Sistem Pemilihan Umum Kerangka Teori

berdampak atas diri si pemilih. Sikap mereka setengah-setengah memandang proses pemilihan suara pada hari H, antara percaya dan tidak percaya. Ketiga, golput politis, yakni golput yang dilakukan akibat pilihan-pilihan politik. Kelompok ini masih percaya kepada negara, juga percaya kepada pemilu, tetapi memilih golput akibat preferensi politiknya berubah atau akibat sistemnya secara sebagian merugikan mereka. Sedangkan menurut Novel Ali, di Indonesia terdapat dua kelompok golput. 25 25 Novel Ali, Peradaban Komunikasi Politik, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 1999, hal. 22 Pertama, adalah kelompok golput awam. Yaitu mereka yang tidak mempergunakan hak pilihnya bukan karena alasan politik, tetapi karena alasan ekonomi, kesibukan dan sebagainya. Kemampuan politik kelompok ini tidak sampai ke tingkat analisis, melainkan hanya sampai tingkat deskriptif saja. Kedua, adalah kelompok golput pilihan. Yaitu mereka yang tidak bersedia menggunakan hak pilihnya dalam pemilu benar-benar karena alasan politik. Misalnya tidak puas dengan kualitas partai politik yang ada. Atau karena mereka menginginkan adanya satu organisasi politik lain yang sekarang belum ada. Maupun karena mereka mengkehendaki pemilu atas dasar sistem distrik, dan berbagai alasan lainnya. Kemampuan analisis politik mereka jauh lebih tinggi disbanding golput awam. Golput pilihan ini memiliki kemampuan analisis politik yang tidak Cuma berada pada tingkat deskripsi saja, tapi juga pada tingkat evaluasi.

4.5. Sistem Pemilihan Umum

Konsep yang berkaitan erat dengan badan perwakilan rakyat ialah berupa sistem pemilihan umum. Hal ini disebabkan salah satu fungsi sistem pemilihan umum ialah mengatur prosedur seseorang untuk dipilih menjadi anggota badan perwakilan rakyat atau menjadi kepala pemerintahan. Oleh karena itu, berikut ini diuraikan sistem pemilihan umum. Universitas Sumatera Utara Setiap sistem pemilihan umum, yang biasanya diatur dalam peraturan perundang-undangan, setidak-tidaknya mengandung tiga variabel pokok, yaitu penyuaraan balloting, distrik pemilihan electoral district, dan formula pemilihan. 26 Amerika Serikat mempertimbangkan kedua faktor itu. Setiap negara bagian tidak peduli luas wilayah dan jumlah penduduknya mempunyai dua kursi untuk Senat. Jumlah Dewan Perwakilan Rakyat House of Refresentatives per negara bagian ditentukan berdasarkan jumlah penduduk. Walaupun demikian, pemilihan anggota kedua badan ini dilakukan menurut prinsip satu kursi per Pertama, penyuaraan. Artinya, tata cara yang harus diikuti pemilih yang berhak dalam memberikan suara. Apakah pemilih diperkenankan memilih salah satu alternatif categorical atau pemilih diperkenankan mendistribusikan suaranya kepada beberapa alternatif sesuai dengan peringkat yang dikehendaki ordinal. Pilihan yang dihadapi pemilih terdiri atas tiga kemungkinan, yakni memilih partai, memilih calon, atau keduanya partai politik dengan daftar calonnya. Variabel penyuaraan ini terdapat di negara-negara yang menganut sistem politik demokrasi yang menjamin kemajemukan pluralism, sedangkan pemilihan umum di negara-negara komunis tidak mempunyai alternatif terhadap partai politik ataupun calon. Dalam sistem politik yang terakhir ini, pemilih dihadapkan pada seorang calon dari satu partai sehingga pemilih menentukan ”ya” atau ”tidak” terhadap calon tunggal. Kedua, daerah pemilihan electoral district. Artinya, ketentuan yang mengatur berapa jumlah kursi wakil rakyat untuk setiap daerah pemilihan. Apakah satu kursi per distrik single member district atau lebih dari satu kursi per daerah pemilihan. Dalam menentukan daerah pemilihan ini setidak-tidaknya dua faktor selalu dipertimbangkan, yakni wilayah administrasi pemerintahan dan jumlah penduduk. 26 Douglas W. Rae, The Political Conquences of Electoral Laws, New Haven : Yale University Press, 1967, hal. 6-39 Universitas Sumatera Utara distrik. Namun, luas wilayah distrik untuk Senat berbeda dengan luas distrik untuk anggota DPR. Menurut Undang-Undang Pemilihan Umum Nomor 1 Tahun 1985 Indonesia menganut ketentuan banyak kursi per daerah pemilihan. Dalam Undang-Undang tentang susunan dan kedudukan badan-badan perwakilan rakyat sudah ditentukan jumlah anggota DPRDPRD IDPRD II per daerah pemilihan. Partai politik peserta pemilihan umum akan mendapat kursi sesuai dengan jumlah suara yang diperoleh di daerah pemilihan. Variabel yang kedua ini berkaitan erat dengan variabel ketiga, yaitu variabel formula pemilihan. Ketiga, formula pemilihan. Artinya, rumus yang digunakan untuk menentukan siapa atau partai politik apa yang memenangkan kursi di suatu daerah pemilihan. Formula pemilihan dibedakan menjadi tiga, yakni formula pluralitas, formula mayoritas, dan formula perwakilan berimbang proportional refresentation. Apabila menggunakan formula pluralitas maka seseorang atau suatu partai dapat dikatakan menang pada suatu daerah pemilihan manakala orangpartai tersebut berhasil memperoleh suara lebih banyak daripada calon- calon atau partai-partai lain tidak peduli apakah bedanya satu suara atau lebih. Pemilihan anggota Kongres di Amerika Serikat menggunakan formula pluralitas. Apabila menggunakan formula mayoritas maka seseorang calon atau partai harus mencapai suara terbanyak dengan rumus : 50+1. Rumus ini berguna untuk dapat ditetapkan sebagai memenangkan satu kursi di satu daerah pemilihan. Atau dalam bahasa yang lebih abstrak, kalau menggunakan formula mayoritas seorang calon atau partai harus mencapai suatu jumlah suara yang melebihi kombinasi jumlah suara yang diperoleh calon-calon atau partai lain. Lalu menurut formula perwakilan berimbang, setiap partai politik akan memperoleh kursi sesuai dengan jumlah suara yang diperoleh. Apabila lebih dahulu jumlah pemilih yang menggunakan haknya dibagi dengan jumlah kursi yang ditetapkan untuk daerah pemilihan yang bersangkutan, untuk kemudian kursi dibagi berdasarkan jumlah suara yang diperoleh oleh setiap partai peserta pemilihan umum. Universitas Sumatera Utara Ketiga variabel itu bersifat saling berhubungan. Dari ketiga variabel ini, variabel ketiga yang terpenting karena kedua variabel lainnya adakalanya merupakan konsekuensi logis dari yang pertama. Itu sebabnya, setiap sistem pemilihan umum ditandai dengan formula pemilihan yang digunakan. Apabila formula pemilihan pluralitas yang digunakan maka sistem penyuaraan yang digunakan cenderung bersifat kategoris, dan daerah pemilihan yang digunakan biasanya sistem distrik satu kursi per distrik. Sebaliknya, apabila formula perwakilan berimbang yang digunakan maka daerah pemilihan yang digunakan cenderung banyak kursi per distrik, sedangkan sistem penyuaraan yang digunakan dapat keduanya. Dalam sistem pemilihan yang menggunakan formula pluralitas, pemilih biasanya memilih calon-calon dari berbagai partai politik seorang calon per partai. Lalu yang menggunakan formula perwakilan berimbang, para pemilih yang memilih partai politik yang telah menyusun program dan calon-calonnya. Italia menggunakan cara yang terakhir ini. Namun, pemilih diminta menuliskan nama calon yang dikehendaki dari partai politik yang dipilih. Sementara itu, sistem pemilihan umum di Indonesia menggunakan formula perwakilan berimbang, tetapi pemilih memilih partai politik yang telah menyusun program dan daftar urutan calon sehingga pemilih praktis tidak memilih nama calon yang dikehendaki. Keterangan di atas merupakan pola umum, sebab dalam kenyataan hampir semua negara memiliki kekhususan dalam sistem pemilihan umum sesuai dengan karakteristik sistem politik yang bersangkutan. Karakteristik formula pluralitas ialah secara perhitungan jumlah dapat dikatakan kurang adil karena suara yang dikumpulkan calon-calon lain dapat saja melebihi perolehan suara pemenangnya, tetapi secara praktis lebih mudah dilaksanakan, cenderung mematikan partai kecil sehingga cenderung menciptakan sistem dua partai bersaingan. Partai yang secara nasional memperoleh minoritas suara dapat memperoleh mayoritas kursi di badan Universitas Sumatera Utara perwakilan rakyat atau sebaliknya. Selain itu, cenderung menciptakan pemerintahan yang mayoritas. 27 Formula mayoritas biasanya diterapkan dengan negara yang mempunyai banyak partai, dan negara yang mempunyai partai tunggal. Pemilihan umum dalam negara yang menganut sistem banyak partai cenderung menghasilkan pemerintahan koalisi. Pemerintahan koalisi ini dianggap rapuh dan kurang menciptakan pemerintahan yang stabil. Oleh karena itu, formula mayoritas sengaja digunakan sebagai sarana menghasilkan pemerintahan yang didukung mayoritas sehingga stabil. Karena cenderung menciptakan sistem dua partai bersaingan maka alternatif yang muncul bagi para pemilih menjadi terbatas. Formula pluralitas dapat diterapkan dengan baik apabila memenuhi kondisi-kondisi berikut ini. Pertama, distribusi jumlah pemilih untuk setiap distrik daerah pemilihan relatif seimbang, dan penetapan batas wilayah distrik yang relatif adil. Kedua, tidak terdapat suatu golongan etnis, ras atau agama yang secara jumlah merupakan mayoritas menguasai partai politik tertentu. Apabila terdapat ”mayoritas terkristalisasi” ini maka komunikasi dan kompromi diantara partai politik cenderung tidak mungkin terjadi karena partai yang mayoritas dari golongan tertentu cenderung memaksakan kehendaknya seperti yang terjadi di Afrika Selatan. Dengan kata lain, masyarakat secara kultural harus relatif homogen. Ketiga, bangsa-negara yang bersangkutan memiliki peserta pemilihan umum partai politik pada dasarnya tidak lagi memiliki perbedaan ideologi yang tajam, melainkan perbedaan dalam titik berat program saja seperti Amerika Serikat dan Inggris. Keempat, para pemilih dan wakil rakyat memiliki hubungan yang intim karena setiap wakil rakyat memiliki batas wilayah dan para pemilih yang jelas. Pemilih mengetahui dengan jelas kepada siapa ia harus menyampaikan tuntutan dan dukungan, sedangkan wakil rakyat juga mengetahui kepada siapa ia harus bertanggung jawab. 27 Milnor, A.J, Elections and Political Stability, Boston, MA : Little, Brown and Company, 1969, hal. 18-38 Universitas Sumatera Utara Dalam undang-undang pemilihan umum ditetapkan ketentuan bahwa seorang kandidat dari partai tertentu dapat ditetapkan sebagai pemenang apabila ia berhasil mengumpulkan jumlah suara mayoritas mayoritas sederhana 50 + 1 atau mayoritas mutlak 75. Dalam undang-undang itu pula ditetapkan ketentuan lain apabila dalam pemilihan umum pertama tidak tercapai suara mayoritas maka akan diadakan pemilihan umum kedua dengan peserta yang lebih terbatas biasanya dua besar. Formula pemilihan yang diterapkan pada pemilihan umum tahap kedua ini biasanya bukan lagi formula mayoritas, melainkan pluralitas sehingga kemungkinan besar akan terbentuk pemerintahan yang sah. Prancis adalah satu dari sedikit negara yang menerapkan formula ini. Negara yang menerapkan bentuk partai tunggal totaliter negara-negara komunis cenderung menggunakan formula mayoritas untuk menentukan pemenang dalam pemilihan umum yang bersifat meminta persetujuan massa akan calon tunggal yang ditawarkan partai komunis. Karena tidak ada alternatif pilihan yang ditawarkan kepada massa maka formula pluralitas dan perwakilan berimbang tidak mungkin diterapkan dalam negara totaliter seperti ini. Tujuan utama penerapan formula perwakilan berimbang untuk menghasilkan suatu badan perwakilan rakyat yang merupakan replika kehendak rakyat pada waktu pemilihan umum diselenggarakan. Formula ini mencakup masyarakat pemilih yang lebih luas karena para pemilih yang buta huruf sekalipun, dapat dengan mudah memberikan suaranya. Sistem pemilihan ini cenderung menempatkan partai dalam kedudukan berdaulat sebab dalam pemilihan umum para pemilih memilih partai bukan memilih calon. Di samping itu, sistem ini memiliki kelebihan lain yang tidak dimiliki formula pluralitas dan mayoritas. Maksudnya, tidak ada suara yang terbuang atau suara yang terabaikan sebab setiap partai mendapatkan kursi sejumlah suara yang diperolehnya dalam pemilihan umum. Titik lemah sistem ini, yakni sukar mencapai pemerintahan yang mayoritas. Universitas Sumatera Utara Pada dasarnya ada tiga hal dalam tujuan pemilihan umum. 28 Pertama, sebagai mekanisme untuk menyeleksi para pemimpin pemerintahan dan alternatif kebijakan umum. Sesuai dengan prinsip demokrasi yang memandang rakyat yang berdaulat, tetapi pelaksanaannya dilakukan oleh wakil-wakilnya demokrasi perwakilan. Oleh karena itu, pemilihan umum merupakan mekanisme penyeleksian dan pendelegasian atau penyerahan kedaulatan kepada orang atau partai yang dipercayai. Untuk menentukan alternatif kebijakan yang harus ditempuh oleh pemerintah biasanya yang menyangkut hal yang prinsipil beberapa negara menyelenggarakan pemilihan umum sebagai mekanisme penyeleksian kebijakan umum. Biasanya rakyat yang memilih diminta untuk menyatakan ”setuju” atau ”tidak setuju” terhadap kebijakan yang ditawarkan pemerintah. Pemilihan umum untuk menentukan kebijakan umum yang fundamental ini disebut referendum. Kedua, pemilihan umum juga dapat dikatakan sebagai mekanisme memindahkan konflik kepentingan dari masyarakat kepada badan-badan perwakilan rakyat melalui wakil-wakil rakyat yang terpilih atau melalui partai- partai yang memenangkan kursi sehingga integrasi masyarakat tetap terjamin. Hal ini didasarkan atas anggapan di dalam masyarakat terdapat berbagai kepentingan yang tidak hanya berbeda, tetapi juga kadang-kadang malahan saling bertentangan, dan dalam sistem demokrasi perbedaan atau pertentangan kepentingan tidak diselesaikan dengan kekerasan, melainkan melalui proses musyawarah deliberation. Ketiga, pemilihan umum merupakan sarana memobilisasikan danatau menggalang dukungan rakyat terhadap negara dan pemerintahan dengan jalan ikut serta dalam proses politik. Hal yang ketiga ini tidak hanya berlaku di negara- negara berkembang, tetapi juga di negara-negara yang menganut demokrasi liberal negara-negara industri maju, kendati sifatnya berbeda. 28 Phillips, W. Shively, Power and Choice : An Introduction to Political Science, New York : Random House, 1987, hal. 138-147. Universitas Sumatera Utara 5. Metodologi Penelitian 5.1. Jenis Penelitian Menurut Hadari Nawawi, 29 29 Nawawi, Hadari, Metodologi Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1987, hal. 63 metode penelitian deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan subjek atau objek penelitian seseorang, lembaga, masyarakat dan lain-lain pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya. Penelitian deskriptif melakukan analisis dan menyajikan data-data dan fakta-fakta secara sistematis sehingga dapat dipahami dan disimpulkan. Tujuan penelitian deskriptif analisis adalah untuk membuat gambaran secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau daerah tertentu. Disamping itu penelitian ini juga menggunakan teori-teori, data-data dan konsep-konsep sebagai kerangka acuan untuk menjelaskan hasil penelitian, menganalisis dan sekaligus menjawab persoalan yang diteliti. Oleh karena itu jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif.

5.2 Lokasi Penelitian

Penelitian ini mengambil lokasi penelitian pada Kecamatan Medan Amplas. 5.3 Populasi dan Sampel 5.3.1 Populasi Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat yang terdaftar di Data Pemilih Tetap pada Pemilihan Presiden 2009. Universitas Sumatera Utara