Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Golongan Putih ( GOLPUT ) Dalam Pemilu Legislatif 2009 ( Studi Deskriptif Pada Masyarakat Kecamatan Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara ).

(1)

SKRIPSI

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT

GOLONGAN PUTIH ( GOLPUT ) DALAM PEMILU LEGISLATIF 2009 ( Studi Deskriptif Pada Masyarakat Kecamatan Tarutung Kabupaten

Tapanuli Utara ) D

I S U S U N OLEH:

HARIMAN SILALAHI 040905057

DEPARTEMEN ANTROPOLOGI SOSIAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK DEPARTEMEN ANTROPOLOGI SOSIAL HARIMAN SILALAHI ( 040905057 )

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Golongan Putih ( GOLPUT ) Dalam Pemilu Legislatif 2009 ( Studi Deskriptif Pada Masyarakat

Kecamatan Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara ).

ABSTRAK

Penelitian ini mencoba mengetahui tentang Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Golongan Putih ( GOLPUT ) Dalam Pemilu Legislatif 2009 ( Studi Deskriptif Pada Masyarakat Kecamatan Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara ), dalam pelaksanaan pemilu saat ini banyak masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya pada saat pemilihan umum padahal mereka terdaftar sebagai pemilih pada pemilihan umum Legislatif tersebut. Dengan melihat keadaan ini, maka penelitian ini ingin mencoba meneliti apa yang menjadi Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Golongan Putih ( GOLPUT ) Dalam Pemilu Legislatif 2009 Pada Masyarakat Kecamatan Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara.

Teori yang digunakan dalam menjelaskan permasalahan tersebut adalah Teori Partisipasi Poliitik, Motivasi melakukan Aktifitas Politik dalam Pemilihan Calon Legislatif di Kecamatan Tarutung Kabupaten Tapanuli Utata. Adapun metodologi penelitian yang digunakan adalah metode kuantitatif dengan metode deskriptif dengan sampel 98 orang masyarakat di Kecamatan Tarutung. Factor latar belakang sosial ekonomi seperti pekerjaan , keluarga dan pendidikan sangat memberikan pengaruh kepada masyarakat Kecamatan Tarutung dalam hal tidak ikut memilih pada saat pemilihan berlangsung dan masyarakat Kecamatan Tarutung tidak percaya Pemilu dapat memperbaiki keadaan Ekonomi masyarakat Kecamatan Tarutung. Factor nilai budaya berupa kepercayaan masyarakat Kecamatan Tarutung terhadap salah satu Partai Politik dan Calon legislative tidak ada karena komunikasi politik terhadap masyarakat Kecamatan Tarutung.


(3)

KATA PENGANTAR

Skripsi ini merupakan hasil dari penelitian yang dilakukan oleh penulis terhadap Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Golongan Putih ( GOLPUT ) Dalam Pemilu Legislatif 2009 Pada Masyarakat Kecamatan Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara. Ketertarikan penulis untuk membahas penelitian ini adalah untuk mengetahui secara mendalam faktor-faktor apa yang menyebabkan masyarakat lebih memilih untuk tidak ikut memilih ( Golput ) dalam pemilihan umum Legislatif 2009 yang lalu meskipun mereka tahu dan sadar telah terdaftar sebagai pemilih.

Sehingga dalam skripsi ini penulis mencoba meneliti dengan menggunakan dan menyerahkan kuesioner yang berisikan beberapa pertanyaan yang bersangkutan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku pemilih kepada setiap responden, dan kemudian memaparkan hasil penelitian tersebut dalam bentuk tabel.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh daripada kesempurnaan. Oleh karena itu, mohon kritik dan saran yang diharapkan mampu membangun intelektualitas untuk perbaikan skrpsi ini , sehingga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Desember 2010

Hariman Silalahi ( 040905057 )


(4)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN PERSETUJUAN... i

ABSTRAK... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1. Latar Belakang ... 1

2. Perumusan Masalah ... 8

3. Tujuan Masalah ... 9

4. Kegunaan Penelitian ... 9

5. Tinjauan Pustaka ... 9

6. Metode Penelitian ... 40

6.1. Jenis Penelitian ... 40

6.2. Lokasi Penelitian ... 40

6.3. Populasi dan Sampel ... 40

6.4. Teknik Pengumpulan Data ... 42

6.5. Teknik Analisa Data ... 42

BAB II DESKRIPSI LOKASI ... 43

2.1. Sejarah Singkat Kecamatan Tarutung ... 43

2.2. Letak dan Geografis Kecamatan Tarutung ... 46

2.3. Luas wilayah dirinci per Kelurahan/Desa di Kecamatan Tarutung ... 46


(5)

2.4. Jumlah Pegawai Negeri Sipil Tingkat Kecamatan

Menurut Instansi/Kantor dan Golongan Kepangkatan .. 47 2.5. Jumlah penduduk, Luas Desa/ Kelurahan, kepadatan

penduduk per Km di Kecamatan Tarutung ... 48 2.6. Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin Per Desa /

Kelurahan ... 50 BAB III PENYAJIAN DAN ANALISA DATA ... 52 3.1. Penyajian Data ... 52 1. Kateristik Jawaban Responden Berdasarkan Umur . 52 2. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis

Kelamin ... 53 3. Karakteristik Responden Berdasarkan Suku ... 54 4. Karakteristik Responden Berdasarkan Agama ... 54 5. Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan .. 55 6. Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan

Utama ... 56 3. Faktor – faktor yang mempengaruhi Golput 58

7. Distribusi Jawaban Responden Alasan Tidak

Memilih ... 58 8. Distribusi Jawaban Responden Tentang Tanggapan

Pemilu ... 59 9. Distribusi Jawaban Responden Harapan Akan


(6)

10. Distribusi Jawaban Responden Perlu Untuk

Mengikuti Pemilu ... 61

11. Distribusi Jawaban Responden visi dan misi Partai Dalam Hal Tidak Memilih ... 62

12. Disitribusi Jawaban Partai Politik Memperjuangkan Kepentingan Masyarakat ... 63

13. Distribusi Jawaban Responden Partai Politik Dalam Sosialisasi Poltik ... 64

14. Distribusi Jawaban Partai Politik Melakukan Rekrutmen politik ... 65

15. Distribusi Jawaban Partai Politik Melakukan Komunikasi Politik ... 66

16. Distribusi Jawaban Isu Agama mempunyai Pengaruh Untuk Tidak Memilih ... 68

17. Distribusi Jawaban Isu Ekonomi Mempunyai Pengaruh Untuk Tidak Memilih ... 69

18. Keluarga Memberikan Pengaruh Untuk Tidak Memilih ... 70

BAB IV ANALISA DATA ... 71

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 80

5.1. Kesimpulan ... 80

5.2. Saran ... 83


(7)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 2.1. Nama-nama Camat yang Pernah Menjabat di Kecamatan

Tarutung ... 45

Tabel 2.3. Luas wilayah dirinci per Kelurahan/Desa di Kecamatan Tarutung ... 46

Tabel 2.4. Jumlah Pegawai Negeri Sipil Tingkat Kecamatan Menurut Instansi/Kantor dan Golongan Kepangkatan ... 47

Tabel 2.5. Jumlah penduduk, Luas Desa/ Kelurahan, kepadatan penduduk per Km di Kecamatan Tarutung ... 48

Tabel 2.6. Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin Per Desa/Kelurahan ... 50

Tabel 3.1. Karakteristik Jawaban Responden Berdasarkan Umur ... 52

Tabel 3.2. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 53

Tabel 3.3. Karakteristik Responden Berdasarkan Suku ... 54

Tabel 3.4. Karakteristik Responden Berdasarkan Agama ... 54

Tabel 3.5. Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan ... 55

Tabel 3.6. Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan Utama . 56 Tabel 3.7. Distribusi Jawaban Responden Alasan Tidak Memilih .... 57

Tabel 3.8. Distribusi Jawaban Responden Tentang Tanggapan Pemilu ... 59

Tabel 3.9. Distribusi Jawaban Responden Harapan Akan Perubahan 60

Tabel 3.10. Distribusi Jawaban Responden Perlu Untuk Mengikuti Pemilu ... 61


(8)

Tabel 3.11. Distribusi Jawaban Responden visi dan misi Partai Dalam

Hal Tidak Memilih ... 61 Tabel 3.12. Disitribusi Jawaban Partai Politik Memperjuangkan

Kepentingan Masyarakat ... 62 Tabel 3.13. Distribusi Jawaban Responden Partai Politik Dalam

Sosialisasi Poltik ... 63 Tabel 3.14. Distribusi Jawaban Partai Politik Melakukan Rekrutmen

politik ... 65 Tabel 3.15. Distribusi Jawaban Partai Politik Melakukan Komunikasi

Politik ... 66 Tabel 3.16. Distribusi Jawaban Isu Agama mempunyai Pengaruh

Untuk Tidak Memilih ... 67 Tabel 3.17. Distribusi Jawaban Isu Ekonomi Mempunyai Pengaruh

Untuk Tidak Memilih ... 68 Tabel 3.18. Keluarga Memberikan Pengaruh Untuk Tidak Memilih ... 69


(9)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK DEPARTEMEN ANTROPOLOGI SOSIAL HARIMAN SILALAHI ( 040905057 )

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Golongan Putih ( GOLPUT ) Dalam Pemilu Legislatif 2009 ( Studi Deskriptif Pada Masyarakat

Kecamatan Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara ).

ABSTRAK

Penelitian ini mencoba mengetahui tentang Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Golongan Putih ( GOLPUT ) Dalam Pemilu Legislatif 2009 ( Studi Deskriptif Pada Masyarakat Kecamatan Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara ), dalam pelaksanaan pemilu saat ini banyak masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya pada saat pemilihan umum padahal mereka terdaftar sebagai pemilih pada pemilihan umum Legislatif tersebut. Dengan melihat keadaan ini, maka penelitian ini ingin mencoba meneliti apa yang menjadi Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Golongan Putih ( GOLPUT ) Dalam Pemilu Legislatif 2009 Pada Masyarakat Kecamatan Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara.

Teori yang digunakan dalam menjelaskan permasalahan tersebut adalah Teori Partisipasi Poliitik, Motivasi melakukan Aktifitas Politik dalam Pemilihan Calon Legislatif di Kecamatan Tarutung Kabupaten Tapanuli Utata. Adapun metodologi penelitian yang digunakan adalah metode kuantitatif dengan metode deskriptif dengan sampel 98 orang masyarakat di Kecamatan Tarutung. Factor latar belakang sosial ekonomi seperti pekerjaan , keluarga dan pendidikan sangat memberikan pengaruh kepada masyarakat Kecamatan Tarutung dalam hal tidak ikut memilih pada saat pemilihan berlangsung dan masyarakat Kecamatan Tarutung tidak percaya Pemilu dapat memperbaiki keadaan Ekonomi masyarakat Kecamatan Tarutung. Factor nilai budaya berupa kepercayaan masyarakat Kecamatan Tarutung terhadap salah satu Partai Politik dan Calon legislative tidak ada karena komunikasi politik terhadap masyarakat Kecamatan Tarutung.


(10)

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

Pemilu legislatif baru saja berakhir, tidak lama lagi akan diselenggarakan Pemilu Presiden. Dalam pelaksanaan Pemilu legislatif ditemukan banyak kekurangan-kekurangan di sana-sini. Bukan hanya dalam prosedur penghitungan suara, namun ternyata dari sisi pemilihnya sendiri masih banyak kekurangannya. Mulai dari tidak terdaftarnya sebagai DPT maupun tidak dimanfaatkannya hak-hak sebagai warga negara yaitu hak-hak pemilih. Menyikapi hal demikian tentunya menuai berbagai keprihatinan berbagai pihak.

Dalam Undang-undang Dasar 1945 disebutkan salah satu hak warga negara yang mendasar adalah hak untuk mempergunakan suaranya, disamping hak-hak warga negara Indonesia yang lainnya. Selain pengaturan hak warga negara untuk memilih dan dipilih juga termuat dalam Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-undang No. 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik.

Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan wahana bagi warga negara untuk menggunakan hak politiknya untuk memilih orang yang dianggapnya layak sebagai wakil yang akan duduk di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), maupun sebagai Presiden dan wakil presien.

Hak memberikan suara atau memilih (right to vote) merupakan hak dasar (basic right) setiap individu/warga negara yang harus dijamin pemenuhannya oleh Negara. Jaminan terhadap hak ini telah dituangkan baik dalam Konstitusi (UUD


(11)

1945-Amandemen) maupun UU, yakni UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 12/2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik.

Hak untuk memilih wakil rakyat atau presiden/wakil presiden sepenuhnya adalah hak asasi subyektif dari setiap individu. Penggunaannya tidak boleh diintervensi oleh siapapun, baik itu negara maupun masyarakat.

Setiap warga negara secara personal bebas menentukan penggunaan hak memilihnya, tanpa takut terhadap ancaman dalam bentuk apapun. Pemenuhan hak tersebut dijamin oleh undang-undang. Untuk itu, negara harus melindungi hak politik warga negara itu dari berbagai ancaman yang berasal dari kelompok masyarakat atau institusi negara. Jaminan perlindungan itulah yang akan menentukan kualitas pemilu.

Pemenuhan hak untuk menggunakan suara dalam Pemilu merupakan hak asasi manusia. Dan untuk penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia, pemenuhan tersebut sudah semestinya dijamin oleh undang-undang. Dalam hal ini Komnas Hak Asasi Manusia beranggapan, hak memberikan suara dalam pemilu juga memberikan hak kepada pemilihnya untuk menggunakannya ataupun tidak. Dengan demikian, setiap orang bebas menggunakan atau tidak menggunakan hak pilihnya itu. Masyarakat atau negara tidak dapat membatasi hak itu dengan melarang, mengkriminalkan atau menjatuhkan sanksi moral terhadap orang yang tidak menggunakan haknya tersebut. 1

1

Kompas Edisi 3 Februari 2009, Penghormatan HAM, Hak Pilih Merupakan Hak Asasi

Individu, hlm 4

Karena sekali lagi hak tersebut menjadi sepenuhnya pilihan dari pemilihnya.


(12)

Sebagai konsekuensi negara demokrasi, Indonesia telah menyelenggarakan sembilan kali pemilihan umum (Pemilu) secara reguler, yaitu Tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, dan 2004, 2009 untuk pemilihan calon legislatif (Pileg) dan pemilihan calon presiden dan wakil presiden (Pilpres). Secara spesifik dunia internasional memuji, bahwa Pemilu Tahun 1999 sebagai Pemilu pertama di era Reformasi yang telah berlangsung secara aman, tertib, jujur, dan adil dipandang memenuhi standar demokrasi global dengan tingkat partisipasi politik 92,7%, sehingga Indonesia dinilai telah melakukan lompatan demokrasi.

Realitas tersebut mengindikasikan bahwa telah terjadi apatisme di kalangan pemilih, di saat arus demokratisasi dan kebebasan berpolitik masyarakat sedang marak-maraknya. Fenomena tersebut sepertinya menguatkan pernyataan Anthony Giddens (1999) dalam bukunya Runaway World, How Globalisation is Reshaping Our Lives. “haruskah kita menerima lembaga-lembaga demokrasi tersingkir dari titik di mana demokrasi sedang marak”2

Namun disisi lain, masyarakat yang memilih tindakan golput, dikarenakan: Pertama, ketidakpercayaan pada kader parpol. Fenomena golput juga dapat

. Tentunya potensi Golput dalam pesta demokrasi nasional maupun lokal tersebut kiranya cukup mengkhawatirkan bagi perkembangan demokrasi yang berkualitas. Sebab potensi Golput yang menunjukkan eskalasi peningkatan dapat berimplikasi melumpuhkan demokrasi, karena merosotnya kredibilitas kinerja partai politik sebagai mesin pembangkit partisipasi politik.

2

Giddens, A. (2000). The third way the renewal of social democracy. Malden: Blackwell Publisher Ltd.


(13)

menjadi simbol ‘warning’ bagi setiap parpol, karena dari beberapa survei yang dilakukan oleh beberapa lembaga survei nasional menunjukkan bahwa kondisi parpol saat ini mengalami krisis kepercayaan dari masyarakat. Kedua, calon tidak memenuhi harapan masyarakat. Ada yang diakibatkan oleh alasan ideologis, atau ada yang dengan alasan kapok karena calon yang ada dianggap tidak capable, tidak dapat dipercaya, melanggar janjinya, dsb. Ketiga, persoalan ekonomi. Masyarakat lebih mengutamakan pekerjaannya, tidak mau meninggalkan pekerjaannya untuk mencoblos. Karena merasa satu sisi jenuh, tidak mau terlibat politik, pada sisi lain juga dihadapkan dengan persoalan domestik yang sangat mendesak. Yakni bagaimana memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Keempat, alasan teknis. Proses pendaftaran pemilih yang masih belum tertib.

Sehingga, hal yang perlu dilakukan agar dapat mencegah golput yaitu : yang penting adalah melakukan gerakan kultural untuk mengembalikan semangat memilih, menggunakan hak pilih dalam pemilu maupun pilkada untuk melawan budaya golput. Bisa dilakukan kampanye besar-besaran, melibatkan semua kelompok dalam masyarakat. Dan perlunya adanya pendidikan dan sosialisasi politik kepada pemilih, khususnya bagi pemula untuk tidak menjadi golput dan memahami arti pentingnya partisipasi masyarakat dalam pemilu

Lemahnya komitmen partai politik dalam menyalurkan aspirasi masyarakat ini sudah dirasakan masyarakat.berdasarkan hasil jejak pendapat yang dilakukan oleh Litbang Kompas, yang diselenggrakan pada bulan September dan November 2008 terungkap, dari dua tiga reponden mengatakan bahwa partai politik saat ini tidak peka dalam menangkap dan menyalurkan aspirasi yang berkembang di dalam masyarakat.


(14)

Bahkan, ketidakyakinan juga muncul terhadap partai-partai baru. Kebanyakan responden merasa tidak yakin partai-partai yang menjadi kontestan dalam pemilu tidak akan mampu memperbaiki kualitas partai politik pada rakyat, menciptakan kondisi politik yang lebih demokratis. Mereka juga tidak mempercayai setiap setiap partai poltik akan mampu melahirkan pemimpin bangsa yang berkualitas. Mereka lebih mempercayai bahwa partai politik yang menjadi kontestan dalam pemilu lebih berorientasi pada uang daripada kehendak untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat.3

3

http//www.kompas.com

Lebih menyedihkan lagi, peran Parpol sejak tahap pengorganisasian internal, penyerapan dan pelaksanaan aspirasi masyarakat, sampai dengan kemampuan mereka dalam mengambil jarak terhadap kebijakan Pemerintah sebagai pengoreksi juga sangat rendah. Yang terjadi, Parpol malah menjadi pemberi stempel dengan melegitimasi kepentingan penguasa. Akibat semua itu sangat wajar jika kini semakin banyak masyarakat yang lebih senang berdiam di rumah atau mengerjakan hal lain ketimbang datang ke tempat pemungutan suara. Fenomena ini bisa menjadi bukti telah terjadi krisis kepercayaan di dalam diri masyarakat terhadap Parpol.

Selalu ada sisi lain dalam setiap perubahan yang dibuat. Diibaratkan api dan air yang bermusuhan sehingga air memperkuat diri menjadi es, namun api melelehkannya. Lalu air berpikir untuk menjadi diri sendiri ”cair” dan akhirnya air mampu memadamkan api. Artinya, tidak ada yang paling baik dan jelek di sistem demokrasi yang sudah kita pilih, semuanya tergantung pada kemampuan


(15)

penerapannya. Begitu juga dengan fenomena Golput yang ada di berbagai tempat di Indonesia yang terlahir dari rasio dan peluang demokrasi itu sendiri. Namun pada akhirnya kita percaya, bahwa sistem demokrasi adalah sistem yang mampu mengobati dirinya sendiri di tengah serangan Golput dewasa ini

Dalam pemilu Legislatif 2009 angka golput aktif yang tidak menggunakan hak suaranya cukup tinggi. Ini terlihat dari tabel di bawah ini

Tabel.1 Jumlah Data Pemilih dan Penggunaan Hak Pilih

No Data Pemilih dan Penggunaan Hak Pilih

Laki-Laki Persentase Perempuan Persentase Jumlah

Jumlah Persentase

1 Jumlah Pemilih terdaftar Dalam Daftar Pemilih Tetap

12,011 47,009 13,539 52,990 25,550 100

2 Jumlah Pemilih terdaftar dalam DPT yang menggunakan Hak Pilih

9,230 47,053 10,386 52,946 19,616 100

3 Jumlah Pemilih terdaftar dalam DPT yang tidak menggunakan hak pilih

2,781 46,865 3,153 53,134 5,934 100

Sumber : Rekapitulasi Penghitungan Suara Kabupaten Tapanuli Utata dalam Pemilu Legislatif 2009 –Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Tapanuli Utara


(16)

Dari data diatas bahwa jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak politiknya lebih dari 20%. Disini dapat lihat bahwa golput menjadi faktor yang harus disikapi dengan meningkatkan kualitas pemilu

Salah satu tolak ukur keberhasilan pemilu adalah tingginya jumlah pemilih yang menggunakan hak suaranya. Hal ini karena pemilu merupakan instrumen utama bagi terlaksananya dukungan rakyat dalam suatu demokrasi perwakilan. Pemilihan umum menunjukkan bahwa kekuasaan politik berasal dari rakyat dan memiliki kepercayaan dari rakyat dan bahwa rakyat memberikan jaminan dukungan bagi para politisi dalam mengeluarkan kebijakan-kebijakan perubahan situasi dan kondisi.

Menurut ilmuwan politik dari Universitas Goerge Mason, Amerika Serikat, Robert P.Clark, partisipasi politik selain melalui aktivitas elektoral (pemilu) juga bisa melalui lobi, aktivitas organisasional (non partai politik), kontak individu dengan pejabat public, dan (bahkan) kekerasan dalam arti upaya mempengaruhi keputusan pemerintah dengan cara melukao fisik seseorang atau dengan merusak properti milik pemerintah.4

4

Robert P.Clark, Menguak Kekuasaan dan Politik di Dunia Ketiga, Jakarta: Erlangga, 1989, Hal.101

Dengan demikian menurut Clark, ada banyak polihan untuk ikut berpartisipasi dalam proses politik yang demokratis. Baginya, pilihan untuk ikut atau tidak ikut pemilu merupakan bentuk ekspresi dari hak-hak politik yan sama sekali tidak mengganggu kualitas demokrasi

Berdasarkan argumen di atas ada beberapa hal yang perlu dicermati pada fenomena Golput di atas :


(17)

pertama, Golput mampu menyeruak menjadi basis atas ketidakpercayaan pada kader Parpol. Fenomena Golput juga dapat menjadi simbol ‘pembelajaran’ bagi setiap Parpol. saat ini mengalami krisis kepercayaan dari masyarakat. Kedua, Golput mencoba diakui sebagai sebuah peradaban semacam ideologi (hak asazi manusia) dengan alasan kapok karena Parpol yang ada dianggap tidak capable, dan melanggar janjinya.

Ketiga, persoalan ekonomi, masyarakat lebih mengutamakan adanya pendapatan dan pekerjaan. Mereka tidak mau meninggalkan pekerjaannya untuk memilih, karena merasa jenuh dan tidak mau terlibat politik. Yang penting bagaimana memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Keempat, alasan teknis yaitu proses pendaftaran pemilih yang masih belum tertib dan banyak manipulasi data pemilih. Dengan kata lain, koordinasi antar departeman yang terlibat belum terlihat jelas dan masih tumpang tindih, terutama data jumlah pemilih dan mekanisme yang panjang dan menjelimet

Dengan latar belakang diatas, penulis tertarik untuk meneliti Faktar-Faktor

Yang Mempengaruhi Tingkat Golongan Putih (Golput) (Suatu Studi Deskriptif Pada Masyarakat Kecamatan Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara)

2. Perumusan Masalah

Faktor-Faktor Apa Saja Yang Mempengaruhi Tingkat Golongan Putih pada masyarakat Kecamatan Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara dalam Pemilu Legislatif 2009 ?


(18)

3. Tujuan Masalah

Atas dasar perumusan masalah, maka tujuan dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh beberapa faktor terhadap tingginya Golput pada Masyarakat Kecamatan Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara dalam Pemilu Legisltaif 2009.

2. Untuk mengetahui faktor yang paling berpengaruh terhadap kualitas tingginya Golput pada Masyarakat Kecamatan Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara dalam Pemilu Legisltaif 2009.

4. Kegunaan Penelitian

Kegunaan dari penelitian ini adalah :

1. Secara teoritis; penelitian ini sebagai salah satu kajian antropologi politik dan ilmu politik, terutama berkaitan dengan Golput dalam budaya politik masyarakat Kecamatan Tarutung Kecamatan Tarutung Kabupaten Tapanuli

2. Secara praktis; penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi pemerintah daerah dan masyarakat khususnya penyelenggara pemilu (KPU).

5. Tinjauan Pustaka

HAM / Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak awal dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat siapa pun.


(19)

Sebagai warga negara yang baik kita mesti menjunjung tinggi nilai hak azasi manusia tanpa membeda-bedakan status, golongan, keturunan, jabatan, dan lain sebagainya.5

Secara isilah hak asazi itu diartikan sebagai hak yang melekat pada martabat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan, dan hak tersebut dibawa manusia sejak lahir ke muka bumi sehingga hak tersebut bersifat fitri (kodrati), bukan merupakan pemberian manusia atau negara.6

Dasar-dasar HAM tertuang dalam deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat

Indonesia, seperti pada da

Jenis hak asasi manusia (HAM):7

1. Hak untuk hidup.

2. Hak untuk memperoleh pendidikan.

3. Hak untuk hidup bersama-sama seperti orang lain.

4. Hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama.

5. Hak untuk mendapatkan pekerjaan.

Pembagian Bidang, Jenis dan Macam Hak Asasi Manusia Dunia :8 1. Hak asasi pribadi / personal Right

5

HAM yang Berlaku Umum Global, 13 Juli 2006

6

Moh. Mahfud MD, 2001, Dasar Dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, hlm.127

7 Ibid 8


(20)

− Hak kebebasan untuk bergerak, bepergian dan berpindah-pndah tempat

− Hak kebebasan mengeluarkan atau menyatakan pendapat

− Hak kebebasan memilih dan aktif di organisasi atau perkumpulan − Hak kebebasan untuk memilih, memeluk, dan menjalankan agama

dan kepercayaan yang diyakini masing-masing 2. Hak asasi politik / Political Right

− Hak untuk memilih dan dipilih dalam suatu pemilihan − Hak ikut serta dalam kegiatan pemerintahan

− Hak membuat dan mendirikan parpol / partai politik dan organisasi politik lainnya

− Hak untuk membuat dan mengajukan suatu usulan petisi 3. Hak azasi hukum / Legal Equality Right

− Hak mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan

− Hak untuk menjadi pegawai negeri sipil / pns − Hak mendapat layanan dan perlindungan hukum 4. Hak azasi Ekonomi / Property Rigths

− Hak kebebasan melakukan kegiatan jual beli − Hak kebebasan mengadakan perjanjian kontrak

− Hak kebebasan menyelenggarakan sewa-menyewa, hutang-piutang, dll

− Hak kebebasan untuk memiliki susuatu


(21)

5. Hak Asasi Peradilan / Procedural Rights

− Hak mendapat pembelaan hukum di pengadilan

− Hak persamaan atas perlakuan penggeledahan, penangkapan, penahanan dan penyelidikan di mata hukum.

6. Hak asasi sosial budaya / Social Culture Right

− Hak menentukan, memilih dan mendapatkan pendidikan − Hak mendapatkan pengajaran

− Hak untuk mengembangkan budaya yang sesuai dengan bakat dan minat

Prinsip HAM universal menempatkan hak memilih atau dipilih sebagai bagian dari hak dasar manusia, yang dijamin dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (Pasal 25) dan juga dijamin dalam konstitusi UUD 1945.

Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik pada bagian Komentar Umum Pasal 25 menyebutkan: Kovenan mengakui dan melindungi hak setiap warganegara untuk mengambil bagian dalam pelaksanaan urusan-urusan publik, hak memilih dan dipilih, serta hak atas akses terhadap pelayanan publik.9

Prinsip HAM universal menyebutkan bahwa Negara wajib menjamin hak memilih (right to vote) dan hak untuk dipilih (right to be elected). Karenanya, setiap negara diminta untuk menerbitkan peraturan perundang-undangan dan upaya lain yang diperlukan untuk memastikan setiap warga negara tanpa diskriminasi berdasarkan apa pun memperoleh kesempatan yang efektif

9

Siaran Pers YBHI, Negara Wajib Melindungi Terhadap Hak Untuk Tidak Memilih


(22)

menikmati hak ini. Hak ini pada pokoknya, menjamin setiap warga negara untuk secara bebas (freely) turut serta dalam urusan publik dengan memilih wakil-wakilnya yang duduk di legislatif dan eksekutif. Karenanya, hak ini juga berkaitan dengan hak yang lain dan tidak dapat dipisahkan, yakni: kebebasan berekspresi, berserikat dan berkumpul (freedom of expression, assembly and association).10

Konsep kewajiban biasanya dilawankan dengan konsep hak. Hak untuk berbuat menurut cara tetentu seringkali ditafsirkan sebagai suatu keleluasaan (permission). Seseorang atas keinginan atau kehendaknya sendiri, mungkin menggunakan atau tidak menggunakannya.11

Dalam disiplin hak asasi manusia, tidak ada standar dan norma apa pun yang menyatakan bahwa setiap orang wajib memilih dan dipilih. Sebaliknya yang diatur adalah kewajiban negara untuk memastikan hak ini dijamin pemenuhannya secara bebas. Apabila dikaitkan dengan keberadaan Golput, negara tetap berkewajiban untuk menghormati dan melindungi warganegara yang mengambil pilihan untuk berpartisipasi secara pasif dalam bentuk Golput tersebut.12

Hak-hak politik diartikan sebagai kemungkinan-kemungkinan yang terbuka bagi warga negara yang berperan serta dalam pemerintahan, dalam pembentukan ‘kehendak’ negara. Hak Politik yang menentukan di dalam demokrasi tidak langsung adalah hak suara, yakni hak warga negara untuk berperan serta dalam pemilihan parlemen, kepala negara, dan organ-organ pembuat dan pelaksana hukum yang lain.13

10 Ibid 11

Hans Kelsen,2006, Teori Umum Tentang Hukum Dan Negara, Nusa Media & Penerbit Nuansa, Bandung, hlm. 109-117

12 op.cit 13


(23)

Sejarah politik Indonesia pernah diwarnai oleh pengalaman buruk terkait campur tangan Negara dalam hal hak untuk memilih dan dipilih pada masa Orde Baru, ketika terjadi kriminalisasi besar-besaran terhadap kaum yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu (Golput). Sejarah buruk itu akan berulang, apabila Negara melakukan stigmatisasi, apalagi kriminalisasi, terhadap kaum Golput dalam Pemilu 2009.

Golput memang merupakan masalah klasik dan universal dalam kehidupan politik. Pembicaraan tentang ini selalu menjadi berita menarik menjelang pemilu di negara mana pun. Istilah golput dalam peta politik Indonesia pertama kali muncul pada tahun 1971, terhadap mereka yang tidak menggunakan hak suaranya untuk memilih.

Dalam UU tentang Pemilu yaitu UU No.10/2008, disebutkan di pasal 19 ayat 1 yang berbunyi: “WNI yang pada hari pemungutan suara telah berumur 17 tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih.” Jelas kata yang tercantum adalah “hak”, bukan “kewajiban”.14

Lebih tinggi lagi, dalam produk hukum tertinggi di negara kita yaitu Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang diamandemen tahun 1999-2002, juga tercantum hal senada. Dalam pasal 28 E disebutkan: “Pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali”. Hak memilih di sini termaktub dalam kata bebas. Artinya bebas digunakan atau tidak. Terserah pemilihnya.15

14

Bhayu M.H, Memilih Atau Tidak Memilih Dalam Pemilu Adalah Hak !,

15 Ibid


(24)

Secara teoriotis, ada dua penjelasan teori mengapa seseorang tidak ikut memilih dalam pemilihan. Penjelasan pertama bersumber dari teori-teori mengenai perilaku pemilih (voter behavior). Penjelasan ini memusatkan perhatian pada individu. Besar kecilnya partisipasi pemilih (voting turnout) dilacak pada sebab-sebab dari individu pemilih.

Ada tiga teori besar yang menjelaskan mengapa seseorang tidak memilih ditinjau dari sudut pemilih ini. Pertama, teori sosiologis. Seseorang tidak ikut dalam pemilihan dijelaskan sebagai akibat dari latar belakang sosiologis tertentu, seperti agama, pendidikan, pekerjaan, ras dan sebagainya.2 Faktor jenis pekerjaan juga dinilai bisa mempengaruhi keputusan orang ikut pemilihan atau tidak. Kedua, teori psikologis. Keputusan seseorang untuk ikut memilih atau tidak ditentukan oleh kedekatan dengan partai atau kandidat yang maju dalam pemilihan. Makin dekat seseorang dengan partai atau kandidat tertentu makin besar kemungkinan seseorang terlibat dalam pemilihan.

Ketiga, teori ekonomi politik. Teori ini menyatakan keputusan untuk memilih atau tidak dilandasi oleh pertimbangan rasional, seperti ketidakpercayaan dengan pemilihan yang bisa membawa perubahan lebih baik. Atau ketidakpercayaan masalah akan bisa diselesaikan jika pemimpin baru terpilih, dan sebagainya. Pemilih yang tidak percaya dengan pemilihan akan menciptakan keadaan lebih baik, cenderung untuk tidak ikut memilih.

Selain teori yang memusatkan perhatian pada individu pemilih, fenomena

voting turnout juga bisa dijelaskan dengan teori dari sisi struktur. Di sini besar


(25)

struktur atau sistem suatu negara. Paling tidak ada tiga penjelas yang umum dipakai oleh pengamat atau ahli. Pertama, sistem pendaftaran (registrasi) pemilih. Untuk bisa memilih, umumnya calon pemilih harus terdaftar sebagai pemilih terlebih dahulu. Kemudahan dalam pendaftaran pemilih bisa mempengaruhi minat seseorang untuk terlibat dalam pemilihan. Sebaliknya, sistem pendaftaran yang rumit dan tidak teratur bisa mengurangi minat orang dalam pemilihan.

Dari sudut hukum, jelas sekali kalau memilih dan dipilih adalah hak, demikian pula secara hak asasi. Hak untuk memilih merupakan hak perdata warga negara, demikian juga hak untuk berpendapat. Tidak ada hukum apa pun yang menyebutkan mereka yang memilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu, akan dikenakan sanksi atau dikriminalkan oleh negara.

Secara hukum memang tidak ada satu kekuatan apa pun yang dapat menghalang-halangi seseorang untuk bersikap golput atau tidak menggunakan hak pilihnya. Namun, untuk menghilangkan golput barangkali perlu dikaji lebih dalam kenapa sampai muncul orang-orang yang tidak menggunakan hak pilihnya sebagai wujud dari hak kedaulatan yang ada pada dirinya.

Setidaknya secara umum ada beberapa faktor yang cukup signifikan memengaruhinya : 16

Pertama, dengan kesadarannya sendiri memang tidak ingin menggunakan hak pilihnya disebabkan beberapa kemungkinan, seperti rasa tidak percaya kepada sistem pemilu. Bagi masyarakat, pelaksanaan pemilu di Indonesia

16

Oksidelfa Yanto, Golput dan Pentingnya Pendidikan Politik, Media Indonesia edisi 17 September 2003


(26)

dinilai masih sekadar pesta demokrasi yang tidak akan membawa perubahan apa-apa dalam kehidupan politik selanjutnya.

Kedua, ketidakpercayaan kepada kontestan (partai politik). Mereka menganggap bahwa tidak ada figur andalan yang dapat mewakili aspirasi mereka. Ini dibuktikan dengan beberapa kali penyelenggaraan pemilu. Para pemimpin dan wakil rakyat yang terpilih tidak dapat berfungsi mengemban aspirasi politik mereka. Kondisi kehidupan politik yang lebih baik setelah pelaksanaan pemilu ternyata tidak berlangsung di tengah kehidupan masyarakat. Malah yang muncul justru konflik berkepanjangan antar elite politik atau parpol pemenang pemilu.

Melihat kondisi seperti itu maka jelas rakyat akan merasa semakin kecewa. Sehingga, akhirnya mereka tidak lagi percaya kepada elite politik dan parpol yang ada. Masyarakat merasa elite politik belum mampu membawa makna yang cukup berarti dalam menyalurkan aspirasinya. Hal tersebut ditambah lagi dengan tidak seriusnya wakil rakyat dalam sidang-sidang membahas agenda penting bangsa. Akibatnya, membuat Dewan selalu lamban dalam merespons suatu masalah. Dari kondisi ini, mereka menganggap bahwa pelaksanaan pemilu tidak ada gunanya, hanya membuang energi dan waktu saja.

Tolok ukur keberhasilan pemilu adalah peran serta aktif dalam pemilih di luar golongan putih. Sebagai tolok ukur paradoksalnya (ketidakberhasilan) adalah rendahnya peran serta parpol terhadap pendidikan politik serta kekecewaan terhadap terhadap praktik politik parpol dan elit politik memberikan wacana


(27)

negatif di benak pemilih. Dengan minimal empat faktor di mana orang enggan untuk aktif berperan dalam pemilu menurut Syamsudin Haris :17

1. Kekecewaan sebagian publik terhadap parpol; 2. Parpol sebagian kaya akibat money politik;

3. KPU dan pengawas di daerah minim melibatkan civil society; 4. Sistem pemilu yang rumit.

Golput dalam pemilu bisa juga muncul karena kerumitan teknis mencoblos nomor dan atau tanda gambar dan atau nama caleg.18

Di Indonesia saat ini masalah Golput menjadi perdebatan yang cukup menarik. Berdasarkan Data dari Lingkaran Survei Indonesia (LSI), misalnya, menyebutkan ada sekitar 28 persen pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya.

Keputusan seseorang untuk menjadi golput pada dasarnya diambil setelah mengkaji berbagai alasan yang ada. Bagi masyarakat, buat apa memilih jika parpol tidak memberikan kepuasan. Dan, buat apa menyalurkan hak pilih bila pemilu dinilai tidak bermakna bagi mereka. Artinya, kekuatan politik di DPR tidak bisa mewakili aspirasi mereka. Alasan ini seharusnya dapat dijadikan suatu pemikiran oleh wakil rakyat atau elite politik agar ke depan tidak mengecewakan rakyat. Masalahnya adalah bagaimana para elite politik negeri ini mampu meyakinkan masyarakat bahwa lembaga perwakilan rakyat bisa berperan secara jujur dan wajar dalam upaya menyuarakan kepentingan rakyat.

19

17

Tataq Chidmad, SH, 2004, Kritik Terhadap Pemilihan Langsung, Pustaka Widyatama, Yogyakarta, hlm.57

18 Ibid 19

Refly Harun, Menggugat Hilangnya Hak Pemilih, Harian Tempo, Edisi Rabu 15 April 2009


(28)

pemenang pemilu, mengingat untuk saat ini partai Demokrat paling unggul dibandingkan partai lainnya dengan perolehan suara lebih dari 20 %.20

Untuk menggunakan hak memilih, pemilih harus didaftar, yang kewajibannya dibebankan kepada penyelenggara pemilu (KPU dan jajarannya). Model pendaftaran yang dianut dalam UU Pemilu ada stelsel pasif. Suka atau tidak, semua warga negara yang telah memenuhi syarat akan didaftar. Hal ini membedakan dengan praktek di negara-negara maju, seperti Amerika Serikat dan Inggris, yang menggunakan stelsel aktif. Untuk menggunakan haknya, warga negara yang memenuhi syarat harus mendaftarkan diri secara aktif. Penyelenggara pemilu tidak akan memberikan surat suara kepada pemilih yang tidak mendaftar.

Golput terdiri atas dua genre: golput politis dan golput teknis. Terhadap mereka yang golput karena pilihan politik, karena menganggap pemilu tidak berguna, hanya memboroskan anggaran negara, sekadar sarana bagi partai politik dan calon legislator untuk menyampaikan janji-janji kosong yang langsung dilupakan ketika telah melenggang ke kursi parlemen. Di negeri ini, menggunakan hak memilih (casting vote) masih dikonstruksikan sebagai sekadar hak, belum menjadi kewajiban sebagaimana halnya di Australia. Namun, bagi yang golput karena soal teknis administratif, yaitu tidak tercantum dalam daftar pemilih tetap (DPT), soal ini harus dicari akar masalah dan solusinya.

21

Bila ada warga negara yang memenuhi syarat tidak terdaftar, KPU patut disalahkan. KPU bisa dipersepsikan telah melalaikan kewajiban untuk mendaftar semua pemilih yang berhak memilih. Namun, sejak zaman otoriter hingga

20

Pemilu Indonesia, Dari Mana Suntikan Perolehan Suara Demokrat?, diakses Rabu, 28 April 2009

21 Ibid


(29)

demokratis hingga saat ini, data penduduk selalu bermasalah. Birokrasi pemerintahan tidak bekerja untuk mendata penduduk secara lengkap dan valid, yang akan digunakan dalam setiap pemilu. Padahal, pemilu adalah sesuatu yang bisa diprediksi waktunya. Terlebih Indonesia mengatur sistem pemerintahan presidensial, bukan parlementer di mana pemilu bisa diadakan sewaktu-waktu.

Persoalan administrasi kependudukan dan pendataan pemilih mencerminkan belum bagusnya sistem pengelolaan potensi penduduk Indonesia. Padahal, validitas data pemilih juga menjadi indikator terhadap integritas pemilu di Indonesia.22

Sejak awal reformasi sudah kerap kita dengar beragam rencana pembenahan administrasi kependudukan. Kita juga pernah mendengar rencana komputerisasi data kependudukan dan pemberlakuan nomor identitas tunggal bagi setiap penduduk. Nyatanya, dalam perkara ini kita tak beranjak maju.

Jika data pemilih tidak valid, tidak akurat, kemungkinan pemilih dalam menjalankan hak memilihnya menjadi semakin rendah. Karena itu, legitimasi politik dalam pemilu sangat dipertaruhkan di sini.

23

Mungkin puluhan atau ratusan ribu atau bahkan jutaan. Mereka pemegang kartu tanda penduduk dan terdaftar sebagai penduduk. Namun, mereka kehilangan hak pilih karena nama mereka tak tertera dalam daftar pemilih tetap. Sebagian dari mereka datang ke tempat pemungutan suara pada 9 April lalu sambil membawa bukti-bukti identitas kependudukan. Tetapi, aturan melarang mereka

22

Indonesia on time.com, Data Pemilih Pengaruhi Partisipasi Pemilih dalam Pemilu, Diakses, Jumat 24 April 2009

23

Eep Saifulloh Fatah, Dosa-Dosa Besar Pemilu 2009 pada Jumat Tanggal 24 April 2009


(30)

menggunakan hak pilih mereka. Halangan administrasi merenggut hak-hak politik mereka, mereka terabaikan.24

Istilah golput muncul pertama kali menjelang pemilu pertama zaman Orde Baru tahun 1971. pemrakarsa sikap untuk tidak memilih itu, antara ain Arief Budiman, Julius Usman dan almarhum Imam Malujo Sumali. Langkah mereka didasari pada pandangan bahwa aturan main berdemokrasi tidak ditegakkan, cenderung dinjak-injak.25

Sikap orang-orang golput, menurut Arbi Sanit dalam memilihn memang berbeda dengan kelompok pemilih lain atas dasar cara penggunaan hak pilih. Apabila pemilih umumnya menggunakan hak pilih sesuai peraturan yang berlaku atau tidak menggunakan hak pilih karena berhalangan di luar kontrolnya, kaum golput menggunakan hak pilih dengan tiga kemungkinan. Pertama, menusuk lebih dari satu gambar partai. Kedua, menusuk bagian putih dari kartu suara. Ketiga, tidak mendatangi kotak suara dengan kesadaran untuk tidak menggunakan hak pilih. Bagi mereka, memilih dalam pemilu sepenuhnya adalah hak. Kewajiban

Menjelang Pemilu 1992, golput marak lagi sehingga bayangan kekuatannya diidentikkan sebagai partai keempat, disamping PPP,Golkar, dan PDI. Namun jumlah pemilih pada Pemilu 1992, kembali menurut versi pemerintah, di atas 90 persen, persisinya 91 persen. Sepekan menjelang Pemilu 29 Mei 1997, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia Megawati Soekarnoputri, selaku pribadi, mengumumkan untuk tidak menggunakan hak politiknya untuk memilih.

24 Ibid 25

Putra, Fadilah, Partai poltik dan kebijakan publik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, Hal.104.


(31)

mereka dalam kaitan dengan hak pilih ialah menggunakannya secara bertanggung jawab dengan menekankan kaitan penyerahan suara kepada tujuan pemilu, tidak hanya membatasi pada penyerahan suara kepada salah satu kontesan pemilu.26

Dalam artikelnya di Kompas 28 Juli 200427

Sedangkan menurut Novel Ali, di Indonesia terdapat dua kelompok golput.

, Indra J.Piliang menyatakan bahwa golongan putih (golput0 dianggap sebagai bentuk perlawanan atas partai-partai politik dan calon presiden-wakil presiden yang tidak sesuai dengan aspirasi orang-orang yang kemudian golput. Dia membagi golput menjadi 3 bagian yaitu: Pertama, golput ideologis, yakni segala jenis penolakan atas apa pun produk sistem ketatanegaraan hari ini. Golput jenis ini mirip dengan golput era 1970-an , yakni semacam gerakan anti-state, ketika state dianggap hanyalah bagian korporatis dari sejumlah elite terbatas yang tidak punya legitimasi kedaulatan rakyat.

Kedua, golput pragmatis, yakni golput yang berdasarkan kalkulasi rasional betapa ada atau tidak ada pemilu, ikut atau tidak ikut pemilu, tidak akan berdampak atas diri si pemilih. Ketiga, golput politis, yakni golput yang dilakukan akibat pilihan-pilihan politik. Kelompok ini masih percaya kepada negara, juga percaya kepada pemilu, tetapi memilih golput akibat preferensi politiknya berubah akibat sistemnya sebagian mergugikan mereka.

28

26

http//www.kompas.com 27

http//kompas.com 28

Novel Ali, Peradaban Komunikasi Politik, Bandung: PT Remaja Rosdakarya,1992, hal.22


(32)

mempergunakan hak pilihnya bukan karena alasan politik, tetapi karena alasan ekonomi, kesibukan dan sebagainya. Kemampuan politik ini tidak sampai ke tingkat analisis, melainkan hanya sampai tingkat deskriptif saja.

Kedua, adalah golput pilihan. Yaitu mereka yang tidak bersedia menggunakan hak pilihnya dalam pemilu benar-benar karena alasan politik. Misalnya tidak puas dengan kualitas partai politik yang ada. Atau mereka menginginkan adanya satu organisasi politik lain yang sekarang belum ada.

Partisipasi politik yang meluas merupakan ciri khas modernisasi politik. Istilah partisipasi politik telah digunakan dalam berbagai pengertian yang berkaitan perilaku, sikap dan persepsi yang merupakan syarat mutlak bagi partisipasi politik. Huntington dan Nelson dalam bukunya No Easy Choice Politicall Participation in Developing Countries memaknai partisipasi politik sebagai: 29

Dalam artikelnya di Kompas 28 Juli 200430

“By political participation we mean activity by private citizens designed to influence government decision-making. Participation may be individual or collective, organized or spontaneous, sustained or sporadic, peaceful or violent, legal or illegal, effective or ineffective. (partisipasi politik adalah kegiatan warga Negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud

, Indra J.Piliang menyatakan bahwa golongan putih (golput0 dianggap sebagai bentuk perlawanan atas partai-partai politik dan calon presiden-wakil presiden yang tidak sesuai dengan aspirasi orang-orang yang kemudian golput. Dia membagi golput menjad

29

Huntington, S.P. & Nelson, J. (1977). No easy choice political participation in developing

countries. Cambridge: Harvard University Press.

30


(33)

untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh Pemerintah. Partisipasi biasa bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadik, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau illegal, efektif atau tidak efektif)”.

Dalam definisi tersebut partisipasi politik lebih berfokus pada kegiatan politik rakyat secara pribadi dalam proses politik, seperti memberikan hak suara atau kegiatan politik lain yang dipandang dapat mempengaruhi pembuatan kebijakan politik oleh Pemerintah dalam konteks berperan serta dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dengan demikian partisipasi politik tidak mencakup kegiatan pejabat-pejabat birokrasi, pejabat partai, dan lobbyist professional yang bertindak dalam konteks jabatan yang diembannya. Dalam perspektif lain McClosky dalam International Encyclopedia of the social sciences menyatakan bahwa: 31

“By political participation we refer to those legal activities by private citizens which are more or less directly animed at influencing the selection of “The term “political participation” will refer to those voluntary activities by which members of a society share in the selection of rulers and, directly or indirectly, in the formation of public policy (partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui makna mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa dan secara langsung atau tidak langsung, dalam proses pembentukan kebijakan umum”.

Nie dan Verba dalam Handbook of Political Science mengemukakan bahwa:

31

McClosky, H. (1972). Political participation, international encyclopedia of the social science, (2nd ed.). New York: The Macmillan Company and Free Press.


(34)

governmental personel and/or the actions they take (partisipasi politik adalah kegiatan pribadi warganegara yang legal yang sedikit banyak langsung bertujuan untuk mempengaruhi seleksi pejabat-pejabat Negara dan/atau tindakan-tindakan yang diambil oleh mereka”.

Dalam perspektif pengertian yang generik, Budiardjo memaknai partisipasi politik adalah:

“Kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih pimpinan Negara dan secara langsung atau tidak langsung, mempengaruhi kebijakan Pemerintah (public policy). Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai atau kelompok kepentingan, mengadakan hubungan (contacting) dengan pejabat Pemerintah atau anggota parlemen, dan sebagainya”. 32

Secara faktual fenomena Golput tidak hanya terjadi di negara demokrasi yang sedang berkembang, di negara yang sudah maju dalam berdemokrasipun juga menghadapi fenomena Golput, seperti di Amerika Serikat yang capaian angka partisipasi politik pemilihnya berkisar antara 50% s/d 60%, begitu pula di

Dalam tahapan demokrasi elektoral atau demokrasi prosedural, golput adalah manifestasi politik, dimana rakyat tidak berpartisipasi politik (menggunakan hak pilihnya) secara sukarela dalam pemilihan umum sebagai pesta demokrasi.

32

Budiardjo, M. (1996). Demokrasi di Indonesia: Demokrasi parlementer dan demokrasi Pancasila. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.


(35)

Perancis dan Belanda yang angka capaian partisipasi politik pemilihnya berkisar 86%.

Secara kondisional faktor penyebab munculnya Golput di negara berkembang dan di negara maju tentunya berbeda. Sebagaimana dikemukakan Varma (2001:295) bahwa:

“Di Negara berkembang lebih disebabkan oleh kekecewaan masyarakat terhadap kinerja pemerintahan hasil Pemilu yang kurang amanah dan memandang nilai-nilai demokrasi belum mampu mensejahterakan masyarakat. Kondisi ini jelas akan mempengaruhi proses demokratisasi kehidupan berbangsa dan bernegara, karena terjadi paradoks demokrasi atau terjadi kontraproduktif dalam proses demokratisasi”.

Karenanya menghadapi fenomena Golput yang terjadi lebih disebabkan oleh faktor kekecewaan publik terhadap kinerja partai politik dan pemerintah yang belum efektif, maka menjadi pembelajaran bagi partai politik dan pemerintah untuk meningkatkan kinerjanya sebagai mesin kerja demokrasi yang efektif dan memiliki komitmen yang kuat, mewujudkan good public governance. Ketidakmampuan partai politik dan pemerintah menampilkan kinerja tersebut, maka fenomena Golput akan mengkristal menjadi faktor internal demokrasi yang potensial menimbulkan pembusukan demokrasi atau pembusukan politik (political decay), sehingga akan berimplikasi melumpuhkan demokrasi, dimana partai politik sebagai mesin pebangkit partisipasi politik dalam demokrasi secara moral ikut bertanggungjawab.

Dalam mindset Golput, demokrasi di Indonesia saat ini lebih dimaknai oleh publik, yaitu baru sebatas kebebasan untuk mengkritik Pemerintah dan


(36)

mengganti pemerintahan melalui Pemilu secara reguler, dan belum menyentuh substansi pembangunan demokrasi di bidang politik, ekonomi, dan sosial.

Fenomena tersebut, kiranya perlu mendapatkan apresiasi dan solusi oleh para aktor-aktor pemerintahan (penyelenggara negara) menghadapi Pemilu tahun 2009 agar pesta demokrasi lebih efisien dan berkualitas secara sistemik, baik dalam tataran input, process, dan output, dan malah bukan bersifat kontra produktif dalam berdemokrasi. Dalam arti proses demokrasi malah menurunkan tingkat partisipasi politik pemilih di satu sisi, dan di sisi lain malah makin meningkatnya jumlah Golput yang berimplikasi negatif bagi pembangunan kualitas demokrasi.

Untuk memahami tentang budaya politik, terlebih dahulu harus dipahami tentang pengertian budaya dan politik. Budaya berasal dari bahasa sansekerta yaitu budhayah, bentuk jamak dari budhi yang artinya akal. Kebudayaan diartikan sebagai hal-hal yang berhubungan dengan akal atau budi. Kebudayaan adalah segala yang dihasilkan oleh manusia berdasarkan kemampuan akalnya.

Budaya politik adalah aspek politik dari sistem nilai yang berkembang dalam masyarakat yang dipengaruhi oleh suasana jaman dan tingkat pendidikan dari masyarakat itu sendiri. Artinya, budaya politik yang berkembang dalam suatu negara dilatarbelakangi oleh situasi, kondisi dan pendidikan dari masyarakat itu sendiri, terutama pelaku politik yang memiliki kewenangan dan kekuasaan dalam membuat kebijakan, sehingga budaya politik yang berkembang dalam masyarakat suatu negara akan mengalami perubahan dari waktu ke waktu.

Budaya politik (kebudayaan politik) merupakan dimensi psikologis dari sistem politik, maksudnya adalah budaya politik bukan lagi sebagai sebuah sistem


(37)

normatif yang ada di luar masyarakat, melainkan kultur politik yang berkembang dan dipraktekkan oleh suatu masyarakat tertentu. Dalam setiap masyarakat terdapat budaya politik yang menggambarkan pandangan masyarakat tersebut mengenai proses politik yang berlangsung di lingkungannya. Tingkat kesadaran dan partisipasi mereka biasanya menjadi hal penting untuk mengukur kemajuan budaya politik yang berkembang. Perbedaan budaya politik dalam masyarakat secara garis besar dapat dibedakan

dalam tiga budaya politik, yaitu :

1. Budaya politik apatis (acuh, masa bodoh, pasif)

2. Budaya politik mobilisasi (didorong atau sengaja dimobilisasi) 3. Budaya politik partisipatif (aktif)

Perbedaan budaya politik yang berkembang dalam masyarakat, dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya :

1. Tingkat pendidikan masyarakat sebagai kunci utama perkembangan budaya politik masyarakat

2. Tingkat ekonomi masyarakat, semakin tinggi tingkat ekonomi/sejahtera masyarakat maka partisipasi masyarakat pun semakin besar

3. Reformasi politik/political will (semangat merevisi dan mengadopsi sistem politik yang lebih baik)

4. Supremasi hukum (adanya penegakan hukum yang adil, independen, dan bebas)

5. Media komunikasi yang independen (berfungsi sebagai kontrol sosial, bebas, dan mandiri)


(38)

Selanjutnya, Almond dan Verba mengemukakan, bahwa budaya politik suatu masyarakat dihayati melalui kesadaran masyarakat akan pengetahuan, perasaan, dan

1. Orientasi kognitif, merupakan pengetahuan masyarakat tentang sistem politik, peran, dan segala kewajibannya. Termasuk di dalamnya adalah pengetahuan mengenai kebijakan-kebijakan yang di buat oleh pemerintah 2. Orientasi afektif, merupakan perasaan masyarakat terhadap sistem politik

dan perannya, serta para pelaksana dan penampilannya. Perasaan masyarakat tersebut bisa saja merupakan perasaan untuk menolak atau menerima sistem politik atau kebijakan yang dibuat.

3. Orientasi evaluatif, merupakan keputusan dan pendapat masyarakat tentang objek-objek politik yang secara tipikal melibatkan nilai moral yang ada dalam masyarakat dengan kriteria informasi dan perasaan yang mereka miliki.

Ciri-ciri masyarakat politik antara lain sebagai berikut :

1. Dengan sadar dan sukarela menggunakan hak pilihnya dalam pemilu terutama hak pilih aktif

2. Bersifat kritis terhadap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dengan sikap :

a. Menerima sebagaimana adanya b. Menolak dengan alasan tertentu atau

c. Ada yang suka diam tanpa memberikan reaksi apa-apa


(39)

4 Dalam penyelesaian suatu masalah lebih suka dengan cara dialog atau musyawarah

Budaya politik yang berkembang di setiap negara sangat beragam, hal ini di pengaruhi oleh karakter budaya politiknya masing-masing. Untuk mengetahui karakter budaya politik suatu bangsa dapat diukur melalui beberapa dimensi yang berkembang dalam masyarakat, yaitu :

1. Tingkat pengetahuan umum yang dimiliki oleh masyarakat mengenai sistem politik negaranya, seperti pengetahuan tentang sejarah, letak geografis, dan konstitusi negaranya

2. Pemahaman masyarakat mengenai struktur dan peran pemerintah dalam membuat suatu kebijakan

3. Pemahaman mengenai penguatan kebijakan yang meliputi masukan opini dari masyarakat dan media massa kepada pemerintah

4. Partisipasi masyarakat dalam kegiatan politik dan bernegara, serta pemahmanya akan hak dan kewajiban serta tanggung jawab sebagai warga negara

Perbedaan dimensi tersebut menurut Almond dan Verba melahirkan beberapa tipe budaya politik yang berkembang dalam negara, yaitu :

1. Buda ya Politik Parokial (parochial political culture), dimana pada tingkat tersebut frekuensi orientasi masyarakat terhadap empat dimensi tersebut diatas sangat rendah. Tidak ada peran-peran politik masyarakat yang bersifat khusus, sehingga peranan politik, baik yang bersifat politis, ekonomis, maupun religius sepenuhnya diserahkan kepada pengambil kebijakan/pemimpin yang biasanya dipegang oleh seorang kepada


(40)

suku/adat, tokoh agama, ataupun tokoh masyarakat yang peranannya tidak dapat dipisahkan satu sama lain.

2. Budaya Politik Subjek (subject political culture), dimana pada tingkat tersebut frekuensi orientasi masyarakat terhadap dimensi pengetahuan dan pemahaman cukup tinggi, tetapi masih bersifat pasif, artinya masyarakat sudah memiliki pengetahuan, pemahaman, namun mereka belum memiliki orientasi dimensi pemahaman mengenai penguatan kebijakan dan partisipasi dalam kegiatan politik, mereka tidak memiliki keinginan dan kemauan untuk mencoba menilai, menelaah, atau mengkritisi kebijakan yang dibuat oleh pemerintah, mereka menerima apa adanya, sehingga sikap masyarakat terhadap suatu kebijakan pemerintah terbagi menjadi dua kelompok, ada yang menerima atau menolak.

3. Budaya Politik Partisipan (participan political culture), dimana pada tingkat tersebut frekuensi orientasi masyarakat terhadap empat dimensi tersebut diatas lebih baik, masyarakat mulai bersifat aktif dalam peran-peran politik, meskipun perasaan dan evaluasi masyarakat terhadap peran-peran tersebut bisa saja bersifat menerima atau menolak.

Clifford Geerts, seorang antropolog berkebangsaan Amerika mengemukakan tentang tipe budaya politik yang berkembang di Indonesia yaitu :

1. Budaya Politik Abangan, yaitu budaya politik masyarakat yang lebih menekankan pada aspek-aspek animisme atau kepercayaan terhadap roh halus yang dapat mempengaruhi hidup manusia. Ciri khas dari budaya politik abangan ini adalah tradisi selamatan, yang berkembang pada


(41)

kelompok masyarakat petani pada era tahun 60-an, diyakini dapat mengusir roh-roh jahat yang mengganggu manusia. Kelompok masyarakat abangan sering kali berafiliasi dengan partai semacam PKI dan PNI.

2. Budaya Politik Santri, yaitu budaya politik masyarakat yang menekankan pada aspek-aspek keagamaan, khususnya agama Islam sebagai agama mayoritas masyarakat Indonesia. Kelompok masyarakat santri biasanya diidentikan dengan kelompok masyarakat yang sudah menjalankan ibadah atau ritual agama Islam. Pendidikan mereka ditempuh melalui pendidikan pesantren , madrasah, atau mesjid. Kelompok masyarakat santri biasanya memiliki jenis pekerjaan sebagai pedagang. Kelompok masyarakat santri pada masa lalu sering kali berafiliasi dengan partai NU atau Masyumi, namun pada masa sekarang mereka berafiliasi pada partai, seperti PKS, PKB, PPP, atau partai-partai lainnya yang menjadikan Islam sebagai dasarnya.

3. Budaya Politik Priyayi, yaitu budaya politik masyarakat yang menekankan pada keluhuran tradisi. Kelompok priyayi sering kali dikontraskan dengan kelompok petani, dimana kelompok priyayi dianggap sebagai kelompok atas yang menempati pekerjaan sebagai birokrat (pegawai pemerintah). Pada masa lalu kelompok masyarakat priyayi berafiliasi dengan partai PNI, sekarang mereka berafiliasi dengan partai Golkar

Kebudayaan dalam bahasa Inggris disebut dengan culture, dengan sel kata dari bahasa latin colere yang berarti ‘mengolah tanah’. Dari defenisi tersebut, berkembanglah istilah culture sebagai ‘segala daya upaya serta tindakan manusia


(42)

untuk mengolah tanah dan mengubah alam’.33

a. a general state or habits of mind (suatu kebiasaan umum atau kebiasaan pemikiran)

Dalam bahasa Inggris, kata culture dalam abad yang lalu mengalami pergeseran arti sebagai berikut:

b. The general state of intellectual development in society as a whole (kedaaan umum dari pengembangan intelektual dari masyarakat secara keseluruhan)

c. the general body of arts (bagian umum dari seni)

d. a whole way of life, material, intellectual and spiritual (keseluruhan cara hidup, material, intelektual, dan spiritual)34

Menurut Linton (1940) Budaya adalah keseluruhan dari pengetahuan, sikap dan pola prilaku yang merupakan kebiasaan yang dimiliki dan diwariskan oleh suatu anggota masyarakat tertentu35

Menurut Kluckhohn dan Kelly (1945) Budaya adalah semua rancangan hidup yang tercipta secara historis, baik eksplisit maupun implisit, rasional, irasional, dan nonrasional, yang ada pada suatu waktu sebagai pedoman yang potensial bagi perilaku manusia

.

36

33

Haryono, Drs. P. 1996. Memahami Kontekstual Tentang Ilmu Budaya Dasar. Yogyakarta: Kanisius. Hal 46

34

Harsojo. Prof. 1984. Pengantar Antropologi. Bandung : Binacipta. Hal. 93 35

Keesing, Roger M. 1992. Antropologi Budaya Suatu Perspektif Kontemporer. Jakarta: Erlangga. hal 68

36

Keesing, Roger M. 1992. ibid


(43)

Menurut Kroeber (1948) Budaya adalah keseluruhan realisasi gerak, kebiasaan, tata cara, gagasan dan nilai-nilai yang dipelajari dan diwariskan dan perilaku yang ditimbulkannya37

Dapat disimpulkan bahwa arti kebudayaan amat luas, meliputi seluruh kelakuan dan hasil kelakuan manusia, yang teratur oleh tata kelakuan, yang harus didapatkan dengan belajar dan yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat38

Ciri-ciri budaya sebagai berikut .

Ciri-ciri budaya

39

1. Dapat dipelajari. :

2. Diturunkan dari generasi ke generasi, baik secara lisan maupun tertulis, baik disengaja maupun tidak disengaja.

3. Memiliki simbol-simbol tertentu. Setiap budaya memiliki simbol-simbol yang memiliki makna khusus biasanya dimengerti oleh masyarakatnya.

4. Selalu berubah. Tidak ada budaya yang statis. Budaya suatu masyarakat selalu dinamis dan terus berubah sesuai dengan perkembangan Zamannya

5. Memiliki sistem integral. Setiap unsur kebudayaan terkait satu dengan yang lain. Oleh sebab itu, satu unsur kebudayaan tidak

37

Keesing, Roger M. 1992. ibid 38

Harsojo. Prof. 1984.Op. cit. Hal. 93 39


(44)

dapat berdiri sendiri, tetapi menyangkut unsur-unsur yang lain dalam suatu jaringan yang kompleks

6. Sifatnya adaftif. Kebudayaan berubah untuk beradaptasi dengan dunia yang berubah.

Koentjaraningrat menyarankan agar kebudayaan dibedakan sesuai dengan empat wujudnya. Dari bagian terluar sampai bagian terdalam adalah sebagai berikut40

1. Bagian yang paling luar merupakan kebudayaan sebagai artifacts, atau benda-benda fisik. Yakni berupa benda-benda hasil karya manusia yang bersifat kongkret yang dapat diraba. Misalnya bangunan, peralatan, dan benda teknologi. Sebutan bagi budaya dalam bentuk konkret ini adalah kebudayaan fisik

2. Bagaian kedua terluar merupakan wujud dan tingkah laku manusia. Wujud berikut ini masih bersifat konkret. Dapat difoto ataupun di film. Semua gerak-gerak yang dilakukan dari waktu ke waktu. Merupakan pola tingkah laku yang dilakukan berdasarkan sistem. Karena itu pola tingakah laku manusia disebut sistem sosial.

3. Bagian ketiga merupakan wujud gagasan dari kebudayaan, dan tempatnya ada didalam diri warga kebudayaan. Kebudayaan dalam wujud ini bersifat abstrak. Dan hanya dapat diketahui dan dipahami setelah ia mempelajarinya dengan mendalam, baik dengan wawancara intensif atau dengan membaca literatur yang sudah ada. Kebudayaan

40


(45)

dalam wujud gagasan juga berpola berdasarkan sistem-sistem tertentu yang disebut sistem budaya.

4. Bagian keempat merupakan bagian yang terdalam, merupakan gagasan-gagasan yang telah dipelajari oleh para warga suatu kebudayaan sejak usia dini dan karenanya sukar diubah. Istilah untuk menyebut unsur-unsur kebudayaan yang menjadi pusat dari semua unsur yang lain adalah nilai-nilai budaya, yang menentukan sifat dan corak dari pikiran, cara berfikir, serta tingkah laku manusia sebuah kebudayaan.

Unsur-Unsur Kebudayaan

Kebudayaan dari tiap-tiap bangsa dapat dibagi kedalam suatu jumlah unsur yang tak terbatas jumlahnya. Unsur kebudayaan yang terkecil sampai kepada yang merupakan gabungan yang terbesar bersama-sama merupakan unsur kebudayaan. Cara menganalisa kebudayaan dalam strukturnya seperti tersebut diatas sebenarnya tidak sesuai dengan kenyataan kebudayaan itu sendiri, dan dirasakan terlalu mekanis. Akan tetapi cara analisa seperti itu dapat memberikan kepada kita gambaran ilmiah yang lebih baik tentang hakekat kebudayaan.

Koentjaraningrat mengumukakan konsep unsur-unsur kebudayaan menjadi 7, yaitu41

1. sistem religi dan upacara adat :

2. sistem organisasi sosial dan kemasyarakatan 3. sistem ilmu pengetahuan

4. bahasa

41


(46)

5. kesenian

6. sistem ekonomi dan mata pencaharian 7. sistem alat dan teknologi

Ketujuh unsur kebudayaan tersebut sering disebut sebagai unsure kebudayaan universal (kultural universal). Kesatuan kebudayaan dimanapun dimuka bumi ini, mulai dari masyarakat yang sederhana samapai masyarakat yang modern, akan dapat ditemukan tujuh unsur kebudayaan tersebut di dalamnya.

Mas’oed menyatakan politik pembangunan desa lebih tertuju pada aspek politik dan kebijakan pemerintah terhadap pembangunan ditingkat desa. Program pembangunan desa untuk membuat rakyat semakin banyak punya pilihan tentang masa depan yang diinginkan. Proses pembangunan desa menghasilkan tata kehidupan politik yang menumbuhkan demokrasi. Sehingga keputusan politik terhadap program pembangunan pedesaan bertujuan untuk mengembangkan kapasitas masyarakat, untuk meningkatkan kualitas kehidupannya dan kesejahteraan masyarakat desa

Berkaitan dengan entitas ekonomi dalam politik pembangunan yaitu tidak mengejar keuntungan pribadi atau kelompok untuk jangka pendek, tetapi menanamkan hakekat pembangunan desa yang transparan, bertanggung jawab, menguntungkan semua pihak dan berlangsung secara menyeluruh serta berkesinambungan. Weaver, politik pembangunan menyangkut keberhasilan pembangunan desa bisa dicapai, bila usahausaha pembangunan langsung ditujukan untuk memperbaiki kehidupan masy arakat menjadi lebih baik dan masyarakat memiliki akses pada sumber-sumber ekonomi dan politik, serta sebagai usaha memberdayakan masyarakat secara langsung.


(47)

Faktor-faktor Yang Mempengaruhi masyarakat pada partisipasi politik 1. Faktor Sosial Ekonomi

Kondisi sosial ekonomi meliputi tingkat pendapatan, tingkat pendidikan dan jumlah keluarga.

2. Faktor Politik

Peran serta politik masyarakat didasarkan kepada politik untuk menentukan suatu produk akhir. Faktor politik meliputi :

a. Komunikasi Politik.

Komunikasi politik adalah suatu komunikasi yang mempunyai konsekuensi politik baik secara aktual maupun potensial, yang mengatur kelakuan manusia dalam keberadaan suatu konflik.42

b. Kesadaran Politik.

Komunikasi politik antara pemerintah dan rakyat sebagai interaksi antara dua pihak yang menerapkan etika.

Kesadaran politik menyangkut pengetahuan, minat dan perhatian seseorang terhadap lingkungan masyarakat dan politik. Tingkat kesadaran politik diartikan sebagai tanda bahwa warga masyarakat menaruh perhatian terhadap masalah kenegaraan dan atau pembangunan

42

Nimmo, Dan. Polical Communication and Public Opinion in America , Goodyear Publishing Co, 1993


(48)

c. Pengetahuan Masyarakat terhadap Proses pengambilan keputusan Proses Pengambilan Keputusan. Pengetahuan masyarakat terhadap proses pengambilan keputusan menentukan corak dan arah suatu keputusan yang akan diambil

d. Kontrol Masyarakat terhadap Kebijakan Publik.

Kontrol masyarakat terhadap kebijakan publik yakni masyarakat menguasai kebijakan publik dan memiliki kewenangan untuk mengelola suatu obyek kebijakan. Kontrol untuk mencegah

dan mengeliminir penyalahgunaan kewenangan dalam keputusan politik kontrol masyarakat dalam kebijakan publik adalah the power of directing. Juga mengemukakan ekspresi politik,

memberikan aspirasi atau masukan (ide, gagasan) tanpa intimidasi yang merupakan problem dan harapan rakyat, untuk meningkatkan kesadaran kritis dan keterampilan masyarakat melakukan analisis dan pemetaan terhadap persoalan aktual dan merumuskan agenda tuntutan mengenai pembangunan

3. Faktor Fisik Individu dan Lingkungan

Faktor fisik individu sebagai sumber kehidupan termasuk fasilitas serta ketersediaan pelayanan umum. Faktor lingkungan adalah kesatuan ruang dan semua benda, daya, keadaan, kondisi dan makhluk hidup, yang berlangsungnya berbagai kegiatan interaksi sosial antara berbagai kelompok beserta lembaga dan pranatanya.


(49)

4. Faktor Nilai Budaya

Nilai budaya politik atau civic culture merupakan basis yang membentuk demokrasi, hakekatnya adalah politik baik etika politik maupun teknik (Soemitro 1999:27) atau peradaban masyarakat. Faktor nilai budaya menyangkut persepsi, pengetahuan, sikap, dan kepercayaan politik.

6. Metode Penelitian 6.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif, dengan pendekatan kuantitatif yaitu suatu metode dalam meneliti individu maupun kelompok masyarakat, sistem pemikiran maupun suatu peristiwa pada massa tertentu. Penelitian deskriptif ini meliputi pengumpulan data melalui daftar pertanyaan (kuisioner). Tipe yang paling umum dari penelitian ini adalah sikap atau pendapat individu, organisasi, keadaan ataupun prosedur yang dikumpulkan melalui daftar pertanyaan dalam survei, wawancara ataupun observasi.43

6.2. Lokasi Penelitian. Penelitian ini dilaksakan di Kecamatan Tarutung

Kabupaten Tapanuli Utara

6.3. Populasi dan Sampel 6.3.1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh masyarakat yang tinggal di Kecamatan Tarutung yang terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu legislatif 2009. adapun jumlah populasi dalam penelitian adalah 5934 jiwa.

43

Mudrajat Kuncoro, Metode Riset Untuk Bisnis dan Ekonomi, Jakarta: Erlangga, 2003, Hal.8


(50)

6.3.2. Sampel

Sampel adalah sebagian yang diambil dari populasi yang menggunakan cara tertentu. Dalam menentukan jumlah sampel untuk kuesioner, penulis menggunakan rumus Taro Yamane 44, sebagai berikut:

Keterangan:

n : Jumlah sampel N : Jumlah populasi

D : Presisi 10% dengan tingkat kepercayaan 90%

Pada masyarakat Kecamatan Tarutung, jumlah penduduk yang diambil berdasarkan rekapitulasi data pemilih terdaftar dalam Dafta Pemilih Tetap yang tidak menggunakan hak pilih sebanyak 5934 jiwa . Maka sampel yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak:

2 5934 5934(0,1) 1 n=

+

5934 60, 34 n=

98, 34 n=

Jadi sampel yang digunakan untuk menjadi responden dalam penelitian ini dibulatkan menjadi 98 orang.

44

Rakhmat, Jalaluddin. 1991. Metode Penelitian Komunikasi. Bamdung: Remaja Rosdakarya. Hal. 81


(51)

6.4. Teknik Pengumpulan Data

Dalam mengumpulkan data dan informasi yang dibutuhkan maka penulis melakukan teknik pengumpulan data sebagai berikut:

a. Data primer yang didasarkan pada peninjauan langsung pada objek yang diteliti untuk memperoleh data-data yang dibutuhkan. Studi lapangan yang dilakukan dengan datang langsung ke lokasi penelitian dengan cara menyebarkan angket/kuesioner kepada responden yang dijadikan sebagai sampel penelitian. Responden menjawab dengan memilih pilihan jawaban yang telah disediakan dalam daftar pertanyaan

b. Data sekunder yaitu dengan mencari sumber data dan informasi melalui buku-buku, jurnal, internet dan lain-lain yang berkaitan dengan penelitian ini

6.5. Teknik Analisa Data

Setelah data-data yang dibutuhkan dalam penyelesaian penelitian ini diperoleh baik itu dari data pustaka dan data dari lapangan (hasil kuesioner dari responden), kemudian data-data tersebut dikumpulkan dan diolah serta dianalisis sehingga dapat disimpulkan sebagai alat hasil dari penelitian yang telah dilakukan.

Analisis yang dilakukan adalah dengan metode deskriptif dimana metode ini hasil yang diperoleh dari lapangan disusun dan kemudian diinterpretasikan sehingga memberikan keterangan terhadap masalah-masalah yang aktual berdasarkan data-data yang terkumpul tersebut.


(52)

BAB II

DESKRIPSI LOKASI 2.1. Sejarah Singkat Kecamatan Tarutung


(53)

Peta Kecamatan Tarutung

Kecamatan Tarutung adalah Ibukota Kabupaten Tapanuli Utara ”TARUTUNG” berasal dari Bahasa Batak Toba yang artinya disebut (DURIAN = TARUTUNG). Pada zaman dahulu kala pedagang dan pelintas lainnya di pokok durian yang besar terletak di tengah kota digunakan sebagai tempat melepaskan lelah sekaligus membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan barang dagangannya. Lama kelamaan tempat persinggahan ini semakin dikenal dan benar bahkan dikenang untuk memudahkan tujuan alamat seseorang selalu menyebut di Tarutung sehingga inilah nama kota tersebut sampai sekarang.


(54)

Adapun nama-nama Camat yang pernah menjabat di Kecamatan Tarutung adalah sebagai berikut :

Tabel 2.1

Nama-nama Camat yang Pernah Menjabat di Kecamatan Tarutung

No Nama Camat Tahun

1. Pipin Panjaitan -

2 Bonafacius Lumbantobing -

3 Marsidik Lumbantobing -

4 Espener Lumban Gaol -

5 Drs. A.M.P. situmorang 1967-1968

6 Andar Lumbantobing 1968-1970

7 S.M. Banjarnahor 1970-1974

8 M.N. Lumbantoruan, BA 1974-1975

9 Marihot Hutapea, BA 1975-1976

10 Drs. Labanus Panjaitan 1976-1978

11 Naser Situmorang 1978-1979

12 Iskandar Muda Sinaga 1979-1981 13 Hot Hanaehan Parapat 1981-1982

14 Osmam Lumbantobing 1982-1983

15 HR.Marojahan Hutasoit, BA 1983-1987 16 Drs. S.P. Panggabean 1987-1992

17 Jannes Naibaho, SH 1992-1998

18 Drs. Djulu Hutapea 1998-2002

19 Drs. Madju Samosir 2002-2003

20 Drs. Mangihut Sinaga, MM 2003-2007 21 Tobok Lumbantobing, SH 2007-2009 Sumber: Tarutung Dalam Angka 2009


(55)

2.2. Letak dan Geografis Kecamatan Tarutung

Kecamatan Tarutung berbatasan langsung dengan Kecamatan Pahae Julu di sebelah selatan, Kecamatan Sipoholon di sebelah utara, Kecamatan Adiankoting di sebelah barat, dan Kecamatan Siatas Barita dan Sipahutar di sebelah Timur. Kecamatan Tarutung merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Tapanuli Utara yang mempunyai luas sekitar 107,68 Km2. Jarak kantor kecamatan ke kantor Bupati Tapanuli Utara 1,2 km

2.3. Luas wilayah dirinci per Kelurahan/Desa di Kecamatan Tarutung

No Desa/Kelurahan Luas

(Km2)

Rasio Terhadap Total Luas Kecamatan

1 Siandor-andor 8,50 7,89

2 Hutapea Banuarea 8,25 7,66

3 Parbubu Pea 1,25 1,16

4 Parbubu II 4,50 4,18

5 Parbubu Dolok 7,94 7,37

6 Hutatoruan VIII 3,50 3,25

7 Parbubu I 4,75 4,41

8 Hutatoruan I 2,00 1,86

9 Sosunggulon 2,62 2,43

10 Parbaju Toruan 4,55 4,23

11 Hapoltahan 1,44 1,34

12 Hutatoruan IV 0,87 0,81

13 Aek Siam Simun 4,56 4,23

14 Hutatoruan V 1,50 1,39

15 Hutatoruan VI 3,25 3,02

16 Hutatoruan XI 0,20 0,19

17 Hutatoruan IX 0,85 0,79

18 Hutatoruan X 1,04 0,97

19 Hutatoruan VII 2,00 1,86 20 Partali Toruan 0,62 0,58

21 Parbaju Tonga 3,50 3,25

22 Simamora 3,40 3,16


(56)

24 Siraja Oloan 3,75 3,48

25 Hutauruk 2,19 2,03

26 Parbaju Julu 3,50 3,25

27 Partali Julu 2,00 1,86

28 Sitampurung 7,75 7,20

29 Jambur Nauli 8,76 8,14

30 Sihujur 5,00 4,64

31 Hutatoruan III 0,44 0,41 Sumber: Tarutung Dalam Angka 2009

2.4. Jumlah Pegawai Negeri Sipil Tingkat Kecamatan Menurut Instansi/Kantor dan Golongan Kepangkatan

No Instansi/Kantor/Unit Gol I Gol II Gol III Gol IV Jumlah

1 Kantor Camat - 3 10 - 13

2 UPT Pendidikan - 2 6 4 12

3 UPT Kesehatan - 16 33 - 49

4 UPT Pertanian - 3 3 - 6

5 UPT PUK - - 1 - 1

6 UPT Kimbangwil - - 1 - 1

7 UPT Pendapatan - 5 1 - 6

8 Lurah dan Staf - 11 37 - 48

9 Pos dan Giro - - - - -

10 PLN - - - - -

11 PPLKB/PLKB - 1 3 - 4

12 P.U Pengairan - - - - -

13 K.U.A. Kecamatan - - 1 - 1

14 KSK - - 1 - 1


(57)

2.5. Jumlah penduduk, Luas Desa/ Kelurahan, kepadatan penduduk per Km di Kecamatan Tarutung

Kecamatan Tarutung dihuni oleh 39.289 orang penduduk dimana penduduk terbanyak berada di Kelurahan/desa Hutatoruan VII dengan 4.990 jiwa

Bila dilihat dari luas kelurahan, kelurahan/desa Jambur Nauli memiliki luas yang terbesar yakni 8,76 km2 sedangkan kelurahan/desa memiliki luas terkecil yakni 0,44 km2.Bila dibandingkan antara jumlah penduduk serta luas wilayahnya, maka kelurahan Hutatoruan XI meruapakan kelurahan terpadat yaitu 7.685,00 jiwa tiap km2

No Desa/Kelurahan Luas

(Km2) Jumlah Penduduk Pertengahan Tahun (Jiwa) Jumlah Penduduk Akhir Tahun(Jiwa) Kepadatan Penduduk (Jiwa/Km2)

1 Siandor-andor 8,50 574 576 67,76

2 Hutapea Banuarea 8,25 1.004 1.009 122,

3 Parbubu Pea 1,25 525 528 422,40

4 Parbubu II 4,5 728 731 162

5 Parbubu Dolok 7,94 1.131 1.135 142,95 6 Hutatoruan VIII 3,5 399 401 114,57

7 Parbubu I 4,75 1.049 1.053 221,68

8 Hutatoruan I 2,00 1.763 1.771 885,50

9 Sosunggulon 2,62 943 946 361,07

10 Parbaju Toruan 4,55 1.242 1.247 274,07

11 Hapoltahan 1,44 929 932 647,22

12 Hutatoruan IV 0,87 870 874 1.004,60 13 Aek Siam Simun 4,56 1.234 1.239 247,80


(58)

15 Hutatoruan VI 3,25 633 635 195,38 16 Hutatoruan XI 0,2 1.531 1.537 7.685,00 17 Hutatoruan IX 0,85 1.215 1.221 1.436,47 18 Hutatoruan X 1,04 4.740 4.759 4.575,96 19 Hutatoruan VII 2,00 4.970 4.990 2.495,00 20 Partali Toruan 0,62 2.397 2.406 3.880,65 21 Parbaju Tonga 3,5 1.021 1.026 293,14

22 Simamora 3,4 2.019 2.027 596,18

23 Hutagalung Siwalu Ompu

3,2 1.189 1.194 373,13

24 Siraja Oloan 3,75 1.205 1.210 322,67

25 Hutauruk 2,19 493 495 226,03

26 Parbaju Julu 3,5 984 988 282

27 Partali Julu 2,00 995 999 499,50

28 Sitampurung 7,75 812 816 93,15

29 Jambur Nauli 8,76 1.011 1.016 131,10

30 Sihujur 5,00 438 439 87,80

31 Hutatoruan III 0,44 313 314 71,3

Jumlah 107,68 39.129 39.289 350,54


(59)

2.6. Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin Per Desa/Kelurahan No Desa/Kelurahan Laki-Laki Perempuan Jumlah

1 Siandor-andor 277 299 576

2 Hutapea Banuarea 475 534 1.009

3 Parbubu Pea 267 261 528

4 Parbubu II 348 383 731

5 Parbubu Dolok 587 548 1.135

6 Hutatoruan VIII 191 210 401

7 Parbubu I 518 535 1.053

8 Hutatoruan I 874 897 1.77

9 Sosunggulon 452 494 946

10 Parbaju Toruan 613 634 1.247

11 Hapoltahan 449 483 932

12 Hutatoruan IV 418 456 874

13 Aek Siam Simun 614 625 1.239

14 Hutatoruan V 363 412 775

15 Hutatoruan VI 312 323 635

16 Hutatoruan XI 743 794 1.537

17 Hutatoruan IX 596. 625 1 221

18 Hutatoruan X 2.193 2.566 4.759 19 Hutatoruan VII 2.442 2.548 4.990 20 Partali Toruan 1.146 1.260 2.406

21 Parbaju Tonga 486 540 1.026

22 Simamora 980 1.047 2.027

23 Hutagalung Siwalu Ompu 585 609 1.194


(60)

25 Hutauruk 250 245 495

26 Parbaju Julu 482 506 988

27 Partali Julu 489 510 999

28 Sitampurung 408 408 816

29 Jambur Nauli 527 489 1.016

30 Sihujur 210 229 439

31 Hutatoruan III 155 159 314

Jumlah 19.008 20.281 39.289

Sumber : BPS Kabupaten Tapanuli Utara

Dari data diatas dapat dilihat bahwa penduduk dengan jenis kelamin laki-laki merupakan penduduk yang terbanyak di Kecamatan Tarutung.


(1)

5.2. Saran

Perkembangan demokrasi harus ditopang oleh keberdayaan politik warga negara dalam menentukan pilihan- pilihan politiknya ditopang oleh tingkat perkembangan ekonomi dan

pengetahuan serta informasi memadai untuk menentukan pilihan-pilihan politik. Tingkatan sosial-ekonomi, setidaknya kepastian warga negara dalam mendapatkan sumber pendapatan ekonomi dan lapangan pekerjaan, sangat menentukan keberdayaan politik.

Demikian pula, pengetahuan dan informasi memadai, khususnya berkaitan dengan pelaksanaan Pemilu 2009, sangat dibutuhkan untuk menentukan pilihan-pilihan politik. Sikap skeptis, sebagaimana dikemukakan di atas, bisa dikatakan menunjukkan masih kurangnya dukungan keberdayaan politik ini, baik dari segi sosial-ekonomi maupun sumberdaya pengetahuan dan ketersediaan informasi untuk menentukan pilihan-pilihan politik dalam Pemilu 2009. Peningkatan kehidupan sosialekonomi memerlukan waktu yang panjang, sebagai hasil dari proses pembangunan sosial-ekonomi sedang berjalan. Keberdayaan politik bisa ditingkatkan dari segi ini, selain terus melakukan perbaikan atas kualitas kehidupan sosial-ekonomi, juga bisa dilakukan dengan memberikan harapan lebih kepada warga masyarakat bahwa Pemilu yang akan datang mampu memperbaiki kualitas hidup warga masyarakat, dari pemerintahan yang akan dihasilkan oleh Pemilu.

Perbaikan tingkat sosial-ekonomi warga masyarakat merupakan pilihan sangat rasional sekaligus fungsional mampu meningkatkan partisipasi politik warga dalam Pemilu dengan mengatasi masalah-masalah sosial-ekonomi dihadapi


(2)

warga masyarakat. Selain itu, keberdayaan politik juga bisa ditingkatkan dengan memberikan pengetahuan lebih, melakukan sosialisasi terkait dengan pelaksanaan Pemilu demokratis, serta memberikan informasi yang memadai terhadap jalannya Pemilu, dalam setiap tahapan-tahapan yang ada. Sosialisasi bagaimana agar Pemilu 2009 berjalan demokratis, berdasar prinsip-prinsip nilai demokrasi, mengedepankan hak-hak politik warga negara dalam penentuan kebijakan, kesetaraan politik, dan pengakuan atas perbedaan yang ada, merupakan hal penting perlu dilakukan.

Demikian pula, persoalan-persoalan bersifat teknis, terkait dengan pelaksanaan Pemilu 2009 dalam setiap tahapan-tahapannya, juga perlu disosialisasikan sehingga warga masyarakat memiliki pedoman dan acuan yang cukup dalam menentukan pilihan-pilihan mereke secara bebas dan mandiri. Perbaikan tingkat sosial ekonomi dan ketersediaan sumber daya pengetahuan dan informasi tentang Pemilu sangat menentukan bagi peningkatan partisipasi politik warga negara, untuk mengurangi skeptisisme politik, atau memperkecil angka Golput dalam Pemilu nanti. Peningkatan partisipasi politik warga negara ini sangat penting untuk pengembangan demokrasi ke depan, khususnya untuk meningkatkan legitimasi politik dalam pemerintahan, sehingga kebijakan pembangunan semakin berkualitas dan mendapat dukungan politik cukup memadai dari warga masyarakat untuk menj alankan proses pembangunan. Sosialisasi dan peningkatan ketersediaan pengetahuan dan informasi tentang Pemilu 2009 penting dilakukan dengan mempertimbangkan harapan-harapan diberikan warga masyarakat terhadap Pemilu 2009, khususnya terhadap partai politik peserta Pemilu dalam menjalankan demokrasi.


(3)

Tiga fungsi penting partai politik diharapkan berjalan dalam Pemilu nanti, yaitu fungsi memperjuangkan konstituen atau warga negara, fungsi pendidikan politik, dan fungsi mencetak calon pejabat publik, baik di pusat maupun di daerah. Berkaitan dengan tiga fungsi partai politik ini, responden umumnya menaruh harapan sangat besar pada fungsi pertama memperjuangkan kepentingan warga masyarakat, dibanding fungsi kedua dan ketiga.

Tawaran pemecahan atas masalahmasalah sosial-ekonomi dihadapi warga masyarakat dari partai politik sangat diharapkan, dengan mengharap partai politik lebih berorientasi pada demokrasi berorientasi peningkatan kesejahteraan sosial-ekonomi. Sementara itu, fungsi pendidikan politik merupakan harapan selanjutnya dengan pertimbangan bahwa penguasaan pengetahuan demokrasi yang semakin meningkat dengan sendirinya akan memperbaiki kualitas calon pejabat publik yang diajukan oleh partai-partai politik yang ada. Partisipasi warga dalam Pemilu 2009 akan semakin meningkat, dan jumlah Golput akan berkurang, bila partai-partai politik yang ada, bersama dengan elemen-elemen masyarakat sipil lainnya, juga ikut melakukan pendidikan politik, melakukan sosialisasi Pemilu secara demokratis kepada masyarakat luas melalui program-program dan aktivitas dijalankan. Sementara, lembaga independen penyelenggara Pemilu, seperti KPU, Banwaslu, dan lainnya, dapat memfasilitasi tumbuhnya dialog publik dan kampanye dalam bentuk diskusi publik yang bebas dan terbuka, sehingga dihasilkan kehidupan politik demokrasi penuh makna, atau penuh arti, atau fungsional, bagi kehidupan sosial-ekonomi dan perkembangan demokrasi. Pengembangan kualitas komunikasi politik diantara berbagai pihak, terutama antara kontestan Pemilu dengan warga masyarakat dan fasilitasi memadai dari


(4)

lembaga penyelenggara Pemilu bagi tumbuhnya dialog publik dan diskusi publik penuh arti, atau penuh makna, sangat diperlukan untuk memajukan demokrasi dalam penyelenggaraan Pemilu 2009.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Novel, ( 1992) Peradaban Komunikasi Politik, Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Budiardjo, M. (1996). Demokrasi di Indonesia: Demokrasi parlementer dan demokrasi Pancasila. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Chidmad SH, Tataq , (2004), Kritik Terhadap Pemilihan Langsung, Pustaka Widyatama, Yogyakarta

Giddens, A. (2000). The third way the renewal of social democracy. Malden: Blackwell Publisher Ltd.

Hans Kelsen, 2006, Teori Umum Tentang Hukum Dan Negara, Nusa Media & Penerbit Nuansa, Bandung

Harsojo. Prof. 1984. Pengantar Antropologi. Bandung : Binacipta

Haryono, Drs. P. 1996. Memahami Kontekstual Tentang Ilmu Budaya Dasar. Yogyakarta: Kanisius

Huntington, S.P. & Nelson, J. (1977). No easy choice political participation in developing countries. Cambridge: Harvard University Press

Kaentjaraningrat, Esther. 2006. Penelitian Kebudayaan . Yogyakarta: Graha Ilmu

Keesing, Roger M. 1992. Antropologi Budaya Suatu Perspektif Kontemporer. Jakarta: Erlangga

Mahfud MD, Mohamad, (2001), Dasar Dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta


(6)

McClosky, H. (1972). Political participation, international encyclopedia of the social science, (2nd ed.). New York: The Macmillan Company and Free Press

Nawawi, Hadari. 1987. Metodologi Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Nimmo, Dan, 1993 Polical Communication and Public Opinion in America , Goodyear Publishing Co.

Putra, Fadilah, (2003), Partai poltik dan kebijakan publik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Robert P.Clark, (1989), Menguak Kekuasaan dan Politik di Dunia Ketiga, Jakarta: Erlangga.

Lain-Lain

Bhayu M.H, Memilih Atau Tidak Memilih Dalam Pemilu Adalah Hak !, www.life school.wordpress.com diakses Jumat 24 April 2009

http//www.kompas.com

Indonesia on time.com, Data Pemilih Pengaruhi Partisipasi Pemilih dalam Pemilu, Diakses, Jumat 24 April 2009

Kompas Edisi 3 Februari 2009, Penghormatan HAM, Hak Pilih Merupakan Hak Asasi Individu, hlm 4

Refly Harun, Menggugat Hilangnya Hak Pemilih, Harian Tempo, Edisi Rabu 15 April 2009

Siaran Pers YBHI, Negara Wajib Melindungi Terhadap Hak Untuk Tidak Memilih Dalam Pemilu, diakses tanggal 24 April 2009