berada dalam lingkungan dimana ketidaksertaan merupakan hal yang terpuji. 5 Banyak pandangan tentang pilihan Golput tersebut dan semakin banyaknya masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu atau biasa disebut sebagai kelompok golput. Setidak-tidaknya ada beberapa hal penting tentang kenapa harus menggunaan hak pilihnya dengan baik. Pertama, pilihan untuk tidak memilih golput merupakan bentuk pemborosan terhadap anggaran belanja Negara untuk pemilu dan APB daerah untuk pilkada. Padahal, dalam momentum pemilu maupun pilkada, tidak sedikit dana yang dikeluarkan. Kedua, golput juga akan menguntungkan calon yang belum tentu berkualitas atau disukai. Artinya, calon bisa menang hanya dengan perolehan suara rendah atau hanya 4 Samuel P Huntington dan Joan Nelson, op.cit, Hal. 11 5 Arbi Sanit Eds, op.cit, hal.20 Universitas Sumatera Utara mempunyai basis massa sedikit karena lebih banyak masyarakat yang golput. Ini mengakibatkan legitimasi kekuasaan calon terpilih akan berkurang. Dalam pemilihan secara langsung seperti saat ini, maka calon yang terpilih akan merasa bahwa ia pilihan “rakyat” dan bebas melakukan apa yang dikehendakinya. Justru hal ini menjadi bumerang bagi golput. Sehingga, hal yang perlu dilakukan agar dapat mencegah golput yaitu : yang penting adalah melakukan gerakan kultural untuk mengembalikan semangat memilih, menggunakan hak pilih dalam pemilu maupun pilkada untuk melawan budaya golput. Bisa dilakukan kampanye besar-besaran, melibatkan semua kelompok dalam masyarakat. Dan perlunya adanya pendidikan dan sosialisasi politik kepada pemilih, khususnya bagi pemula untuk tidak menjadi golput dan memahami arti pentingnya partisipasi masyarakat dalam Pemilu. Di Indonesia orang-orang yang tidak ikut memilih disebut dengan istilah golput golongan putih. Istilah ini muncul tahun 1970-an, mengacu pada sikap dan tindakan politik untuk tidak berpartisipasi dalam pemilu orde baru karena dinilai tidak demokratis. Menurut Arbi Sanit, fenomena golput ini memiliki keterkaitan terhadap legitimasi penguasa dan legitimasi sistem politik. 6 6 Tim Litbang Kompas, Geliat Golongan Putih Makin Tampak Dari Masa ke Masa, Kompas Edisi 24 Februari 2004, hal. 7 Pada Pemilu 1971, misalnya, Golput diproklamasikan sebagai cara protes terhadap penguasa Orde Baru yang cenderung memusatkan kekuasaan sehingga menghambat pengembangan demokrasi. Di mata para pemprotes, Pemilu 1971 tidak lebih sebagai ajang pemberian legitimasi kepada penguasa. Demikian juga pada Pemilu 1977 sampai 1987 yang difungsikan untuk menghimpun legitimasi bagi keutuhan format politik Orde Baru, yang terkonsentrasi pada satu pusat kekuasaan. Di samping itu, mereka memprotes pemilu yang tidak lebih Cuma bertujuan mencari legitimasi bagi pembangunan yang ditandai oleh pertumbuhan ekonomi dan melebarnya ketimpangan sosial. Universitas Sumatera Utara Pada masa reformasi sekarang ini pemaknaan istilah golput telah mengalami pergeseran. Hal itu tidak terlepas adanya perubahan paradigma bahwa memilih bukanlah seperti yang terjadi pada masa orde baru melainkan hak pemilih untuk ikut atau tidak dalam pemilupilkada. Seirimg dengan perubahan paradigma tersebut istilah golput pada saat ini merupakan penyebutan untuk orang-orang yang tidak ikut dalam pemilu atau pilkada. Dengan hanya melihat hasil pemilu atau pilkada maka golput tidak mungkin terdeteksi dengan baik. Sebab hasil pemilu tidak pernah disertai informasi alasan mengapa pemilih ikut memilih, tidak ikut memilih, atau memilih secara salah. Meskipun tingginya angka golput menjadi gejala umum dalam Pemilu Legislatif di banyak wilayah dan kemungkinan fenomena Golput ini juga akan menjadi gejala umum Pemilu Presiden di masa mendatang hingga saat ini belum ada penjelasan yang memadai apa yang menyebabkan seorang pemilih memilih tidak menggunakan hak pilihnya. Berbagai penjelasan mengenai golput di Indonesia hingga saat ini masih didasarkan pada asumsi dan belum didasarkan pada riset yang kokoh. Pengamat dan penyelenggara Pemilu memang kerap melontarkan pendapat tentang penyebab rendahnya tingkat partisipasi pemilih. Tetapi berbagai penjelasan itu didasarkan pada pengamatan dan bukan berdasarkan hasil riset. Hingga saat ini, ada sejumlah penjelasan yang dikemukakan oleh para pengamat atau penyelenggara Pemilu tentang penyebab adanya Golput. Pertama, administratif. Seorang pemilih tidak ikut memilih karena terbentur dengan prosedur administrasi seperti tidak mempunyai kartu pemilih, tidak terdaftar dalam daftar pemilih dan sebagainya. Kedua, teknis. Seseorang memutuskan tidak ikut memilih karena tidak ada waktu untuk memilih seperti harus bekerja di hari pemilihan, sedang ada keperluan, harus ke luar kota di saat hari pemilihan dan sebagainya. Ketiga, rendahnya keterlibatan atau ketertarikan pada politik political engagement. Seseorang tidak memilih karena tidak merasa tertarik dengan politik, acuh dan tidak memandang Pemilu atau Pilkada sebagai hal yang penting. Keempat, kalkulasi rasional. Pemilih memutuskan tidak menggunakan hak Universitas Sumatera Utara pilihnya karena secara sadar memang memutuskan untuk tidak memilih. Pemilu legislatif dipandang tidak ada gunanya, tidak akan membawa perubahan berarti. Atau tidak ada calon kepala daerah yang disukai dan sebagainya. 7 7 Eriyanto, Golput Dalam Pilkada, Kajian Bulanan LSI Edisi 05 September 2007, dikutip dari www.lsi.co.id Maka dari penjelasan di atas, masyarakat golongan putih golput terbagi atas dua bagian, yaitu masyarakat yang tidak terdaftar sebagai pemilih pada pemilihan dan masyarakat yang terdaftar sebagai pemilih tetapi tidak menggunakan hak pilihnya pada pemilihan. Dalam hal ini penulis akan meneliti masyarakat golongan putih yang telah terdaftar sebagai pemilih tetapi tidak menggunakan hak pilihnya pada pemilu legislatif. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi masyarakat tersebut sehingga tidak menggunakan hak pilihnya pada pemilu legislatif. Mana penjelasan yang lebih cocok untuk fenomena ini, hal ini menjadi latar belakang peneliti untuk fenomena golput sehingga dapat mengetahui apa yang menyebabkan pemilih tidak menggunakan hak pilihnya. Faktor-faktor apa sajakah yang menimbulkan perilaku ini yang akan menjadi fokus dalam penelitian ini. Pemilu legislatif secara langsung pada tanggal 09 April 2009 berlangsung serentak di seluruh wilayah Indonesia termasuk di Kecamatan Medan Amplas. Kecamatan Medan Amplas yang merupakan salah satu kecamatan di kota Medan juga melaksanakan pemilu legislatif secara bersamaan. Dalam hasil pemilihan, ternyata masih didapati jumlah masyarakat yang terdaftar sebagai pemilih tetapi tidak menggunakan hak pilihnya pada pemilihan umum legislatif yaitu sekitar 51.83 . Padahal jumlah suara yang tidak ikut memilih cukup besar dan sangat berpengaruh pada hasil pemilihan umum legislatif tersebut. Sedangkan rakyat telah diberikan hak untuk memilih secara langsung calon anggota legislatif periode 2009–2014. Universitas Sumatera Utara Tingginya angka golput di Kecamatan Medan Amplas disebabkan oleh menurunnya tingkat kepercayaan kepada penyelenggaraan pemilu dan peserta pemilu. Sehingga masyarakat di Medan Amplas beranggapan ikut atau tidak dalam Pemilu tidak memberikan perubahan yang berarti bagi kehidupan keluarga. Dengan alasan inilah yang menjadi salah satu alasan penulis memilih Kecamatan Medan Amplas sebagai lokasi penelitian.

2. Perumusan Masalah