Langkah lari kecilnya limbung diburu-buru J

Langkah lari kecilnya limbung diburu-buru J

akarta awal tahun 1963. Seorang pekerja muda Direktorat Jenderal Pajak tergesa-gesa pulang ke rumah indekos di bilangan Kramat Sentiong.

bayangan tanpa nama. Sore itu adalah titik awal hari-harinya yang selalu resah mencari jawab atas inti kemanusiaan.

Laki-laki tinggi, tegap, berkulit putih dan berparas ganteng itu seolah dijalankan kekuatan gaib. Sepucuk kertas yang melayang-layang di udara dikejarnya hingga limbung. Laki-laki 30 tahun itu tidak tahu, kenapa dia harus mengejar kertas itu. Kertas itu akhirnya mendarat di tangannya. Tertera tulisan “Preambule Undang-undang Dasar 1945.” “Apakah aku menerima wahyu?” tanyanya kala itu.

Supranoto pengagum berat Pancasila.

174 • Mereka yang Melampaui Waktu

Konsep panjang umur, bahagia, sehat dan tetap produktif • 175

win Nugraha

Malam itu suasana wilayah Banyuwangi gelap dan dingin. Pemadaman aliran listrik berlangsung sejak lepas magrib. Angin kencang berhembus dari Selat Bali. Orang-orang yang sejenak menikmati malam di depan rumah bergidik.

Beruntung, rumah Mas Supranoto terletak di kompleks pertokoan waralaba internasional. Pemadaman lampu menjadi tidak begitu berarti di wilayahnya. Generator listrik besar dipacu untuk memenuhi pasokan listrik di kompleks pertokoan yang baru setahun dibuka. Di lokasi pertokoan inilah dahulu berdiri hotel keluarga Mas Supranoto. Bisa dikatakan hotel ini adalah hotel tertua di Banyuwangi. Bisa ditaksir betapa makmurnya riwayat keluarga Mas Supranoto.

Rumah Mas Supranoto terletak di belakang pertokoan itu. Untuk mencapai rumah tersebut, tamu harus masuk melewati gang kampung di sebelah pertokoan. Ada semacam kontras antara kompleks kampung dan pertokoan. Pendar cahaya lampu dari generator tak menjangkau gang kampung itu. Tamu-tamu Mas Supranoto harus berjalan menyusuri gang seukuran badan mobil. Persis di sebelah kiri, di lahan kosong dengan pohon besar tinggi, terdapat rumah berpagar tembok tinggi dan memanjang. Di tengahnya ada belahan gapura sebagai pintu masuk rumah. Rumah itu mirip sekali istana berbenteng kaum ningrat Solo atau Yogya. Itulah rumah Mas Supranoto yang beradu pantat dengan kompleks pertokoan modern.

Salakan sekawanan anjing terdengar dari rumahnya. Kira- kira ada sepuluh ekor anjing nonras bergantian menyalak. Anjing-anjing itu bertugas sebagai penjaga malam rumah. Terdapat paviliun yang lebih mirip dapur umum berpadu dengan ruang rapat terbuka. Di ruang pojok luar, seorang juru masak

176 • Mereka yang Melampaui Waktu 176 • Mereka yang Melampaui Waktu

Di dalam paviliun sendiri, ada seorang penerima tamu, yang seolah mewakili si empunya rumah, beramah-tamah, menanyakan keperluan dan mencatatnya. Asap rokok dan aroma kopi menjadi semacam pewangi alami dalam paviliun itu. Laki- laki dan perempuan duduk rapi, berbicara perlahan sekaligus memasang raut muka ramah kepada sesamanya. Sesekali mereka menengok ke arah rumah induk sembari mengudap, menyeruput kopi dan menghisap dalam-dalam rokok yang ada.

Sebentar-bentar penerima tamu ini masuk ke dalam rumah besar di sebelah paviliun. Setelah mondar-mandir untuk yang keempat kalinya, dia memberitahukan bahwa Mas Supranoto akan segera datang. Laki-laki itu meminta izin mendahulukan tamu jauh yang ingin pendek saja bercakap dengan sang empunya rumah. Malam itu, sepasang suami istri dari Bali datang mengadukan persoalan hidupnya. Beberapa orang dari sekitar Banyuwangi juga hendak berbicara khusus dengannya. Entah soal apa.

Pada pukul 10 malam tepat. Seorang laki-laki berambut putih dengan mengenakan celana pendek dan poloshirt keluar dari rumah. Di sela-sela jarinya menyala sebatang rokok berwarna hitam, keluaran pabrikan dari Kudus, Jawa Tengah. Laki-laki berusia 80 tahun ini masih begitu gagah. Bekas ketampanan di masa muda kentara di roman mukanya. Suaranya yang bernada tegas segera memecah kesunyian penghuni paviliun. “Biar tidak ngantuk, diminum kopinya lho.”