24 Toba mempunyai tipologi adat masing-masing tergantung dengan tempat
tinggalnya. Bagi masyarakat yang tinggal di sekitar Bona Pasogit tentu lebih intens dan merekat budaya tersebut, sementara yang berada jauh dari Bona
Pasogit relatif lebih individualistis menyikapi adat Batak Toba. Kedua, adat diyakini sebagai norma yang mengatur hubungan antar masyarakat Batak Toba,
dipengaruhi oleh aturan dan norma yang berlaku di masyarakat. Ketiga, pola hubungan antar manusia dalam komunitas Batak Toba mengalami perubahan
secara terus menerus, sehingga pelaksanaan adatnya disesuaikan dengan keadaan pada saat itu. Keempat, pandangan dan nilai yang diberikan terhadap adat juga
mengalami perubahan, hal ini tampak ketika praktek adat tersebut dilakukan oleh masyarakat Batak Toba.
Dengan sifat mengikat yang dimiliki oleh adat Batak Toba ini, membuat siapa saja yang memiliki hubungan darah dengan suku Batak Toba diharapkan
untuk melakukan adat tersebut. Sehingga bagi orang Batak Toba yang melakukan tindakan atau perbuatan yang tidak sesuai dengan adat akan disebut sebagai
jolma na so maradat
orang yang tidak punya adat. Ketika seseorang melakukan hal demikian maka aka nada sanksi sosial bagi orang yang telah melanggar adat.
Misalnya ketika terjadi pernikahan semarga, masyarakat setempat akan memberikan sanksi sosial berupa pengucilan bahkan pengusiran yang
bersangkutan dari tempat tersebut karena telah melanggar adat yang berlaku.
4. Sistem Kekerabatan Batak Toba
Sistem kekerabatan dalam budaya Batak Toba memiliki peranan penting dalam menjalin hubungan baik antara individu dengan individu lain atau antara
Universitas Sumatera Utara
25 individu dengan masyarakat sekitarnya. Sistem kekerabatan Batak Toba secara
tradisional diatur dalam sistem sosial kemasyarakatan yang disebut dengan
Dalihan Na Tolu.
Istilah
Dalihan Na Tolu
dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai
Tiga Tungku Sejerangan
atau
Tungku Nan Tiga
.
Dalihan Na Tolu
merupakan sebuah sistem sosial yang berlandaskan pada tiga pilar, yaitu
hula- hula
pihak keluarga istri,
dongan tubu
saudara semarga,dan
boru
keluarga perempuan dari pihak suami. Berkaitan dengan
Dalihan Na Tolu
, terdapat suatu perumpamaan yang menggambarkan strata dari masing-masing pilar tersebut,
yang berbunyi “
somba marhula-hula, manat mardongan tubu, elek
marboru”. Apabila diartikan secara harafiah yaitu “sembah terhadap
hula-hula
, bijaklah dengan sesama
dongan tubu
, berikan kasih sayang kepada pihak
boru
”.
Hula-hula
dianggap memiliki status yang paling tinggi dalam kehidupan masyarakat Batak Toba yang berasal dari keluarga marga pihak istri. Kedudukan
hula-hula
ini dapat dilihat dari adanya penghormatan yang diberikan oleh
dongan tubu
dan
anak boru
dalam kehidupan sehari-hari. Penghormatan terhadap hula- hula ini dikarenakan mereka dianggap sebagai tempat meminta berkat yang
disebut
pasu-pasu
, sehingga hula-hula ini dianalogikan juga sebagai perwujudan
debata na tarida
yang artinya “tuhan yang kelihatan”. Tidak jarang dalam kegiatan tertentu pihak
boru
pergi berkunjung ke
hula-hula
dengan tujuan meminta persetujuan maupun dukungan dari pihak
hula-hula
, dengan demikian pihak boru berharap diberikan
pasu-pasu
dalam kegiatannya.
Dongan tubu
atau
dongan sabutuha
adalah hubungan berdasarkan garis keturunan dari marga pihak laki-laki. Pada suatu pelaksanaan adat, siapa saja yang
Universitas Sumatera Utara
26 termasuk ke dalam
dongan tubu
bisa lebih luas lagi, karena siapa saja yang memiliki marga sama bisa dianggap sebagai
dongan tubu
. Fungsi
dongan tubu
di dalam pelaksanaan suatu adat adalah sama dengan suhut yang mengadakan acara
adat. Dalam merencanakan suatu kegiatan adat,
dongan tubu
harus terlibat dalam musyawarah sebelum kegiatan tersebut berlangsung. Kelompok
dongan tubu
ini merupakan kelompok yang rentan terhadap perpecahan, untuk itu budaya Batak
Toba mengenal konsep
manat mardongan tubu
, yang artinya menjaga persaudaraan dengan keluarga semarga.
Boru
merupakan pilar pelaksana setiap kegiatan adat dalam hubungan formal dan nonformal. Boru memang menempati posisi yang lebih rendah
dibandingkan
hula-hula
, namun kelompok ini haruslah tetap dikasihi dan diayomi seperti tercermin dari filsafat
elek marboru
. Pada upacara adat pihak
boru
bertindak sebagai
parhobas
yaitu orang yang bertugas mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan kelancaran jalannya upacara adat. Pada saat
sedang ada musyawarah dengan
dongan tubu,
pendapat dan pertimbangan dari
boru
juga diminta, terutama mengenai kesanggupannya atas rencana yang akan dilaksanakan.
Dalihan Na Tolu
tidak mirip dengan konsep kasta dalam agama Hindu. Pada konsep kasta, posisi masing-masing kasta tidak dapat berubah-ubah
sementara dalam
Dalihan Na Tolu
sendiri dimana posisi seseorang sangat
tergantung pada kegiatan budaya yang berlangsung. Semua anggota masyarakat Batak Toba pasti akan pernah bergantian peran baik sebagai
hula-hula
,
dongan tubu
maupun
boru
. Hal ini akan tampak ketika orang Batak Toba telah membina
Universitas Sumatera Utara
27 hubungan rumah tangga, dimana ketika marga dari pihak suami yang mengadakan
pesta adat maka keluarga tersebut berperan sebagai
dongan tubu
. Ketika keluarga dari istri yang sedang mengadakan pesta adat maka keluarga tersebut berperan
sebagai
boru
, bagi pihak
boru
tersebut keluarga yang mengadakan pesta adat tersebut adalah
hula-hula.
Semua orang Batak Toba diharapkan untuk menunjukkan perilaku sebagai “raja” berdasarkan sistem kekerabatan Batak Toba. Artinya bagi orang Batak
Toba haruslah menunjukkan perilaku yang baik dan sesuai dengan tata karma dalam sistem kekerabatan Batak, bukan sebagai raja yang berkuasa atas orang
lain. Oleh sebab itu dalam kegiatan adat Batak Toba, kita akan sering mendengar istilah
Raja ni Hula-hula
,
Raja ni Dongan Tubu
, dan
Raja ni Boru
. Penyebutan yang demikian juga bertujuan untuk menghormati setiap posisi dalam
Dalihan Na Tolu
.
5. Pernikahan dalam Batak Toba